• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PBB DALAM MENGATASI KONFLIK INTERNAL SUATU NEGARA

TINJAUAN MENGENAI INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB

D. Keabsahan Intervensi Pihak Asing di Libya menurut Hukum Internasional

Terlepas dari motif politik yang dimiliki oleh Negara asing dalam melakukan intervensi di Libya, jika dilihat dari perspektif hukum internasional setidaknya ada dua hal pokok yang mendasari kontradiksi intervensi militer negara-negara NATO ke Libya.

Pertama, bahwa Hukum internasional menjunjung tinggi prinsip non-intervensi, dalam arti bahwa negara lain atau organisasi internasional manapun pada dasarnya tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara. Sebab kedaulatan negara adalah ius cogens yang tidak bisa diganggu gugat

Kedua, intervensi militer yang awalnya didesain dalam rangka melindungi rakyat sipil di Libya dari tentara Pro Khadafi, justru malah mengakibatkan jumlah korban yang merupakan warga sipil menjadi ribuan jiwa dan puluhan ribu lainnya terpaksa harus mengungsi.

Piagam PBB telah mengatur larangan untuk melakukan intervensi pada Pasal 2 (4). Pasal tersebut berbunyi :

All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political

independence of any state, or in any other manner inconsistent with

the purpose of the United Nations.

Tafsiran penggunaan kekuasaan (use of force) dalam konfrensi adalah penggunaan kekerasan fisik atau bersenjata (armed force)100

100

Goodrich dan Hambro, op.cit.,hal.104

. Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan dalam pasal 2 (4) tidaklah absolut, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang

digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. Selanjutnya harus dapat dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar tujuan dari PBB101. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata (use of force) yang dilarang menurut hukum internasional adalah ketika ada keinginan negara untuk bermusuhan ditambah dengan aktivitis militer102

Prinsip non intervensi menurut sebagian pendapat ahli telah sampai pada tahap jus cogens

.

103

Menurut Vedross terdapat tiga ciri aturan atau prinsip yang dapat menjadi Jus Cogens hukum internasional yaitu:

. Ketika sebuah prinsip dalam hukum internasional telah mencapai derajat Jus Cogens, maka prinsip tersebut tidak dapat dikecualikan dalam keadaan apapun. Jus Cogens dalam hukum internasional pun masih menjadi perdebatan. Sulit untuk menentukan faktor apakah yang dapat menjadikan sebuah prinsip dalam hukum internasional menjadi sebuah Jus Cogens.

1) Kepentingan bersama dalam masyarakat internasional. 2) Timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.

3) Sesuai atau selaras dengan piagam PBB.104

Sedangkan disisi lain intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya karena menurut Pasal 2 (4) Piagam PBB, intervensi bukanlah sebuah larangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah

101

Philip C. Jessup, Op.cit., hlm. 162 102

Rosalyn Higgins, Problem and Process International Law and How We use it, Oxford University Press, England,1994, hlm. 246

103

Jianming Shen, Then Non Intervention Principle and Humanitarian Intervention under International Law, International Legal Theory, 2001. hlm.1

104

(territorial integrity), kebebasan politik (political independence) dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations). Kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusiaan pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia.105

Masyarakat internasional telah bersepakat bahwa intervensi kemanusiaan hanya bisa dilakukan secara kolektif melalui otoritas dewan keamanan dengan membentuk kerjasama internasional. Hal ini didasarkan melalui piagam PBB bab VII, yang merupakan pasal tentang pengecualian penggunaan kekerasan bersenjata.

Kritik yang sering disorot atas legitimisi penggunaan kekerasan atas nama intervensi kemanusiaan adalah seringnya tindakan tersebut disalahgunakan oleh negara kuat untuk menekan kebebasan dan kemerdekaan negara lemah. Shen menyatakan, intervensi kemanusiaan bukanlah sebuah persoalan hukum, doktrin tersebut merupakan permasalahan kepentingan (interest), kekuatan (power) dan dominasi (dominance)106.

105

Anthony D’Amato, Op.cit, hlm.20

106

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Praktik intervensi negara yang pernah dilakukan antara lain, adalah:intervensi yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Vietnam yang terjadi pada tahun 1965-1966, intervensi pasukan koalisi Amerika Serikat, Inggris dan Perancis terhadap Irak pada tahun 1991, intervensi yang terjadi di Yugoslavia dan Somalia pada tahun 1992. Meskipun tidak ada mandat langsung oleh PBB untuk melakukan intervensi, namun Negara-negara tersebut melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan yang diatur dalam hukum kebiasaan internasional.

2. Implementasi dari Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa1973 terhadap Libya adalah pemberlakuan zona larangan terbang

untuk mencegah pasukan pemerintah Libya dari melakukan serangan udara terhadap pasukan pemberontak dan memerintahkan pasukan asing untuk “menggunakan semua tindakan yang diperlukan” untuk melindungi warga sipil.

3. Berdasarkan Hukum Internasional maka intervensi yang dilakukan pihak asing terhadap Libya dapat dibenarkan selama didasari oleh alasan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya karena menurut Pasal 2 (4) Piagam PBB,

intervensi bukanlah sebuah larangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah (territorial integrity), kebebasan politik (political independence) dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations).

B. Saran

1. Praktik intervensi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh koalisi negara-negara besar terhadap Negara kecil seharusnya benar- benar dilakukan atas dasar kemanusiaan dan jangan sampai melanggar kesatuan wilayah, kebebasan politik serta tidak bertentangan dengan tujuan PBB.

2. Pelaksanaan dari Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 seharusnya dilakukan dengan adanya pengawasan dari Dewan Keamanan PBB, sehingga pelaksanaan intervensi tersebut tidak disalahgunakan oleh negara-negara yang terlibat dan mencegah timbulnya banyak korban sipil.

3. Dewan Keamanan PBB sebagai organ yang berwenang dalam mengeluarkan suatu resolusi seharusnya bersikap tegas dengan menjatuhkan sanksi terhadap negara yang melakukan pelanggaran terhadap isi dari resolusi tersebut dan tidak bersikap memihak negara-negara besar.