• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Bagi kebanyakan developer berprinsip yang paling penting adalah rumahnya laku, persoalan komitmen (pemberian fasilitas maupun tanggung jawab lainnya) bisa belakangan. Sebagian pengembang nakal memanfaatkan tabiat orang Indonesia sebagai konsumen yang gampang percaya dan mudah memanfaatkan. Banyak pula orang Indonesia belum sadar hukum sehingga ketika hak-haknya todak dipenuhi, yang memilih diam daripada harus berurusan di lembaga peradilan. Oleh karena itu sebaiknya demi mengamankan kepentingan konsumen, bagi developer perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Perlu diadakan suatu pengaturan mengenai developer yang sifatnya komprehensif yang antara lain memuat persyaratan/kualifikasi developer, baik dari segi keuangan maupun hukum.

2. Perlu diadakannya pengaturan dalam undang-undang tersendiri tentang persyaratan untuk melakukan penawaran melalui iklan, dengan kewajiban memberi penjelasan yang jujur kepada konsumen berkenaan dengan developernya, objeknya, izin-izin yang diperlulan untuk pembangunan proyek serta saksi apabila keterangan dalam iklan ternyata palsu atau menyesatkan.

3. Sebaiknya ada transparansi dari pihak developer mengenai keadaan keuangan maupun proyek-proyek propertinya. Dengan adanya ketentuan itu, di satu pihak akan membantu konsumen dalam membuat keputusan yang tepat karena transaksi dari pihak developer, di lain pihak, ketentuan itu memberi kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan yang berkesinambungan terhadap para developer, sehingga masalah ingkar janji dapat ditekan seminimal mungkin.

Sedangkan bagi konsumen perumahan, guna menghindari dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Sebaiknya konsumen mengelai benar reputasi pengembang dari rumah yang ingin dibelinya, agar dapat terhindar dari penjualan perumahan fiktif.

2. Konsumen juga harus memperhatikan baik-baik draft perjanjian yang diajukan pengembang. Sesuai pengalaman selama ini, draft perjanian itu baku, tidak bisa diubah, dan tinggal ditanda tangani. Konsumen harus memperhatikan draft ini, jika setuju tanda tangan. Jika tidak setuju, harus menarik diri. Terutama penandatanganan surat pesanan, pada saat ini, sering aspek-aspek hukum diabaikan oleh kedua belah pihak. Yang dibicarakan

hanyalah masalah harga, diskon, lokasi, bentuk fisik bangunan. Pada tahap ini pengembang/agen pemasarannya juga selalu mengobral janji-janji indah tentang perumahan yang dipasarkan. Dalam praktek janji-janji mengiurkan tersebut acapkali tidak seindah malah bertolak belakang dengan kenyataan dikemudian hari. Untuk itu, sebaiknya konsumen sebelum menandatangani surat pesanan, meminta pengembang/agen pemasarannya untuk mencantumkan secara tertulis janji-janji tersebut pada surat pemesanan, lalu menandatanganinya karena pada saat surat pemesanan disetujui, draf perjanjian PPJB tidak dilampirkan serta apabila konsumen menolak PPJB, maka booking fee akan hangus.

3. Konsumen sebaiknya memperhatikan apa saja hak dan kewajiban dalam transaksi penjualan rumah. Konsumen juga perlu memahami Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terutama pasal empat sampai tujuh belas (Bab III mengenai hak dan kewajiban konsumen, atau pada Bab IV, tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha).

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

A. Sejarah Lahirnya Perlindungan Hukum Konsumen

Aktifitas ekonomi dirasakan hidup, apabila tercipta suasana yang mendukung kelancaran arus produksi barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Globalisai ditandai dengan perdagangan bebas, namun belum banyak memberikan perbaikan ekonomi di Indonesia. Anggapan bahwa perdagangan bebas menguntungkan konsumen dalam bentuk mutu dan harga barang ataupun jasa barangkali masih merupakan mitos yang diciptakan untuk mempertahankan dominasi perusahaan dan produsen atas konsumen dalam sistem ini.

Dalam hal ini terdapat indikasi meningkatkan sengketa antara produsen sebagai pelaku usaha dengan konsumen. Dari sinilah kita baru disadarkan kembali urgensinya perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan konsumen.

Gerakan konsumen internasional sejak tahun 1960 memiliki wadah yang cukup bewibawa, yaitu Internasional Organization of Consumers Union (IOCU) yang kemudian sejak tahun 1995 berubah nama menjadi Custumers International (CI). Anggota CI mencapai 203 organisasi konsumen yang berasal dari sekitar 90 negara di dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri ada dua organisasi yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang berada di Jakarta dan di Semarang. Yang mana tiap pada tanggal 15 maret C.I memperingati hari konsumen sedunia, dan memberi tema yang berbeda untuk setiap-tiap tahunnya.9

9

Konsumen Indonesia merupakan bagian dari konsumen global, sehingga gerakan konsumen di dunia Internasional mau tidak mau menembus batas-batas Negara, dan mempengaruhi kesadaran konsumen lokal untuk berbuat hal yang sama. Persaingan antar produsen saat ini semakin kuat, dan hal ini berarti konsumen mempunyai banyak pilihan terhadap produk barang dan jasa yang dikonsumsinya.

Gejala-gejala itu memberikan pengaruh kepada gerakan konsumen di dunia khususnya di Indonesia, yakni mulai beralih dari isu-isu konsumen dari sekedar mempersoalkan mutu menuju ke arah yang lebih berskala makro dan universal. Perhatian konsumen dalam negeri sama dengan perhatian konsumen diberbagai Negara, dan konsumen kita pun konsumen global.

Menurut Emil Salim, gerakan konsumen global ditandai oleh globalisasi diberbagai bidang. Pertama, globalisasi produksi, yang berarti tidak ada produk yang hanya di satu Negara. Faktor kedua, globalisasi financial dimana uang tidak lagi mengenal bendera suatu Negara. Ketiga, globalisasi perdagangan. Hali ini tampak dari dihilangkannya dinding-dinding tarif sehingga dunia menjadi satu pasar. Dan faktor keempat, yakni globalisasi teknologi. Yang antara lain membawa konsekuensi makin tergesernya alat-alat produksi tradisional mengarah pada moderenisasi dan mekanisme.10

10

B. Pengertian Konsumen

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasayang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan untuk tidak diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK, yang diberlakukan pemerintah mulai 20 april 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan tersebut.

Diantara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dari Persingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000 ; satu tahun setelah diundangkan). Undang-undang ini memuat suatu defenisi tentang konsumen yaitu setiap pemakai dan pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan ini mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UUPK.

Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (kooper). Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen lebih jelas dan lebih luas daripada pembeli. Pakar masalah hukum konsumen di Belanda, Hindius sebagaimana dikutip oleh tim FH UI &

Depdagri disimpulkan bahwa, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan/atau jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir, dan konsumen pemakai terakhir.

Pemahaman pengertian “konsumen” akan lebih jelas bila dilakukan studi perbandingan atas beberapa Negara yang telah mengembangkan perlindungan konsumen yang memadai dalam sistem hukumnya.

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai “The person who obtains goods and sevice for personal or family purposes.11

Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat dalam Magnussom-MossWarranty, Ferderal Trade Commission Act 1975, mengartikan persis sama dengan ketentuan di Perancis, demikian pula rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku VI, Pasal 236), walaupun terkesan lebih umum (karena dimuat dalam bab tentang syarat-syarat umum perjanjian), namun yang dikandung tetap kurang lebih sama. Dalam NBW itu konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi dan perusahaan.

Dari defenisi ini terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang, (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya.

12

11

Tim FH UI & Depdagri, Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1992. hal. 57.

12

AZ. Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 72.

Di Spanyol, konsumen diistilahkan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik disini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.13

Consumer Protection Act of 1986, No. 68 di Negara India mengatakan Konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersil.14

Di Australia, ketentuannya lebih jauh lebih moderat. Dalam Trade Practies Act 1974, yang sudah berkali-kali diubah, konsumen diartikan sebagai : seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harga tidak melewati 40.000 Dollar Australia. Artinya, jauh tidak melewati jumlah uang diatas, tujuan pembeli barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah uangnya sudah melewati 40.000 Dollar, keperluannya harus khusus.15

C. Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Positif Indonesia

Hukum positif (ius constitutum) merupakan substansi hukum yang berlaku pada waktu yang telah ditentukan. Waktu tertentu yang dimaksud disini ketika suatu peristiwa hukum itu tertentu. Hukum positif dengan kata lain, hukum yang sedang berlaku, bukan hukum dimasa lampau atau hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).

13

Tim FH & Depdagri, Op.Cit, hal. 58. 14

AZ. Nasution, Op. Ch. 15

R. Steinwall&L.Layton, annoted Trade Opractises Act 1974, Sydney : Butterworths, 1996, hal. 33-36

Dalam kaca mata aliran hukum positif (Positivisme Hukum) hukum yang berlaku (hukum positif) itu harus memenuhi unsur keberlakuan (geltung) yuridis. Ia boleh saja mengabaikan unsur folosifis dan sosiologis tetapi tidak dapat meninggalkan unsur yuridis. Suatu peraturan dikatakan memenuhi unsur keberlakuan yuridis bila peraturan itu dilahirkan oleh lembaga yang berwenang dan melalui proses yang benar. Dengan demikian hukum positif semata-mata mementingkan fomalitas, bukan isi (materi) dari peraturan itu. Disebur hukum positif semata-mata karena ia masih berlaku sampai saat ini. Hukum positif merupakan substansi hukum yang mempunyai 3 unsur, yaitu (1) struktur, (2) substansi, (3) budaya hukum.16

Menurut norma hukum positif Indonesia landasan yuridis tertinggi terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 27 ayat (1). Dalam

Struktur hukum mengacu kepada bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum. Hubungan antar lembaga tinggi Negara contohnya, suatu penggambaran dari stuktur hukum. Adapun substansi hukumnya merupakan kumpulan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma hukum yang ada. Inilah yang lazim dikenal dengan law in the books dalam suatu sistem hukum. Tentu saja tidak sama dari aturan hukum itu berjalan sesuai dengan harapan dilapangan. Ada aturan yang ditaati dan ada yang disampingi. Semua itu terangkum dalam law in action atau living law. Unsur yang penting dalam mempengaruhicorak hukum yang hidup itu adalah budaya hukum dari masyarakat yang menjadi subjek hukum.

16

Lawrence. M. Friedman, American Law (New York : WW. Norton & Co. 1986), 5 et seq.

ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal tersebut pada dasarnya memberi landasan konstitusional bagi perlindungan konsumen di indonesia. Karena dalam ketentuan tersebut sudah jelas dinyatakan bahwa kedudukan hukum semua warga Negara adalah sama atau sederajat (equaly before the law). Sebagai warga Negara, kedudukan hukum konsumen tidak boleh rendah dari pada produsen atau pemasar produksi produsen. Mereka memilih hak-hak yang seimbang satu sama lainnya.

Landasan konstitusional tersebut erat pula kaitannya dengan konsep bahwa setiap orang adalah konsumen. Produksi (barang dan/atau jasa) tidak berarti apa-apa tanpa dilanjutkan dengan konsumsi. Tidak ada orang yang tidak mengkonsumsi barang dan jasa pihak lain. Tidak mungkin ada badan usaha yang mempunyai produksi semua barang dan jasa secara mandiri. Perusahaan-perusahaan yang berskala besar, yang lazim disebut konglomerat sekali pun dalam era perdagangan bebas dan pasar global dewasa ini, justru cenderung membatasi diversifikasi usahanya, dan mulai memusatkan perhatiannya pada core businessnya. Kecendrungan demikian seharusnya dapat memperkuat komitmen konstitusional sebagaimana diletakkan Pasal 27 UUD 1945.

Mengingat luasnya objek material (pokok bahasan) hukum perlindungan konsumen itu, maka sangat sulit memberikan sistematika yang lengkap. Objek material hukum perlindungan konsumen mencakup semua lapangan hukum pada umumnya. Pembagian bidang-bidang hukum perlindungan konsumen dan

beragam jenis peraturan yang melingkupi, menurut adanya konsistensi, baik dalam dalam substansi maupun penerapannya dilapangan. Untuk mencegah hal itu sangat diperlukan adanya umbrella act. Adapun aturan-aturan lain, baik yang setungkat dengan Undang-Undang maupun yang dibawahnya, merupakan pengaturan yang bersifat lebih sektoral. Peraturan yang disebut sebagai umbrella act adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (selanjutnya disingkat dengan UUPK, yang disahkan pada tanggal 20 april 1999, tetapi baru diberlakukan satu tahun kemudian (tanggal 20 april 2000). Penundaan ini dianggap perlu untuk melengkapi berbagai pranata hukum yang diberlakukan.

UUPK sendiri dalam penjelasan umumnya menyebutkan sejumlah Undang-Undang yang dapat dikategorikan sebagai peraturan hukum sektoral. Undang-Undang tersebut telah ada mendahului UUPK. Untuk memberikan gambaran pengaturan hukum perlindungan konsumen secara komperhensif dalam hukum positif indonesia, uraian berikut akan lebih diarahkan kepada pendekatan objek formal (sudut pandang) nya, yang dikelompokan menjadi aspek hukum keperdataan, hukum pidana, hukum administrasi Negara dan hukum internasional.

1. Hukum Keperdataan

Hukum keperdataan secara substansional merupakan area hukum yang sangat luas dan dinamis. Keluasan hukum keperdataan sekilas segera tampak dari judul-judul buku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan leg spesialis, sementara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah leg generalisnya. Dalam azas hukum dikatakan, jika terjadi perselisihan pengaturan antara undang-undang khusus dan undan-undang lebih umum, maka yang khusus inilah yang digunakan (leg spesialis deorgate lege generalis).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terlihat perjalanan yuridis seorang manusia sejak lahir sampai setelah yang bersangkutan wafat. Dalam hukum perdata itu antara lain dibicarakan bagaiman hubungan seorang dengan keluarga, benda orang lain dalam lapangan harta kekayaan, dan ahli warisnya jika meninggal.

Dalam KUHPerdata tidak pernah disebut kata “konsumen”. Istilah lain yang sepadan dengan itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang (debitur). Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Pasal 1235 (Jo. Pasal 1033, 1157, 1236, 1236, 1365, 1444, 1473, 1474, 1482, 1550, 1560, 1706, 1744) :

“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan suatu termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat penyerahan”.

2. Pasal 1236 (jo. Pasal-pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391, 1444, 1480) ; “ Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, jika dia membawa dirinya dalam keadaan tak mampu

untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”.

3. Pasal 1504 (Jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504, s.d 1511).

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan selain dengan harga yang kurang”.

Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas jelas masih terlalu umum untuk mengantisipasi perkembangan bidang hukum perdata yang sangat dinamis itu. Dinamika yang diamati, misalnya, dari makin banyaknya bentuk-bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak (individu dan individu, atau lembaga-lembaga, atau individu dan lembaga). Dinamika hukum perdata ini disadari pula oleh perancang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada abad ke-19, antara lain dengan mencantumkan kriteria perjanjian yang bernama (beneomd, specified) dan tidak bernama (onbenoemd, unspecified).

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai sebutan tersendiri, yakni yang diatur atau diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian bernama ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII (dan juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). Diluar adalah perjanjian tidak bernama. Dapat dibayangkan, betapa banyak jenis-jenis perjanjian yang belum diatur dalam ketiga belas bab itu.

Adapun azas kebebasan berkontrak mendorong pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan keperdataan melakukan inovasi jenis-jenis perjanjian baru. Perjanjian sewa beli, misalnya, merupakan jenis perjanjian yang termasuk perjanjian tidak bernama menurut versi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian ini merupakan faktor sangat penting, walaupun bukan faktor mutlak yang harus ada. Dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, pernah ada suatu kurun waktu yang menganggap unsur perjanjian mutlak harus ada lebih dahulu, barulah konsumen dapat memperoleh perlindungan yuridis dari lawan sengketa. Pandangan prinsipil seperti itu saat ini perlu ditinjau kembali.

Adanya hubungan hukum berupa perjanjian tentu saja sangat membantu memperkuat posisi konsumen dalam berhadapan dengan pihak yang merugikan hak-haknya. Perjankian ini perlu dikemukakan karena merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan.

Perikatan yang berhubungan dengan kepentingan ekonomis ini disebut dengan “perutangan”. Kata perutangan ini menunjukan adanya hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam lapangan harta kekayaan. Pengaturan perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan pengaturan secara umum saja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1319 KUHPerdata “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”. Maksud kata-kata “dalam bab ini

dan bab yang lalu” adalah bab II tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian dan bab I tentang perikatan-perikatan pada umumnya.

Pengaturan yang bersifat umum tersebut dengan demikian juga mengikat perikatan-perikatan yang dibuat dalam dunia perdagangan, khususnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang ini, sekedar dari dalam Kitab Undang-Undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang. “Anak kalimat terakhir dari pasal tersebut mengisyaratkan berlakunya asas “lex specialis derogate lege generalis” (peraturan yang khusus mengeyampingkan peraturan yang umum).

Perikatan dapat terjadi karena dua sebab, yaitu karena adanya perjanjian dan karena adanya undang-undang (pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dua pengertian ini sangat mempengaruhi perlindungan dan penyelesaian sengketa hukum yang melibatkan kepentingan konsumen didalamnya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menerima dan mengatur dua sumber perikatan ini.

Dalam perikatan karena perjanjian, para pihak bersepakat untuk mengikatkan diri melaksanakan kewajiban masing, dan untuk itu masing-masing memperoleh hak-haknya. Kewajiban para pihak tersebut dinamakan prestasi. Pihak yang menikmati prestasi disebut dengan kreditur, dan yang wajib menunaikan prestasi dinamakan debitur. Dengan demikian, dalam transaksi konsumen, baik produsen maupun konsumen, keduanya dapat saja berdiri dalam posisi sebagai kreditur atau debitur, bergantung dari sudut mana kita melihatnya.

Agar perjanjian itu memenuhi harapan kedua pihak, masing-masing perlu memiliki iktikad baik untuk memenuhi prestasinya secara bertanggung jawab. Hukum disini berperan untuk memastikan bahwa kewajiban itu memang dijalankan dengan penuh tanggung jawab sesuai kesepakatan semula. Jika terjadi pelanggaran dari kesepakatan itu, atau yang lazim disebut dengan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhannya berdasarkan perjanjian tersebut. Penentuan ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Selain perjanjian, sumber perikatan lainnya adalah undang-undang. Perikatan yang timbul karena undang-undang ini dibedakan dalam pasal 1352 KUHPerdata menjadi : (1) perikatan yang memang ditentukan oleh Undang-Undang, (2) perikatan yang timbul karena perbuatan orang. Kriteria perikatan yang timbul karena perbuatan orang ini ada yang (1) memenuhi ketentuan hukum. Disebut perbuatan menurut hukum, (2) pembayaran tanpa hutang. Yang diatur dalam pasal 1359 sampai pasal 1364.

Dalam kaitan dengan hukum perlindungan konsumen, kategori kedua, yaitu perbuatan melawan hukum, sangat penting untuk dicermati lebih lanjut karena paling memungkinkan untuk digunakan oleh konsumen sebagai dasar yuridis penentuan terhadap pihak lawan sengketanya.

2. Hukum Pidana

Pengaturan hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di Indonesia penerepannya kitab diatas diunifikasikan sejak 1918, yakni sejak kali diberlakukannya wetboek

van strafrecht voor naderlandsch-Indie. Hukum pidana sendiri termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam kategori ini termasuk pula hukum administrasi negara, hukum acara, dan hukum internasional. Diantara semua aspek hukum publik itu, yang paling banyak menyangkut perlindungan konsumen adalah hukum pidana dan hukum administrasi negara.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut-sebut kata “konsumen”. Kendati demikian, secara implicit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen antara lain :

1. Pasal 204 “ Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau

Dokumen terkait