• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP

A. Keabsahan Jual Beli Rumah Yang Ditawarkan Zona Property 66

Mengingat pentingnya materi dari suatu PJBB (Perjanjian Pengikat Jual Beli), yakni sebagai landasan yang digunakan untuk menilai barang pada waktu penyerahan dilakukan, maka pemerintah telah membuat pedoman mengenai pengikat jual beli rumah yakni Surat Keputusan Menteri Perumahan Nomor 9 Tahun 1995. Sebagian besar dari ketentuan-ketentuan perjanjian pengikat Jual Beli Rumah pada Perumahan Setia Budi Indah juga berlandaskan SK Menteri Perumahan No. 09 Tahun 1995, yakni :

1. Kewajiban penjual

Mengenai kewajiban penjual, dalam PJBB Perumahan Setia Budi Indah developer berjanji untuk mengikat diri dan menyelesaikan rumah dan menyerahkan tanah dan bangunan kepada pembeli pada tanggal yang telah disepakati sesuai dengan denah dan spesifikasi pada lampiran PJBB, dan dalam hal terjadi hal diluar kekuasaan developer (force majeur), misalnya pada pemogokan buruh, kerusuhan, pemberontakan, bencana alam, stock barang dipasaran kosong ataupun karena peraturan pemerintah maka jangka waktu penyelesaian dan penyerahan dapat diperpanjang dan akan diatur dalam perjanjian tambahan merupakan pelengkap dan satu kesatuan dengan PJBB.

2. Jaminan penjual

Developer menjamin bahwa apa yang diperikatkan dalam perjanjian perikatan jual beli ini benar-benar milik developer, tidak tersangkut suatu perkara atau sengketa, tidak digadaikan atau dijaminkan, tidak dipertanggung jawabkan dengan cara apapun juga dan bebas dari sitaan.

3. Kewajiban pembeli

Apabila pembeli terlambat / lalai atau tidak dapat memenuhi kewajibannya seperti yang dimaksud dalam cara pembayaran dan syarat-syarat pembayaran yang telah disepakati dalam PPJB, maka pembeli dikenakan biaya administrasi untuk setiap keterlambatan sebesar 0,1 % per hari dari jumlah angsuran yang terutang, keterlambatan mana yang telah terbukti dengan lewatnya waktu saja, sehingga untuk ini tidak diperlukan lagi surat teguran resmi atau surat lain yang sejenis. Apabila pembeli tidak melakukan pembayaran angsuran selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, maka pengikatan ini terjadi batal dengan sendirinya menurut hukum. Dalam hal terjadi demikian kedua belah pihak saling melepaskan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1266, 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4. Serah terima bangunan

Pada tanggal penyerahan pembeli wajib datang untuk memriksa fisik rumah dan menerima penyerahan dari developer dengan membuat “BERITA ACARA PEMERIKSAAN DAN SERAH TERIMA” apabila pembeli lalai atau belum/tidak bersedia untuk melakukan pemeriksaan fisik dan menerima penyerahan rumah (berikut tanah) pada waktu yang ditetapkan maka dalam

jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah tanggal tersebut, dengan lewatnya waktu saja pembeli dianggap telah menerima rumah berikut tanah tersebut dengan baik dan selayaknya dan dengan ini developer sekarang untuk menerima dan menandatangani BERITA ACARA PEMERIKSAAN DAN SERAH TERIMA rumah dimaksud sehingga segala resiko yang timbul setelah tanggal serah terima tersebut menjadi tanggung jawab dan dipikul oleh pembeli terkecuali dalam hal-hal masa pemeliharaan.

5. Pemeliharaan bangunan

Dalam batas waktu 1 (satu) bulan setelah tanggal penyerahan merupakan masa pemeliharaan dimana developer masih bertanggung jawab atas segala kerusakan-kerusakan yang disebabkan kesalahan teknis dari atau konstruksi bangunan, akan tetapi bukan karena kerusakan-kerusakan lain yang disebabkan oleh kesalahan pembeli dan/atau pihak luar.

6. Penggunaan bangunan

Menganai masalah penggunaan pembangunan, tidak dicantumkan secara tegas pengaturannya dalam PPJB ini, hanya tetap berlaku bahwa pembeli wajib menggunakan tanah dan bangunan sebagai tempat tinggal ataupun tujuan peruntukannya. Pembeli juga selama masa pendirian bangunan tidak diperkenankan untuk menghubungi dan memerintah pelaksanaan bangunan yang bersifat mengubah dan menambah bangunan rumah tanpa persetujuan penjual.

7. Pengalihan hak

Apabila pembeli hendak memindahkan dan menyerahkan hak dan kewajiban atas rumah (dan tanah) tersebut dalam perjanjian pengikat jual beli kepada PIHAK KETIGA, maka pembeli harus mendapat persetujuan tertulis dahulu dari developer dan diwajibkan membayar lunas dan seluruh angsuran dan biaya administrasi dan biaya yang terhutang. Apabila pembeli melanggar ketentuan diatas, maka perjanjian batal demi hukum, dan dalam hal demikian kedua belah pihak saling melepaskan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1266, 1267, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk kebatalan ini telah diatur dalam pasal VII untuk pemindahan dan penyerahan hak tersebut akan dibuat surat persetujuan pemindahan dan penyerahan hak antara pembeli dengan pihak Ketiga di hadapan developer. Untuk pemindahan dan penyerahan hak tersebut pembeli dikenakan penggantian biaya administrasi sebesar 10 % (sepuluh per seratus) dari harga pengikatan, kecuali karena warisan.

8. Ketentuan Pembatalan Pengikat

- Oleh karena suatu hal atas kemauan dari pembeli sendiri membatalkan pengikatan jual beli ini.

- Karena pembeli lalai/terlambat melakukan kewajiban untuk membayar angsuran selam 3 (tiga) bulan berturut-turut, dimana cukup membuktikan dengan lewatnya waktu saja, maka penigkatan jual beli ini menjadi batal, tanpa peerlunya campur tangan Pengadilan Negeri, kecuali apabila developer memperkenankan secara tertulis perpanjangan waktu tersebut.

9. Akta Jual-Beli

Pengeturan mengenai akta jual beli tidak ada diatur dalam PPJB ini, namun sudah jadi kebiasaan. Pada saat melangsungkan jual beli tanah dan bangunan rumah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan atau pada waktu melangsungkan pengikatan didepan Notaris. Pembeli wajib membawa dan memperlihatkan asli surat-surat berikut kuitansi mengenai pembayaran harga tanah dan bangunan rumah beserta biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan itu.

10. Penyelesaian Perselisihan

Didalam PPJB Perumahan Setia Budi Indah ialah pengaturan mengenai masalah terjadinya perselisihan akibat perjanjian ini serta pelaksanaanya kedua belah pihak memilih tempat kedudukan hukum yang tetap dan umum di Kantor Panitera Pengadilan Negeri di Medan.

B. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Pada Proses Jual Beli Rumah Secara sederhana hambatan-hambatan ini dapat dibedakan menjadi dua sebagai berikut :

a. Hambatan yang terjadi oleh sebab adanya deficit penyedian disbanding permintaan (demand) dipasar perumahan yang ditunjukan dengan adanya permintaan unit hunian oleh kelompok masyarakat yang bersedia membayar untuk unit hunian yang dipasarkan disatu sisi dan kurangnya persediaan unit hunian yang dapat dipasarkan di sisi lain. Skala permasalahan ini di Indonesia pada umumnya relatif kecil oleh sebab jumlah warga masyarakat yang

mampu membeli unit hunian dari pasar bebas relatif kecil pula dan pemecahannya lebih mudah karena perumahan dalam hak ini lebih merupakan tujuan akhir.

b. Hambatan yang terjadi oleh sebab sebagian besar masyarakat tinggal di unit-unit hunian sub – standar di pemukiman yang tidak layak atau kumuh oleh karena tidak dikuasainya sumber daya kunci yang memadai untuk menopang kehidupan mereka. Skala permasalahan ini di Negara berkembang seperti indonesia pada umumnya besar dan perlu penanganan yang lebih menyeluruh (comprehensive). Dalam memecahkan permasalahan ini program perumahan hanya merupakan alat/sarana (means) unutk pembangunan manusia seutuhnya.

Pada saat ini upaya penanganan perumahan ditekankan pada pengadaan perumahan sebanyak-banyaknya dengan harga yang terjangkau. Upaya ini didasarkan pada ancangan penyediaan (supply side oriented approach) yang mendorong pembangunan perumahan oleh sektor pemerintah maupun swasta untuk menghasilkan rumah sebagai komoditi yang dapat dipasarkan secara luas dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat. Bila perlu untuk memperluas jangkauan pemasaran dapat dilakukan dengan mengurangi standar atau memberikan subsidi.

Ancangan ini memisahkan pelaku pembangunan menjadi dua pihak providerdan receicerdan menitikberatkan kemampuan pemecahan permasalahan pada kemampuan sang penyedia (pro-vider) yang dalam hal ini adalah pemerintah

dan developer sebagai mitra kerja sedangkan masyarakat hanya dilihat sebagai objek yang tidak berdaya yang kebutuhan mereka diupayakan dipenuhi.

Pola penanganan perumahan ini pada dasarnya melihat rumah sebagai produk komoditi yang dapat diproduksi secara besar-besaran untuk dipasarkan agar menutupi kesenjangan antara permintaan rumah (supplay) dan atau sebagai benda sosial (social goods) yang harus diproduksi besar-besaran untuk dialokasikan khususnya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin, sebagai upaya jalan pintas untuk mengkoreksi disparatis sosial ekonomi.

Pola ini meletakkan pemerintah beserta kerabat kerjanya, sektor swasta formal, sebagai tokoh sentral dan penentu dalam seluruh proses pembangunan perumahan ini (bertumpu pada pemerintah).

Seringkali unutk memperkuat / mendukung rencana ini penyediaan rumah melalui pola ini juga didudukkan sebagai alat instrument pengarah untuk mengatur tata ruang pertumbuhan ekonomi.

Tidak disangka pola penanganan perumahan ini telah mampu melahirkan proyek-proyek perumahan skala besar tersebut di kota-kota besar dan menengah di Indonesia dan memproduksi berbagai tipe bangunan rumah. Meskipun demikian hasil tersebut ternyata hanya mampu memenuhi sekitar 10% dari jumlah kebutuhan rumah perkotaan di Indonesia bila tidak dikaitkan dengan kelompok sasaran yang harus dicapai, sehingga 90% dari masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah harus menyediakan perumahan mereka sendiri.

Agar pola penanganan perumahan ini mampu terus menerus memproduksi rumah dalam rangka menyediakan perumahan bagi seluruh warga masyarakat

yang membutuhkan termasuk yang berpenghasilan rendah, haruslah didukung oleh pemasokan sumber daya yang menerus.

Untuk itu ditempuh dua jalur sebagai berikut :

a. Jalur daur ulang dimana warga masyarakat yang menerima pelayanan perumahan melalui pola ini harus mampu mengendalikan dalam bentuk pembayaran atau angsuran. Ini berarti untuk menjamin kelanggengan produksi harus diimbangi pula dengan pengembalian modal yang lancar dan mantap.

b. Jalur subsidi silang yaitu dengan membangun perumahan mewah dan bangunan komersial untuk menutup deficit biaya penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dalam prakteknya sering mengaburkan misi pembangunan itu sendiri. Oleh sebab adanya konflik tujuan antara kerasnya upaya untuk menutup deficit tersebut di atas dan upaya penyediaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah akibatnya mengorbankan tujuan utama menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dilihat dari lokasi-lokasi KSB dan rumah-rumah tipe kecil yang sangat tidak menguntungkan.

Akibatnya pemilihan kelompok sasaran menjadi bias, cenderung kepada mereka yang lebih menjamin pembayaran kembali, atau produk rumah jadi sebagian dikomersilkan untuk menjamin likwiditas sehingga terjadilah rumah sebagai barang komoditi.

Kesemuanya ini meenyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah yang pada awalnya merupakan sasaran utama telah tergeser jauh di luar jangkauan pola

penanganan ini yang diwarnai oleh pemikiran yang berorientasi penyediaan (supply side oriented).

Jadi pola penanganan ini yang ditempuh yang terjadi secara khusus dirancang untuk memecahkan bagi masyarakat hambatan-hambatan atau konsumen untuk melakukan proses jual beli rumah.

C. Ketidakseimbangan Hukum Pembeli Rumah Dengan Posisi Developer

Dokumen terkait