• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Intervensi Pihak Asing Atas Konflik Internal Libya Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Intervensi Pihak Asing Atas Konflik Internal Libya Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN

KEAMANAN PBB

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh : FARAH MEUTIA

NIM. 070200045

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(2)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama ,Penulis ingin memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik dan tepat waktu.

Adapun tujuan dari penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Intervensi Pihak Asing Atas Konflik Internal Libya Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB” adalah untuk memenuhi persyaratan kelulusan dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk meraih gelar sarjana hukum.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penulisan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis memohon kemurahan pembaca kiranya memberikan masukan dan kritik membangun bagi penyempurnaan karya ilmiah ini.

Dalam proses penulisan ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagia pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(3)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH, DFM sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum. sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Arif, SH, M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Internasional sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan masukan, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum sebagai Wakil Ketua Departemen Hukum Internasional sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah memberikan masukan, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skipsi ini.

7. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum USU yang telah mendidik dan membina penulis selama masa perkuliahan

8. Seluruh staf Departemen Hukum Keperdataan Dagang pada khususnya dan seluruh staf Administrasi Fakultas Hukum USU dimana penulis menimba ilmu selama ini.

9. Kedua orang tua Penulis (Isfandiary Harahap dan Ali Djauhari) yang telah menjadi motivasi dan menjadi penyemangat penulis selama ini serta kepada dan yang selalu mendoakan dan memberikan dukungannya serta memotivasi penulis dalam menyelasaikan penulisan skripsi ini.

10. Saudara-saudara sepupuku dan uwak-uwak Penulis yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi dari pengajuan judul hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(4)

yang selalu membantu dan memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Kak Sandra Dwi Anita yang selalu menyemangati penulis dari awal penulisan skripsi ini. 13. Kepada semua orang yang telah membantu dan mendukung penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini dan tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan, baik itu kata-kata maupun perbuatan. Semoga yang penulis sajikan dalam skripsi ini dapat membawa manfaat bagi kita semua.

Medan, April 2011 Penulis ,

(5)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK

INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB

ABSTRAK

Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1973 yang menghasilkan intervensi militer oleh pasukan koalisi Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Kanada dan Italia terhadap konflik bersenjata di Libya telah membuka kembali permasalahan klasik antara menghormati kedaulatan suatu Negara (State Sovereignity) dan dorongan untuk bertindak guna menjunjung dan melindungi hak asasi manusia. Kondisi inilah yang menyita perhatian publik internasional, terutama Negara-negara maju. Akhirnya pada tanggal 18 Maret 2011, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973 terkait dengan krisis di Libya. Resolusi tersebut menetapkan zona larangan terbang di atas wilayah Libya dan mengizinkan Negara-negara anggota untuk mengambil semua langkah yang diperlukan dalam melindungi penduduk sipil dari serangan pasukan pro Khadafi.

Dengan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini dianggap penting untuk dibahas permasalahan tentang pengaturan hukum internasional mengenai keabsahan intervensi pihak asing di Libya berdasarkan resolusi dewan keamanan PBB.

Untuk menjawab permasalahan diatas, maka dalam penelitian ini digunakan metodologi penelitian dengan pendekatan hukum normatif, karena hendak meneliti dan menelaah produk hukum yang berlaku dan mengatur tentang intervensi, dan bersifat deskriptif. Untuk mendukung objektifitas terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka diperlukan adanya data sekunder yang berkaitan dengan permasalahan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diambil dari penelitian kepustakaan (library research), dan buku-buku, serta dianalisa secara kualitatif.

Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu hukum internasional menjunjung tinggi prinsip non-intervensi, yang didasarkan pada Pasal 2 (4) Piagam PBB mengenai larangan penggunaan kekerasan fisik atau bersenjata terhadap wilayah atau kebebasan politik suatu negara. Namun, berdasarkan Bab VII Piagam PBB mengenai pengecualian penggunaan kekerasan bersenjata, masyarakat internasional telah bersepakat bahwa intervensi hanya dapat dilakukan atas dasar kemanusiaan dan dilakukan secara kolektif melalui otoritas Dewan Keamanan PBB.

──────────────── Kata Kunci:

-Intervensi

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ………. i

Abstraksi ………. iv

Daftar isi ………. v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah ………..……….. 4

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ……….... 4

D. Keaslian Penulisan ……….…….. 5

E. Tinjauan Pustaka ………..…………... 6

F. Metode Penelitian ………... 8

G. Sistematika Penulisan ………..………. 11

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI INTERVENSI A. Intervensi Sebagai Bagian Dari Hukum Internasional……... 13

B. Intervensi Yang Diperbolehkan dan Yang Tidak Diperbolehkan.. 16

C. Sebab-Sebab Suatu Negara Melakukan Intervensi……… 23

(7)

BAB III PERANAN PBB DALAM MENGATASI KONFLIK INTERNAL SUATU NEGARA

A. Kekuasaan yang diberikan kepada Dewan Keamanan PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional………... ………29

B. Kewenangan Dewan Keamanan PBB Dalam Memuruskan Suatu Resolusi Mengenai Pelaksanaan Perdamaian dan Keamanan

Internasional ………..……….. 40 C. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973…………..……….. 46 D. Implementasi dari Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973

Terhadap Libya ...51

BAB IV TINJAUAN MENGENAI INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB

A. Latar Belakang Terjadinya Konflik di Libya …….…... 54 B. Pelaksanaan Intervensi Pihak Asing ke Libya………... 58 C. Akibat dari Adanya Intervensi Pihak Asing di Libya…... 60 D. Keabsahan Intervensi Pihak Asing di Libya Menurut Hukum

Internasional .…... 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……… 65

(8)
(9)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK

INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB

ABSTRAK

Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1973 yang menghasilkan intervensi militer oleh pasukan koalisi Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Kanada dan Italia terhadap konflik bersenjata di Libya telah membuka kembali permasalahan klasik antara menghormati kedaulatan suatu Negara (State Sovereignity) dan dorongan untuk bertindak guna menjunjung dan melindungi hak asasi manusia. Kondisi inilah yang menyita perhatian publik internasional, terutama Negara-negara maju. Akhirnya pada tanggal 18 Maret 2011, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973 terkait dengan krisis di Libya. Resolusi tersebut menetapkan zona larangan terbang di atas wilayah Libya dan mengizinkan Negara-negara anggota untuk mengambil semua langkah yang diperlukan dalam melindungi penduduk sipil dari serangan pasukan pro Khadafi.

Dengan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini dianggap penting untuk dibahas permasalahan tentang pengaturan hukum internasional mengenai keabsahan intervensi pihak asing di Libya berdasarkan resolusi dewan keamanan PBB.

Untuk menjawab permasalahan diatas, maka dalam penelitian ini digunakan metodologi penelitian dengan pendekatan hukum normatif, karena hendak meneliti dan menelaah produk hukum yang berlaku dan mengatur tentang intervensi, dan bersifat deskriptif. Untuk mendukung objektifitas terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka diperlukan adanya data sekunder yang berkaitan dengan permasalahan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diambil dari penelitian kepustakaan (library research), dan buku-buku, serta dianalisa secara kualitatif.

Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu hukum internasional menjunjung tinggi prinsip non-intervensi, yang didasarkan pada Pasal 2 (4) Piagam PBB mengenai larangan penggunaan kekerasan fisik atau bersenjata terhadap wilayah atau kebebasan politik suatu negara. Namun, berdasarkan Bab VII Piagam PBB mengenai pengecualian penggunaan kekerasan bersenjata, masyarakat internasional telah bersepakat bahwa intervensi hanya dapat dilakukan atas dasar kemanusiaan dan dilakukan secara kolektif melalui otoritas Dewan Keamanan PBB.

──────────────── Kata Kunci:

-Intervensi

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1973 yang menghasilkan intervensi militer oleh pasukan koalisi Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Kanada dan Italia terhadap konflik bersenjata di Libya telah membuka kembali permasalahan klasik antara menghormati kedaulatan suatu Negara (State Sovereignity)1

Libya adalah Negara di Timur Tengah yang sudah 42 tahun dipimpin oleh Moammar Khadafi. Situasi dalam negeri yang dinilai tidak banyak membawa perubahan positif bagi rakyat Libya dan disertai dengan adanya efek domino

dan dorongan untuk bertindak guna menjunjung dan melindungi hak asasi manusia.

2

Gelombang protes yang dilakukan oleh rakyat Libya tidak membuat Khadafi bersedia mundur. Bentrokan fisikpun tidak terhindarkan dengan aparat keamanan. Keadaan semakin parah dengan sikap Khadafi yang merespon para pengunjuk rasa dan pihak oposisi dengan serangan militer yang menewaskan ribuan penduduk sipil. Menurut runtuhnya kekuasaan Ben Ali di Tunisia dan Husni Mubarak di Mesir telah memicu gelombang protes besar-besaran dari rakyat Libya menuntut agar Khadafi segera mundur dari jabatannya sebagai Presiden Libya.

1

Bahwa kekuasaan berasal dari Negara, sebab adanya Negara adalah kodrat alam.Pada pelaksanaannya penguasalah yang memegang kekuasaan Negara sehinggga dapat menimbulkan pemerintahan yang otoriter seperti pada zaman Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, dan sebagainya. Teori ini dikemukakan oleh Jean Bodin dan Georg Jellinek.

2

Reaksi yang terjadi ketika perubahan kecil menyebabkan perubahan lain yang serupa di dekatnya, yang kemudian akan menyebabkan perubahan lain yang serupa, dan begitu juga seterusnya. Sumber dari

(11)

Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa angka kematian bisa mencapai ratusan orang pada Maret 2011 yang berasal dari pihak pengunjuk rasa dan pasukan pemerintah militer.3

Kondisi inilah yang menyita perhatian publik internasional, terutama Negara-negara maju. Liga Arab

4

Akhirnya pada tanggal 18 Maret 2011, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973 terkait dengan krisis di Libya. Resolusi tersebut menetapkan zona larangan terbang di atas wilayah Libya dan mengizinkan Negara-negara anggota untuk mengambil semua langkah yang diperlukan dalam melindungi penduduk sipil dari serangan pasukan pro Khadafi.

mengusulkan agar PBB segera menerbitakn zona larangan terbang di atas Libya bagi pesawat-pesawat tempur tentara Pro Khadafi yang digunakan untuk menyerang para demonstran dan oposisi.

Keluarnya resolusi tersebut tidak lepas dari peran-peran Negara-negara sekutu5 Amerika Serikat yang sejak awal memiliki keinginan untuk melakukan intervensi militer untuk menyelesaikan krisis di Libya. Sebagian anggota tetap Dewan Keamanan PBB mendukung resolusi yang memperbolehkan intervensi militer terhadap Libya. Kondisi demikian memaksa Negara-negara anggota North Atlantic Treaty Organization6

3

Apriadi Tamburaka, Revolusi Timur Tengah, Yogyakarta : Penerbit Narasi. 2011, hal.237

mengambil alih intervensi militer dengan dalih untuk menegakkan berlakunya zona larangan terbang yang diberlakukan di atas wilayah udara Libya.

4

Organisasi Internasional yang beranggotakan 22 Negara Arab. Didirikan oleh Mesir, Libanon, Irak, Arab Saudi Syria, dan Yaman pada tanggal 22 Maret 1945. Bertujuan untuk meningkatkan perekonomian, menyelesaikan

persengketaan dan kerjasama politik. Sumber

5

David Akhmad Ricardo, Khadafi Jagoan Tanah Arab, Jakarta : PT.Buku Kita.2011,hal.23

6

Pakta Pertahanan Atlantik Utara merupakan organisasi internasional yang dibentuk berdasarkan North Atlantic Treaty pada 4 April 1949. Beranggotakan 28 negara yang dimana Negara-negara anggotanya setuju untuk bersama menjaga pertahanan dalam menanggapi serangan oleh pihak ketiga. Sumber dari What is NATO?

(12)

Selang beberapa minggu berlangsungnya intervensi militer yang diharapkan bisa menghentikan aktifitas tentara pro Khadafi tersebut, ternyata keberadaan tentara NATO di Libya tidak sedikit mengakibatkan jatuhnya korban jiwa baik pihak militer maupun penduduk sipil Libya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kontroversi mengenai legalitas dari intervensi militer tersebut. Terlepas dari motif politik yang ada, jika dilihat dari perspektif hukum internasional maka ada 2 hal pokok yang mendasari kontradiksi intervensi Negara-negara NATO ke Libya. Pertama, bahwa Hukum internasional menjunjung tinggi prinsip non-intervensi, dalam arti bahwa negara lain atau organisasi

internasional manapun pada dasarnya tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan

dalam negeri suatu Negara. Kedua, intervensi militer yang awalnya didesain dalam

rangka melindungi rakyat sipil di Libya dari tentara Pro Khadafi, justru malah

mengakibatkan jumlah korban bertambah menjadi ribuan jiwa dan puluhan ribu lainnya

terpaksa harus mengungsi. Hal ini telah mengundang protes keras dari dunia internasional

khususnya China dan Rusia.7

Berdasarkan uraian di atas maka penting dikaji secara hukum hal-hal yang berkaitan dengan intervensi pihak asing dan peran resolusi Dewan Keamanan PBB dalam konflik internal Libya.

Biar bagaimanapun segala tindakan yang mengakibatkan

jatuhnya korban yang tidak bersalah tidak bisa dibenarkan.

B. Perumusan Masalah

Ditinjau dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

7

(13)

1. Bagaimana praktik intervensi Negara dalam perspektif hukum internasional? 2. Bagaimana implementasi dari resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 di Libya? 3. Bagaimana keabsahan dari intervensi yang dilakukan oleh pihak asing

terhadap Libya ditinjau berdasarkan hukum internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan judul pokok permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui praktik-praktik intervensi yang sudah pernah dilakukan.

2. Untuk mengetahui peran resolusi Dewan Keamanan PBB dalam mengatasi konflik internal Libya.

3. Untuk mengetahui keabsahan dari intervensi yang dilakukan pihak asing di Libya menurut hukum internasional.

Selain tujuan yang dikemukakan diatas, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dalam pengembangan hukum internasional serta melihat kemampuan dari lembaga intervensi sebagai sarana penyelesaian sengketa internasional dan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai strata satu pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

D. Keaslian Penelitian

(14)

dititik beratkan untuk melihat tindakan intervensi yang dilakukan oleh pihak asing terhadap konflik internal Libya menurut hukum internasional serta peranan dari Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi skripsi di Perpustakaan Fakultas Hukum USU yang dilakukan oleh Penulis, ada beberapa skripsi yang membahas mengenai lembaga intervensi, namun dengan redaksi judul yang berbeda dan pendekatan sudut pandang yang berbeda pula, sehingga dengan kata lain judul ini belum pernah ditulis sebelumnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah resolusi PBB yang ditetapkan lewat pemungutan suara oleh lima anggota tetap dan sepuluh anggota tidak tetap dari Dewan Keamanan PBB dengan tanggung jawab utama bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Pasal 27 Piagam PBB8 menetapkan bahwa konsep resolusi pada non-prosedural jika hal itu diadopsi Sembilan atau lebih dari lima belas anggota Dewan Keamanan untuk memilih resolusi serta jika tidak dipergunakannya hak veto9

Dewan Keamanan PBB sudah beberapa kali mengeluarkan resolusi untuk Libya. Hingga tahun 2011, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi sebanyak sebelas kali untuk Libya. Pertama kali pada tahun 1955, yaitu Resolusi Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa 109 yang merupakan instruksi dari Majelis Umum PBB untuk

oleh salah satu dari lima anggota tetap.

8

Ditanda tangani di San Fransisco pada 26 Juni 1945 dan mulai berlaku 24 Oktober 1945 setelah diratifikasi oleh lima anggota pendirinya, yaitu Republik Cina, Uni Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat.

9

Hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi.

(15)

mempertimbangkan keanggotaan Albania, Yordania, Irlandia, Portugal, Hungaria, Italia, Austria, Rumania, Bulgaria, Finlandia, Srilanka, Nepal, Libya, Kamboja, Laos dan Spanyol10. Terakhir adalah Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 yang dikeluarkan pada tanggal 17 maret 2011 dan menjadi dasar dilakukannya intervensi militer oleh Negara anggota PBB untuk menerapkan zona larangan terbang dan memerintahkan “semua tindakan yang diperlukan” untuk melindungi warga sipil11

Presiden Cina, Hu Jintao berpendapat bahwa serangan udara yang dilakukan koalisi terhadap Libya bisa melanggar makna dari Resolusi Dewan Keamanan PBB jika aksi itu sampai menyebabkan korban jiwa dari pihak sipil. Cina dan Rusia sebenarnya keberatan atas sikap Dewan Keamanan PBB dalam menangani krisis di Libya. Namun, kedua Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB itu memilih abstain saat Dewan Keamanan mengesahkan resolusi tersebut

.

12

Ruang lingkup dari masalah intervensi ini terlihat dari beberapa dokumen/instrument internasional yang berkaitan dengan masalah ini, antara lain:

.

1. Piagam PBB

2. Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional.

3. Deklarasi Hak Asasi manusia

Berbagai dokumen/instrument internasional itu juga dapat dilihat sebagai upaya perlindungan hukum ditingkat Internasional. Berbagai dokumen internasional diatas jelas merupakan pedoman tentang intervensi yang dilakukan oleh pihak asing.

10

www.un.org

11

Kompas.com, 24 Maret 2011, “PBB Bukan Pemimpin Operasi Militer” oleh Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Pasukan Penjaga Perdamaian, Alain Le Roy.

12

(16)

Secara konkrit, kepustakaan yang menjadi sumber acuan dan bacaan terdiri dari buku-buku, artikel-artikel, peraturan-peraturan baik berupa piagam, deklarasi dan lain-lain, serta berupa kliping-kliping yang dikutip dari media cetak maupun media internet.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Untuk melengkapi penelitian ini agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dipergunakan metode penelitian hukum normatif. Dikatakan penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan dan ditujukan pada peraturan Perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang lain.13

Penelitian hukum yuridis normatif ini terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.14 Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif karena hendak meneliti norma-norma hukum yang berlaku yang terdapat dalam perjanjian internasional yang mengatur mengenai intervensi.

2. Sifat Penelitian

Jika dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini adalah bersifat deskriptif yang menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta secara sistematis, faktual dan akurat15

13

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta:Sinar Grafika. 1996,hal.13

. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan baik yang ada, pendapat

14

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT.Rajawali Pers.2001,hal.36

15

(17)

yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.

Penelitian deskriptif juga dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan dan penelitian deskriptif tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis sebagaimana yang terdapat dalam penelitian eksperimen.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dan mempergunakan data sekunder, maka penelitian ini mengacu kepada Penelitian Kepustakaan ( Library Research), yaitu mempelajari serta mengumpulkan data yang diperoleh dari buku-buku yang menulis tentang intervensi baik karangan dalam negeri maupun karangan luar negeri dan peraturan-peraturan yang mengaturnya secara internasional seperti Piagam PBB.

Teknik penelitian pengumpulan data tertulis serta sumber-sumber bacaan misalnya melalui penelusuran ke perpustakaan, antara lain berupa peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini. Selain itu penelitian ini juga merujuk dari bahan-bahan atau artikel yang diperoleh melalui situs-situs internet.

4. Sumber Data

(18)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa deklarasi, Piagam PBB, dan perjanjian-perjanjian internasional

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang, yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku dan pendapat para ahli hukum.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa Kamus Hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBRI).

5. Analisis Data

Data sekunder dan data tersier, terhadap data tersebut selanjutnya dilakukan pengolahan data yakni kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana setiap bab terbagi lagi atas tiap sub-sub bab, agar mempermudah pemaparan materi dan skripsi ini yang digambarkan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Didalam bab ini terdapat latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode pengumpulan data serta sistematika penulisan.

(19)

Didalam bab ini dibahas mengenai intervensi sebagai bagian dari hokum internasional, intervensi yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, sebab-sebab suatu Negara melakukan intervensi, dan beberapa praktik intervensi Negara dalam perspektif hukum internasional.

BAB III PERANAN PBB DALAM MENGATASI KONFLIK INTERNAL

SUATU NEGARA

Didalam bab ini dibahas mengenai kekuasaan yang dimiliki dewan keamanan PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional, kewenangan dewan keamanan PBB dalam memutuskan suatu resolusi, resolusi dewan keamanan PBB dan implementasi dari resolusi dewan keamanan PBB 1973.

BAB IV TINJAUAN MENGENAI INTERVENSI PIHAK ASING ATAS

KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB

Didalam bab ini dibahas mengenai latar belakang terjadinya konflik di Libya, pelaksanaan intervensi pihak asing di Libya, akibat dari adanya intervensi di Libya dan keabsahan intervensi pihak asing di Libya menurut hukum internasional.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI INTERVENSI

A. Intervensi Sebagai Bagian Dari Hukum Internasional

Bangsa-bangsa di dunia ini sering berusaha untuk menyelaraskan pandangan-pandangan mereka satu sama lain.Usaha untuk menjelaskan ditandai dengan saling tercapainya kompromi antara berbagai kepentingan yang dimulai oleh bangsa-bangsa di dunia ini, dengan kata lain mereka berusaha sejauh mungkin menhindari friksi atau pergeseran antara kekuatan yang mereka miliki.Namun upaya manusia disatu pihak tidak selamanya menemui jalan seperti apa yang mereka inginkan,bahkan terdapat perbedaan pandangan dan sikap yang menurut masing-masing pihak dirasakan cukup fundamental sehinggat tidak pernah tercapai adanya persesuaian.Pada akhirnya terjadilah pertentangan dalam skala yang tinggi dan berakhir dengan konflik.

Salah satu cara yang dapat dilakukan agar suatu Negara memenuhi kehendak Negara lain adalah dengan mengadakan campur tangan dalam urusan internal suatu Negara,16

16

Parry and Grant, Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publication, Inc., New York 1986, hlm. 190-191

(21)

kehendaknya dan sekaligus menanamkan pengaruhnya dari Negara yang melakukan campur tangan tersebut.Pada akhirnya intervensi tersebut dapat dilaksanakan dengan kekerasan,yang sudah jelas dapat menimbulkan peperangan yang berlarut-larut sertan mengorbankan banyak biaya dan kerugian lainnya.

Intervensi merupakan salah satu bentuk turut campur dalam urusan Negara lain yang bersifat diktatorial, mempunyai fungsi sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional. Dikatakan salah satunya karena hukum internasional mengenal beberapa cara penyelesaian persengketaan internasional secara paksa, yaitu:17

1. Restorsion (pembalasan setimpal) , 2. Reprisal (pembalasan setimpal) , 3. Pasific blockade (blokade damai) , 4. Intervensi.

Intervensi dapat diartikan sebagai turut campurnya sebuah Negara

dalam urusan dalam negeri Negara lain dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukakan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan Negara tersebut.18

Selain itu, DR. Wirjono Prodjodikoro, SH. Memberi pengertian intervensi sebagai berikut:

“Dalam hukum internasional intervention tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti sempit, yaitu

17

Dr. Ali Sastroamidjojo, SH., Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Batara, Jakarta 1971, hal.108

18

(22)

suatu campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi.”19

Sementara itu Oppenheim Lauterpacht mengatakan bahwa intervensi sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi atau barang di negeri tersebut.20

Menurut J.G. Starke, ada tiga tipologi dalam melihat sebuah intervensi Negara terhadap Negara lain, yaitu:

1. Intervensi Internal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan dalam negeri Negara lain.

2. Intervensi Eksternal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan luar negeri sebuah Negara dengan Negara lain. Contoh: keterlibatan Italia dalam mendukung Jerman pada Perang Dunia Kedua.

3. Intervensi Punitive, yaitu intervensi sebuah Negara terhadap Negara lain sebagai balasan atas kerugian yang diderita oleh Negara tersebut.21

Intervensi menimbulkan perdebatan karena berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum internasional, yaitu Prinsip Kedaulatan Negara dan Prinsip non-intervensi.22

19

Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. , Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing Masa, Jakarta 1967, hal.149-150

20

Huala Adolf, Aspek-Aspek negara dalam hukum internasional, cet ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 31.

21

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 1988, hal.136-137

22

(23)

Dengan melihat pembahasan diatas, terlihat bahwa pengaturan mengenai penyelesaian masalah atau persengketaan internasional dengan jalan turut campurnya Negara lain yang bukan salah satu pihak yang bersengketa, telah mempunyai aturan-aturan yang menjadi bagian dari hukum internasional.

B. Intervensi yang Diperbolehkan dan Tidak Diperbolehkan

Suatu sengketa internasional dapat menjadi suatu akibat atau menimbulkan akibat lain terhadap Negara lain. Dari pihak lain ini, biasanya menimbulkan reaksi yang dapat merupakan usaha menyelesaikan permasalahan secara damai atau merupakan suatu tindakan unilateral yang bersifat kekerasan.

Intervensi bersangkut-paut dan selalu dan selalu menyinggung kepada kedaulatan suatu Negara. Bila campur tangan itu hanya sekedar sugesti diplomatik, hal ini bukanlah suatu masalah atau belum dianggap suatu pelanggaran terhadap kedaulatan suatu Negara. Intervensi harus sampai pada tingkat dimana kedaulatan suatu Negara dalam pelaksanaannya diambil alih oleh Negara. Ini merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional, namun di sisi lain hukum internasional memberikan membolehkan tindakan tersebut dengan syarat bahwa timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang merupakan ancaman bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia dan juga merupakan pelanggaran bagi hukum internasional dan memungkinkan untuk timbulnya perang. Hal ini seperti diungkapkan oleh Dr. Ali Sastroamijojo, SH, yaitu:

(24)

intervensi dalam hal ini bermaksud untuk mencegah meletusnya peperangan, artinya tidak untuk memihak salah satu dari pihak yang bersengketa.”23

Suatu tindakan intervensi yang diperbolehkan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu intervensi yang berdasarkan suatu hak dan tindakan lain yang walaupun tidak berdasarkan suatu hak namun diizinkan oleh hukum internasional. Seperti yang dikatakan oleh L. Oppenheim, yaitu:

“That intervention, as a rule, forbidden by international law, which protect the international personality of the state, there is no doubt, on the other hand, there is just a little doubt, that this rule has exception, for there are intervention which take place by right, and there are other which, although they do not take place by right, are nevertheless permited by international law.”24

Sarjana lain berpendapat bahwa intervensi bukanlah hak dari suatu Negara, melainkan sanksi dari hak-hak yang dimiliki oleh Negara-negara.25Jadi dapat dikatakan bahwa intervensi merupakan suatu law enforcement yang dalam hal-hal tertentu pelaksanaannya diberikan kepada Negara tertentu. Terlepas dari apakah suatu intervensi merupakan suatu hak atau merupakan suatu delegasi wewenang dari hukum internasional, suatu Negara dapat melakukan tindakan intervensi dengan beberapa alasan. J.G Starke beranggapan bahwa tindakan intervensi Negara atas kedaulatan Negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Adapun tindakan intervensi tersebut adalah:26

1. Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB.

23

Ali Sastroamidjoyo, op.cit hal.191

24

Oppenheim Lauterpacht,”International Law and Treaties”, Longmans, London 1952 hal.137

25

J.L Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa, Bhratara, Jakarta 1963, hal.292

26

(25)

2. Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di Negara lain.

3. Pembelaan diri. Jika intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah serangan bersenjata (armed attack). Syarat-syarat pembelaan diri adalah: langsung (instant), situasi yang mendukung (overwhelming situation), tidak ada cara lain (leaving no means), tidak ada waktu untuk menimbang (no moment of deliberation).27

4. Berhubungan dengan Negara protektorat atas dominionnya.

Syarat-syarat ini diadopsi dari kasus kapal Caroline.

5. Jika Negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional.

Pelaksanaan dari intervensi yang disebutkan di atas, disamping tidak menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik, juga harus mendapat izin atau tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB. Maka untuk ini suatu intervensi harus mendapat izin dari PBB melalui Dewan Keamanan. Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah intervensi itu diperlukan terhadap keadaan-keadaan tersebut.28

27

Diadopsi dari kasus kapal Caroline (1837) yaitu kasus dimana Inggris membakar kapal pemberontak Kanada yang sedang berlayar di wilayah perairan Amerika Serikat. Sumber:avalon.law.yale.edu, diakses tanggal 14 November 2011.

28

(26)

Intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya menurut para pendukungnya berdasarkan penafsiran atas Pasal 2 (4) Piagam PBB.29

Menurut hasil penelitian D’Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah Negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusian, pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah Negara lain secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia.

Pasal 2 (4) bukanlah sebuah larangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah (territorial integrity), kebebasan politik ( political independence) dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations).

30

Intervensi kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik sebuah Negara. Tindakan tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia pada suatu Negara. Setiap Negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik. Berdasarkan asumsi ini intervensi kemanusiaan tidak melanggar Piagam PBB.

Pasal 51 Piagam PBB juga mengatur salah satu bentuk intervensi. Dimana intervensi ini dilakukan atas nama PBB atau secara kolektif dengan tujuan self defence terhadap suatu keadaan yang timbul yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi. Jadi dapat disimpulkan bahwa di bawah naungang PBB, suatu intervensi dengan tujuan pembelaan diri terhadap suatu serangan

29

Yoram Dinstein, War, Aggression and Self-Defence, Second Edition, Cambridge University Press, Australia, 1994, hlm. 89.

30

(27)

yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi dan ini adalah salah satu manifestasi dari tujuan utama PBB.

Bentuk lain dari suatu intervensi yang diperbolehkan adalah blokade dalam waktu damai. Intervensi ini dijalankan oleh suatu Negara untuk memaksa Negara lain menepati kewajibannya menurut perjanjian yang dibuat dengan Negara yang menjalankan intervensi.31

Suatu intervensi haruslah bersifat memaksa atau dengan kekerasan. Sifat inilah yang membedakan lembaga intervensi dengan tindakan campur tangan lainnya. Intervensi dijalankan secara lebih aktif terhadap urusan dalam dan luar negeri suatu Negara, dan intervensi dapat begitu luas sehingga mencakup tindakan-tindakan militer.

Blokade dalam waktu damai sekiranya hanya dapat dijalankan menurut hukum internasional, apabila penyelesaian sengketa dengan jalan perundingan telah dilakukan tetapi menemui jalan buntu.

Suatu tindakan intervensi yang tidak diperbolehkan dengan alasan apapun dan sesungguhnya tidak ada alasan apapun yang dapat dibuat sebagai pembenaran yaitu suatu intervensi yang nyata-nyata akan menimbulkan atau akan lebih membuat suatu keadaan menjadi lebih memburuk. Tindakan intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan keluar menuju suatu perdamaian. J.G. Starke mengatakan intervensi ini dengan istilah subversive intervention dan yang dimaksud dengan intervensi ini adalah:

31

(28)

“Yang mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya revolusi atau perang saudara di Negara lain.”32

Larangan seperti ini juga ditemukan dalam kompromi antara berbagai kepentingan yang dimulai oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Dengan kata lain mereka berusaha sejauh mungkin menghindari friksi atau pergesekan antar kekuatan yang mereka miliki.

Penggunaan paksaan ekonomi atau tekanan psikologi tidak dapat dijadikan rujukan, namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam Pasal 39.33

Selanjutnya harus dapat dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar tujuan dari PBB.

Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan dalam Pasal 2 (4) tidaklah absolute, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu Negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut.

34

Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata (use of force) yang dilarang menurut hukum internasional adalah ketika keinginan Negara untuk bermusuhan ditambah dengan aktifitas militer.35

32

J.G. Starke, Op.cit hal.137

Menurutnya setiap negara bisa menggunakan kekerasan bersenjata (use of force) untuk menyelamatkan asset nasionalnya dalam kerangka pertahanan diri (self defence) jika kerugian yang dihadapi tampak nyata (imminent), namun hal tersebut dapat dilakukan

33

Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents, World Peace Foundation Boston, 1949, hlm. 110-121.

34

Philip C. Jessup, A Modern Law of Nation –An Introduction-, The MacMillan Company, New York, 1951, hlm. 172-173

35

(29)

jika Negara yang berdaulat tidak mampu melindungi kepentingan Negara lain. Hal ini terpenuhi dalam kasus Entebbe.36

C. Sebab-Sebab Suatu Negara Melakukan Intervensi

Tindakan Negara-negara dalam melakukan intervensi kemanusiaan sering didasari alasan bahwa telah terjadi tragedy kemanusiaan yang luar biasa sehingga dapat mengancam kedamaian dan keamanan internasional yang merupakan tujuan dari dibentuknya PBB.37

Perkembangan dalam hukum internasional juga telah mengindikasikan bahwa hak asasi manusia merupakan salah satu isu penting dan universal sehingga perlindungan terhadap hak-hak tersebut harus diutamakan dalam hubungan antar Negara. Indikasinya dapat terlihat dengan lahirnya Universal Declaratioan of Human Rights (1948), International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966.

Atas dasar itulah mengapa beberapa Negara mengartikan ahwa intervensi yang mereka lakukan tidak melanggar ketentuan hukum internasional.

Pada awal penerimaan dan pemberlakuan hak asasi manusia, tiap-tiap Negara memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang cukup besar adalah mengenai universalitas hak asasi manusia itu sendiri. Namun, dalam Deklarasi Wina 1993, tiap-tiap Negara telah berkomitmen bahwa setiap hak asasi manusia itu bersifat universal

36

“Intelijen Israel Diduga Otak Pembajakan di Uganda”sumber: antaranews.com, diakses pada tanggal 14 November 2011

37

(30)

(universal), tidak dapat dipisahkan (indivisible), saling ketergantungan (interdependence), dan saling terkait (interrelated).38

Komitmen masyarakat internasional atas perlindungan hak asasi manusia dewasa ini dapat dikatakn sudah melampaui batas territorial (wilayah). Argumen tersebut sangat jelas jika dilihat dari sejarah peradaban manusia dan hubungan antar Negara. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Negara terhadap penduduknya telah memberikan pelajaran berharga bahwa kewenangan Negara atas penduduknya harus dibatasi. Pembatasan tersebut tidak dilihat sebagai pemangkasan kedaulatan Negara, namun merupakan sebuah tindakan pencegahan agar Negara tidak dapat bertindak sesuka hatinya. Kelanjutan pembatasan wewenang itu di lain pihak akan menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat internasional untuk meningkatkan kerjasamanya dalam hal perlindungan dan penghormatan atas nama kemanusiaan.

Bila suatu intervensi itu dilakukan dengan tujuan lain yang dilarang oleh hukum internasional, maka motivasi Negara yang melakukan intervensi diukur dari sudut kepentingan Negara yang mengintervensi.39

38

Deklarasi Wina, 1993, Pasal 5

Suatu Negara akan memandang secara sepihak, apakah salah satu kepentingan dari negaranya akan terganggu dengan adanya kerusuhan dalam satu Negara atau antara dua Negara. Maka untuk membela kepentingan itu suatu Negara akan turut campur dan bentuk dari turut campur itu mungkin akan lebih bergantung pada kemauan dari Negara yang mengintervensi. Jadi jelaslah alasan-alasan

39

(31)

untuk tindakan intervensi dalam dunia internasional hanya digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan sepihak dari Negara yang bersangkutan.

Dengan asumsi tersebut, maka penerapan doktrin intervensi kemanusiaan dalam hukum internasional menjadi sangat penting. Terutama jika dilihat bahwa peristiwa-peristiwa di dunia saat ini cukup banyak memperlihatkan bahwa pelanggaran atas hak asasi manusia dalam yurisdiksi domestik kerap terjadi.

D. Beberapa Praktik Intervensi Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional

Praktek negara dalam melakukan intervensi dapat ditemukan pada intervensi

Amerika Serikat terhadap Vietnam yang terjadi pada tahun 1965-1966. Intervensi ini

dilakukan karena adanya permintaan dari pemerintah Vietnam Selatan. Pada awalnya

pihak Amerika Serikat hanya mengirimkan penasihat militer, namun kemudian diikuti

dengan pengiriman beberapa bataliyon dan divisi angkatan bersenjata. Pengiriman ini

adalah untuk memberantas dan menindas NLF (National Front for the Liberation of

South Vietnam) yang berada di wilayah Vietnam Utara.40

Pada tahun 1991, pasukan koalisi Amerika Serikat, Inggris dan Perancis

melakukan intervensi terhadap Irak. Koalisi tersebut menyambut Resolusi Dewan

Keamanan PBB 688 yang mengutuk tindakan pemerintahan Irak kepada suku Kurdi.

Dalam resolusi tersebut dewan keamanan tidak menyebutkan sebuah tindakan bersenjata

40

(32)

kolektif maupun intervensi menggunakan kekerasan senjata. Namun, beberapa bulan

kemudian tiga negara tersebut melakukan operasi Safe Hands di Irak Utara dengan alasan

kemanusiaan. Sekjen PBB, Perez de Cuellar, menyebutkan bahwa operasi tersebut dapat

melanggar kedaulatan Irak, apabila tidak ada izin dari pemerintahan Irak atau otorisasi

dari dewan keamanan.41

Kasus tersebut dapat dijadikan contoh intervensi kemanusiaan. Seperti apa yang

dikatakan pemerintah Inggris, bahwa intervensi yang dilakukan di Irak Utara memang

pada kenyataannya tidak diberikan mandat oleh PBB. Namun, PBB bertindak di Irak

Utara berdasarkan prinsip intervensi kemanusiaan yang diatur dalam hukum kebiasaan

internasional.

Namun, Sekjen PBB juga mengungkapkan pentingnya tindakan

atas dasar tujuan moral dan kemanusiaan. Untuk melegalisasi tindakan koalisi tersebut,

akhirnya, Irak memberikan izinnya kepada PBB untuk mengirim bantuan kemanusiaan di

Irak Utara.

42

Praktek intervensi kemanusiaan yang terjadi di Irak juga terjadi di Yugoslavia dan

Somalia pada tahun 1992. Meskipun, dewan keamanan mempunyai legitimasi untuk

menggunakan kekuatan bersenjata berdasarkan bab VII Piagam PBB, namun yang terjadi

adalah bahwa negara atau sekelompok negara melakukan sebuah intervensi dengan

alasan kemanusiaan dan kemudian di legitimasi oleh resolusi dewan keamanan. Untuk

menganalisa intervensi kemanusiaan tersebut, menurut Dinstein harus dilihat beberapa

keadaan yang merupakan sebuah pengecualian; Pertama, kekuatan pasukan koalisi

bertindak pada saat tindakan permusuhan telah diberhentikan sementara melalui gencatan

41

Michael Byers, War Law: Understanding International Law and Armed Conflict. Douglas & McIntyre 2005 hal.41

42

(33)

senjata. Kedua, resolusi dewan keamanan mendasari putusannya bahwa tindakan yang

terjadi merupakan sebuah ancaman terhadap keamanan dan perdamaian internasional.43

43

(34)

BAB III

PERANAN PBB DALAM MENGATASI KONFLIK

INTERNAL SUATU NEGARA

A. Kekuasaan yang diberikan kepada Dewan Keamanan PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional yang beranggotakan Negara-negara berdaulat yang bertujuan untuk mencegah terulangnya Perang Dunia dan masalah kemanusiaan yang diakibatkan oleh perang. Piagam PBB ditandatangani oleh delegasi 51 negara pada tanggal 26 Juni 1945 dan PBB mulai beroperasi pada 24 Oktober 1945.44Seperti Liga Bangsa-Bangsa (LBB)45 tujuan utama pembentukan PBB adalah menjaga perdamaian dan keamanan internasional, menyelesaikan sengketa secara damai, melakukan tindakan kolektif mencegah ancaman terhadap perdamaian,46

Disamping itu Piagam PBB juga telah meletakkan tujuan dan prinsip yang mulia dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional, meningkatkan

mempromosikan kerjasama ekonomi dan sosial internasional, dan hak asasi manusia. Keanggotaan PBB terbuka bagi Negara-negara yang mendukung perdamaian dan mendukung penyelesaian sengketa internasional secara damai.

44

Mark R. Amstutz, International Conflict and Cooperation, Brown and Benchmark, 1995, hal.356

45

Liga Bangsa-Bangsa adalah organisasi internasional keamanan global pertama yang bertujuan

menyelesaikan sengketa sacara damai melalui mekanisme resolusi konflik. LBB didirikan Negara-negara pemenang PD I tahun 1919 dan dipelopori Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Prinsip dasar LBB adalah keamanan kolektif, yang mewajibkan Negara-negara anggota membantu Negara lain yang terkena agresi militer. Sumber : www.wikipedia.org

46

(35)

hubungan persahabatan dan mencapai kerjasama internasional di semua bidang, termasuk adanya beberapa kewajiban internasional semua Negara untuk:

1. Menghormati persamaan kedaulatan semua bangsa;

2. Tidak menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu Negara;

3. Tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu Negara, dan 4. Berusaha menyelesaikan pertikaian antar Negara secara damai.

Piagam PBB memberikan berbagai ketentuan mengenai langkah-langkah apa yang harus diambil oleh Negara, baik sebagai anggota maupun bukan anggota PBB apabila terlibat dalam suatu perselisihan. Negara-negara mempunyai kewajiban menyelesaikan setiap perselisihan yang timbul diantara mereka secara damai. Dalam hal terjadinya perselisihan, sebelum mengajukannya ke PBB, para pihak wajib mencari penyelesaian dengan cara negoisasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian secara hukum, dan mengambil jalan melalui badan atau pengaturan regional ataupun dengan jalan damai lainnya menurut pilihan mereka. Apabila perselisihan itu sedemikian rupa tidak dapat diselesaikan, pihak yang bersengketa atau setiap anggota PBB ataupun Sekjen PBB dapat membawa masalahnya kepada Dewan Keamanan PBB atau Majelis Umum PBB untuk menjadi perhatian badan-badan tersebut. Hal ini dapat dipahami karena pada mulanya dimaksudkan bahwa dalam hampir semua kasus, Dewan Keamanan yang dianggap sebagai wasit, mengingat tanggung jawab utamanya di bidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.47

47

(36)

Untuk menjaga perdamaian dunia, PBB membentuk Dewan Keamanan yang bersifat terbatas dengan kekuasaan mengeksekusi yang membutuhkan kesatuan tindakan di antara Negara besar. Dewan Keamanan PBB dibentuk berdasarkan usulan mantan Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt yang menekankan perlunya hak veto bagi tiap anggota tetap Dewan Keamanan. Usul ini merupakan syarat khusus dari Amerika Serikat sebelum memutuskan masuk untuk menjadi anggota PBB. Kegagalan LBB menyebabkan Roosevelt mengusulkan pembentukan Dewan Keamanan.48

Dewan Keamanan PBB berbeda dengan dewan Liga Bangsa-Bangsa yang merupakan komite eksekutif umum untuk semua fungsi organisasi yang gagal dalam bidang keamanan karena membutuhkan persetujuan semua Negara anggota. Oleh karena itu, Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Soviet (kini Rusia), Perancis, Inggris, dan China (kini Republik Rakyat China)49

Struktur Dewan Keamanan sebenarnya sudah lama dianggap tidak transparan dan komposisi negaranya tidak berimbang. Rencana reformasi Dewan Keamanan pertama kali dibuat oleh 18 negara Amerika Latin pada tahun 1956. Tekanan reformasi semakin meningkat seiring bertambahnya Negara yang merdeka sehingga akhirnya lima anggota diberi hak veto yang menjadi komponen penting kesepakatan pada tahun 1945. Para pendiri PBB belajar dari kegagalan LBB sehingga Piagam PBB mengizinkan Negara pemegang veto menghentikan usulan tindakan penegakan perdamaian yang tidak mereka setujui. Dewan Keamanan hanya dapat bertindak bersama-sama bila mendapat persetujuan dari semua anggota tetap.

48

Jay Tolson, Mixing Pragmatism and Principles, U.S. News and World Report, 100 Milestone that define America, 2004

49

(37)

tetap Dewan Keamanan menyetujui Resolusi 1990 yang memperbesar Dewan Keamanan dari 11 negara menjadi 15 negara anggota dan mengubah pemungutan suara mayoritas dari 7 menjadi 9, sedangkan veto tetap dimiliki 5 negara anggota tetap.50

Tekanan berlanjut pada periode antara 1970-1990 saat anggota Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement) membuat landasan yang bertujuan untuk mewujudkan demokratisasi PBB dan memastikan partisipasi Negara anggota yang seluas-luasnya dalam proses pembuatan keputusan PBB. Tidak ada kemajuan yang diperoleh pada saat itu karena persaingan Negara adidaya menghalangi upaya reformasi.

Situasi berubah dengan berakhirnya Perang Dingin.51

Pada saat yang bersamaan, isu kurang representatifnya Dewan Keamanan muncul kembali dan legitimasi Dewan Keamanan kembali dipertanyakan. Negara anggota PBB khususnya Negara berkembang menuding Dewan Keamanan tidak demokratis dan mempertanyakan hak veto karena bertentangan dengan prinsip kesetaraan. Tuntutan ini mendapat sambutan sehingga ada semacam konsensus bahwa Dewan Keamanan harus diperluas agar lebih representatif.

Dewan Keamanan PBB tidak lagi menjadi arena persaingan Negara adidaya sehingga dapat menjalankan fungsinya menjaga perdamaian dan keamanan. Keberhasilan Dewan Keamanan mengakhiri perang Irak-Iran dan Krisis Teluk (1990-1991) memberikan harapan baru pada Dewan Keamanan yang aktif.

52

50

Tomas G. Weiss, The Illusion of UN Security Council Reform, The Washington Quarterly, Autumn 2004, Vol.26 No.4

51

Konflik antara keduanya terjadi di berbagai bidang: koalisi militer, ideologi, psikologi, dan militer, industri, dan pengembangan teknologi, pertahanan, perlombaan nuklir dan persenjataan.

52

(38)

Sesuai dengan ketentuan dalam Piagam PBB, semua Negara anggota PBB telah memberikan tanggung jawab yang utama kepada Dewan Keamanan PBB yaitu memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Mereka telah sepakat untuk menyetujui semua keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan itu, dan Dewan akan bertindak sesuai dengan tujuan serta asas Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 24 Piagam PBB menetapkan bahwa untuk menjamin tindakan yang cepat dan efektif, maka Negara-negara anggota menyerahkan kepada Dewan Keamanan tanggung jawab yang utama yaitu memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui pula bahwa Dewan Keamanan akan melaksanakan kewajibannya di bawah tanggung jawab ini. Dewan Keamanan akan bertindak atas nama mereka (Negara-negara anggota). Dalam memenuhi kewajibannya itu Dewan Keamanan harus bertindak sesuai dengan asas dan tujuan PBB.

Mengenai tanggung jawab utama Dewan Keamanan PBB di bidang perdamaian dan keamanan internasional ini, J.G. Starke menyebutkan:

Dewan Keamanan diberi tanggung jawab utama menurut Piagam untuk memelihara perdamaian dan keamanan, dengan maksud agar sebagai badan eksekutif kecil dengan anggota inti permanen yang terdiri dari Negara-negara besar, ia dapat mengambil keputusan efektif untuk menjamin tindakan yang tepat oleh PBB.53

Kemudian kekuasaan yang lebih luas lagi telah diberikan oleh Piagam PBB, agar Dewan Keamanan dapat menyelenggarakan kebijaksanaan PBB itu dengan cepat dan pasti. Dalam hal ini Dewan Keamanan dapat bertindak terhadap dua macam persengketaan:

53

(39)

1. Persengketaan yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, dan

2. Peristiwa yang mengancam perdamaian dan/atau agresi.

Peranan Dewan Keamanan dalam hal pertama, termasuk dalam rangka Bab VI Piagam PBB. Inisiatif sebagian besar diserahkan kepada pihak yang bersengketa. Sedangkan peranan Dewan Keamanan dalam hal yang kedua termasuk dalam rangka pelaksanaan dari Bab VII Piagam PBB, yaitu bersifat mengambil keputusan dan tindakan, baik dengan kekerasan senjata, maupun tanpa senjata.54

Dari ketentuan Pasal 24 Piagam PBB dapat diketahui bahwa tanggung jawab utama (primary responsibility) terhadap perdamaian dan keamanan internasional berada di pundak Dewan Keamanan. Ketentuan ini tidaklah berarti bahwa hanya Dewan Keamanan saja yang bertanggung jawab terhadap perdamaian dan keamanan internasional, karena Majelis Umum juga turut bertanggung jawab. Tanggung jawab Majelis Umum ini disebut dengan residual responsibility.

Pasal 24 ayat 2 Piagam PBB menyebutkan bahwa:

Dalam menjalankan kewajiban-kewajiban ini Dewan Keamanan akan bertindak sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kekuasaan khusus yang diberikan kepada Dewan Keamanan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban ini tercantum dalam Bab VI, VII, VIII dan XII.

Kekuasaan khusus yang diberikan kepada Dewan Keamanan sebagaimana yang tercantum diatas adalah:

1. Bab VI mengatur mengenai : Penyelesaian perselisihan secara damai.

2. Bab VII mengatur mengenai : Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan ancaman-ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian dan tindakan agresi.

54

(40)

3. Bab VII mengatur mengenai : Kesepakatan Kawasan (regional arrangements). 4. Bab XII mengatur mengenai: Sistem Perwalian Internasional.

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 24 ayat 2 ini, maka dapat dilihat bahwa kekuasaan yang diberikan kepada Dewan Keamanan PBB tidak hanya terbatas pada apa yang ditentukan dalam empat Bab tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Goodrich & Hambro:

If the view as accepted for which there is undoubtelly support in the practice of the Security Council, that it has powers that it can exercise in the discharge of its responsibility under this Article beyond laid down in Chapters VI, VII, VIII and XII, it does not follow that this powers are unlimited.55

Dari pendapat yang dikemukakan diatas terlihat bahwa keduanya beranggapan kewenangan Dewan Keamanan itu tidak hanya terbatas pada apa yang dicantumkan dalam empat bab tersebut. Namun harus selalu diingat bahwa kewenangan itu tidak tak terbatas.

Khusus mengenai kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam bidang yang berhubungan dengan keamanan dan perdamaian internasional, J.G. Starke berpendapat:

Dilain pihak, dari satu segi, Dewan Keamanan mempunyai kekuasaan menolak demi pemeliharaan perdamaian dan keamanan, yang tidak terbatas hanya pada kekuasaan-kekuasaan khusus secara eksplisit, dalam Bab VI atau VII, sebab seperti organ internasional lainnya, ia mempunyai kekuasaan implisit bila diperlukan untuk memenuhi fungsi-fungsinya.56

Dari pendapat Starke diatas dikemukakan bahwa apabila menghadapi masalah yang berhubungan dengan perdamaian dan keamanan internasional, maka kewenangan

55

Goodrich, L.M., Hambro, E, Op.cit, hal.207

56

(41)

Dewan Keamanan tidak hanya terbatas pada apa yang ditentukan dalam Bab VI dan VII saja. Dewan dapat mengambil tindakan yang perlu untuk menghadapi masalah tersebut.

Selanjutnya, kekuasaan dan fungsi utama Dewan Keamanan itu berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:57

a) menyelesaikan perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai;

b) tindakan pencegahan atau pemaksaan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional;

c) badan-badan regional dan persetujuan-persetujuan regional;

d) pengontrolan dan pengawasan wilayah-wilayah perwalian yang digolongkan sebagai wilayah strategis;

e) menerima, menskors dan mengeluarkan anggota; f) mengandamen Piagam;

g) memilih bersama dengan Majelis Umum, kelima belas anggota Mahkamah Internasional.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kekuasaan atau kewenangan yang diberikan kepada Dewan Keamanan PBB untuk melaksanakan fungsinya, terutama yang berhubungan dengan perdamaian dan keamanan internasional, tidak terbatas pada apa yang dicantumkan dalam Pasal 24 ayat 2 saja, tetapi juga yang terdapat dalam bab-bab lain. Juga masih ada kewenangan dari Dewan Keamanan yang terdapat dalam Statuta Mahkamah Internasional. Oleh karena itu, statute tersebut merupakan bagian integral dari Piagam PBB.

57

(42)

Khusus mengenai kekuasaan dan fungsi Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan tindakan pencegahan atau pemaksaan menurut Bab VII, Dewan Keamanan diberi kuasa untuk menentukan adanya suatu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi, dan membuat rekomendasi untuk memutuskan tindakan pemaksaan apa yang akan diambil untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan.58Dewan Keamanan dapat meminta para pihak yang terlibat untuk memenuhi ketentuan-ketentuan sementara dan memperhatikan setiap kegagalan untuk mematuhinya.59

Dalam hal mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional diserahkan kepadadewan keamanan, dengan syaratsemua tindakan dewan keamanan tersebut harus selaras dengan tujuan dan azas-azas PBB, tugas dan kewajiban dewan keamanan dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu :60

1.Menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai, yaitu dengan cara yang didasarkan atas; persetujuan sukarela atau paksaan hukum dalam menjalankan persetujuan.

2.Mengambil tindakan-tindakan terhadap ancaman perdamaian dan perbuatan yang berarti penyerangan.

Sedangkan fungsi Dewan Keamanan sebagai berikut:

1. Memelihara perdamaian dan keamanan internasional selaras dengan azas-azas dan tujuan PBB.

58

Pasal 39 Piagam PBB

59

Pasal 40 Piagam PBB

60

(43)

2. Menyelidiki tiap-tiap persengketaan atau situasi yang dapat menimbulkan pergeseran internasional.

3. Mengusulkan metode-metode untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang demikian atau syarat penyelesaian.

4. Merumuskan rencana-rencana untuk menetapkan suatu sistem mengatur pe

5. Menentukan adanya suatu ancaman terhadap

mengusulkan tindakan apa yang harus diambil.

6. Menyerukan untuk mengadakan sanksi

perang untuk mencegah atau menghentikan agresor.

7. Mengadakan

8. Mengusulkan anggota-anggota baru dan syarat-syarat dengan negara-negara mana yang dapat menjadi pihak dalam status mahkamah internasional.

9. Melaksanakan fungsi-fungsi perwakilan PBB di daerah strategis.

10.Mengusulkan kepada majelis umum pengangkatan seorang

bersama–sama dengan majelis umum, pengangkatan para hakim dari

11.Menyampaikan laporan tahunan kepada

(44)

Piagam PBB menyatakan bahwa semua Negara anggota PBB setuju menerima dan menjalankan resolusi Dewan Keamanan yang mempunyai kekuatan mengikat.61

Sebuah resolusi dapat diadopsi apabila tidak mendapat tantangan salah satu anggota tetap.

Dalam hal prosedur, rancangan resolusi disusun satu atau lebih Negara anggota Dewan Keamanan yang akan dibicarakan dan dinegoisasikan secara terbatas. Untuk masalah substansif, Dewan Keamanan membutuhkan 9 suara mayoritas agar dapat diloloskan.

62

Seperti diketahui, tujuan dan prinsip PBB itu dirumuskan dalam mukadimah Piagam PBB

Hal ini dapat diketahui dari bunyi Pasal 24 ayat 2 Piagam PBB yang antara lain menyebutkan bahwa, dalam menjalankan kewajibannya, Dewan Keamanan akan bertindak sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jadi dalam merumuskan rekomendasi ataupun resolusi, Dewan Keamanan harus berpegang teguh pada tujuan dan prinsip PBB. Dengan demikian, hukumlah yang membatasi kekuasaan Dewan Keamanan adalah tujuan dan prinsip PBB.

63

1. menyelamatkan generasi-generasi mendatang dari bencana perang;

dan dalam Pasal 1 dan 2 dari Piagam PBB tersebut. Ada 4 (empat) tujuan yang tercantum dalam Mukadimah:

2. memperteguh kepercayaan terhadap hak asasi manusia, pada harkat dan derajat diri manusia;

3. menegakkan keadilan, dimana keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian dan lain-lain sumber hukum internasional dapat dipelihara;

61

Ayat 25 Piagam PBB

62

“The Security Council Reform”, sumber dari

63

(45)

4. meningkatkan kemajuan sosial dan memperbaiki tingkat kehidupan dalam alam kebebasan yang lebih luas.

Sedangkan tujuan yang tercantum dalam Pasal 1 Piagam PBB adalah:

1. memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan untuk itu akan mengadakan tindakan-tindakan bersama yang efektif untuk mencegah dan melenyapkan ancaman terhadap perdamaian dan mencegah tindakan agresi; menyelesaikan dengan damai dan sesuai dengan hukum internasional serta keadilan, pertikaian internasional,

2. mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, serta mengambil tindakan-tindakan lain yang wajar untuk memperkokoh perdamaian universal,

3. menumbuhkan kerjasama internasional dalam memecahkan persoalan-persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, 4. menjadi pusat penyelaras segala tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai

tujuan-tujuan bersama tersebut.

(46)

Formal peace alone, however, is not enough. Armed peace with the fear of war as the recurrent theme is not sufficient for the achievement of the purposes of the United Nations. Peace must be accompanied by feeling of security, security from war in particular.64

Prinsip-prinsip yang dijadikan landasan dalam usaha mencapai tujuan dapat ditemukan dalam Pasal 2 Piagam PBB. Pasal 2 terdiri dari 7 ayat yang isinya secara singkat adalah sebagai berikut:

1. organisasi ini berlandaskan prinsip persamaan kedaulatan (sovereign equality) dari semua anggota;

2. semua anggota harus dengan itikad yang baik melaksanakan segala kewajiban yang diatur dalam Piagam;

3. semua anggota harus menyelesaikan sengketa internasional antara mereka dengan jalan damai;

4. dalam melaksanakan hubungan antar mereka, maka semua anggota harus menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan (force) terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik;

5. semua anggota harus memberikan bantuan kepada PBB apabila organisasi tersebut mengadakan aksi sesuai dengan Piagam;

6. organisasi ini akan menjamin bahwa Negara yang bukan anggota PBB akan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip ini, sejauh hal itu diperlukan untuk menjamin perdamaian dan keamanan internasional

7. tidak ada ketentuan dalam Piagam ini yang memberikan kuasa kepada PBB untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu Negara; prinsip ini tidak mengurangi

64

(47)

ketentuan mengenai penggunaan tindakan pemaksaan seperti yang tercantum dalam Bab VII.

Berdasarkan pasal ini maka, baik organisasi, maupun para anggota harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.65

Apabila kita pelajari Piagam PBB, maka ternyata Piagam tersebut mencantumkan prinsip-prinsip yang dijadikan landasan/dasar untuk menentukan rekomendasi atau tindakan. Prinsip-prinsip yang ditemukan dalam Pasal 2 itu menyiratkan bahwa secara yuridis/teoritis, rekomendasi ataupun tindakan yang diambil oleh Dewan Keamanan tidak dapat/tidak boleh menyimpang, apalagi bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.

Apabila kita perhatikan isi dari pasal tersebut, maka dua ayat, yaitu ayat 1 dan ayat 6, erhubugan dengan organisasi, sedangkan ayat 2 sampai ayat 5 menentukan kewajiban dari para anggota; dan kewajiban utama ditemukan dalam ayat 3 dan ayat 4.

Sekalipun demikian, ada ketentuan dalam pasal lain dari Piagam PBB yaitu Pasal 1 ayat 1 yang memberikan kemungkinan/kesempatan untuk menyimpang dari prinsip-prinsip tersebut. Pasal 1 ayat 1 menentukan bahwa dalam usaha menyelesaikan perselisihan secara damai, Dewan Keamanan harus menyesuaikan diri dengan The Principles of Justice and international law.66

Jadi dengan demikian yang dijakdikan dasar dari rekomendasi itu adalah justice atau international law. Sejauh yang menyangkut hukum internasional, dapat dikatakan bahwa hukum tersebut sudah dibakukan. Sebaliknya, prinsip keadilan sampai sekarang Meskipun demikian diakui bahwa tidak mungkin kedua prinsip itu, yakni justice dan international law, dapat dilaksanakan secara bersamaan, sebab kedua prinsip itu seringkali berbeda bahkan sering juga bertentangan.

65

Ibid

66

(48)

belum ada ketentuan/defenisi yang secara umum dapat diterima. Mengingat bahwa Dewan Keamanan itu merupakan suatu organ politik, maka keputusan yang diambil, apakah itu berbentuk resolusi ataupun tindakan, pada umumnya tentu berdasarkan pertimbangan politik dan badan hukum. Dengan kata lain, yang lebih sering terlihat adalah kepentingan nasional para anggota dewan.

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa suatu keputusan yang telah diambil oleh Dewan Keamanan berdasarkan peraturan pemungutan suara adalah sah. Oleh karena itu, tentu dapat dianggap sudah sesuai dengan prinsip keadilan, sekurang-kurangnya prinsip keadilan yang dimuat ke-15 negara anggota Dewan Keamanan yang telah menyetujui keputusan tersebut. Jadi selama suatu resolusi/tindakan itu sudah disetujui oleh para anggota Dewan Keamanan sesuai dengan prosedur pemungutan suara yang berlaku, maka sudah tidak relevan lagi untuk mempersoalkan apakah keputusan itu sesuai dengan hukum internasional atau dengan keadilan. Namun, dalam prakteknya, kekuatan dewan keamanan yang diatur dalam Bab VII cenderung kurang efektif karena

adanya hak veto dari anggota tetap untuk membatalkan sebuah resolusi. Untuk

mengurangi kebuntuan tersebut maka pada tanggal 3 November 1950 dikeluarkan sebuah

resolusi majelis umum No 377 (V) tentang, “Uniting For Peace Resolution”. Resolusi

tersebut dibuat untuk menghindari kebuntuan yang terjadi dalam dewan keamanan

tentang penggunaan hak veto.67

C. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973

67

(49)

Resolusi Dewan Kemanan PBB 1973 merupakan resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB untuk menindaklanjuti konflik yang terjadi di Libya. Resolusi ini diajukan oleh Perancis, Libanon, dan Inggri yang disahkan pada tanggal 17 Maret 2011. 68

Sepuluh Negara menyatakan persetujuannya terhadap resolusi yang dikeluarkan untuk Libya69, sedangkan lima Negara lainnya memilih abstain70

1. Menuntut dilakukannya dengan segera gencatan senjata dan kekerasan serta semua serangan dan pelanggaraan kepada oenduduk sipil;

, tanpa ada satupun Negara yang menyatakan tidak setuju secara terang-terangan. Resolusi ini dibuat sebagai dasar hukum dari pelaksanaan intervensi militer terhadap perang sipil di Libya yang meminta segera dilaksanakannya gencatan senjata dan memberikan kuasa kepada masyarakat internasional untuk menerapakan zona larangan terbang di Libya, serta menggunakan seluruh cara yang diperlukan untuk melindungi penduduk sipil. Resolusi yang diadopsi berdasarkan Bab VII Piagam PBB memerintahkan untuk:

2. Menuntut pemerintah Libya mengambil semua langkah unuk melindungi rakyat sipil dan memenuhi kebutuhan dasar mereka, dan memastikan bantuan kemanusiaan dilakukan dengan segera dan tanpa halangan;

3. Meminta Negara-negara anggota PBB untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi penduduk sipil dan mereka yang tinggal di wilayah Arab Libya

68

“Security Council authorizes all necessary measures to protect civilians in Libya”, sumber http://www.un.org/apps/news/story, diakses tanggal 20 Desember 2011.

69

Bosnia dan Herzegovina, Gabon, Nigeria, Libanon, Portugal, Afrika Selatan, serta anggota tetap DK PBB: Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.

70

Referensi

Dokumen terkait

Mereka yang akan berpartisipasi dalam penyelidikan termasuk pekerja yang terluka, saksi kejadian atau kejadian sebelumnya, dan yang terluka atasan langsung pekerja jika ada

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan Rank Order Mean, efektivitas iklan televisi Telkomsel dan XL berada pada kategori efektif, dan berdasarkan uji Mann-Whitney

Bila menjalan percubaan yang mungkin merbahaya ( misalnya pembakaran gas hidrogen ), adang keselamatan hendaklah digunakan. Letupan juga boleh berlaku akibat kebocoran gas

ا ةيعاتجا ةرهاظك ةدرلا ةيضق ةجاعم ةرور يه ثحبلا اهراثأ ةطقن مهأ لعل ،يماسإا عمتجملل يايسلاو يركفلاو يدقعلا نايكلا دده ةيسايس ةيضقك هذه ىع ءاضقلا ةلواحو ،دادتراا ىإ

[r]

Dalam pelaksanaan PKB di Pabrik Kebun Getas terdapat hambatan-hambatan yaitu (1) Kurang optimalnya peranan Serikat Pekerja dalam memperjuangkan hak-hak Pekerja, (2) Ketidaktahuan

[r]

dengan menggunakan metode jarimatika yang telah diperbaiki untuk meningkatkan kemampuan menghitung perkalian pada materi pecahan. Dan menyiapkan lembar kerja