• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karotenoid termasuk golongan hidrokarbon, tersebar luas di alam dan merupakan pigmen penting dalam kehidupan organisme. Karotenoid terkandung di dalam wortel, labu, kentang manis, tomat, buah-buahan yang berwarna hijau gelap, kuning, oranye, dan merah, sayuran dan beberapa minyak sayur, dimana minyak sawit dan produk-produk minyak sawit diketahui mengandung konsentrasi karotenoid paling tinggi (Zeb dan Mehmood, 2004). Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit

Fraksi minyak sawit Kandungan karoten (µg/mL)

Minyak sawit kasar (CPO) 630-700

Olein sawit kasar 680-760

Stearin sawit kasar 380-540

Residual oil from fibre 4.000-6.000

Pengepresan kedua minyak sawit 1.800-2.400

Minyak sawit merah 500-700

Sumber: Zeb dan Mehmood (2004)

Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber karotenoid nabati alami

yang terkaya di dunia dalam bentuk ekuivalen retinol (provitamin A). Crude

Palm Oil (CPO) mengandung 15 sampai 300 kali ekuivalen retinol lebih besar daripada wortel, sayuran berdaun hijau, dan tomat (Latip et al., 2000). Saat ini dikenal sekitar 600 jenis karotenoid di luar isomer cis-trans. Dari jumlah ini kurang dari 10 persen merupakan hidrokarbon (Goodwin, 1976).

Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena, khloroform, aseton, metanol, etanol, eter dan petroleum eter, tetapi tidak larut

8

dalam air. Sifat ini penting terutama dalam pemisahan karotenoid dari bahan lain (ekstraksi) (Goodwin, 1976).

Faktor utama yang mempengaruhi karoten selama pengolahan pangan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara dan perubahan struktur

oleh panas. Pemanasan sampai dengan suhu 60○C tidak mengakibatkan

dekomposisi karoten tetapi dapat terjadi perubahan stereoisomer. Selama pengolahan pangan, bentuk trans pada karotenoida yang terdapat dalam bahan pangan tersebut dapat mengalami isomerisasi menjadi bentuk cis karoten yang

menyebabkan turunnya aktifitas provitamin A, karena aktifitasnya dari cis

karotenoida lebih rendah dari bentuk trans karotenoida. Aktivitas karoten akan menurun secara drastis pada suhu sekitar 180-210○C (Klaui dan Bauernfeind, 1981 di dalam Saputra, 1996). Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid peka terhadap oksidasi. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997).

Karotenoid lebih tahan tersimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh. Hal ini disebabkan asam lemak lebih mudah menerima radikal bebas apabila dibandingkan dengan karotenoid, sehingga oksidasi yang pertama kali akan terjadi pada asam lemak dan akibatnya karotenoid terlindung dari oksidasi. Pada suasana asam karotenoid mengalami isomerisasi dan akan membentuk poli cis-isomer (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997).

Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam makanan vitamin A biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk asam) (Almatsier, 2002).

Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Suhu tinggi dapat merusak vitamin A, begitu juga oksidasi yang terjadi pada minyak yang tengik. Karotenoid merupakan

prekursor (provitamin) vitamin A. Di antara ratusan karotenoid yang terdapat di alam, hanya alfa, beta, dan gamma serta kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. Beta karoten adalah bentuk provitamin A paling aktif, yang terdiri atas dua molekul retinol yang saling berkaitan (Almatsier, 2002).

Identifikasi pigmen karotenoid, baik jenis maupun kemurniannya, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik kromatografi lapis tipis (TLC), HPLC atau cara spektrofotometri. Penentuan menggunakan HPLC didasarkan pada bentuk spektrumnya dalam suatu pelarut. Bentuk spektrum yang sama menyatakan zat yang sama (Goodwin, 1976).

C. BETA KAROTEN

Jenis karotenoid yang paling penting adalah alfa karoten, beta karoten, beta kriptoxantin, lutein, violaxantin, neoxantin, dan likopen. Beta karoten, alfa karoten, beta kriptoxantin adalah jenis karoten yang dikonversi menjadi vitamin A atau retinol di dalam tubuh (Zeb dan Mehmood, 2004). Struktur kimia beta karoten dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002)

Βeta karoten dan tokoferol dikenal sebagai senyawa antioksidan yang ampuh mencegah penyakit. Di dalam tubuh, kedua senyawa itu mampu menetralisir zat-zat radikal bebas pemicu beragam penyakit, termasuk kanker dan tumor. Senyawa tersebut menangkal dan memutus rantai radikal bebas yang menyebabkan sel mengalami mutasi genetis hingga berkembang secara liar tanpa terkendali. Imbasnya, massa sel alias tumor gagal terbentuk (www.apotik2000.net, 2006).

Βeta karoten juga diketahui berfungsi memperlambat berlangsungnya

10

ke otak, bisa berlangsung lancar, tanpa sumbatan. Senyawa ini juga mampu meningkatkan kekebalan tubuh karena interaksi vitamin A dengan protein (asam amino) yang berperan dalam pembentukan antibodi.

Dalam sistem metabolisme, setiap molekul beta karoten akan menghasilkan dua molekul vitamin A. Dengan tersedianya vitamin A dalam jumlah cukup, penyerapan protein yang mendukung sistem kekebalan tubuh dapat ditingkatkan (www.apotik2000.net, 2006).

Suatu studi membuktikan, konsumsi beta karoten 30-60 mg per hari selama dua bulan akan meningkatkan jumlah sel-sel pembunuh alami dalam tubuh. Senyawa ini juga merangsang sel-sel T helpers dan limposit lebih aktif. Bertambahnya sel-sel pembunuh alami sangat penting untuk melawan sel-sel kanker dan mengendalikan radikal bebas yang mengganggu kesehatan (www.apotik2000.net, 2006).

D. ADSORPSI-DESORPSI

Adsorpsi adalah suatu istilah teknik yang digunakan untuk

menandakan suatu peristiwa pengambilan (Latin, sorbere, menghisap naik)

dari gas, uap air, atau cairan (bahan terserap) oleh suatu permukaan atau penghubung antar muka (adsorben). Sedangkan desorpsi merupakan peristiwa pengambilan kembali bahan yang diserap oleh adsorben (Kirk dan Othmer, 1963). Bahan yang telah teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi, pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut (desorpsi) (Bernasconi et al., 1995).

Terlepasnya solut dari adsorben oleh pelarut, disebabkan oleh tendensi kelarutannya. Fenomenanya disebut elusi (non protonic solvent). Selain itu

terjadi juga fenomena displacement (penggeseran tempat), karena adanya

kompetisi antara solut dan eluen terhadap adsorben (protonic solvent, seperti alkohol) (Adnan, 1997).

E. PELARUT

Pelarut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu kelompok polar dan kelompok non polar. Perbedaan dari kedua golongan tersebut adalah potensial

dielektrik, dimana golongan non polar tidak mempunyai potensial dielektrik pada molekulnya, sedangkan pada golongan polar memiliki potensial dielektrik pada molekulnya (Mellan, 1950 di dalam Novinda, 1995). Air, yang termasuk zat pelarut, konfigurasi elektronnya dan geometri molekulnya dapat menghasilkan dipol permanen yang sangat kuat. Senyawa-senyawa organik yang mempunyai atom oksigen (oxygenated) seperti alkohol, keton, ester, dan eter mempunyai dipol yang lebih lemah daripada air, oleh karenanya polaritasnya juga lebih kecil. Namun demikian, benzen yang mempunyai struktur simetris dan tidak mempunyai dipol, mempunyai awan elektron yang dapat terpolarisasi apabila ada senyawa polar yang mendekatinya. Oleh karena itu, senyawa hidrokarbon siklis, seperti benzen mempunyai polaritas yang lebih besar daripada senyawa hidrokarbon alifatis yang serupa (Adnan, 1997). Pelarut dengan tetapan dielektrik tinggi, ion-ionnya mampu mengurai secara sempurna, contohnya adalah air. Sedangkan pelarut yang memiliki tetapan dielektrik rendah, ion-ionnya tidak mampu mengurai secara sempurna, tetapi pasangan ion terjadi (Day Jr. dan Underwood, 2002). Besarnya polaritas dari zat pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya seperti yang digambarkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut

Konstanta dielektrik Nama zat pelarut 1,890 2,023 2,238 2,284 4,340 4,806 6,020 20,700 24,300 33,620 80,370

Petroleum ringan (petroleum eter, heksan, heptan) Sikloheksan Karbon tetraklorida Trikloroetilen Toluen Benzen Diklorometan Etil eter Kloroform Etil asetat Aseton n. propanol Etanol Metanol Air Sumber: Adnan (1997)

12

Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut non polar. Pelarut yang bersifat non polar, misalnya hidrokarbon hanya dapat melarutkan senyawa yang bersifat non polar. Sedangkan senyawa polar hanya dapat larut dalam pelarut polar misalnya air. Pada suhu di atas titik cair, lemak dan asam lemak bersifat larut dalam pelarut organik. Kelarutan lemak dan turunannya pada pelarut organik akan menurun dengan penurunan suhu (Swern, 1982). Secara umum, kelarutan lemak dan turunannya dalam pelarut organik dipengaruhi oleh jumlah ikatan rangkap dan panjang rantai karbon. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap, maka kelarutan semakin tinggi. Sebaliknya, makin panjang rantai, maka semakin rendah kelarutan lemak dan turunannya.

Zat pelarut mempunyai peranan yang penting dalam elusi, yang dapat menentukan baik-buruknya pemisahan. Zat pelarut yang mampu menjalankan elusi terlalu cepat tidak akan mampu mengadakan pemisahan yang sempurna. Sebaliknya elusi yang terlalu lambat akan menyebabkan waktu retensi yang terlalu lama (Adnan, 1997).

F. ETANOL

Etanol atau etil alkohol ialah bahan kimia yang ditemui di dalam minuman beralkohol atau arak. Selain terdapat di dalam arak, etanol juga digunakan sebagai bahan api menggantikan gasolin (ms.wikipedia.org, 2006).

H H | |

H - C - C - O - H | |

H H

Gambar 2. Struktur molekul etanol (ms.wikipedia.org, 2006)

Etanol murni ialah cairan jernih yang mudah terbakar pada titik didih pada 78,5○C dan titik beku pada -114,5○C. Etanol digunakan sebagai bahan anti-beku dan mempunyai bau vodka. Etanol dapat digunakan sebagai desinfektan (etanol 70-85 persen). Larutan tersebut dapat membunuh

organisme dengan cara mengubah protein dan melarutkan lipid, menghalangi pertumbuhan bakteri, fungi, dan beberapa virus. Namun, etanol tidak efektif terhadap spora bakteri. Karena sifat ini, etanol dapat disimpan dalam jangka waktu yang sangat lama (sebagai minuman alkohol) (ms.wikipedia.org, 2006). Etanol memiliki sifat-sifat unik, antara lain dapat digunakan sebagai pelarut, pembasmi kuman penyakit, minuman, agen anti beku, cairan mudah

terbakar, depressant, dan memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks

dengan bahan kimia organik lainnya. Etanol dalam kondisi normal bersifat volatil, mudah terbakar, dan merupakan cairan tidak berwarna (Kirk dan Othmer, 1965).

G. ADSORBEN

Adsorben (untuk adsorpsi fisik) adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang halus pada padatan tersebut. Biasanya luasnya berada dalam ukuran 200 – 1000 m2/g adsorben. Diameter pori sebesar 0,0003 – 0,02 µm (Bernasconi et al., 1995).

Selain luas spesifik dan diameter pori, kerapatan unggun, distribusi ukuran partikel maupun kekerasannya merupakan data karakteristik yang penting dari suatu adsorben. Tergantung pada tujuan penggunaannya, adsorben dapat berupa granular (dengan ukuran butir sebesar beberapa mm) atau serbuk (khusus untuk adsorpsi campuran cair). Regenerasi dilakukan untuk memperbaiki kembali daya adsorpsi dari adsorben yang telah dipakai maupun untuk memperoleh kembali bahan yang telah teradsorpsi. Dalam hal ini bahan yang teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi, pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut (Bernasconi et al., 1995).

Adsorben dapat bersifat polar atau non polar. Silika gel dan alumina adalah contoh adsorben yang bersifat polar. Kedua adsorben tersebut akan mengadsorpsi solut yang bersifat lebih polar daripada solut yang bersifat non polar. Proses adsorpsi yang dipengaruhi oleh sifat polaritas dari adsorben dan

14

solut berlaku juga dalam fenomena kelarutan. Dalam hal ini zat pelarut yang bersifat polar mempunyai tendensi lebih mudah melarutkan solut yang bersifat polar juga, dan demikian sebaliknya. Dengan adanya sifat atau gejala seperti itu timbulah slogan : like dissolves like (Adnan, 1997).

Urutan adsorben dari yang mempunyai kemampuan adsorpsi besar ke yang kecil adalah sebagai berikut.

1. Alumina 2. Charcoal (arang) 3. Silika gel 4. Magnesia 5. Kalium karbonat 6. Sukrosa 7. Serbuk pati 8. Serbuk selulosa

Aktivitas permukaan dari setiap adsorben berbeda pada sisi yang satu ke sisi yang lain dan dari batch yang satu ke batch yang lain. Perlakuan pendahuluan menurut cara-cara yang ditentukan dapat menghilangkan perbedaan aktivitas tersebut (Adnan, 1997).

Atapulgit banyak digunakan di bidang kesehatan, obat-obatan, dan kosmetik. Jenis lempung ini dipercaya dapat menyerap racun dan bakteri. Atapulgit juga digunakan sebagai bahan baku pasta, salep, dan losion untuk untuk obat luar. Kegunaan lain dari atapulgit adalah sebagai bahan baku dalam

industri kertas NCR (No Carbon Required), yaitu sebagai bahan pelapis

permukaan pada lembaran kertas dan bahan pestisida (Kirk dan Othmer, 1964).

Atapulgit merupakan bahan yang terdiri dari silika, alumunium, magnesium dan lain-lain. Komponen silika berfungsi sebagai katalis sehingga dapat melepas gugus hidroksil dan atom hidrogen yang menyebabkan terjadi ikatan rangkap baru (Mani dan Shitole, 1997 di dalam Zuna, 2004). Aluminium dan magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti polimerisasi (Swern, 1982), dan bahan penstabil warna (Michael dan Irene,

1977 di dalam Maulana, 2004). Komponen-komponen yang terkandung dalam atapulgit disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit

Oksida Persentase (%) SiO2 55,6-60,5 MgO2 10,7-11,35 Al2O2 9,0-10,1 Fe2O2 5,7-6,7 K2O2 0,96-1,30 MnO2 0,61 CaO2 0,42-1,95 TiO2 0,32-0,63 Na2O2 0,03-0,11 Komponen lain 10,53-11,80 Sumber : www.cnhymc.com (2003)

Atapulgit mempunyai rumus molekul Mg5Si8O20(HO)2(OH2)4.4H2O.

Struktur molekul atapulgit dapat dilihat pada Gambar 3. Struktur atapulgit terdiri dari rantai silika ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium berikatan dengan oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang merupakan gugus polar (Grim, 1989). Atapulgit memiliki sifat antara lain memiliki dispersi permukaan yang spesifik, tahan terhadap suhu tinggi, alkali dan garam, serta daya serap dan decoloring tinggi. Selain itu, atapulgit tidak mengandung logam berat sehingga aman digunakan dalam industri pangan (Lansbarkis, 2000). Karakteristik atapulgit dapat dilihat pada Tabel 7.

16

Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989)

Tabel 7. Karakteristik atapulgit

Nilai koloid (mL/15 g) 55-65

Volume ekspansi (mL/g) 4-6

Luas permukaan spesifik (m2/g) 400-500

Jumlah total pertukaran ion (mg ekuivalen/100 g) 25-50

Kapasitas decoloring (setelah perlakuan) >170

pH 7,5-8,5 Warna Abu-abu

Specific gravity 32-37

Sumber: Lansbarkis (2000)

H. KINETIKA DESORPSI

Desorpsi dipengaruhi oleh pH eluen (Chu dan Hashim, 2001). Dalam hal ini Chu dan Hashim (2001) mendesorpsi tembaga dari rumpul laut yang diimobilisasi dengan polivinil alkohol (PVA). Laju desorpsi meningkat dengan menurunnya pH. Tingginya konsentrasi proton di dalam eluen dapat menggantikan tembaga yang terikat pada sisi aktif rumput laut. Kemungkinan

terjadi pertukaran ion pada peristiwa tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004), dan

waktu kontak antara adsorben dan eluen (Wankasi et al., 2005). Nilai

konstanta laju desorpsi (kdes) meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi

dan laju pengadukan.

Model kinetika desorpsi Chu dan Hashim (2001) adalah : qe = v1/m1 (Co-Ce)

qt = qe – v2/m2 x Ct

qt/qe = exp (-kdest)

qt/qe = θ exp (-kdest) + (1- θ)

ln qt/qe = -kdest + ln θ + (1-θ) (Wankasi et al., 2005)

Keterangan :

qe = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben (µg/g)

qt = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben pada lama desorpsi tertentu (µg/g)

v1 = volume olein (mL)

m1 = massa adsorben (g)

Co = konsentrasi beta karoten di dalam olein (µg/mL)

Ce = konsentrasi beta karoten di dalam olein saat adsorben jenuh (µg/mL)

v2 = volume eluen (mL)

m2 = massa adsorben setelah mengadsorpsi beta karoten (g)

Ct = konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada lama desorpsi tertentu (µg/mL)

θ = fraksi terdesorpsi

Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan untuk terjadinya tumbukan yang efektif (Nur et al., 2000). Dalam hal ini terjadi tumbukan antara molekul beta karoten dengan molekul eluen pada proses desorpsi. Persamaan Arrhenius untuk pengukuran energi aktivasi adalah : k = Ae-Ea/RT

dimana R adalah konstanta gas, T adalah suhu mutlak, k adalah konstanta kecepatan dan Ea adalah energi aktivasi. Faktor A adalah sebuah konstanta

18

proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan juga orientasi molekuler selama tumbukan.

III. METODOLOGI

Dokumen terkait