B. Pesantren: Di antara Perubahan dan Perkembangan Modelnya
1. Kategori, Model dan Tipologi Pesantren
Tidak dapat dipungkiri, bahwa sepanjang sejarah keberadaan pondok pesantren telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Jika pada tahap awal, pondok pesantren sebagai sebuah institusi hanya mewariskan
kebudayaan dan tradisi-tradisi Islam, namun dalam perkembangannya—
langsung maupun tidak langsung—telah terjadi perkembangan dan perubahan di
dalamnya, sehingga muncul dan berkembang berbagai kategori dan model pondok pesantren, sebagaimana yang kita ketahui sampai sekarang.
Hal yang menarik untuk dicermati adalah dalam setiap perkembangan desain dan model pondok pesantren memiliki ciri khas tersendiri, sehingga antara satu model pondok pesantren dengan model pondok pesantren lainnya
terdapat karakteristik yang berbeda dalam input dan output-nya. Meski demikian
secara subtantif, model dan dasain pondok pesantren tidak mengurangi keberadaan serta keberfungsian dari pondok pesantren itu sendiri. Oleh sebab itu, pada bagian ini penulis akan mengulas kategori dan model pondok pesantren sehingga bisa dijadikan acuan dalam melihat pondok pesantren secara komprehensif.
Dalam perspektif Mujamil Qomar, pondok pesantren dapat
dikatagorisasikan ke dalam beberapa hal, yaitu pondok pesantren yang memiliki rangkaian kurikulum, tingkat kemajuan, keterbukaan dari segi perubahan dan
dari sudut sistem pendidikannya.111 Sementara itu secara lebih spesifik, Ahmad
111 Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 16
Qodri Abdillah Azizy mengatakan jika pondok pesantren dapat dikatagorikan dari perspektif sistem pendidikan yang dikembangkannya, maka pondok pesantren dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal, yaitu:
(a) Memiliki santri dan tinggal bersama kyai, kurikulumnya tergantung pada
kyai, dan pengajaran secara privatisasi.
(b) Memiliki kurikulum madrasah tertentu, pengajaran bersifat aplikasi, kyai
memberikan pelajaran secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama,
(c) Hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan perguruan
tinggi umum agama di luar, kyai sebagai pengawas dan pembina mental.112
Mengelaborasi kedua pendapat di atas, bahwa pada dasarnya perbedaan dan pengklasifikasian pesantren dapat ditinjau dari sudut kurikulum pembelajarannya, otoritasi dan spesifikasi keilmuan seorang kyai, serta keterbukaan dari pesantren. Berdasarkan kurikulum pembelajarannya, pesantren oleh M. Arifin digolongkan menjadi beberapa tipe atau pun model, yaitu;
pesantren modern, pesantren takhassus (takhassus ilmu alat, ilmu Fiqh/Ushul
Fiqh, ilmu tafsir/hadits, ilmu tasawuf/thariqat dan qira‟at al-Qur‟an), dan
pesantren kolaboratif atau campuran.113 Sepanjang sejarah perjalan pesantren di
tanah air muatan kurikulum pesantren sangat bervariatif, sehingga muncullah model dan tipe pesantren dari sudut pandang muatan kurikulumnya. Muatan kurikulum pada pesantren yang sangat sederhana adalah hanya sekadar belajar
112 Ahmad Qodri Abdillah Azizy, ―Pengantar: Memberdayakan Pesantren dan
Madrasah‖, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdil Kholiq (Edit.), Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.viii
113
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 251-252.
baca tulis Arab dan menghafal beberapa surat dalam al-Qur‘an. Tingkatan di atasnya adalah pesantren sedang (tidak sederhana dan tidak maju), yaitu mulai mengajarkan beberapa kitab fiqh, ilmu akidah, dan tata bahasa arab (nahwu sharaf). Sedangkan pesantren yang maju berdasarkan muatan kurikulumnya adalah pesantren yang mengajarkan kitab-kitab Fiqh, aqidah, dan tasawuf secara
lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya.114
Selanjutnya, berdasarkan pada sudut pandang administrasi
pendidikannya, keberadaan pondok pesantren oleh Djamaluddin dan Abdullah
Aly115 dibedakan ke dalam beberapa katagori, yaitu:
(a) Pondok pesantren dengan sistem pendidikan yang lama pada umumnya
terdapat jauh di luar kota. Pondok pesantren jenis ini hanya mengajarkan atau memberikan pengajian saja.
(b) Pondok pesantren modern dengan sistem pendidikan klasikal berdasarkan
atas kurikulum yang tersusun baik, termasuk pendidikan skill atau vocational
(keterampilan).
(c) Pondok pesantren dengan kombinasi yang di samping memberikan pelajaran
dengan sistem pengajian, juga madrasah yang dilengkapi dengan
114
Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 21. Sementara itu, dalam pendapat lain disebutkan bahwa katagori pesantren yang demikian ini merupakan tipe atau jenis pesantren yang didasarkan pada spesifikasi bidang keilmuan. Misalnya pesantren alat (mengutamakan penguasaan gramatikal
bahasa Arab), seperti pesantren Lirboyo, pesantren Ploso, pesantren Fiq‘h misalnya Tebuireng, Tambak Beras, Denanyar, Lasem, pesantren Qira‘ah al-Qur‘an seperti pesantren Krapyak,
Wonokromo dan pesantren tasawuf seperti pesantren Jampes di Kediri sebelum perang dunia II. Lebih lengkap lihat Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: CV. Dharma Bakti, 1399 H), h. 25
115
Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam: Untuk IAIN, PTAIS Fakultas Tarbiyah Komponen MKK, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h 102
pengetahuan umum menurut tingkat atau jenjangnya. Pondok pesantren jenis inilah yang banyak terdapat di Indonesia.
(d) Pondok pesantren yang tidak lebih dari asrama pelajar dari pada pondok yang
semestinya.
Menyikapi pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia,
Masykuri Abdillah116 memiliki pandangan tersendiri, yaitu terdapat beberapa
model penyelenggaraan pesantren yang berkembang di tanah air ini. Adapun beberapa tataran model penyelenggaraan pesantren, adalah:
(1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan
kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA, dan Perguruan Tinggi Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi Umum), seperti
Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren Syafi‘iyyah Jakarta;
(2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk
madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti Pesantren Gontor Ponorogo dan Daarul Rahman Jakarta.
(3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah
diniyah, seperti Pesantren Lirboyo Kediri dan Pesantren Tegalrejo Magelang;
(4) Pesantren yang hanya sekadar menjadi tempat pengajian saja.
Tidak jauh berbeda dengan uraian sebelumnya, Manfred Ziemek juga merinci keberadaan model-model pesantren yang ada di tanah air ini ke dalam
116 Masykuri Abdillah, ―Status Pendidikan Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional‖, dalam Harian Umum Kompas, edisi 8 Juni 2001
lima jenis, yaitu: jenis (A, B, C, D dan E). Uniknya, pada setiap masing-masing
model atau jenis tersebut memiliki kekhasan tersendiri. Pertama, Pondok
Pesantren Model A, yaitu tingkatan model paling sederhana. Pada model ini masjid digunakan sebagai tempat ibadah sekaligus sebagai tempat pengajaran
agama. Model ini khas dengan kaum sufi (pesantren tarekat) dengan
pengajaran-pengajaran yang teratur di dalam masjid dengan pengajaran-pengajaran pribadi oleh anggota kaum, tetapi kaum/santri tidak tinggal dalam pesantren. Jenis ini adalah tingkat awal dalam mendirikan sebuah pesantren. Di sini diterima beberapa santri untuk
tinggal di rumah pendirinya (kyai).117
Kedua, Pondok Pesantren Model B. Jenis yang kedua ini sudah mulai dilengkapi dengan suatu pondok yang terpisah, yaitu berupa asrama tempat tinggal bagi para santri yang sekaligus menjadi ruangan belajar sederhana. Biasanya, bentuk bangunan pondok pesantren jenis ini terdiri dari rumah-rumah kayu/bambu. Model ini memiliki semua unsur atau komponen dari pondok
pesantren ―klasik‖, yaitu kyai, santri, pondok dan masjid.118
Ketiga, Pondok Pesantren Model C. pondok pesantren jenis ini setingkat lebih maju dari model sebelumnya, namun tetap saja menggunakan komponen klasik dengan sentuhan nuansa modernisasi. Sehingga pada model atau jenis
pesantren ini telah ada atau muncul ―madrasah‖. Madrasah dengan sistem kelas
memberikan juga pelajaran umum. Kurikulumnya berorientasi kepada sekolah-sekolah pemerintah yang resmi. Anak-anak yang tinggal di sekitar pondok pesantren maupun para santri mukim belajar di madrasah sebagai alternatif
117
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan…, h. 104
118
terhadap sekolah pemerintah atau bahkan sekaligus mereka belajar di keduanya
(sekolah umum/madrasah).119
Keempat, Pondok PesantrenModel D. Pada pondok pesantren Model D, arah sentuhan modernisasi tampak begitu nyata dan jelas. Di samping perluasan komponen pesantren klasik dengan sekolah formal (madrasah) banyak pula pesantren yang memiliki program tambahan seperti keterampilan dan terapan bagi para santri dari desa-desa sekitar. Dalam sektor pertanian mereka memiliki keterampilan mengolah lahan, empang, kebun, peternakan, juga ada kursus-
kursus seperti elektronik, perbengkelan, pertukangan kayu, dan lain-lain.120
Kelima, Pondok Pesantren Model E. Pondok pesantren model ini
merupakan pondok pesantren ―modern‖. Jenis pondok pesantren tersebut
lebih komprehensif, di samping ―konsen‖ pada sektor pendidikan Islam
klasik, pondok pesantren tersebut juga mencakup semua tingkat sekolah formal, mulai dari pendidikan dasar (SD) hingga pendidikan tinggi (PT). Selain itu, pondok pesantren model ini menyelenggarakan program keterampilan seperti: usaha pertanian, kerajinan, perikanan dan lain-lain. Pada pondok pesantren model E ini, para santrinya turut mengelola pesantren dan mengorganisasi bentuk-bentuk swadaya koperasi. Program-program pendidikan yang berorientasi lingkungan mendapat prioritas utama; pesantren mengambil prakarsa dan mengarahkan kelompok-kelompok swadaya di lingkungannya. Komunikasi intensif dan program pendidikan bersama mengaitkan pondok pesantren ―modern‖ dengan pesantren yang lebih kecil, yang didirikan dan
dipimpin oleh para lulusan ―pesantren-pesantren induk‖.121 Seiring dengan
119 Ibid, h. 104-105 120 Ibid., h. 106 121 Ibid.
perjalanan waktu, modifikasi pendidikan pesantren tipe/model E tersebut telah
dieksperimentasikan pada beberapa pondok pesantren di Jawa—dan telah
menghasilkan lulusan atau alumni yang mampu mewarnai dan memberikan peran baik di tingkat nasional maupun internasional. Kiprah para alumni pondok pesantren jenis ini telah terdiseminasi ke berbagai ranah. Artinya, para alumnus tidak semuanya mesti menjadi seorang Kyai, akan tetapi bergiat dalam berbagai
bidang, seperti politik, ekonomi, budaya, sosial dan akademisi.122 Berdasarkan
uraian tersebut, jika dilihat dari sudut pandang keterbukaan sistem pengajaran, kurikulum pesantren dan pengasuhnya, pesantren di tengah-tengah masyarakat
dapat diidentifikasikan dalam dua kategori, yaitu pesantren salafi dan khalaf123,
yang selanjutnya disebut atau dikenal dengan pesantren tradisional dan pesantren modern.