KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN
OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT
DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL
Oleh
OKIANA WINARNI
F34102019
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.
(QS. Al Mujadilah (58) : 11)
KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN
OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT
DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL
Ringkasan
Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10 tahun dan 20 tahun mendatang volume perdagangan komoditas ini masih akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini adalah minyak sawit.
Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94 persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen minor lainnya. Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng, beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar tersebut dihilangkan bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten yang merupakan provitamin A sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit. Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben. Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses.
Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup, tidak mudah terbakar, dan dapat melarutkan karoten. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan
determinasi (r2). Penentuan energi aktivasi mengikuti persamaan Arrhenius. Percobaan desorpsi isotermal dilakukan pada tiga suhu yaitu 40○C, 50○C, dan 60○Cdengan heksan sebagai pembanding.
Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol dicapai pada konsentrasi beta karoten 0,77 µg/mL
pada lama desorpsi 70 menit, pada suhu desorpsi 40○C, 0,61 µg/mL pada lama
desorpsi 40 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,33 µg/mL pada lama desorpsi
16 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan
menggunakan heksan kondisi kesetimbangan dicapai pada konsentrasi beta
karoten 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 21,5 menit, pada suhu desorpsi 40○C,
0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,23
µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Kondisi
kesetimbangan dipengaruhi oleh jenis pelarut dan suhu desorpsi. Semakin rendah suhu desorpsi, semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh etanol dan semakin lama kondisi kesetimbangan dicapai. Kondisi kesetimbangan pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih lama dicapai daripada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan. Konsentrasi beta karoten di dalam etanol lebih tinggi daripada konsentrasi beta karoten di dalam heksan setelah kondisi kesetimbangan dicapai.
Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) isotermal beta karoten olein sawit kasar
dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C sebesar 1,0 x 10-3
menit-1, 1,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C, dan 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan nilai konstanta laju desorpsi (kdes) 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 40○C, 2,6 x 10-3 menit-1 pada suhu
50○C, dan 2,3 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes)
pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih rendah daripada nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan menggunakan heksan. Energi aktivasi (Ea)
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan
menggunakan etanol sebesar 81,86 x 10-1 kkal/mol dan dengan menggunakan
heksan 4,91 x 10-1 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasinya yang lebih
ISOTHERM DESORPTION KINETICS OF CRUDE PALM OIL
BETA CAROTENE FROM ATTAPULGITE
BY USING ETHANOL
Summary
In the year 2010, palm oil is estimated to become the major vegetable oil in the world. The world trade volume of fat and oil in the recent year is increasing and in the next 10-20 year it will still be increasing. In 2000, the trade volume of oil and fat reached 36 millions ton for vegetable oil and 14 millions ton for fat. About 39 percent (19.5 tonnes) of traded oil was palm oil.
The largest component of palm oil is triglyserid (94 percents). It also contains fatty acid (3-5 percents), carotenoid, tocopherol, tocotrienol, sterol, alcohol triterpen, phospolipid, glikolipid, and other various minor components in small amount. In the process of changing crude palm oil into cooking oil, the beta carotene in the palm oil is eliminated simultaneously with the process of cooking oil purification so that the colour of cooking oil is cleaner. Beta carotene is eliminated because consumers prefer clear colour. Actually, beta carotene that a provitamin A is important for health. Beta carotene that is wasted during the purification process of cooking oil could be isolated before the crude palm oil is purified. This could be an added value for the palm oil industry. The adsorption-desorption process of isolation crude palm olein beta carotene is a good process because the crude palm oil that will be processed to become cooking oil is not damaged. This research use attapulgite as adsorbent. Desorption kinetics is an important study to determine process the design.
Ethanol was used in this research because ethanol is safe for the industry. Besides, ethanol is not dangerous compare to hexane, this eluent is often used in palm oil extraction. The other characteristics of ethanol are not harmful if inhaled, not flammable, and can eluate carotene. The objective of this research is to determine equilibrium condition (beta carotene concentration in ethanol and desorption time) of isotherm desorption of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. This research is also aiming to determine kinetics parameter of isotherm desorption, desorption rate constant (kdes) and activation
energy (Ea) of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. The equilibrium conditions were obtained from the relation between the desorption time and the beta carotene concentration in ethanol so that desorption time will not increase the beta carotene concentration in the ethanol. Isotherm desorption kinetics of beta karoten from attapulgite by using ethanol was determined from the increase of beta carotene concentration in ethanol during the desorption process using the Chu and Hashim model (2001). The conformity
between data and model was determined from coefficient determination (r2).
Determination of activation energy followed Arrhenius equation. Isotherm desorption experiment conducted at three temperature, that were 40○C, 50○C, and 60○C with hexane as comparator.
Equilibrium conditions of isotherm desorption beta carotene from attapulgite by using ethanol were achieved at beta carotene concentration of 0.77
µg/mL in 70 minutes and at desorption temperature of 40○C, 0.61 µg/mL in 40
the desorption temperature of 60○C. Moreover, equilibrium conditions of desorption experiment by using hexane were achieved at beta carotene concentration 0.61 µg/mL in 21.5 minutes, at the desorption temperature of 40○C,
0.40 µg/mL in 12.5 minutes at the desorption temperature of 50○C, and 0.23
µg/mL in 10.5 minutes at the desorption temperature of 60○C. Equilibrium
conditions were influenced by temperature desorption and eluent. It was studied that the lower the desorption temperature, the higher the beta carotene concentration desorpted by ethanol, and the longer the time needed to reach equilibrium conditions. Reaching the equilibrium of isotherm desorption using ethanol was longer than reaching the equilibrium of isotherm desorption using hexane. Beta carotene concentration in ethanol is higher than beta carotene concentration in hexane at the equilibrium conditions.
Desorption rate constant (kdes) of isotherm desorption of crude palm olein
beta carotene from attapulgite by using ethanol at desorption temperature 40○C was 1.0 x 10-3 minutes-1, 1,6 x 10-3 minutes-1 at desorption temperature of 50○C, and 2.2 x 10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. Desorption rate
constant (kdes) of isotherm desorption crude palm olein beta carotene from
attapulgite by using hexane at the desorption temperature of 40○C, 2.2 x 10-3 minutes-1, 2.6 x10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 50○C, and 2.3 x 10
-3
minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. The activation energy of
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kinetika
Desorpsi Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan
Menggunakan Etanol” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen
Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, 30 Januari 2007
Yang membuat pernyataan,
KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN
OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN
MENGGUNAKAN ETANOL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
OKIANA WINARNI
F34102019
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Tatit K. Bunasor, MSc selaku dosen pembimbing akademik I dan Prayoga
Suryadarma, S.TP, MT selaku dosen pembimbing akademik II yang selalu
memberikan arahan, bimbingan dan dukungan.
2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen penguji atas masukannya untuk
penyempurnaan skripsi ini.
3. Bapak Edi Lukas selaku pimpinan PT. Asianagro Agungjaya.
4. Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID), Direktorat Jenderal
Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
5. Teman sebimbingan (Fitri dan Mia) dan tim vitamin (Indri, Kristin, dan Vina),
atas bantuan dan kebersamannya.
6. Sahabatku (Inda, Fery, Iffa, Rheni, Evy, Nurul, Mbak Yeni, Mbak Oryza, dan
Mbak Ritna) atas semangat, dukungan dan kebersamannya.
7. TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya
selama penulis menyelesaikan skripsi dan menjadi mahasiswa TIN yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.
Bogor, Januari 2007
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
A. MINYAK KELAPA SAWIT ... 5
B. KAROTENOID ... 7
C. BETA KAROTEN ... 9
D. ADSORPSI-DESORPSI ... 10
E. PELARUT ... 10
F. ETANOL ... 12
G. ADSORBEN ... 13
H. KINETIKA DESORPSI ... 16
III. METODOLOGI ... 19
A. BAHAN DAN ALAT ... 19
B. METODE PENELITIAN ... 19
1. Tahapan Penelitian ... 19
2. Prosedur Percobaan ... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT ... 23
B. KONDISI KESETIMBANGAN ... 24
C. KINETIKA DESORPSI ... 32
KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN
OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT
DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL
Oleh
OKIANA WINARNI
F34102019
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.
(QS. Al Mujadilah (58) : 11)
KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN
OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT
DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL
Ringkasan
Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10 tahun dan 20 tahun mendatang volume perdagangan komoditas ini masih akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini adalah minyak sawit.
Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94 persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen minor lainnya. Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng, beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar tersebut dihilangkan bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten yang merupakan provitamin A sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit. Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben. Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses.
Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup, tidak mudah terbakar, dan dapat melarutkan karoten. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan
determinasi (r2). Penentuan energi aktivasi mengikuti persamaan Arrhenius. Percobaan desorpsi isotermal dilakukan pada tiga suhu yaitu 40○C, 50○C, dan 60○Cdengan heksan sebagai pembanding.
Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol dicapai pada konsentrasi beta karoten 0,77 µg/mL
pada lama desorpsi 70 menit, pada suhu desorpsi 40○C, 0,61 µg/mL pada lama
desorpsi 40 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,33 µg/mL pada lama desorpsi
16 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan
menggunakan heksan kondisi kesetimbangan dicapai pada konsentrasi beta
karoten 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 21,5 menit, pada suhu desorpsi 40○C,
0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,23
µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Kondisi
kesetimbangan dipengaruhi oleh jenis pelarut dan suhu desorpsi. Semakin rendah suhu desorpsi, semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh etanol dan semakin lama kondisi kesetimbangan dicapai. Kondisi kesetimbangan pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih lama dicapai daripada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan. Konsentrasi beta karoten di dalam etanol lebih tinggi daripada konsentrasi beta karoten di dalam heksan setelah kondisi kesetimbangan dicapai.
Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) isotermal beta karoten olein sawit kasar
dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C sebesar 1,0 x 10-3
menit-1, 1,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C, dan 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan nilai konstanta laju desorpsi (kdes) 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 40○C, 2,6 x 10-3 menit-1 pada suhu
50○C, dan 2,3 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes)
pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih rendah daripada nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan menggunakan heksan. Energi aktivasi (Ea)
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan
menggunakan etanol sebesar 81,86 x 10-1 kkal/mol dan dengan menggunakan
heksan 4,91 x 10-1 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasinya yang lebih
ISOTHERM DESORPTION KINETICS OF CRUDE PALM OIL
BETA CAROTENE FROM ATTAPULGITE
BY USING ETHANOL
Summary
In the year 2010, palm oil is estimated to become the major vegetable oil in the world. The world trade volume of fat and oil in the recent year is increasing and in the next 10-20 year it will still be increasing. In 2000, the trade volume of oil and fat reached 36 millions ton for vegetable oil and 14 millions ton for fat. About 39 percent (19.5 tonnes) of traded oil was palm oil.
The largest component of palm oil is triglyserid (94 percents). It also contains fatty acid (3-5 percents), carotenoid, tocopherol, tocotrienol, sterol, alcohol triterpen, phospolipid, glikolipid, and other various minor components in small amount. In the process of changing crude palm oil into cooking oil, the beta carotene in the palm oil is eliminated simultaneously with the process of cooking oil purification so that the colour of cooking oil is cleaner. Beta carotene is eliminated because consumers prefer clear colour. Actually, beta carotene that a provitamin A is important for health. Beta carotene that is wasted during the purification process of cooking oil could be isolated before the crude palm oil is purified. This could be an added value for the palm oil industry. The adsorption-desorption process of isolation crude palm olein beta carotene is a good process because the crude palm oil that will be processed to become cooking oil is not damaged. This research use attapulgite as adsorbent. Desorption kinetics is an important study to determine process the design.
Ethanol was used in this research because ethanol is safe for the industry. Besides, ethanol is not dangerous compare to hexane, this eluent is often used in palm oil extraction. The other characteristics of ethanol are not harmful if inhaled, not flammable, and can eluate carotene. The objective of this research is to determine equilibrium condition (beta carotene concentration in ethanol and desorption time) of isotherm desorption of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. This research is also aiming to determine kinetics parameter of isotherm desorption, desorption rate constant (kdes) and activation
energy (Ea) of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. The equilibrium conditions were obtained from the relation between the desorption time and the beta carotene concentration in ethanol so that desorption time will not increase the beta carotene concentration in the ethanol. Isotherm desorption kinetics of beta karoten from attapulgite by using ethanol was determined from the increase of beta carotene concentration in ethanol during the desorption process using the Chu and Hashim model (2001). The conformity
between data and model was determined from coefficient determination (r2).
Determination of activation energy followed Arrhenius equation. Isotherm desorption experiment conducted at three temperature, that were 40○C, 50○C, and 60○C with hexane as comparator.
Equilibrium conditions of isotherm desorption beta carotene from attapulgite by using ethanol were achieved at beta carotene concentration of 0.77
µg/mL in 70 minutes and at desorption temperature of 40○C, 0.61 µg/mL in 40
the desorption temperature of 60○C. Moreover, equilibrium conditions of desorption experiment by using hexane were achieved at beta carotene concentration 0.61 µg/mL in 21.5 minutes, at the desorption temperature of 40○C,
0.40 µg/mL in 12.5 minutes at the desorption temperature of 50○C, and 0.23
µg/mL in 10.5 minutes at the desorption temperature of 60○C. Equilibrium
conditions were influenced by temperature desorption and eluent. It was studied that the lower the desorption temperature, the higher the beta carotene concentration desorpted by ethanol, and the longer the time needed to reach equilibrium conditions. Reaching the equilibrium of isotherm desorption using ethanol was longer than reaching the equilibrium of isotherm desorption using hexane. Beta carotene concentration in ethanol is higher than beta carotene concentration in hexane at the equilibrium conditions.
Desorption rate constant (kdes) of isotherm desorption of crude palm olein
beta carotene from attapulgite by using ethanol at desorption temperature 40○C was 1.0 x 10-3 minutes-1, 1,6 x 10-3 minutes-1 at desorption temperature of 50○C, and 2.2 x 10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. Desorption rate
constant (kdes) of isotherm desorption crude palm olein beta carotene from
attapulgite by using hexane at the desorption temperature of 40○C, 2.2 x 10-3 minutes-1, 2.6 x10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 50○C, and 2.3 x 10
-3
minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. The activation energy of
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kinetika
Desorpsi Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan
Menggunakan Etanol” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen
Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, 30 Januari 2007
Yang membuat pernyataan,
KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN
OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN
MENGGUNAKAN ETANOL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
OKIANA WINARNI
F34102019
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Tatit K. Bunasor, MSc selaku dosen pembimbing akademik I dan Prayoga
Suryadarma, S.TP, MT selaku dosen pembimbing akademik II yang selalu
memberikan arahan, bimbingan dan dukungan.
2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen penguji atas masukannya untuk
penyempurnaan skripsi ini.
3. Bapak Edi Lukas selaku pimpinan PT. Asianagro Agungjaya.
4. Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID), Direktorat Jenderal
Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
5. Teman sebimbingan (Fitri dan Mia) dan tim vitamin (Indri, Kristin, dan Vina),
atas bantuan dan kebersamannya.
6. Sahabatku (Inda, Fery, Iffa, Rheni, Evy, Nurul, Mbak Yeni, Mbak Oryza, dan
Mbak Ritna) atas semangat, dukungan dan kebersamannya.
7. TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya
selama penulis menyelesaikan skripsi dan menjadi mahasiswa TIN yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.
Bogor, Januari 2007
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
A. MINYAK KELAPA SAWIT ... 5
B. KAROTENOID ... 7
C. BETA KAROTEN ... 9
D. ADSORPSI-DESORPSI ... 10
E. PELARUT ... 10
F. ETANOL ... 12
G. ADSORBEN ... 13
H. KINETIKA DESORPSI ... 16
III. METODOLOGI ... 19
A. BAHAN DAN ALAT ... 19
B. METODE PENELITIAN ... 19
1. Tahapan Penelitian ... 19
2. Prosedur Percobaan ... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT ... 23
B. KONDISI KESETIMBANGAN ... 24
C. KINETIKA DESORPSI ... 32
iii
2. Energi Aktivasi ... 37
D. SELEKTIVITAS DESORPSI ... 40
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 42
A. KESIMPULAN ... 42
B. SARAN ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perkembangan produksi kelapa sawit dunia tahun 1980-2000 (Basiron, 2002) ... 1
Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit (IUPAC, 2001) ... 5
Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit
(PORIM, 1989)di dalam Muchtadi, 1992) ... 6
Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit (Zeb dan Mehmood, 2004) ... 7
Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut (Adnan, 1997) ... 11
Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit (www.cnhymc.com, 2003) ... 15
Tabel 7. Karakteristik atapulgit (Lansbarkis, 2000) ... 16
Tabel 8. Kondisi percobaan penentuan parameter kinetika desorpsi ... 22
Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit... 23
Tabel 10. Konsentrasi beta karoten di dalam eluen dan lama tercapainya kesetimbangan ... 26
Tabel 11. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes), fraksi terdesorpsi (θ), dan
koefisien determinasi (r2) desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan ... 35
Tabel 12. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan heksan ... 39
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002) ... 9
Gambar 2. Struktur molekul etanol (www.wikipedia.org, 2006) ... 12
Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989) ... 16
Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian ... 20
Gambar 5. Diagram alir percobaan desorpsi ... 22
Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ... 24
Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ... 25
Gambar 8. Ikatan van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit (Sirait, 2007) ... 31
Gambar 9. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol (Keenan et al., 1984) ... 31
Gambar 10. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ... 33
Gambar 11. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ... 34
Gambar 12. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada
desorpsi dengan menggunakan etanol ... 38
Gambar 13. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur penelitian ... 48
Lampiran 2. Data hasil perhitungan persamaan Chu dan Hashim (2001) .... 52
Lampiran 3. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi dengan
menggunakan program Mathematica 5.2 for Students ... 57
Lampiran 4. Penentuan energi aktivasi (Ea) ... 59
Lampiran 5. Atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten ... 60
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 26
Oktober 1984. Penulis adalah anak kedua dari dua
bersaudara dari pasangan Supanto (Alm) dan Sri Rahayu.
Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikan
sekolah dasar di SDN Karanggeneng II. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SLTPN 1
Karanggeneng pada tahun 1999. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di
SMUN 2 Lamongan dan lulus pada tahun 2002.
Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut
Pertanian Bogor tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB)
di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama kuliah di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah
Analisis Bahan dan Produk Agroindustri (ABPA) periode 2006/2007.
Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2005 dengan topik
“Mempelajari Sistem Pengawasan Mutu Full Cream Milk Powder (FCMP) di PT.
Sari Husada, Yogyakarta”. Untuk menyelesaikan tugas akhir ini, penulis
melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul ”Kinetika Desorpsi
Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10 tahun dan 20 tahun mendatang, volume perdagangan komoditas ini masih akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini adalah minyak sawit (Oil World, 2000 di dalam Suryadarma et al., 2006). Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat pesat. Indonesia merupakan penghasil kelapa sawit terbesar kedua setelah Malaysia dan diprediksi menjadi penghasil minyak sawit utama dunia pada tahun 2010. Perkembangan produksi minyak sawit dunia disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan produksi kelapa sawit dunia tahun 1980-2000
Negara
Tahun (juta ton) Rata-rata laju pertumbuhan
per tahun (%) (1990-2000) 1980 1990 1997 1998 1999 2000
Pantai Malaysia 2.576 6.095 9.069 8.320 10.554 10.840 5,9 Thailand 13 232 390 355 400 560 9,2 Papua
Nugini 35 154 575 215 270 296 7,4 Negara
2 Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94 persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen minor lainnya.Olein sawit kasar (crude palm olein) adalah minyak fraksi cair berwarna kuning kemerahan yang diperoleh dengan cara fraksinasi minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan belum mengalami proses pemurnian (SNI, 1998). Olein sawit kasar mengandung 680-760 µg/g karoten, lebih besar dibandingkan dengan kandungan karoten dalam minyak sawit kasar, yaitu 630-700 µg/mL (Zeb dan Mehmood, 2004).
Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng, beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar dihilangkan bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten merupakan bahan yang terkandung di dalam minyak sawit yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit. Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben. Penelitian yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa karotenoid memiliki aktivitas anti kanker.
sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup dan tidak mudah terbakar. Selain itu, etanol merupakan jenis eluen yang dapat melarutkan karoten (Goodwin, 1976). Karoten juga larut dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena, kloroform, aseton, metanol, eter, dan petroleum eter. Pada penelitian ini, heksan digunakan sebagai pembanding. Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses.
Minyak kelapa sawit memiliki kandungan karotenoid terbesar bila dibandingkan dengan jenis minyak nabati yang lain. Beberapa jenis metode perolehan kembali karotenoid berbasis minyak kelapa sawit telah dikembangkan, antara lain saponifikasi, adsorbsi, ekstraksi pelarut efektif, dan transesterifikasi, meliputi fase separasi dan distilasi ester. Transesterifikasi hanya dapat digunakan dalam proses komersil (Baharin et al., 1998).
Pemisahan karoten sawit dari Crude Palm Oil (CPO) dengan sistem kromatografi adsorpsi dilakukan dengan menggunakan adsorben polimer sintetik. Perolehan kembali karoten bervariasi dari 40-65 persen tergantung pada kondisi kromatografi (Baharin et al., 1998). Pemisahan karoten dengan adsorben sintetik diikuti ekstraksi pelarut dipengaruhi jenis adsorben, kombinasi adsorben, rasio pelarut dan Crude Palm Oil (CPO) (Latip et al.,
2000). Perolehan kembali karoten 16 sampai 74 persen tergantung pada kondisi proses, antara lain waktu adsorpsi, waktu ekstraksi isopropanol, suhu proses adsorpsi dan ekstraksi pelarut, serta umur pakai adsorben (Latip et al.,
2001). Desorpsi dipengaruhi oleh pH eluen (Chu dan Hashim, 2001). Faktor lain yang mempengaruhi desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004), dan waktu kontak antara adsorben dan eluen (Wankasi et al., 2005). Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) meningkat dengan
meningkatnya suhu desorpsi dan laju pengadukan. Pada penelitian ini, parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi
aktivasi (Ea) menunjukkan kinerja etanol dalam mendesorpsi beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit sebagai adsorben.
4 selama ini dihilangkan dalam proses pemurnian minyak sawit kasar. Desorpsi beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol tersebut akan meningkatkan nilai tambah minyak sawit yang akan menguntungkan bagi industri minyak sawit.
B. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan parameter kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea) sebagai dasar untuk desain proses. Heksan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK KELAPA SAWIT
Minyak sawit kasar (Crude Palm Oil) atau CPO adalah minyak yang
diperoleh dari ekstraksi bagian mesokarp buah kelapa sawit (Elaeis guinensis
JACQ) yang tidak mengalami pengolahan lebih lanjut (Muchtadi, 1992).
Minyak sawit mengandung komponen trigliserida, mono dan digliserida.
Trigliserida dapat berwujud padat atau cair. Hal ini bergantung dari komposisi
asam lemak yang menyusunnya. Minyak nabati yang berbentuk cair karena
mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, linoleat atau
asam linolenat dengan titik cair rendah. Sedangkan minyak yang berbentuk
padat pada suhu kamar dikarenakan banyak mengandung asam lemak jenuh,
misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair lebih tinggi
(Ketaren, 1986). Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit
Asam Lemak Atom C- Komposisi (%)
Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai
komposisi yang tetap. Kandungan karoten dalam minyak sawit dapat
mencapai 1000 µg/mL atau lebih, sedangkan kandungan tokoferol bervariasi
dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi (Ketaren, 1986).
Beberapa karakteristik komponen lemak dan asam lemak dalam
minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Minyak kelapa sawit terdiri dari
6
Stearin sawit mempunyai titik cair yang tertinggi, berat jenis dan indeks
refraksi tidak banyak berbeda, bilangan iod yang tertinggi ditemukan pada
olein dan bilangan penyabunan tertinggi pada minyak inti sawit. Asam lemak
dengan C6 dan C8 hanya ada pada minyak inti sawit (PORIM, 1989 di dalam
Muchtadi, 1992).
Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit
Sifat
Jenis
Minyak sawit (CPO)
Olein Stearin Minyak inti
sawit
Bahan tak tersabunkan (%) Asam lemak (%) :
Sumber: PORIM (1989) di dalam Muchtadi (1992)
Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan bahan pangan, industri
kosmetik, industri kimia dan industri pakan ternak. Kebutuhan minyak sawit
sebesar 90 persen digunakan untuk bahan pangan seperti minyak goreng,
margarin, shortening, pengganti lemak kokoa dan untuk kebutuhan industri
roti, cokelat, es krim, biskuit dan makanan ringan. Kebutuhan 10 persen dari
minyak sawit lainnya digunakan untuk industri oleokimia yang menghasilkan
asam lemak, fatty alcohol, gliserin dan metil ester. Oleokimia digunakan pada
kosmetik dan produk perawatan pribadi, oli dan pelumas, minyak pengering,
polimer dan pelapis permukaan (coating) dan biofuel (Gelder, 2004).
B. KAROTENOID
Karotenoid termasuk golongan hidrokarbon, tersebar luas di alam dan
merupakan pigmen penting dalam kehidupan organisme. Karotenoid
terkandung di dalam wortel, labu, kentang manis, tomat, buah-buahan yang
berwarna hijau gelap, kuning, oranye, dan merah, sayuran dan beberapa
minyak sayur, dimana minyak sawit dan produk-produk minyak sawit
diketahui mengandung konsentrasi karotenoid paling tinggi (Zeb dan
Mehmood, 2004). Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit
Fraksi minyak sawit Kandungan karoten (µg/mL)
Minyak sawit kasar (CPO) 630-700
Olein sawit kasar 680-760
Stearin sawit kasar 380-540
Residual oil from fibre 4.000-6.000
Pengepresan kedua minyak sawit 1.800-2.400
Minyak sawit merah 500-700
Sumber: Zeb dan Mehmood (2004)
Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber karotenoid nabati alami
yang terkaya di dunia dalam bentuk ekuivalen retinol (provitamin A). Crude
Palm Oil (CPO) mengandung 15 sampai 300 kali ekuivalen retinol lebih besar
daripada wortel, sayuran berdaun hijau, dan tomat (Latip et al., 2000). Saat ini
dikenal sekitar 600 jenis karotenoid di luar isomer cis-trans. Dari jumlah ini
kurang dari 10 persen merupakan hidrokarbon (Goodwin, 1976).
Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut
dengan baik dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena,
8
dalam air. Sifat ini penting terutama dalam pemisahan karotenoid dari bahan
lain (ekstraksi) (Goodwin, 1976).
Faktor utama yang mempengaruhi karoten selama pengolahan pangan
dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara dan perubahan struktur
oleh panas. Pemanasan sampai dengan suhu 60○C tidak mengakibatkan
dekomposisi karoten tetapi dapat terjadi perubahan stereoisomer. Selama
pengolahan pangan, bentuk trans pada karotenoida yang terdapat dalam bahan
pangan tersebut dapat mengalami isomerisasi menjadi bentuk cis karoten yang
menyebabkan turunnya aktifitas provitamin A, karena aktifitasnya dari cis
karotenoida lebih rendah dari bentuk trans karotenoida. Aktivitas karoten akan
menurun secara drastis pada suhu sekitar 180-210○C (Klaui dan Bauernfeind,
1981 di dalam Saputra, 1996). Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid
peka terhadap oksidasi. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya
sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi
terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda
(Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997).
Karotenoid lebih tahan tersimpan dalam lingkungan asam lemak tidak
jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh. Hal
ini disebabkan asam lemak lebih mudah menerima radikal bebas apabila
dibandingkan dengan karotenoid, sehingga oksidasi yang pertama kali akan
terjadi pada asam lemak dan akibatnya karotenoid terlindung dari oksidasi.
Pada suasana asam karotenoid mengalami isomerisasi dan akan membentuk
poli cis-isomer (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997).
Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut
dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam makanan vitamin A biasanya terdapat
dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di
dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif,
yaitu retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk
asam) (Almatsier, 2002).
Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan
terhadap asam dan oksidasi. Suhu tinggi dapat merusak vitamin A, begitu juga
prekursor (provitamin) vitamin A. Di antara ratusan karotenoid yang terdapat
di alam, hanya alfa, beta, dan gamma serta kriptosantin yang berperan sebagai
provitamin A. Beta karoten adalah bentuk provitamin A paling aktif, yang
terdiri atas dua molekul retinol yang saling berkaitan (Almatsier, 2002).
Identifikasi pigmen karotenoid, baik jenis maupun kemurniannya,
dapat dilakukan dengan menggunakan teknik kromatografi lapis tipis (TLC),
HPLC atau cara spektrofotometri. Penentuan menggunakan HPLC didasarkan
pada bentuk spektrumnya dalam suatu pelarut. Bentuk spektrum yang sama
menyatakan zat yang sama (Goodwin, 1976).
C. BETA KAROTEN
Jenis karotenoid yang paling penting adalah alfa karoten, beta karoten,
beta kriptoxantin, lutein, violaxantin, neoxantin, dan likopen. Beta karoten,
alfa karoten, beta kriptoxantin adalah jenis karoten yang dikonversi menjadi
vitamin A atau retinol di dalam tubuh (Zeb dan Mehmood, 2004). Struktur
kimia beta karoten dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002)
Βeta karoten dan tokoferol dikenal sebagai senyawa antioksidan yang ampuh mencegah penyakit. Di dalam tubuh, kedua senyawa itu mampu
menetralisir zat-zat radikal bebas pemicu beragam penyakit, termasuk kanker
dan tumor. Senyawa tersebut menangkal dan memutus rantai radikal bebas
yang menyebabkan sel mengalami mutasi genetis hingga berkembang secara
liar tanpa terkendali. Imbasnya, massa sel alias tumor gagal terbentuk
(www.apotik2000.net, 2006).
Βeta karoten juga diketahui berfungsi memperlambat berlangsungnya
10
ke otak, bisa berlangsung lancar, tanpa sumbatan. Senyawa ini juga mampu
meningkatkan kekebalan tubuh karena interaksi vitamin A dengan protein
(asam amino) yang berperan dalam pembentukan antibodi.
Dalam sistem metabolisme, setiap molekul beta karoten akan
menghasilkan dua molekul vitamin A. Dengan tersedianya vitamin A dalam
jumlah cukup, penyerapan protein yang mendukung sistem kekebalan tubuh
dapat ditingkatkan (www.apotik2000.net, 2006).
Suatu studi membuktikan, konsumsi beta karoten 30-60 mg per hari
selama dua bulan akan meningkatkan jumlah sel-sel pembunuh alami dalam
tubuh. Senyawa ini juga merangsang sel-sel T helpers dan limposit lebih aktif.
Bertambahnya sel-sel pembunuh alami sangat penting untuk melawan sel-sel
kanker dan mengendalikan radikal bebas yang mengganggu kesehatan
(www.apotik2000.net, 2006).
D. ADSORPSI-DESORPSI
Adsorpsi adalah suatu istilah teknik yang digunakan untuk
menandakan suatu peristiwa pengambilan (Latin, sorbere, menghisap naik)
dari gas, uap air, atau cairan (bahan terserap) oleh suatu permukaan atau
penghubung antar muka (adsorben). Sedangkan desorpsi merupakan peristiwa
pengambilan kembali bahan yang diserap oleh adsorben (Kirk dan Othmer,
1963). Bahan yang telah teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan,
penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi,
pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan
cara ekstraksi menggunakan pelarut (desorpsi) (Bernasconi et al., 1995).
Terlepasnya solut dari adsorben oleh pelarut, disebabkan oleh tendensi
kelarutannya. Fenomenanya disebut elusi (non protonic solvent). Selain itu
terjadi juga fenomena displacement (penggeseran tempat), karena adanya
kompetisi antara solut dan eluen terhadap adsorben (protonic solvent, seperti
alkohol) (Adnan, 1997).
E. PELARUT
Pelarut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu kelompok polar dan
dielektrik, dimana golongan non polar tidak mempunyai potensial dielektrik
pada molekulnya, sedangkan pada golongan polar memiliki potensial
dielektrik pada molekulnya (Mellan, 1950 di dalam Novinda, 1995). Air, yang
termasuk zat pelarut, konfigurasi elektronnya dan geometri molekulnya dapat
menghasilkan dipol permanen yang sangat kuat. Senyawa-senyawa organik
yang mempunyai atom oksigen (oxygenated) seperti alkohol, keton, ester, dan
eter mempunyai dipol yang lebih lemah daripada air, oleh karenanya
polaritasnya juga lebih kecil. Namun demikian, benzen yang mempunyai
struktur simetris dan tidak mempunyai dipol, mempunyai awan elektron yang
dapat terpolarisasi apabila ada senyawa polar yang mendekatinya. Oleh karena
itu, senyawa hidrokarbon siklis, seperti benzen mempunyai polaritas yang
lebih besar daripada senyawa hidrokarbon alifatis yang serupa (Adnan, 1997).
Pelarut dengan tetapan dielektrik tinggi, ion-ionnya mampu mengurai secara
sempurna, contohnya adalah air. Sedangkan pelarut yang memiliki tetapan
dielektrik rendah, ion-ionnya tidak mampu mengurai secara sempurna, tetapi
pasangan ion terjadi (Day Jr. dan Underwood, 2002). Besarnya polaritas dari
zat pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya seperti yang
digambarkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut
Konstanta dielektrik Nama zat pelarut 1,890
12
Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan karbonil
(keton) termasuk dalam pelarut non polar. Pelarut yang bersifat non polar,
misalnya hidrokarbon hanya dapat melarutkan senyawa yang bersifat non
polar. Sedangkan senyawa polar hanya dapat larut dalam pelarut polar
misalnya air. Pada suhu di atas titik cair, lemak dan asam lemak bersifat larut
dalam pelarut organik. Kelarutan lemak dan turunannya pada pelarut organik
akan menurun dengan penurunan suhu (Swern, 1982). Secara umum,
kelarutan lemak dan turunannya dalam pelarut organik dipengaruhi oleh
jumlah ikatan rangkap dan panjang rantai karbon. Semakin banyak jumlah
ikatan rangkap, maka kelarutan semakin tinggi. Sebaliknya, makin panjang
rantai, maka semakin rendah kelarutan lemak dan turunannya.
Zat pelarut mempunyai peranan yang penting dalam elusi, yang dapat
menentukan baik-buruknya pemisahan. Zat pelarut yang mampu menjalankan
elusi terlalu cepat tidak akan mampu mengadakan pemisahan yang sempurna.
Sebaliknya elusi yang terlalu lambat akan menyebabkan waktu retensi yang
terlalu lama (Adnan, 1997).
F. ETANOL
Etanol atau etil alkohol ialah bahan kimia yang ditemui di dalam
minuman beralkohol atau arak. Selain terdapat di dalam arak, etanol juga
digunakan sebagai bahan api menggantikan gasolin (ms.wikipedia.org, 2006).
H H | |
H - C - C - O - H | |
H H
Gambar 2. Struktur molekul etanol (ms.wikipedia.org, 2006)
Etanol murni ialah cairan jernih yang mudah terbakar pada titik didih
pada 78,5○C dan titik beku pada -114,5○C. Etanol digunakan sebagai bahan
anti-beku dan mempunyai bau vodka. Etanol dapat digunakan sebagai
organisme dengan cara mengubah protein dan melarutkan lipid, menghalangi
pertumbuhan bakteri, fungi, dan beberapa virus. Namun, etanol tidak efektif
terhadap spora bakteri. Karena sifat ini, etanol dapat disimpan dalam jangka
waktu yang sangat lama (sebagai minuman alkohol) (ms.wikipedia.org, 2006).
Etanol memiliki sifat-sifat unik, antara lain dapat digunakan sebagai
pelarut, pembasmi kuman penyakit, minuman, agen anti beku, cairan mudah
terbakar, depressant, dan memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks
dengan bahan kimia organik lainnya. Etanol dalam kondisi normal bersifat
volatil, mudah terbakar, dan merupakan cairan tidak berwarna (Kirk dan
Othmer, 1965).
G. ADSORBEN
Adsorben (untuk adsorpsi fisik) adalah bahan padat dengan luas
permukaan dalam yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk
karena banyaknya pori yang halus pada padatan tersebut. Biasanya luasnya
berada dalam ukuran 200 – 1000 m2/g adsorben. Diameter pori sebesar 0,0003 – 0,02 µm (Bernasconi et al., 1995).
Selain luas spesifik dan diameter pori, kerapatan unggun, distribusi
ukuran partikel maupun kekerasannya merupakan data karakteristik yang
penting dari suatu adsorben. Tergantung pada tujuan penggunaannya,
adsorben dapat berupa granular (dengan ukuran butir sebesar beberapa mm)
atau serbuk (khusus untuk adsorpsi campuran cair). Regenerasi dilakukan
untuk memperbaiki kembali daya adsorpsi dari adsorben yang telah dipakai
maupun untuk memperoleh kembali bahan yang telah teradsorpsi. Dalam hal
ini bahan yang teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan
tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi, pendesakan
dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi
menggunakan pelarut (Bernasconi et al., 1995).
Adsorben dapat bersifat polar atau non polar. Silika gel dan alumina
adalah contoh adsorben yang bersifat polar. Kedua adsorben tersebut akan
mengadsorpsi solut yang bersifat lebih polar daripada solut yang bersifat non
14
solut berlaku juga dalam fenomena kelarutan. Dalam hal ini zat pelarut yang
bersifat polar mempunyai tendensi lebih mudah melarutkan solut yang bersifat
polar juga, dan demikian sebaliknya. Dengan adanya sifat atau gejala seperti
itu timbulah slogan : like dissolves like (Adnan, 1997).
Urutan adsorben dari yang mempunyai kemampuan adsorpsi besar ke
yang kecil adalah sebagai berikut.
1. Alumina
Aktivitas permukaan dari setiap adsorben berbeda pada sisi yang satu ke sisi
yang lain dan dari batch yang satu ke batch yang lain. Perlakuan pendahuluan
menurut cara-cara yang ditentukan dapat menghilangkan perbedaan aktivitas
tersebut (Adnan, 1997).
Atapulgit banyak digunakan di bidang kesehatan, obat-obatan, dan
kosmetik. Jenis lempung ini dipercaya dapat menyerap racun dan bakteri.
Atapulgit juga digunakan sebagai bahan baku pasta, salep, dan losion untuk
untuk obat luar. Kegunaan lain dari atapulgit adalah sebagai bahan baku dalam
industri kertas NCR (No Carbon Required), yaitu sebagai bahan pelapis
permukaan pada lembaran kertas dan bahan pestisida (Kirk dan Othmer,
1964).
Atapulgit merupakan bahan yang terdiri dari silika, alumunium,
magnesium dan lain-lain. Komponen silika berfungsi sebagai katalis sehingga
dapat melepas gugus hidroksil dan atom hidrogen yang menyebabkan terjadi
ikatan rangkap baru (Mani dan Shitole, 1997 di dalam Zuna, 2004).
Aluminium dan magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti
1977 di dalam Maulana, 2004). Komponen-komponen yang terkandung dalam
atapulgit disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit
Oksida Persentase (%)
SiO2 55,6-60,5
MgO2 10,7-11,35
Al2O2 9,0-10,1
Fe2O2 5,7-6,7
K2O2 0,96-1,30
MnO2 0,61
CaO2 0,42-1,95
TiO2 0,32-0,63
Na2O2 0,03-0,11
Komponen lain 10,53-11,80
Sumber : www.cnhymc.com (2003)
Atapulgit mempunyai rumus molekul Mg5Si8O20(HO)2(OH2)4.4H2O.
Struktur molekul atapulgit dapat dilihat pada Gambar 3. Struktur atapulgit
terdiri dari rantai silika ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk
tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium
berikatan dengan oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang
merupakan gugus polar (Grim, 1989). Atapulgit memiliki sifat antara lain
memiliki dispersi permukaan yang spesifik, tahan terhadap suhu tinggi, alkali
dan garam, serta daya serap dan decoloring tinggi. Selain itu, atapulgit tidak
mengandung logam berat sehingga aman digunakan dalam industri pangan
16
Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989)
Tabel 7. Karakteristik atapulgit
Nilai koloid (mL/15 g) 55-65
Volume ekspansi (mL/g) 4-6
Luas permukaan spesifik (m2/g) 400-500
Jumlah total pertukaran ion (mg ekuivalen/100 g) 25-50
Kapasitas decoloring (setelah perlakuan) >170
pH 7,5-8,5
Warna Abu-abu
Specific gravity 32-37
Sumber: Lansbarkis (2000)
H. KINETIKA DESORPSI
Desorpsi dipengaruhi oleh pH eluen (Chu dan Hashim, 2001). Dalam
hal ini Chu dan Hashim (2001) mendesorpsi tembaga dari rumpul laut yang
diimobilisasi dengan polivinil alkohol (PVA). Laju desorpsi meningkat
dengan menurunnya pH. Tingginya konsentrasi proton di dalam eluen dapat
terjadi pertukaran ion pada peristiwa tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi
desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004), dan
waktu kontak antara adsorben dan eluen (Wankasi et al., 2005). Nilai
konstanta laju desorpsi (kdes) meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi
dan laju pengadukan.
Model kinetika desorpsi Chu dan Hashim (2001) adalah :
qe = v1/m1 (Co-Ce)
qe = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben (µg/g)
qt = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben pada lama desorpsi tertentu
(µg/g)
v1 = volume olein (mL)
m1 = massa adsorben (g)
Co = konsentrasi beta karoten di dalam olein (µg/mL)
Ce = konsentrasi beta karoten di dalam olein saat adsorben jenuh (µg/mL)
v2 = volume eluen (mL)
m2 = massa adsorben setelah mengadsorpsi beta karoten (g)
Ct = konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada lama desorpsi tertentu
(µg/mL)
θ = fraksi terdesorpsi
Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan untuk
terjadinya tumbukan yang efektif (Nur et al., 2000). Dalam hal ini terjadi
tumbukan antara molekul beta karoten dengan molekul eluen pada proses
desorpsi. Persamaan Arrhenius untuk pengukuran energi aktivasi adalah :
k = Ae-Ea/RT
dimana R adalah konstanta gas, T adalah suhu mutlak, k adalah konstanta
18
proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan juga
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain olein
sawit kasar yang diperoleh dari PT. Asianagro Agungjaya Jakarta, atapulgit
yang diperoleh dari Engelhard Corporation Iselin, New Jersey, etanol dan
heksan pro analys, beta karoten standar (Sigma-Aldrich C9750-56, Type I,
Synthetic, 95% UV, 1,6 juta IU vitamin A/g), dan alfa tokoferol standar
(Sigma-Aldrich T3251-56, Synthetic, 95% HPLC).
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan
gelas (erlenmeyer, tabung reaksi, dan corong); peralatan ukur (pipet mikro,
pipet volumetrik, gelas ukur, termometer, spektrofotometer, High
Performance Liquid Chromatography (HPLC), kolom Zorbax Sil (0,46 x 25
cm), fase gerak isopropanol dalam heksan (0,5:99,5 v/v), laju alir 1 ml/menit
dan nilai absorbansi tokoferol adalah 292 nm, stopwatch dan timbangan); serta
peralatan pendukung (kertas saring, corong buchner, pompa vakum, filter inlet
dan shaker yang dilengkapi dengan waterbath dengan kecepatan 180 rpm dan
tiga kondisi suhu, yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C).
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu tahapan penelitian
dan prosedur percobaan. Tahapan penelitian menjelaskan tentang
langkah-langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan penelitian, sedangkan
prosedur percobaan merupakan urutan kegiatan dan tatacara yang secara
teknis dikerjakan dalam setiap tahapan penelitian.
1. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) Karakterisasi
adsorpsi atapulgit, (2) Penentuan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta
karoten di dalam etanol dan lama desorpsi), dan (3) Penentuan parameter
20
beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol.
Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian
a. Karakterisasi Adsorpsi Atapulgit
Karakterisasi adsorpsi atapulgit yang dilakukan meliputi bentuk,
ukuran, warna visual atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta
karoten dan kapasitas adsorpsi atapulgit. Penentuan kapasitas adsorpsi
(qe) atapulgit dilakukan untuk menentukan jumlah beta karoten yang
dapat diadsorpsi oleh atapulgit secara optimal yang dinyatakan dalam
µg/mL (1 IU = 0,6 µg beta karoten). Kondisi yang digunakan adalah
kondisi adsorpsi optimum beta karoten yaitu dengan kecepatan
pengadukan 120 rpm pada suhu 60○C selama ± 3 jam. Atapulgit yang
telah mengadsorpsi beta karoten pada kondisi optimum ini digunakan Mulai
Karakterisasi adsorpsi atapulgit
Penentuan parameter kinetika desorpsi isotermal, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea)
Selesai
Penentuan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi)
sebagai bahan untuk percobaan desorpsi. Penentuan kapasitas adsorpsi
atapulgit dapat dilihat pada Lampiran 1.
b. Penentuan Kondisi Kesetimbangan
Kondisi kesetimbangan diperoleh berdasarkan hubungan antara
lama desorpsi (menit) dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol
(µg/mL) sehingga lama desorpsi tidak lagi meningkatkan konsentrasi
beta karoten di dalam etanol. Penentuan kondisi kesetimbangan
dilakukan pada tiga suhu desorpsi, yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C dengan
heksan sebagai eluen pembanding.
c. Penentuan Parameter Kinetika Desorpsi
Penentuan parameter kinetika dilakukan pada tiga suhu yang
berbeda seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Model kinetika
desorpsi diidentifikasi berdasarkan jenis perubahan nilai parameter
kinetika, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) yang diperoleh dari
persamaan Chu dan Hashim (2001). Nilai konstanta laju desorpsi (kdes)
diperoleh dari perpotongan garis linier dengan sumbu x yang merupakan
kemiringan dari hasil regresi linier dari persamaan Wankasi et al.,
(2005). Nilai θ diperoleh menggunakan alat bantu program Mathematica
5.2 for Students. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi (θ) dapat
dilihat pada Lampiran 3.
2. Prosedur Percobaan
Atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten sebanyak 7 g dan
350 mL etanol (1:50) disiapkan di dalam erlenmeyer berukuran 500 mL.
Perbandingan atapulgit:etanol (1:50) mengacu pada penelitian Chu dan
Hashim (2001) yang mendesorpsi vitamin E dari Palm Fatty Acid
Distillate (PFAD) dengan menggunakan silika. Selanjutnya, campuran
tersebut dimasukkan ke dalam waterbath dengan kecepatan shaker 180
rpm. Percobaan tersebut dilakukan dalam tiga suhu yang berbeda yaitu
40○C, 50○C, dan 60○C. Reaksi dihentikan pada masing-masing waktu yang
22
yang telah diambil disaring untuk memisahkan antara atapulgit dengan
etanol, yang selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang
446 nm. Data hasil perhitungan percobaan desorpsi dapat dilihat pada
Lampiran 2. Diagram alir percobaan desorpsi dapat dilihat pada Gambar 5.
Kondisi percobaan untuk penentuan parameter kinetika desorpsi disajikan
pada Tabel 8.
Gambar 5. Diagram alir percobaan desorpsi
Tabel 8. Kondisi percobaan penentuan parameter kinetika desorpsi
Perlakuan Konstanta laju desorpsi (menit-1)
Pencampuran 7 gram atapulgit dengan 350 mL etanol, kecepatan shaker 180 rpm
(40○C, 50○C, dan 60○C)
Selesai
Pengambilan sampel pada lama desorpsi tertentu (2-300 menit)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT
Karakterisasi terhadap atapulgit dilakukan untuk mengetahui sifat
fisikokimianya. Hasil karakterisasi adsorpsi atapulgit disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit
Karakteristik
Warna visual Abu-abu Coklat gelap
qe (µg beta karoten/g atapulgit) 0 482,12
Atapulgit yang digunakan dalam percobaan desorpsi adalah hasil dari
percobaan adsorpsi yang diperoleh dari ampas hasil saringan campuran
atapulgit dengan olein (1:3). Campuran antara atapulgit dengan olein tersebut
disaring dengan kertas saring dengan menggunakan pompa vakum. Bentuk
atapulgit sebelum mengadsorpsi beta karoten adalah serbuk menjadi berbentuk
gumpalan setelah mengadsorpsi beta karoten. Ukuran atapulgit sebelum dan
sesudah mengasorpsi beta karoten diasumsikan sama, yaitu 150 mesh.
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa atapulgit yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki warna coklat gelap yang sebelumnya berwarna
abu. Warna gelap menunjukkan bahwa atapulgit yang semula berwarna
abu-abu telah mengadsorpsi beta karoten dari olein sawit kasar. Perbedaan warna
atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten dapat dilihat pada
Lampiran 5.
Sementara itu, berdasarkan data karakterisasi adsorpsi atapulgit pada
Tabel 9 dapat diketahui bahwa nilai qe atapulgit yang telah mengadsorpsi beta
24
adsorpsi atapulgit terhadap beta karoten. Nilai qe sebesar 482,12 µg/g
selanjutnya digunakan sebagai nilai kapasitas pada titik nol waktu reaksi untuk
percobaan penentuan kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit
kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol.
B. KONDISI KESETIMBANGAN
Kondisi kesetimbangan diperoleh dari hubungan antara lama desorpsi
dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Hubungan antara lama
desorpsi (menit) dengan konsentrasi beta karoten di dalam eluen (µg/mL)
selama proses desorpsi ditunjukkan Gambar 6 dan 7. Seiring dengan lamanya
desorpsi, maka semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh
etanol karena semakin lamanya waktu kontak antara atapulgit dengan etanol.
Hal tersebut terjadi sampai lama desorpsi tidak lagi menyebabkan peningkatan
konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kondisi tersebut disebut sebagai
kondisi kesetimbangan. Menurut Keenan et al. (1984), suatu keadaan
kesetimbangan kimia terjadi dalam suatu sistem reversibel bila reaksi maju
dan balik berlangsung pada laju yang sama.
0.0
0.0
Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ( , suhu 40○C; , suhu 50○C; , suhu 60○C)
Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui kondisi kesetimbangan pada
masing-masing suhu desorpsi, yaitu kondisi dimana laju pereaksi menjadi
hasil reaksi sama dengan laju kebalikannya. Kondisi kesetimbangan yang
diperoleh berbeda pada masing-masing suhu desorpsi. Semakin tinggi suhu
desorpsi, konsentrasi beta karoten di dalam etanol semakin menurun dan lama
untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin lama. Hal tersebut juga
terjadi pada desorpsi dengan menggunakan heksan yang dapat dilihat pada
Gambar 7.
Dengan demikian, berdasarkan Gambar 6 dan 7 dapat diketahui bahwa
suhu dan jenis eluen mempengaruhi kondisi kesetimbangan. Pengaruh suhu