• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Kritik Eksternal Terhadap Quran

D.3. Kaum Yahudi

Al-Qur'an menunjukkan bahwa Muhammad memutuskan hubungannya dengan orang Yahudi pada tahun 624 M (atau segera setelah Hijrah pada tahun 622 M ), dan kemudian memindahkan kiblat pada waktu itu (QS 2:144, 149-150). Namun sumber-sumber non-Muslim awal menggambarkan hubungan yang baik antara Muslim dan Yahudi pada saat penaklukan pertama (akhir 620an ), dan bahkan kemudian.

Doktrina Iacobi

Kita ambil contoh kesaksian awal Muhammad dan gerakannya yang tersedia bagi kita di luar tradisi Islam, yakni sebuah traktat anti-Yahudi berbahasa Yunani disebut Iacobi Doctrina yang ditulis di Palestina antara 634 dan 640M (Brock 1982:9; Crone-Cook 1977:3). Traktat itu memperingatkan tentang orang Yahudi yang bercampur dengan Saracen, dan betapa bahaya jatuh ke tangan orang-orang Yahudi dan Saracen "(Bonwetsch 1910:88; Cook 1983:75). Pada kenyataannya, hubungan ini tampaknya menafaskan hak penundukan Yerusalem oleh kaum Yahudi dan Arab karena sumber Armenia awal menyebutkan bahwa gubernur Yerusalem pasca penaklukan adalah seorang Yahudi (Patkanean 1879:111; Sebeos 1904:103).

Yang penting di sini adalah kemungkinan bahwa orang-orang Yahudi dan Arab (Saracen) tampaknya bersekutu selama masa penaklukan Palestina dan bahkan untuk waktu yang singkat setelah (Crone-Cook 1977:6).

Dalam Doctrina Iacobi keintiman aliansi Yahudi -Arab ini kembali dibuktikan dengan indikasi adanya permusuhan terhadap kekristenan di beberapa bagian wilayah penaklukan. Menurut Bonwetsch, naskah ini menyebutkan seorang Yahudi Kristen yang protes bahwa ia tidak akan menyangkal Kristus sebagai anak Allah bahkan jika orang-orang Yahudi dan Saracen menangkapnya dan memotong dia untuk potong (Bonwetsch

1910:88). Hal ini jelas bahwa penulis percaya bahwa orang-orang Arab dan Yahudi berada di aliansi secara rukun dalam penaklukannya.

Keaslian catatan ini ditegaskan oleh kompilator besar Sirat Muhammad, Muhammad ibn Ishaq, dalam dokumen yang dikenal sebagai Konstitusi Madinah. "Dalam dokumen ini orang-orang Yahudi ditampilkan sebagai satu elemen pembentuk masyarakat (ummah) bersama dengan kaum beriman (muslim) meskipun mereka memeluk agama mereka sendiri dan tersebar di antara sejumlah suku Arab (Gottingen 1859:342; Guillaume 1955:233; Crone-Cook 1977:7 ). Karena, menurut baik Crone dan Cook dokumen ini salah satu unsur yang paling kuno dari tradisi Islam, kesesuaian dengan catatan eksternal awal asal-usul Islam ini sangat signifikan (Crone-Cook 1977:7).

Jika saksi-saksi dokumen ini benar , maka kita harus bertanya bagaimana bisa kaum Yahudi dan Saracen (Arab) bersekutu sampai setidaknya 640 M, manakala menurut Al-Qur'an, Muhammad memutuskan hubungan dengan orang-orang Yahudi sejak 624 AD, lebih dari 15 tahun yang sebelumnya?

Kitab Sejarah Armenia tahun 660 M

Untuk menjawab pertanyaan di atas kita perlu merujuk kepada catatan yang berkaitan dengan karir awal sang nabi, yang tertulis dalam Dokumen Sejarah Armenia ditulis oleh Uskup Sebeos sekitar tahun 660 M, (Sebeos 1904:94-96; Crone-Cook 1977 : 6). Penulis sejarah ini menjelaskan bagaimana Muhammad mendirikan sebuah komunitas yang terdiri dari kaum Ismael (Arab misalnya) dan Yahudi, dan bahwa platform bersama mereka adalah sebagai sesama keturunan Abraham, Arab melalui Ismael, dan Yahudi melalui Ishak (Sebeos 1904:94-96; Crone -Cook 1977:8; Cook 1983:75). Penulis sejarah percaya bahwa Muhammad telah memberkahi kedua masyarakat ini dengan hak kesulungan ke Tanah Suci, sementara secara bersamaan mengajarkan mereka dengan silsilah monoteis (Crone-Cook 1977:8). Ini bukan tanpa preseden sebab idea tentang hak kesulungan Ismael ke Tanah Suci itu sebelumnya dibahas dan ditolak di kitab Genesis Rabbah (61:7), di Talmud Babilonia dan dalam Kitab Yobel (Crone-Cook 1977:159).

Dengan demikian visi Muhammad bukan hanya Arab, tetapi berorientasi pada Palestina, dan secara istimewa bersama dengan kaum Yahudi (Crone-Cook 1977:8), menurut karya yang dilakukan oleh JB Chabot secara independent dikuatkan dalam tradisi Sejarah Yakobit (Chabot 1910:405).

Yang menarik, menurut penelitian yang dilakukan oleh Crone dan Cook, orientasi Palestina bertahan bahkan dalam tradisi islam yang kemudian, dimana Palestina disamarkan sebagai Suriah (Crone-Cook 1977:158). Kita hanya perlu mengacu pada tulisan Abu Dawud Sulayman b. al-Ash'ath al-Sijistani, dan Ahmad b. Muhammad bin Hanbal untuk menemukan bahwa nabi merekomendasikan Suriah sebagai lahan yang dipilih oleh Allah untuk memilih hamba-hamba-Nya (Abu Dawud ... 1348:388; Ahmad b. Muhammad bin Hanbal 1313:33 f; Munajid 1951:47-74). Kesimpulan ini juga cocok dengan pernyataan yang disebutkan sebelumnya oleh Crone tentang Hijrah Arab, atau eksodus, dari Arab ke utara, bukan hanya antar kota di Arabia, yaitu Mekkah ke Madinah.

Perpecahan antara Yahudi dan Arab, menurut penulis sejarah Armenia dari 660 AD, datang segera setelah penaklukan Yerusalem dari 640 AD (Sebeos 1904:98).

Sekali lagi kita menemukan sejumlah sumber non-muslim bertentangan dengan Al Qur'an, yang mempertahankan bahwa ada hubungan yang baik antara Arab dan Yahudi untuk setidaknya lebih dari 15 tahun melampaui apa yang Al Qur’an tulsikan.

Jika Palestina adalah fokus bagi kaum Arab, maka keberadaan kota Mekkah patut dipertanyakan.

D.4. Mekkah

Muslim mempertahankan bahwa "Mekah adalah pusat Islam, dan pusat sejarah." Menurut Al-Qur'an, "Tempat suci pertama yang ditunjuk untuk umat manusia adalah

Bakkah (atau Mekkah), tempat yang diberkati, menjadi petunjuk bagi bangsa-bangsa."

(QS 3:96) Dalam Surah 6:92 dan 42:5 kita menemukan bahwa Mekah adalah "ibu dari semua permukiman."

Menurut tradisi Muslim, Adam menempatkan batu hitam di Ka'bah asli sana, sedangkan menurut Al-Qur'an (QS 2:125-127) itu adalah Abraham dan Ismail yang membangun kembali Kabah beberapa tahun sesudahnya. Hal ini berimplikasi bahwa Mekah dianggap oleh umat Islam sebagai kota pertama dan paling penting di dunia!

Terlepas dari kesulitan yang jelas dalam mencari bukti dokumenter atau arkeologi apapun bahwa Abraham pernah pergi ke atau tinggal di Mekah, masalah utama terletak dalam menemukan setiap rujukan untuk kota sebelum kemunculan Islam. Dari riset yang dilakukan oleh baik Crone dan Cook, rujukan awal dan satu-satunya kepada Mekkah adalah adanya sebuah kesimpulan kepada sebuah kota yang bernama "Makoraba" oleh Ptolemeus seorang ahli bumi Yunani-Mesir di pertengahan abad ke-2. Meskipun kita bahkan tidak yakin apakah penyebutan tempat ini oleh Ptolemy mengacu pada Mekah atau bukan, karena ia hanya menyebutkan namanya secara sepintas.

Selanjutnya, menurut Dr Crone, tiga huruf akar bahasa Arab untuk Mekah (MKK) sama sekali tidak sesuai dengan tiga akar huruf Arab untuk Makoraba (KRB) (karena huruf 'ma-' yang mendahului 'koraba' menandakan 'tempat'). Dengan demikian, sama sekali tidak ada laporan tentang Mekah atau Kabbah di dokumen kuno otentik ! Itu berlaku sampai akhir abad ketujuh (Cook-74; Crone-Cook 1977:22). Bahkan, mereka mempertahankan, "referensi paling awal ditemukan di satu versi kitab Apokalips Psude-Metodius versi bahasa Siriah. (Crone-Cook 1977:22,171).

Namun, walaupun kitab apokalips itu sendiri berasal dari akhir abad ketujuh, referensi ke Mekah hanya ditemukan di salinan terkemudian, dan tidak hadir dalam tradisi Eropa atau tradisi Suriah belakangan, dan tidak pernah ada dalam Codex Vatikan, 'yang oleh etymologis anggap sebagai teks paling awal (rujukan diskusi pada pembahasan lihat catatan antara Nau dan Kmosko pada catatan "7", hal. 171, dalam Crone & Cook, Hagarism: 1977).

Referensi selanjutnya ke Mekah, menurut Crone dan Cook, muncul di Continuatio Byzantia Arabika, yang merupakan sumber yang berasal dari awal masa pemerintahan khalifah Hisyam, yang memerintah antara 724-743 AD (Crone-Cook 1977:22,171).

Oleh karena itu, bukti awal yang paling menguatkan yang kita miliki tentang kberadaan kota Mekkah benar-benar baru ada 100 tahun setelah tanggal yang dirujuk oleh Tradisi Islam dan Quran.

Mengapa? Jika Mekkah adalah kota yang begitu penting, tentu saja seseorang, di suatu tempat, akan pernah merujuk atau menyebut-nyebutkanya. Namun kita tidak menemukan apa-apa di luar kesimpulan kecil oleh Ptolemy 500 tahun sebelumnya, dan laporan awal pada abad ketujuh akhir dan kedelapan awal.

Dan itu belum semua, sebab muslim berpendapat bahwa Mekah itu bukan kota kuno dan besar, tetapi juga pusat rute perdagangan untuk Saudi pada abad ketujuh dan sebelumnya (Cook 1983:74; Crone 1987:3-6 ).

Namun, menurut penelitian yang luas oleh Bulliet tentang sejarah perdagangan di Timur-Tengah kuno, klaim-klaim oleh umat Islam jelas keliru, karena Mekah melulu tidak terletak pada rute perdagangan utama. Alasan untuk ini, ia berpendapat, bahwa, "Mekah ini terletak di tepi semenanjung. Hanya oleh pembacaan peta yang paling dipaksakan maka Mekkah bisa digambarkan sebagai persimpangan alami antara rute utara-selatan dan barat-timur salah satu . " (Bulliet 1975:105)

Hal ini dikuatkan oleh penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Groom dan Muller, yang berpendapat bahwa Mekah benar-benar tidak mungkin berada di jalur perdagangan, karena akan mensyaratkan jalan memutar dari rute yang seharusnya. Bahkan mereka akan menjauhi rute perdagangan yang harus dilewati beberapa seratus mil jika bersikeras melewati Mekkah (Groom 1981:193; Muller 1978:723).

Patricia Crone, dalam karyanya tentang Meccan Trade and the Rise of Islam menambahkan alasan praktis yang terlalu sering diabaikan oleh para sejarawan sebelumnya. Dia menunjukkan bahwa, Mekkah adalah tempat yang tandus, dan tempat tandus tidak menyediakan penghentian alami (pent: maksudnya seperti tempat-tempat teduh bagi para pemilk Caravan untuk beristirahat) , dan paling tidak ketika bagi mereka untuk menemukan lingkngan hijau pada jarak yang cukup dekat. Mengapa para kafilah harus mengarungi perjalanan curam lembah tandus Mekah ketika mereka bisa berhenti di Thaif? Mekah tentu saja memiliki baik tempat kudus maupun sumur, namun begitu pula Thaif, yang memiliki persediaan makanan, juga "(Crone 1987:6-7; Crone-. Cook 1977:22).

Selanjutnya, Patricia Crone bertanya, "Komoditas apa yang tersedia di Arabia yang dapat

diangkut dengan jarak seperti itu, melalui lingkungan yang tak ramah, dan masih laku dijual dengan keuntungan yang cukup besar untuk mendukung pertumbuhan sebuah kota di sebuah daerah yang dikelilingi keterbatasan sumber alam yang begitu menyolok?" (Crone 1987:7)

Bukanlah dupa, rempah-rempah atau barang eksotis lainnya seperti yang banyak penulis awal, yang sungguh tak dapat diandalkan keakuratannya tulisannya, telah isyaratkan (lihat diskusi Crone tentang masalah akurasi sejarah, terutama antara Lammens, Watts dan Kister, (Meccan Trade, 1987: 3).

Dalam pemaparan studi-nya di buku Meccan Trade and The Rise of Islam, Dr Crone

menunjukkan bahwa dari lima belas rempah-rempah yang dikaitkan ke Mekah: enam jenis tidak ditemukan sebelum abad keenam, dua jenis diimpor lewat laut; dua jenis, secara eksklusif dari Afrika Timur- yang berarti bukan dari Arab atau khas Arab, dua lagi kurang bisa dipercaya dan tidak pernah diperdagangkan, satu jenis bermasalah dalam identitas, dan dua lagi tidak dapat diidentifikasi sama sekali (Crone 1987:51-83).

Akibatnya, tak satu pun dari lima belas rempah-rempah dapat dikaitkan ke Mekkah. Jadi perdagangan apa yang terkenal yang bisa dikaitkan dengan kota Mekkah? Beberapa

Muslim mempertahankan itu perbankan atau mungkin penggembalaan unta, namun bagaimana mungkin dalam lingkungan setandus itu?

Menurut penelitian terbaru dan jauh lebih dapat diandalkan yang dilakukan oleh Kister dan Sprenger, orang Arab terlibat dalam perdagangan dari jenis yang sangat mendasar, yakni kulit dan pakaian; yang hampir tidak mungkin mampu menjadi konglomerasi dalam dimensi internasional (Kister 1965:116; Sprenger 1869:94). (pent. : maksudnya perdagangan dengan basic item seperti itu tidak memungkinkan untuk memunculkan pergerakan dengan tentara yang massive dan professional seperti dalam kisah-kisah peperangan Muhammad. Ini berimplikasi bahwa pergerakan awal Islam bukanlah di Mekkah).

Bagaimanapun, masalah nyata dengan Mekah adalah bahwa tidak ada perdagangan internasional yang terjadi di Arabia, apalagi di Mekkah, dalam satu abad sebelum kelahiran Muhammad. Tampaknya banyak data kita miliki tentang daerah ini telah diambil dari luar kawasan sebenarnya, karena penelitian ceroboh dari sumber asli yang dilakukan oleh Lammens, "seorang sarjana tidak bisa diandalkan," dan diulangi oleh orientalis besar seperti Watts, Shaban, Rodinson , Hitti, Lewis dan Shahid (Crone 1987:3,6). Lammens menggunakan sumber-sumber abad pertama (seperti Periplus - 50 AD - dan Pliny - 79 AD) seharusnya menggunakan data enam abad kemudian karangan sejarawan Yunani, Bizantium dan Mesir yang dekat dengan kejadian munculnya Islam (seperti Cosmas, Procopius dan Theodoretus - Crone 1987 :3,19-22, 44). Karena mereka tidak hanya pedagang, wisatawan dan geografi, tetapi sejarawan, mereka tahu area dan periode dan karena itu akan memberikan gambaran yang lebih akurat.

Seandainya Lammens merujuk pada sejarawan-sejarawan tersebut, maka ia akan menemukan bahwa perdagangan Yunani antara India dan Mediterania sepenuhnya lewat jalur maritim setelah abad pertama Masehi (Crone 1987:29). Orang hanya perlu melihat peta untuk mengerti alasannya. Adalah tidak masuk akal untuk mengirimkan barang-barang melintasi jarak tersebut lewat darat ketika jalur air tersedia. Patricia Crone menunjukkan bahwa di masa kaisar Diocletian (berkuasa di Roma 284 – 305 M) lebih murah untuk kapal gandum melewati laut sejauh 1.250 mil daripada mengangkutnya dengan tanah sejauh 50 mil (Crone 1987:7). Jarak dari Najran, Yaman di selatan, ke Gaza di sebelah utara adalah sekitar 1.250 mil. Untuk apa kapal-kapal pedagang dari India melaut sampai ke Aden, Yaman, lalu membongkarnya untuk diletakkan pada punggung unta yang jauh lebih lambat dan lebih mahal demi melintasi padang pasir Arab yang tidak ramah sampai ke Gaza, ketika mereka bisa membawanya terus di kapal dan mengikuti rute Laut Merah sampai pantai barat Arabia?

Dan tetap ada masalah lain juga. Seandainya Lammens meneliti sumber-sumbernya dengan benar, ia juga akan menemukan bahwa perdagangan Yunani-Romawi runtuh menjelang abad ketiga Masehi, sehingga pada saat Muhammad hanya ada rute darat, dan ada pasar Romawi dimana barang-barang akan ditujukan (Crone 1987 : 29). Dia akan juga menemukan bahwa bentuk perdagangan yang tersisa ternyata dikendalikan oleh orang Etiopia dan bukan Arab, dan bahwa kota Adulis di pantai Ethiopia Laut Merah dan bukan Mekah adalah pusat perdagangan di daerah itu (Crone 1987:11, 41-42 ).

Bahkan yang lebih penting lagi, seandainya Lammens meluangkan waktu untuk mempelajari sumber-sumber Yunani awal, ia akan menemukan bahwa orang-orang

Yunani, kepada siapa perdagangan ditujukan, bahkan tidak pernah mendengar apapun tentang suatu tempat bernama Mekah (Crone 1987:11,41-42). Jika Mekkah benar-benar

begitu penting, menurut tradisi Muslim dan orientalis baru-baru ini, tentu si penerima barang itu akan mencatat keberadaannya. Namun, kita tidak menemukan apa-apa.

merujuk pada kota Thaif (yang dekat dengan Mekah sekarang), dan ke Yathrib (yang kemudian disebut Madinah), serta Kaybar di utara, namun tidak disebutkan apa-apa tentang Mekah (Crone 1987:11). Bahkan dinasti Sassanid Persia, yang pernah menyerang Arab antara tahun 309 dan 570 Masehi menyebutkan menara kota Yatsrib (Madinah) dan Tihama, tapi tidak Mekkah (Crone 1987:46-50). Hal ini memang sangat

mengganggu.

Seandainya para orientalis yang baru-baru ini meluangkan waktu untuk memeriksa sumber-sumber yang Lammens gunakan, mereka juga akan menyadari bahwa sejak jalur darat itu tidak digunakan setelah abad pertama Masehi, tentu saja jalur itu digunakan pada abad kelima atau keenam (Crone 1987:42), dan banyak dari apa yang telah ditulis mengenai Mekah harus diperbaiki sebelumnya.

Akhirnya, masalah lokasi Mekah dalam sumber-sumber sekuler awal tidaklah unik , bahkan ada beberapa kebingungan dalam tradisi Islam di mana tepatnya Mekah pada awalnya terletak (lihat diskusi pada evolusi dari situs Mekah di Crone & Cook Hagarism 1977 : 23.173). Menurut riset yang dilakukan oleh J.van Ess, baik dalam perang sipil pertama dan kedua, ada catatan tentang orang-orang bepergian dari Madinah ke Irak melalui Mekah (van Ess 1971:16, lihat juga Muhammad b. Ahmad al-Dhahabi 1369: 343). Namun Mekah terletak di sebelah tenggara Madinah, dan Irak adalah utara-timur. Jadi tempat kudus bagi Islam, menurut tradisi-tradisi itu berada si sebelah utara Madinah, yang merupakan arah yang berlawanan dari mana Mekah saat ini!

Kita dibiarkan dalam kebingungan. Jika Mekah bukan pusat komersial besar seperti tradisi-tradisi Muslim ingin kita percayai, kalau Mekkah tidak diketahui dan ditulis oleh orang-orang yang hidup pada jaman itu, dan jika tidak bisa memenuhi syarat sebagai sebuah kota pada zaman Muhammad, tentu Mekkah tidak bisa menjadi pusat dunia Islam pada waktu itu. Kalau begitu kota mana yang jadi pusat dunia islam? Jawabannya adalah tidak begitu sulit ditebak, seperti yang telah diisyaratkan sebelumnya. Tampaknya Yerusalem dan bukan Mekah adalah pusat dan tempat suci kaum Haggarin atau Maghrabi (nama awal diberikan kepada orang-orang Arab) sampai sekitar 700 M.

Diskusi-diskusi di awal mengenai Hijrah, kiblat, dan Yahudi menunjukkan bahwa itu adalah ke arah utara, mungkin Palestina bahwa Hijrah diarahkan, bahwa tempat di daerah barat-laut Arab ketika kaum Hagarin berpaling untuk berdoa, dan bahwa itu adalah tujuan dimana mereka bersama orang-orang Yahudi melakukan penaklukan (Crone-Cook 1977:9,160-161,23-24,6-9). Belum lagi kita tambahkan fakta lain yang dapat membantu kita pada keyakinan ini:

Dalam dokumen Apakah Al Quran Wahyu Ilahi - By Jay Smith (Halaman 43-48)

Dokumen terkait