Perkembangan Jizyah
D. Ke Arah Keadilan yang Lebih Luas
Keadilan diartikan secara beragam. Ibn Hazm misalnya, keadilan adalah terjaminnya kebutuhan minimum pokok bagi semua warga negara. Untuk tujuan inilah zakat dan fai’ dialokasikan. Jika keduanya tidak mencukupi, maka tugas itu menjadi tanggungjawab pemerintah.308 Abu Yusuf menambahkan
bahwa jizyah yang dikenakan kepada zimmi harus dialokasikan untuk kepentingan perlindungan bagi harta kekayaan dan usaha mereka. Oleh karena itu, wanita, anak-anak, dan orang tua tidak dikenakan
jizyah.309
Dari apa yang mereka ungkapkan, dapat ditarik benang merah bahwa keadilan (dalam kebijakan keuangan publik) berarti adanya timbal balik antara hak dan kewajiban. Lebih tegas lagi, al-Gazali menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menolong warga negara yang menderita kesusahan karena masa paceklik, kelangkaan barang, dan tingginya harga-harga kebutuhan pokok. Pemerintah berkewajiban mengeluarkan pembiayaan untuk mereka yang diambil dari bait al-mal.310 Pandangan
al-Gazali tersebut sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Jassas ketika menafsirkan surat Yusuf.311
Dalam kerangka kajian ini, suatu perekonomian dikatakan telah mencapai taraf keadilan jika barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan semua orang terpenuhi secara memuaskan, dan terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, serta tidak memberikan pengaruh yang merugikan terhadap kesempatan kerja, motivasi usaha, tabungan dan investasi.
Pendekatan Ibn Taimiyyah terhadap pemerataan pendapatan maupun kesempatan kerja memiliki keistimewaan tertentu yang membedakannya dengan pendekatan yang diterapkan dalam sistem ekonomi
305 Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hlm. 85
306 Gazi Inayah, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, terj. Zainudin Adnan dan N. Falah (Yogya: Tiara Wacana, 1995), hlm. 44-45.
307 Ibid., hlm. 109-110.
308Ibn Hazm, al-Muhalla, (Mesir: Matba’ah an-Nahdah, 1347), VI, hal. 156.
309 Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hal. 272-3. Demikian juga pendapat yang dikemukakan oleh Imam asy-Syafi’i, dalam al- Umm, V, hal. 50.
310Abu Hamid al-Gazali, at-Tibr al Masbuk fi Nasaikh al-Muluk, (Kairo: Matba’ah Khairiyyah, tt.), hal. 94. 311 Jassas, Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Matba’ah Salafiah, 1395), III, hal. 176
modern (Keynesian). Keistimewaan yang paling menonjol adalah bahwa pendekatan Ibn Taimiyyah terhadap pemberantasan kemiskinan merupakan sebuah kewajiban yang bersifat ganda (perintah agama dan kewajiban sebagai warga negara).312
Kebijakan keuangan publik diharapkan memainkan peranan yang penting dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan menjaga agar pendapatan dan kekayaan yang adil terpelihara dalam batasan-batasan yang diterima oleh perekonomian Islam. Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak menetapkan suatu sistem keuangan yang kaku. Islam tidak mengikat negara dengan ukuran pajak tertentu, suatu negara bisa saja mempunyai kebijakan yang berlainan dengan negara lain. Dalam hal ini ia menekankan akan pentingnya memperhatikan realitas sosial yang melingkupinya.
Penekanan yang utama sebagaimana disinyalir para ekonom muslim adalah pada tanggung jawab negara untuk memberikan penyelamatan pada kaum fakir miskin, dan dalam konteks inilah maka pengumpulan dan pendistribusian zakat pada setiap bagian negara merupakan suatu kewajiban. Meskipun pajak maupun zakat seharusnya dibebankan dan didistribusikan dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan,313 namun harus disadari bahwa keduanya tidak akan memperkaya kaum miskin.
Paling tidak, pajak dan zakat diharapkan dapat berfungsi untuk menghapus ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Data dari negara-negara tertentu menunjukkan, zakat (tidak termasuk pajak) memiliki potensi untuk mengalihkan 3% sampai 4% hasil kotor domestik setiap tahun kepada penduduk miskin.314
Berbagai kajian keuangan publik Islam mengerucut kepada keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal ini hanya dapat dicapai bila pemerintahan bersikap adil dan menganggap kepemimpinannya sebagai kepercayaan (amanat) yang diberikan oleh rakyat. Oleh karena itu dalam suatu perekonomian Islam, semua kebijakan dapat diambil asal tetap berpegang pada fungsi tersebut. Dalam hal ini, anggaran
defisit sebagaimana dianjurkan Keynes, bisa saja diterima, dengan catatan jika data-data menunjukkan
terjadinya peningkatan hasil dari negara peminjam dan ada kemampuan untuk membayar hutang itu.315
Namun, hemat penulis, pemakaian defisit anggaran harus diperhitungkan dengan cermat. Sebab, sekali suatu negara menggunakan anggaran defisit (yang berarti bergantung pada bantuan asing), maka
sangat sulit untuk keluar dari ketergantungan tersebut.316 Sebab, kebijakan pemotongan pengeluaran
yang tinggi, atau penaikan pajak yang berlebihan yang dituntut oleh pengembalian selalu tidak dapat diterima secara politis maupun publik.317 Banyak negara penerima bantuan hanya involve sedikit dalam
proyek-proyek yang didanai dengan hutang luar negeri. Menurut Sritua Arief, terakumulasinya hutang luar negeri ini terjadi karena dua hal, pertama, nilai cicilan plus bunga yang lebih besar dari nilai hutang
312 Ibn Taimiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah, 1976), hal 95. Lihat juga, Ibn Taimiyyah,
as-Siyasah as-Syar’iyyah fi Islah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah, (Mesir: Dār al-Kitab al-‘Arabiy, 1969), hal. 178
313 Ibn Taimiyyah, As-Siyasah, hal. 11, 46
314Ziauddin Ahmad, Al-Qur’an, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, terj. Ratri Pirianita, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 51. Lihat juga, Sahri Muhammad, “Eksperimen Zakat Masjid Raden Fatah, Universitas Brawijaya” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, no. 9, vol. II, 1991 M/1411 H, hal. 97. Meskipun masih dalam lingkup yang sangat terbatas, eksperimen ini menunjukkan suatu hasil yang menjanjikan.
315Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The Islamic Foundation, 1995), hal. 303.
316Menurut data dari Jubilee Debt Campaign, sebuah jaringan yang melakukan advokasi untuk menghapus utang luar negeri negara-negara berkembang, pada tahun 2006, total utang luar negeri negara-negara berkembang adalah 2.9 triliun USD, dan pada tahun yang sama mereka membayar 573 miliar USD. Sementara negara-negara paling miskin di dunia, pada tahun yang sama membayar 34 miliar USD kepada negara-negara kaya; artinya negara-negara miskin membayar 94 juta USD setiap harinya kepada negara-negara kaya. Perhitungan lain menunjukkan bahwa negara-negara berkembang membayar 13 USD untuk membayar kembali 1 USD; dan sekitar 60 negara termiskin telah membayar 550 miliar USD untuk pinjaman pokok dan bunganya, selama 30 tahun terakhir, namun masih berutang 523 milliar USD.
317Indonesia merupakan contoh yang paling konkrit untuk menerangkan hal ini. Walaupun pengeluaran pemerintah disusun
berdasarkan anggaran berimbang, namun secara substansial selalu defisit. Lebih buruk lagi, alokasi dari anggaran itu tak begitu
efektif untuk menstimulasi perekonomian karena menghadapi berbagai persoalan pelik seperti kultur birokrasi yang korup, dan sumber pendanaan yang diperoleh dari utang. Akibatnya, upaya pemerintah untuk menstimulasi kebutuhan ekonomi selalu dibarengi dengan akumulasi hutang. Per akhir Januari 2014, hutang pemerintah Indonesia tercatat sebesar Rp2.465,45 triliun. Di samping itu, dampak lanjutan (multiplier effect) dari kebijakan tersebut tidak maksimal.
baru yang diterima, kedua, merosotnya nilai tukar (terms of trade) produk-produk ekspor dari negara- negara ini ke negara-negara maju.318
Penghasilan dari pajak tidak bisa ditingkatkan seiring dengan pengeluaran, karena dasar-dasar
perpajakan yang terbatas dan ketidakefisienan serta korupsi administrasi perpajakan yang biasanya
terjadi di negara-negara berkembang seperti indonesia. Selain itu, pajak yang terlalu tinggi akan merusak dunia investasi dan output, sehingga pada akhirnya menyebabkan lambannya pertumbuhan ekonomi.319 Untuk mengatasi keadaan ini, pemerintah tidak mungkin lagi menggunakan resep Keynes,
karena persoalan yang mendasarinya sama sekali telah berbeda dengan konteks sekarang. Sebagaimana sering ditekankan oleh Keynes sendiri, bahwa persoalan ekonomi adalah persoalan jangka pendek.
Kritik yang sering dilontarkan terhadap teori Keynes adalah bahwa ia mempostulasikan investasi semata-mata berfungsi sebagai alat untuk memperbesar permintaan efektif. Keynes tidak banyak mempersoalkan kandungan suatu investasi. Banyak negara berkembang yang mendukung teori Keynes, Pihak pengambil keputusan ekonomi nasional di negara-negara tersebut melakukan upaya-upaya yang efektif untuk mengarahkan investasi ke sektor-sektor yang produktif. Apa yang terjadi adalah kegiatan investasi yang mendukung rentier consumption.320 Semakin besar dana investasi disalurkan untuk
tujuan investasi seperti ini, maka akan semakin rendah tingkat pertumbuhan persediaan barang modal yang dapat digunakan untuk tujuan reproduksi.
Keseluruhan perangkat kebijaksanaan Keynes kendati mengandung tujuan-tujuan pemerataan dan perluasan kerja, masih dianggap oleh banyak pihak sebagai perangkat kebijakan ekonomi yang sangat berorientasi kepada pertumbuhan. Redistribusi dijalankan melalui pertumbuhan, bukan bersama pertumbuhan. Sementara itu banyak kalangan yang melontarkan pendapat bahwa kebijaksanaan- kebijaksanaan yang telah dijalankan untuk menghadapi gejolak-gejolak eksternal yang berpengaruh negatif terhadap ekonomi Indonesia dianggap sebagai kebijaksanaan yang hanya bersifat stop- gap measures. Sebagai stop-gap measures kebijaksanaan-kebijaksanaan ini kurang mengandung bobot strategis untuk jangka panjang sehingga dikhawatirkan tujuan-tujuan jangka panjang proses pembangunan menjadi semakin jauh dari jangkauan. Dikhawatirkan strategi perdagangan luar negeri yang pragmatis dapat menjadi lebih dominan dalam wawasan pembangunan disubordinasikan terhadap strategi perdagangan luar negeri bukan sebaliknya.
Pemakaian kebijakan fiskal sebagai teknik stabilisasi jangka pendek pada prakteknya menghadapi
masalah, yakni kurang efektif. Perubahan tingkat pajak, khususnya perubahan pajak pendapatan, adalah tidak praktis dan memakan waktu yang lama; demikian juga halnya dengan proporsi yang besar dari pengeluaran pemerintah untuk, misalnya, pembangunan sekolah, jalan, rumah sakit dan pertahanan nasional, menggambarkan komitmen ekonomi dan sosial jangka panjang dan perubahannya tidak mudah dilakukan tanpa melalui prosedur formalitas perundingan politik yang cukup panjang. Demikian juga perubahan dalam pajak atau pengeluaran mengakibatkan efek pengganda (multiple effect),321 tetapi
untuk jangka waktu panjang yang tidak dapat ditentukan.
Selain itu, penggunaan kebijakan fiskal untuk mempertahankan agar perekonomian tetap berjalan
pada tingkat permintaan agregat yang tinggi untuk mencapai penggunaan tenaga kerja penuh sering
mengarah pada inflasi yang disebabkan oleh permintaan (demand-pull inflation).
Karena suatu kebijaksanaan pajak agaknya kurang efektif dalam mempromosikan keadilan dan kesamaan sosial, maka dalam konteks masyarakat yang berorientasi kepada kemakmuran, seperti
318 Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, (Jakarta: CIDES, 1998), hal. 238
319Abdelhameed Bashir dan Ali F. Darrat, “Human Capital, Government Policies, and Economic Growth: Some Evidence for Muslim Countries” dalam Economic Growth and Human Resource Development in an Islamic Perspective, Ehsan Ahmed, ed., (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1993), hal. 99
320 Sritua Arief, Teori dan Pengantar, hal. 8
masyarakat Islam, perencanaan perekonomian dan kebijaksanaan pembelanjaan jangka menengah yang memberi prioritas luas bagi pembelanjaan masyarakat menjadi sangat penting. Kebijaksanaan jangka menengah dalam hal ini adalah kebijakan yang menetapkan serangkaian target untuk kebutuhan pinjaman sektor publik (public-sector borrowing requirement). Dengan demikian, tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memberi kesempatan lebih bagi sektor swasta dalam kancah perekonomian.
Prioritas luas bagi pembelanjaan masyarakat ini harus sejalan dengan seluruh tuntutan untuk menjamin keadilan sosial baik statis maupun dinamis. Implikasi langsung dari pernyataan ini adalah bahwa, akan harus ada suatu pembagian yang adil antara kebutuhan konsumsi langsung dengan kebutuhan pembentukan modal (investasi).
Secara umum belanja masyarakat haruslah mencerminkan kenyataan bahwa dalam perekonomian Islami, negara harus memainkan peranan penting, tidak hanya sebagai satu katalis melainkan juga sebagai agen perubahan yang aktif, dalam proses dinamis menggerakkan perekonomian ke arah cita- cita Islam. Di bidang kebijaksanaan stabilitasi, negara juga akan terlibat dalam proyek-proyek untuk menciptakan kesempatan kerja di daerah-daerah minus dan juga untuk membangkitkan permintaan efektif pada saat depresi.
Meskipun negara memainkan peran yang penting, namun harus dijaga jangan sampai kebijakannya
menafikan peran swasta. Hal ini akan berakibat pengebirian kreativitas swasta dalam menciptakan
output. Selain itu, pemerintah hendaknya juga dapat mengelola fungsi zakat dengan baik, sebab sebagaimana uraian sebelumnya, zakat mempunyai potensi yang luar biasa untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
E. Penutup
Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran tentang keuangan publik telah dimulai sejak awal kehadiran Islam itu sendiri. Persinggungan Islam dengan peradaban-peradaban lain
menjadi penting ditelusuri untuk memahami hukum Islam dengan baik. Khalifah Umar ibn Khaṭṭāb
telah memulai upaya-upaya kontekstualisasi hukum Islam sesuai dengan kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Seringkali upayanya itu harus berhadapan dengan pola-pola pemahaman tekstualis para sahabat. Puncak pemberlakuan sistem pajak yang mengacu kepada sistem keuangan publik masa Islam klasik adalah pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal itu setidaknya terbukti dari sejarah perkembangan pemikiran para ekonom di masa tersebut, di antaranya adalah Abu Yusuf dan Abu Ubayd.
Terkait dengan sistem perpajakan ushr dan jizyah, dengan mengikuti ijtihad Khalifah Umar, pemerintah Muslim modern sudah semestinya membuat rekonstruksi dan standarisasi aturan
pembayaran pajak (fiskal) untuk mewujudkan keadilan serta menghindari perasaan diskriminasi
di antara masyarakat. Dalam kontek pemikiran ekonomi kontemporer, faktor terpenting yang perlu
dipertimbangkan dari ijtihad Umar ibn Khaṭṭāb adalah pendekatan yang digunakannya untuk selalu
mereaktualisasikan ketentuan-ketentuan Islam dengan mempertimbangkan perubahan kondisi sosio- historis. Wallahu a’lam bi al-shawab
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ubayd, Kitab al-Amwāl (Beirut: Dār al-Kutub, 1986). Abu Yusuf, Kitab al-Kharāj (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1979).
Ahmad, Ziauddin, Al-Qur’an, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, terj. Ratri Pirianita, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998).
Al-Gazali, Abu Hamid, at-Tibr al Masbuk fi Nasaikh al-Muluk, (Kairo: Matba’ah Khairiyyah, tt.). Arief, Sritua, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, (Jakarta: CIDES, 1998),
Aronson, J. Richard, Public Finance (Singapura: McGraw-Hill, 1985).
Azmi, Sabahuddin, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought (New Delhi: Goodword Books, 2004).
Azwar, Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajagrafinso Persada, 2004). Bashir, Abdelhameed dan Ali F. Darrat, “Human Capital, Government Policies, and Economic
Growth: Some Evidence for Muslim Countries” dalam Economic Growth and Human Resource Development in an Islamic Perspective, Ehsan Ahmed, ed., (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1993).
Chapra, Umer, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The Islamic Foundation, 1995). Ibn Hazm, al-Muhalla, (Mesir: Matba’ah an-Nahdah, 1347).
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Istanbul: Dār Qahraman wa al-Tawzi’, 1984). Ibn Manzur, Lisan al-Araby (Kairo: Dār al-Mishriyyah, t.t.).
Ibn Taimiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah, 1976).
Ibn Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, (Mesir: Dār al-Kitab al- ‘Arabiy, 1969).
Inayah, Gazi, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, terj. Zainudin Adnan dan N. Falah (Yogya: Tiara Wacana, 1995).
Iqbal, Munawar, Financing Public Expenditure: An Islamic Perspective (Jeddah: IRTI, 2004) Jassas, Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Matba’ah Salafiah, 1395).
Karim, Khalil Abdul, Sejarah Perkelahian Makna, terj. Kamran As’ad (Yogyakarta: LkiS, 2003). Khalaf, ‘Abd al-Wahhab, al-Siyasah al-Syar’iyyah (al-Munirah: Matba’ah al-Taqaddum, 1977). Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf (Yogyakarta: PSEI STIS, 2003).
Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993).
Muhammad, Sahri, “Eksperimen Zakat Masjid Raden Fatah, Universitas Brawijaya” dalam Jurnal
Ulumul Qur’an, no. 9, vol. II, 1991 M/1411 H.
Musgrave, R.A. dan P.B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice (Singapura: McGraw Hill, 1987).
Nezhad, M. Sarra, “Tribute (Kharāj) as a Tax on Land is Islam,” dalam International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 5, No. 1.
Peerzade, Sayed Afzal (ed.), Readings in Islamic Fiscal Policy (Delhi: Adam Publisher, 1996).
Sadeq, Abulhasan M. dan Aidit Ghazali (ed.), Readings in Islamic Economic Thought (Kuala Lumpur:
Longman Mālaysia, 1992).