• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Pesantren: Di antara Perubahan dan Perkembangan Modelnya

4. Menggagas Pondok Pesantren Yang Bermutu

Sudah selayaknya Indonesia memiliki pondok pesantren yang bermutu. Sebab, sejauh ini pesantren telah tumbuh subur dan berkembang di Indonesia. Berdasarkan beberapa kajian tentang pesantren yang menarik untuk dikaji adalah tentang mutu atau kualitas pesantren itu sendiri. Karena tampaknya setiap pesantren memiliki kriteria mutu tersendiri karena di dalam pesantren tidak ada intervensi-intervensi dari pihak luar, kecuali orang yang mendirikan pesantren

atau seorang kyai—namun bukan sekelompok orang yang mendirikan lembaga.

Untuk mempermudah pembahasan tentang pesantren yang bermutu, peneliti merasa perlu mendefinisikan terlebih dulu tentang pengertian mutu, setelah itu mengklasifikasikan termasuk kategori apa pesantren yang bermutu itu. Pada

dasarnya mutu diartikan sebagai kualitas (quality).160 Mutu juga dapat dikatakan

sebagai bentuk kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Selain itu, mutu juga dapat dikatakan sebagai bentuk

kesesuaian dengan yang diisyaratkan dan distandarkan.161

Menyikapi hal tersebut, Rohiat menyatakan bahwa mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan

160

John M. Echols, An Indonesian-English Dictionary: Kamus Inggris Indonesia (Edisi Ketiga) (Terj. Hassan Shadily), (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h. 38

161

Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengembangkan Budaya Mutu,

kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang

tersirat.162 Sementara itu, jika dikaitkan dengan pendidikan sebagai bentuk dari

layanan jasa, maka mutu ataupun kualitas menurut Wyckof dalam Lovelock sebagaimana dikutip Nursya‘bani dapat diartikan sebagai tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan tersebut untuk memenuhi

keinginan konsumen.163 Dalam sebuah organisasi, menurut Sallis mutu

merupakan sebuah filosofi dan metodologi yang membantu instansi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi

tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan.164 Selanjutnya, istilah mutu dalam dunia

pendidikan menurut Depdiknas dalam Mulyasa mencakup input, proses, dan

output pendidikan.165

Sallis menambahkan bahwa: Mutu juga digunakan sebagai suatu konsep yang relative. Pengertian ini digunakan dalam Total Quality Management (TQM). Sementara itu, Total Quality Management (TQM) menurut Sallis adalah menciptakan budaya kualitas dimana tujuan dari semua staff adalah memuaskan konsumen, dan membuat struktur organisasi yang memungkinkan kualitas

tersebut dihasilkan.166 Konsep mutu atau kualitas sangat sulit didefinisikan, oleh

karena itu, Sallis mengungkapkan setidaknya ada dua macam konsep mutu,

162

Rohiat, Manajemen Sekolah; Teori Dasar dan Praktik, (Bandung: Refika Aditama, 2008). h. 52

163 Nursya‘bani Purnama, Manajemen Kualitas: Perspektif Global, (Yogyakarta: EKONISIA, 2006), h. 19

164

Edward Sallis, Total Quality Management in Education; Manajemen Mutu Pendidikan, (Terj. Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi). (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), h. 33

165

E. Mulyasa, Manajemen & Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 157

166

Edward Sallis, Total Quality Management In Education, (London: Kogan Page 1993), h. 26

yaitu: a) konsep yang absolute dan b) konsep yang relative.167 Definisi relatif tersebut memandang mutu bukan sebagai suatu atribut produk atau layanan, tetapi sesuatu yang dianggap berasal dari produk atau layanan tersebut. Suatu layanan dapat dikatakan bermutu, apabila sebuah layanan tersebut memenuhi spesifikasi yang ada. Mutu merupakan sebuah cara yang menentukan apakah produk terakhir sesuai dengan standar atau belum.

Mutu dalam konteks TQM merupakan hal yang berbeda. Mutu bukan sekedar inisiatif lain, mutu merupakan sebuah filosofi dan metodologi yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan. Dalam dunia industri Barat, TQM merupakan cara yang menghilangkan tekanan ekonomi sehingga mereka mampu bersaing lebih baik dengan cepatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan pasifik.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mutu merupakan filosofi dan metodologi yang dapat membantu institusi untuk merencanakan sebuah perubahan dengan memperhatikan pada kepuasan pelanggan sesuai dengan persyaratan atau kebutuhan yang sesuai dengan standar. Dari sinilah kemudian dapat ditarik definisi tentang pesantren yang bemutu. Pesantren yang bermutu adalah pesantren yang melakukan perubahan, dengan memperhatikan pelanggan yang sesuai dengan standar-standar yang ditetapkan oleh pesantren itu sendiri. Pesantren seperti ini biasanya ditandai dengan banyaknya jumlah santri yang studi di pesantren tersebut. Lebih kongkret lagi,

167

sebuah lembaga pendidikan dikatakan bermutu, bila para alumninya (tingkatan SMA ke atas) mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus sebagai penggerak dan atau penggagas dalam bidang baik lapangan kerja dan ekonomi, sosial, politik, maupun bidang intlektual, emosional, dan spiritual, bukan sebagai beban masyarakat dan negara, apa lagi kalau sampai menjadi perusak masyarakat, bangsa dan negara.

Pesantren, sebagai salah satu bentuk penjual jasa pendidikan yang melibatkan tingkat interaksi yang tinggi antara penyedia dan pengguna jasa, setidaknya terdapat lima dimensi pokok yang menentukan kualitas pesantren, yaitu:

(a) Kehandalan (reliability)

(b) Daya tanggap (responsibility)

(c) Jaminan (assurance)

(d) Empati

(e) Bukti langsung (tangible).168

Di seluruh Jawa, orang biasanya membedakan kelas-kelas pesantren dalam tiga kelompok, yaitu pesantren kecil, menengah dan pesantren besar. Pesantren yang tergolong kecil biasanya mempunyai santri di bawah seribu orang dan pengaruhnya terbatas pada tingkatan kabupaten. Pesantren menengah biasanya mempunyai santri antara 1000 sampai dengan 2000 orang, memiliki pengaruh dan menarik santri-santri dari beberapa kabupaten. Pesantren besar biasanya memiliki santri lebih dari 2000 orang yang berasal dari berbagai

168

Durroh Yatimah, ―Manajemen Pendidikan Pesantren dalam Upaya Peningkatan Mutu Santri‖ Jurnal el-Hikmah Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang, h. 71

kabupaten dan propinsi. Beberapa pesantren besar memiliki popularitas yang dapat menarik santri-santri dari seluruh Indonesia. Pesantren Gontor di ponorogo Jawa Timur, misalnya, bahkan menarik sejumlah santri dari luar negeri antara

lain Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand dan Filipina.169

Selain jumlah santri yang studi, menurut Dhofier pesantren menyandang status bermutu disebabkan oleh suksesnya lembaga tersebut menghasilkan sejumlah besar ulama yang berkualitas tinggi yang dijiwai oleh semangat untuk menyebarluaskan dan memantapkan keimanan orang-orang Islam, terutama di

pedesaan di Jawa.170

Lebih dari itu, membicarakan standar dalam pesantren, maka yang perlu diketahui bahwa dari studi ilmiah tentang pesantren masih belum ditemukan standarisasi di pesantren, mulai dari penataan manajemen pesantren maupun kurikulum pesantren. Sehingga hampir setiap pesantren mengajarkan kombinasi kitab yang berbeda dan banyak kyai terkenal sebagai spesialis kitab tertentu. Banyak santri tekun berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya dalam

upaya memperlajari semua kitab yang ingin mereka kuasai.171Mengingatkan

tentang mutu pesantren, Gus Dur berpendapat bahwa:

―...Pembinaan mutu pengajaran di pesantren, yang meliputi proyek -proyek berikut: penyusunan kurikulum yang lebih relevan bagi kebutuhan masyarakat, penyusunan silabus pengajaran yang dapat mengembangkan

rasa kesejarahan (historicy) pada ahli-ahli agama kita di masa depan,

penataran periodik bagi tenaga-tenaga pengajar, penyediaan alat-alat

pengajaran yang lebih memadai bagi kebutuhan dan sebagainya.172

169

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 39. 170

Ibid., h. 20

171

Martin Van Bruinesen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, cet.I., 1995).

172

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, cet. III, 2010), h. 300

Penyataan Gus Dur di atas merupakan sinyalemen dari sebuah pemikiran progresifnya untuk melakukan dinamisasi pendidikan pesantren. Di mana pesantren dituntut untuk melakukan perubahan dengan menyusun ulang kurikulum yang dipakai, silabus pengajaran yang berbasis pada sejarah,

melakukan penataran (halaqah) untuk para tenaga pengajar dan melengkapi diri

dengan peralatan atau tekhnologi mutakhir agar dapat menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat. Demikian halnya, usaha-usaha sosial, lembaga penilai mutu pendidikan, penerbitan buku-buku pelajaran, pendirian lembaga penelitian, penciptaan forum diskusi dengan lembaga pengetahuan lain dan pendirian perpustakaan harus segera dilakukan oleh pesantren.

Dengan demikian, langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk dinamisasi pendidikan pesantren adalah pembaharuan substansi atau isi kurikulum pendidikan Islam, pembaharuan managemen dan metodologi,

pengaturan kelembagaan (kepemimpinan dan diverifikasi lembaga),

pembaharuan dan pengembangan fungsi pesantren dari sekedar lembaga untuk tafaqquh fi al-dîn menjadi lembaga untuk transformasi masyarakat. Karena

sesungguhnya pendidikan Islam menghadapi beragamnya setting sosial dan

budaya di Indonesia menyebabkan persoalan pendidikan, khususnya pendidikan Islam menarik untuk dikaji dengan harapan mampu melahirkan formulasi-formulasi baru bagi pengembangan pendidikan Islam itu sendiri sehingga

menciptakan potensi dan kualitas sumber daya manusia yang tasamuh, toleran,

arif, dan bijaksana sesuai dengan budaya-budaya lokalitasnya.173

C. Manajemen