• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejumlah buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain: Sejarah Agama (1990), Ilmu Kalam (1990), Al-Qur‟an Hadis (Dirasah Islamiyah Islam) (1992), Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf , (Dirasah Islamiya), Metodologi Studi Islam (1997), Akhlak Tasawuf (1996), Filsafat Pendidikan Islam (1995), Pola Hubungan Guru-Murid (2001), Peta Keragamanan Pemikiran Islam di Indonesia (2001), Paradigma Pendidikan Islam (2001), Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (2001),

Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (2002). Manajemen Pendidikan (2003),

Pemikiran Pendidikan Islam Arab Pertengahan (terj.) Islamic Education Thaugh In Midle Ages (2003), Dimensi Pendidikan Spiritual dalam Tradisi Islam (2003), dan sejumlah entri untuk ensiklopedi Islam (1989), Entry Ensiklopedi Islam Indonesia (1993), Entri ensiklopedi Islam (5 jilid) (1996), Entry Ensiklopedi Al-Qur‟an (1997), Pedoman Penulisan Skripsi, Thesis, dan Disertasi (2001), Membangun Pusat Keunggulan Study Islam

(2002), Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (2005), Pembaharuan Tokoh Pendidikan Di Indonesia (2005), dan Buku-buku Agama Islam untuk Sekolah Menengah Lanjutan Atas (1995), Filsafat Pendidikan Islam

(Edisi Baru) (2005), Perspektif Islam tentang Pendidikan Kedokteran

(2005), Pendidikan dalam Perspektif Hadis, Kajian Tematik Al-Qur‟an, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, dan Menuju Sukses Sertifikasi

Guru dan Dosen. Dimensi Pendidikan Spiritual dalam Tradisi Islam

(2001), Sejarah Pendidikan Islam (2004), Sejarah Pendidikan Islam

(2011), Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (2009), Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam

(2012), Filsafat Pendidikan Islam Dan Barat (2012), Para Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia (2005), Ilmu Pendidikan Islam (2010).

Dalam buku Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia (2003), Abuddin Nata mencoba menjelaskan latar belakang dan akar permasalahan yang muncul dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia dan menyajikan solusi alternatifnya melalui analisa yang mendalam.

Buku Metodologi Studi Islam, Beliau ingin menawarkan kerangka metodologis untuk memahami dan mengkaji Islam agar hasil kajiannya dapat bernilai operasional dan menggerakkan peradaban yang lebih baik. Dalam bukunya terdapat tiga tema utama, yakni hakikat dan posisi Islam sebagai salah satu agama dominan di dunia. Kedua, berbagai metodologi humaniora modern untuk memahami Islam. Ketiga, model penelitian agama Islam serta berbagai macam contoh aplikasinya dan juga dibahas wacana Islamisasi ilmu pengetahuan. Dan diakhiri dengan pokok-pokok gagasan dari ketiga tema tersebut.

Buku Ilmu Pendidikan Islam, Abuddin Nata menggambarkan tentang ilmu pendidikan Islam melalui beberapa perspektif. Seperti

pendekatan normatif perenialis, pendekatan sejarah, pendekatan filsafat, pendekatan psikologi, pendekatan sosiologi, pendekatan manajemen, pendekatan Information Technology (IT), pendekatan kebudayaan, pendekatan politik, pendekatan hukum, pendekatan kualitatif, dan pendekatan kuantitatif.

Dalam bukunya yang lain yaitu Kapita Selekta Pendidikan Islam, untuk mendapatkan pemahaman tentang pengertian pendidikan, dapat dibedakan dari dua pengertian, yaitu pengertian yang bersifat filosofis dan pengertian yang bersifat pendidikan dalam arti praktis.

Buku Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, mengkaji tentang pemikiran Tasawuf Al Ghazali mengenai hakekat hubungan guru dengan murid dalam pandangan Islam.

Abuddin Nata juga mengkaji tentang ayat-ayat Al Qur‟an yaitu

dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat Pendidikan yang memiliki korelasi dengan konteks pendidikan, ilmu pengetahuan, pembinaan generasi muda, kerukunan hidup antar agama dan masalah-masalah sosial keagamaan. Dalam buku ini diketahui bahwa beliau selalu mengkaitkan antara apa

yang ia ingin kaji dengan dasar utama pendidikan Islam yaitu Al Qur‟an.

Pendidikan Islam erat kaitannya dengan strategi pembelajaran, terdapat berbagai macam strategi yang tersedia. Seringkali hal ini sering menjadi problem tersendiri bagi pendidik yang kebingungan menyesuaikan atau menerapkan strategi pembelajaran. Seakan menjawab permasalahan tersebut, dalam bukunya Perspektif Islam Tentang Strategi

Pembelajaran Abuddin Nata ingin membahas tentang pandangan Islam mengenai berbagai strategi pembelajaran dalam pendidikan Islam termasuk dalam pelaksanaannya.

Buku selanjutnya, Peta Keragaman Pemikiran Islam Indonesia yang membahas tentang keragaman paham keislaman yang berkembang saat ini, mulai dari Islam fundementalis sampai Islam pluralis sejarah, perkembangan dan cara menyikapinya.

Buku Abuddin Nata lain yang mengkaji tentang pendidikan Islam, yaitu Pendidikan Islam di Era Global: Pendidikan Multikultural, Pendidikan Multi Iman, Pendidikan Agama, Moral dan Etika. Beliau mengkaji tentang pendidikan Islam di era global di tengah-tengah masyarakat yang multikultural dan multi Iman, cara bersikap dan bertoleransi dengan agama lain.

Buku kajian lainnya yaitu Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia tentang riwayat hidup, gagasan, dan pemikiran beserta usaha-usaha yang telah dilakukan oleh tokoh pendidikan Islam Indonesia. Abuddin Nata ingin mengungkapkan bahwa pendidikan Islam Indonesia tidak terlepas dari kontribusi para tokohnya.

E. Corak Pemikiran

Corak pemikiran Abuddin Nata dapat diidentifikasi melalui berbagai judul karya atau tulisan-tulisan beliau tentang agama Islam dan ilmu pendidikan Islam, serta berbagai aktivitasnya di bidang pendidikan. Pemikiran Abuddin Nata merupakan kumpulan pemikiran dari para pakar

pendidikan yang dipoles sehingga tercipta konsep yang lebih mutakhir. Didukung pula dengan latarbelakang pendidikannya selain di sekolah umum, ia juga menempuh sekolah agama.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa corak pemikiran Abuddin Nata adalah pendidikan yang berbasis kepada ajaran Islam.

Menurut Abuddin Nata, mengkaji tentang agama Islam dan ilmu pendidikan Islam adalah salah satu upaya dalam mengembangkan ilmu pendidikan Islam karena dapat menambah khazanah ilmiah serta meningkatkan kualitas pendidikan Islam di Indonesia secara berkesinambungan sesuai dengan tuntutan zaman. Dimuat dalam salah satu bukunya, berjudul Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, bahwa kondisi mutu pendidikan Islam masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mutu pendidikan lainnya. Ini dikarenakan pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan Islam tersebut belum dilakukan secara terencana (Nata, 2010: 6).

BAB III

Konsep Pendidikan Islam Menurut Abuddin Nata

Akan dijelaskan pada bab ini, tentang: konsep pendidikan Islam, konsep pendidik, dan konsep peserta didik. Selanjutnya akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

A. Konsep Pendidikan Islam

Arti pendidikan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Definisi pendidikan Islam telah dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan. Seperti, H.M. Arifin yang menyebutkan bahwa istilah pendidikan Islam dalam bahasa arab disebut “Tarbiyah Islamiyah”. Kata kerja rabba (mendidik) ini sudah digunakan pada zaman nabi Muhammad

SAW. Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi

makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan

kerohanian, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan

dasar manusia (1991: 32). Sedangkan menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan, dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik

hasilnya di akhirat (1980: 94). Definisi pendidikan Islam lainnya disajikan juga oleh Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum ajaran Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam, yaitu kepribadian muslim (1974: 26).

Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (long life education). Pendidikan Islam memiliki rumusan yang jelas dalam bidang tujuan, kurikulum, guru, metode, sarana, dan lain sebagainya (Nata, 2014: 88).

Sementara itu Abuddin Nata menyebutkan bahwa pendidikan Islam adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam (2014: 340). Nilai-nilai ajaran Islam yang dimaksud olehnya adalah pendidikan Islam dengan

berdasarkan pada Al Qur‟an dan Sunnah, dapat membina manusia menjadi

insan kamil yang tujuan hidupnya tak lain adalah untuk mengabdikan diri

kepada Allah Swt. dengan berpedoman pada Al Qur‟an dan Sunnah.

Dengan demikian, pendidikan pada intinya menolong manusia agar dapat menunjukkan eksistensinya secara fungsional di tengah-tengah kehidupan manusia. Pendidikan yang demikian akan dirasakan manfaatnya bagi manusia.

Menurut Abuddin Nata, visi dan orientasi pendidikan Islam yang selama ini diarahkan pada masa lalu dengan cara mentransformasikan berbagai ilmu keislaman yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan zaman dan harus mengalami perubahan (2009: 17). Oleh sebab itu, pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, harus mampu menyesuaikan visinya dengan visi pendidikan nasional. Yaitu menyiapkan masa depan bangsa agar mampu berkompetensi di era global.

Lebih lanjut, menurut Abuddin dari rumusan pendidikan Islam di atas, terlihat bahwa tujuan pendidikan Islam di masa sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, keimanan dan ketakwaan saja, tetapi juga harus diarahkan pada upaya melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri, dan produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah dunia yang kompetitif (2001: 97). Ditambah lagi dengan diadakannya pemberian bekal berupa nilai-nilai akhlak, untuk membina hati dan rohani sehingga manusia tersebut dapat menjadi hamba Allah Swt. yang baik dan berbahagia di dunia dan akhirat (Nata, 2001: 21).

B. Konsep Pendidik

Pendidik (guru) sebagaimana dalam Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab 1, Pasal 1, Ayat 1 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi

peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Di dalam dunia pendidikan, pihak yang melakukan tugas-tugas mendidik dikenal dengan dua predikat, yakni pendidik dan guru. Pendidik (murabbi) adalah orang yang berperan mendidik subjek didik atau melakukan tugas pendidikan (tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melakukan tugas mengajar (ta‟lim). Pendidikan mengandung makna pembinaan kepribadian, memimpin, dan memelihara, sedangkan pengajaran bermakna sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan (Daradjat, 1983: 26).

Menurut Tafsir, pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik (2008: 74).

Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik dan perguruan tinggi (Suparlan, 2005: 15).

Dilihat dari sisi aktualisasinya, pendidikan merupakan proses interaksi antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang ditentukan. Seorang pendidik, dalam situasi tertentu dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti media teknologi, tetapi tidak dapat digantikan (Sukmadinata, 1997: 191).

Dalam Islam, tugas seorang pendidik dipandang sebagai sesuatu yang mulia. Secara umum, tugas pendidik adalah mendidik. Dalam operasionalisasinya, mendidik merupakan rangkaian proses mengajar, memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain sebagainya. Batasan ini memberi arti bahwa tugas pendidik bukan hanya sekedar mengajar sebagaimana pendapat kebanyakan orang. Di samping itu, pendidik juga bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar, sehingga seluruh potensi peserta didik dapat teraktualisasi secara baik dan dinamis (Langgulung, 1988: 87).

Menurut Roqib dan Nurfuadi, guru (pendidik) adalah sosok yang memiliki rasa tanggung jawab sebagai seorang pendidik dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang pendidik secara profesional yang pantas menjadi figur atau teladan bagi peserta didik (2009: 23).

Pengertian pendidik (guru), menurut Abuddin Nata ada beberapa (1997: 61), kata ustaz yang jamaknya asatiz yang berarti teacher (guru),

professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyair. Adapun kata muddaris berarti teacher (guru), instructor

(pelatih) dan lecturer (dosen). Selanjutnya kata mu‟allim yang juga berarti

teacher (guru), instructor (pelatih), trainer (pemandu). Selanjutnya kata

mu‟addib berarti educator atau pendidik atau teacher in Koranic School

pengetahuan dan keterampilan yang diberikan di sekolah disebut teacher, di perguruan tinggi disebut lecture atau profesor, di rumah secara pribadi disebut tutor, di pusat-pusat latihan disebut instructor atau trainer dan di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan agama disebut educator.

Sejalan dengan pernyataan diatas, kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam menempati posisi penting sebagai komponen utama dan strategis. Menurut Abuddin Nata konsep berkaitan dengan pendidik dalam pendidikan Islam terbagi menjadi enam konsep yang ia sebutkan dalam

email pada tanggal 8 Desember 2016 yaitu:

“Pertama, pendidik adalah merupakan komponen utama dan strategis dalam pendidikan. Tanpa ada pendidik, kegiatan pendidikan tidak akan berjalan. Teknologi modern misalnya, bisa menggantikan peran pendidik dalam hal transfer of knowledge atau transfer of skill, tapi tidak bisa melakukan tugas mendidik yakni membentuk karakter, kepribadian utama, dan mental yang prima, karena semua itu butuh bimbingan, teladan, latihan, pengarahan dan lainnya yang melibatkan aspek kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan lainnya yang tidak dapat dilakukan oleh high technology. Berbagai komponen pendidikan, seperti konsep kurikulum yang modern, strategi, pendekatan dan metode pembelajaran yang handal; sarana dan prasarana pendidikan serta fasilitas belajar yang lengkap dan modern, serta komponen pendidikan lainnya yang tersedia tidak akan memiliki arti apa-apa, jika tidak terdapat pendidik yang handal dan profesional”.

Pendapat di atas diperjelas dengan pernyataan yang ia tulis dalam bukunya Manajemen Pendidikan, bahwa dari keseluruhan komponen pendidikan dan pengajaran tersebut pendidik menempati posisi penting dalam keberlangsungan pendidikan. Menurutnya, jika seorang pendidik berkualitas baik maka pendidikan akan baik pula, kalau tindakan para pendidik dari hari ke hari bertambah baik, maka akan menjadi baik pula

keadaan dunia pendidikan kita. Dan sebaliknya jika tindakan pendidik dari hari ke hari makin memburuk, maka akan parahlah dunia pendidikan kita. Jadi, agar dalam upaya mendidik itu berhasil, maka harus mampu melaksanakan inspiring teaching, yaitu pendidik yang mampu mengilhami para peserta didik (2003: 146). Pendidik yang baik adalah pendidik yang mengajar dengan hati, membimbing dengan nuraninya, mendidik dengan keikhlasan dan menginspirasi serta menyampaikan kebenaran dengan rasa kasih sayang, tidak kalah pentingnya adalah hasratnya untuk mempersembahkan apapun yang dia karyakan sebagai ibadah terhadap Tuhan.

Nata menambahkan bahwa seorang pendidik dituntut mampu meningkatkan pengetahuannya dari waktu ke waktu, sesuai dengan perkembangan zaman. Perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju dengan pesat juga harus diantisipasi oleh pendidik (2003: 147). Dengan demikian, seorang pendidik bukan hanya menjalankan tugas sebagai sumber informasi, namun juga sebagai motivator, inspirator, dinamisator, fasilitator, katalisator, evaluator, dan sebagainya.

Tanggung jawab menjadi pendidik yang profesional bukan sekedar hanya dapat mengajar dengan baik, namun juga pendidik yang dapat mendidik. Maksudnya adalah bahwa selain seorang pendidik mampu menguasai ilmu yang diajarkan dan mengetahui cara mengajarkannya dengan baik, seorang pendidik juga harus memiliki akhlak mulia di dalam dirinya (Nata, 2003: 147). Pendidik yang tidak memiliki kepribadian

sebagai seorang pendidik, tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Kondisi ini akan mengakibatkan peserta didik kurang menanggapi secara seksama, terhadap apa yang akan diajarkan dan dididikkan.

Berkaitan dengan statusnya sebagai tenaga profesional, maka seorang pendidik harus memenuhi kualifikasi empat kompetensi diantaranya kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial (Nata, 2008: 314). Abuddin Nata mengatakan bahwa konsep pendidik profesional adalah yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sebagai berikut:

“Bahwa konsep pendidik yang profesional sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta berbagai peraturan lainnya, yang mengharuskan guru memiliki kompetensi akademik, kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial sesungguhnya sudah cukup baik. Namun Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) yang ada sekarang, belum memiliki konsep dan kemampuan yang memadai untuk menghasilkan tenaga guru yang profesional itu. Karena itu, wajar jika saat ini, kebijakan Pemerintah tentang PPG (Program Pendidikan Keguruan) sebagai lembaga yang bertugas menghasilkan tenaga pendidik yang profesional patut disambut baik, dan dikawal aktivitasnya, karena lembaga PPG ini diharapkan dapat melaksanakan fungsi menghasilkan tenaga pendidik profesional yang selama ini belum dapat dilakukan oleh LPTK, seperti Fakultas Tarbiyah atau Fakultas Keguruan lainnya yang berada di berbagai Perguruan Tinggi, baik yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Teknologi serta Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Agama RI.”

Berangkat dari bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, Abuddin Nata menjelaskan standar pendidik adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental serta pendidikan dalam jabatan. Itu sebabnya pendidik harus memiliki

kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku (2008: 226).

Hadirnya kebijakan pemerintah tentang PPG (Program Pendidikan Keguruan) sebagai lembaga penghasil tenaga pendidik yang profesional diharapkan dapat menggantikan fungsi LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) yang belum terlaksana. Pendapat tersebut diperjelas oleh Abuddin Nata, bahwa selain sebagai seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan keguruan, seorang pendidik juga harus memiliki keterampilan dalam mengajar, pengalaman, dan pengetahuan yang memadai tentang peserta didik yang diajarnya. Bagi Abuddin, kemampuan pendidik sangat berpengaruh terhadap kegiatan belajar mengajar (2009: 315).

Dikuasainya kemampuan atau keterampilan secara baik oleh pendidik dalam proses kegiatan belajar mengajar, menurut Abuddin Nata dapat berpengaruh pada mutu atau kualitas pendidikan. Salah satu bentuknya adalah dengan menciptakan kegiatan atau aktivitas secara efektif di dalam kelas, selengkapnya Abuddin Nata menyampaikan bahwa:

“Inti pendidikan yang sesungguhnya adalah kegiatan atau aktivitas yang dilakukan pendidik/guru terhadap peserta didik di dalam kelas. Mutu atau kualitas pendidikan amat bergantung kepada kegiatan

yang dilakukan oleh guru di dalam kelas. Oleh karena itu, kemampuan guru dalam mencerdaskan, memintarkan, membelajarkan, memotivasi, menggerakan imajinasi, menumbuhkan inspirasi, inovasi dan kreativitas peserta didik agar menjadi manusia yang terbina kepribadiannya secara utuh dan seimbang: pikiran (head), hati (heart), dan keterampilannya (hand), menjadi manusia yang mandiri, kreatif, inovatif, imajinatif, progressif, yang dilandasi akhlak mulia, kepribadian utama, shalih, dan shalihah, serta siap berkompetisi dan keluar sebagai pemenang (the winner) dalam era-globalisasi saat ini, adalah merupakan hal yang paling utama. Guru-guru yang ada selama ini, apalagi yang sudah akan pensiun, bisa diduga kemampuan profesionalnya sudah agak tertinggal dan perlu di up date lagi. Untuk itu kepada pendidik yang masih berusia muda, harus segera melakukan up dating kompetensi melalui konsep pendidikan pembelajaran sepanjang hayat, atau dengan menerapkan konsep continous improvemen skill (perbaikan mutu secara berkelanjutan).”

Dari pernyataan di atas, diketahui bahwa peran dan fungsi dari pendidik yang sangat strategis, bahkan menentukan tercapainya visi, misi, dan tujuan pendidikan yang ditetapkan. Atas dasar itu, upaya peningkatan mutu pendidikan selalu bertitik tolak pada peningkatan mutu pendidik sebagai tenaga profesional yang andal dan kredibel. Konsep pendidik dalam Islam dengan visinya yang demikian itu, akan memiliki implikasi terhadap peningkatan profesionalitas keguruan baik dari segi penguasaan ilmu, peningkatan model pembelajaran yang efektif, menyenangkan peserta didik, mencerahkan akal, jiwa dan hati nuraninya, serta senantiasa mengembangkan ilmunya sepanjang hayat (Nata, 2012: 357).

Sehubungan dengan hal tersebut, kemampuan seorang pendidik dalam mengembangkan variasi metode, pendekatan, media, alat, teknik, dan gaya dalam mengajar. Dengan demikian, akan tercipta keadaan belajar mengajar dengan suasana di kelas yang menggairahkan, menarik, menyenangkan,

merangsang timbulnya minat, imajinasi, kreativitas dan etos kerja ilmiah peserta didik (Nata, 2009: 317). Kemampuan seorang pendidik dalam menguasi beberapa hal di atas diharapkan melahirkan peserta didik yang mandiri, kreatif, inovatif, imajinatif, progresif.

Kegiatan di dalam kelas yang harus dikuasai oleh pendidik kepada peserta didik dijelaskan dalam buku Abuddin Nata yang berjudul

Perpsektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, bahwa setiap kali pendidik melakukan kegiatan belajar mengajar, seorang pendidik harus sukses dalam memimpin proses pembelajaran dan mengantarkan peserta didik kepada tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Kemudian agar kegiatan belajar mengajar dapat berjalan tertib, seorang pendidik harus menciptakan keadaan kelas yang mendukung proses tersebut. Dari kedua hal tersebut dapat disimpulkan untuk menciptakan kelas yang demikian, pendidik berkaitkan langsung dengan upaya dalam mengendalikan, menguasai, menertibkan, mengatur, dan menciptakan kondisi kelas yang tertib, aman, damai, dan serasi sehingga mendorong terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang memadai (2009: 340).

Memperkuat pernyataan di atas, Abuddin Nata menambahkan bahwa dalam pembelajaran di dalam kelas, seorang pendidik dituntut agar dapat menguasai berbagai peran, diantaranya sebagai motivator

(pendorong/penggerak), desainer (perancang), fasilitator (penyedia bahan dan peluang belajar), katalisator (penghubung), dan guidance (pemandu) serta penunjuk dimana informasi tersebut dan sebagai evaluator (penilai)

serta justificator (pembenar) dan sebagainya (2001: 86). Sebagai motivator (pendorong/penggerak) misalnya, seorang pendidik diharapkan dapat memberikan motivasi ke peserta didiknya agar memiliki semangat dan gairah yang tinggi dalam mengikuti pelajaran yang diadakan olehnya.

Kemampuan untuk mengelola pembelajaran di kelas adalah sebagian dari beberapa kemampuan yang harus dikuasai oleh pendidik. Hal ini diperlukan untuk dapat melaksanakan paradigma baru yang menyatakan bahwa pendidik harus terus memperbaharui kemampuan mengajarnya. Kegiatan belajar mengajar yang kini bukan lagi berpusat pada pendidik. Selengkapnya, Abuddin Nata mempertegas dengan pernyataan langsung, sebagai berikut:

“Era globalisai yang terjadi saat ini telah menimbulkan tantangan (challenging) antara lain berupa timbulnya paradigma baru (new paradigm) dalam kegiatan proses belajar mengajar dari yang semula berpusat pada pendidik (teacher centred) kepada berpusat pada peserta didik (student centred) dengan menerapkan model pembelajaran discovery, inquiry, contextual, quantum, dan sebagainya. Untuk dapat melaksanakan paradigma baru dalam

Dokumen terkait