• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap Developer Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Study Kasus : Zona Property Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap Developer Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Study Kasus : Zona Property Medan)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Badan pembinaan Hukum Nasional. 1994. Karya Tulis Ilmiah Perlindungan Konsumen. Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, Mariam Darus. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Alumni, Bandung. Baros, Wan Sadjaruddin. 1992. Beberapa Sendi Hukum Perikatan. USU Press,

Medan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 1980. Pelangi Perdata. Medan. Faudy, Munir. 2001. Hukum Kontrak (dari sudut pandang Hukum Bisnis). Citra

Aditya Bakti. Bandung.

Gautama, Sudargo. 1984, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Perumahan dan Peraturan Sewa-Menyewa.

Harahap, M.Yahya. SH. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung. Ichsan, Achmad. 1969. Hukum Perdata IB. Pembimbing Masa, Jakarta.

Miru, Ahmadi. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Raja Grafindo Persada Jakarta.

Nasution, AZ. 2002. Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Diadit Media. Jakarta.

Parlindungan. AP. 1997. Komenter atas Perumahan dan Pemukiman dan Undang-Undang Rumah Susun : Mandar Maju, bandung.

Prakoso, Djoko. 1987. Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia. Bina Aksara. Jakarta.

Salim. 2003. Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak) Sinar Grafika. Jakarta.

(2)

Sri Wahyuni, Endang. 2003. Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Grasindo. Jakarta. Sidabalok, Janus. 2000. Pengantar Hukum Ekonomi. Bina Media : Medan. Subekti. 1995. Aneka Perjanjian. Citra Aditya bakti; Bandung

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya Paramita. Jakarta.

Sudaryatmo. 1996. Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia ; Citra Aditya Bakti Bandung.

---1999. Hukum dan Advokasi Konsumen. Citra Aditya Bakti Bandung. Susanti, Ida. 2003. Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas (Fakultas Hukum

Universitas Katolik Parahyangan). Citra Aditya Bakti ; Bandung.

Widjaja, Gunawan. 2003. Seri Hukum Perikatan, JUAL BELI. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

---2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Negara Nomor 2043.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23.

(3)

BAB III

KONSUMEN PERUMAHAN DAN DEVELOPER

A. Pengertian Konsumen Perumahan

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Konsumen perumahan mewah, sederhana dan kalangan kelas-kelas kecil. Selain membeli untuk tinggal, mereka juga mengharapkan adanya pencapaian kepuasan. Oleh karena itu didalam memasarkan perumahan para pengembang harus mampu menciptakan kepuasan bagi para konsumennya. Dengan demikian para developer harus memberikan pelayanan yang lebih maksimal kepada seluruh konsumen perumahan mewah, sederhana dan kalangan kelas-kelas kecil.

Untuk mampu menciptakan kepuasan konsumen tersebut, para pengembang perlu memiliki suatu strategi pemasaran yang jitu dalam memasarkan produknya, karena strategi pemasaran juga merupakan alat fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan mengembangkan keunggulan bersaing yang digunakan untuk melayani pasar sasaran.

B. Pengertian Developer

(4)

pengalihan hak atas produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui proses yang telah ditentukan.

Developer adalah juga sebagai badan usaha yang berbadan hukum, mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Salah satu bentuk strategi pemasaran yang mampu mendukung dalam memasarkan perumahan untuk mencapai kepuasan konsumen adalah pengunaan marketing mix (bauran pemasaran).

Marketing mix (bauran pemasarran) merupakan seperangkat alat pemasaran yang digunakan untuk mencapai tujuan pemasaran dalam pasar sasaran. Secara umum, bauran pemasaran menekankan pada pengertian suatu strategi yang mengintegrasikan produk (product), harga (price), promosi (promotion), dan distribusi (place), dimana kesemuanya itu diarahkan untuk dapat menghasilkan omset penjualan yang maksimal atas produk yang dipasarkan dengan memberikan kepuasan kepada para konsumen. Sejalan dengan semakin kompetitifnya dunia bisnis, 4-P yaitu product, place, price, promotion, participant, physical evidence dan process.

(5)

Pembangunan perumahan untuk kelompok masyarakat menengah keatas cenderung dilakukan oleh para pengembang swasta, dimana mereka lebih menekan pada profit orientied. Untuk mencapai tujuan tersebut, penekanan pada daya tarik bentuk rumah yang mereka bangun lebih diutamakan. Hal terebut dilakukan dengan mengunakan para konsultan pembangunan perumahan, sehingga perumahan yang mereka bangun mampu menghasilkan bentuk yang menarik konsumen untuk membelinya. Sedangkan beberapa hal seperti konstruksi, sarana jalan, saluran, dan fasilitas-fasilitas umum yang seharusnya ada dalam kompleks perumahan yang mereka bangun, cenderung diabaikan. Dengan demikian, ketidakpuasan konsumen mungkin akan muncul setelah membeli rumah yang dipasakan oleh para pengembang. Bertitik tolak pada paparan yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pola pikiran yang berkembang dalam pembelian rumah di era sekarang ini, terutama untuk rumah kelas menengah keatas adalah bahwa rumah tidak hanya sebagai tempat berlindung, namun juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang nyaman, sehat, bahkan estetika menjadi bahan pertimbangan mereka dalam pembelian rumah.

(6)

sekaligus menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului tindakan ini.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen Perumahan

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu : (1). Hak untuk mendapatkan keamanam (the right to safety), (2). Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), (3). Hak untuk memilih (the right to choose), (4). Hak untuk didengar (the right to be heard).

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, sepertu hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun tidak semua oeganisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya memutuskan untuk menambah satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan yang sehat dan baik sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen. Ada delapan hak secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 UUPK, sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka.

(7)

antinomy dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.

Akhirnya, jika hak-hak tersebut disusun secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut :

1. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan

Konsumen berhak mendapatkan kewenagan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan secara jasmani dan rohani. Hak untuk memperoleh keamanan itu penting ditempatkan pada kedudukan utama, karena selam berabad-abad berkembang suatu falsafah berfikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha.

Dalam barang dan/atau jasa yang dihasillan dan dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko sangat tinggi terhadap kemanan konsumen, maka Pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat. Satu hal yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah fasilitas umum yang memenuhi syarat yang ditetapkan.

2. Hak untuk mendapatkan informasi yang jelas

(8)

dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen melalui iklan diberbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk.

Jika dikaitkan dengan hak konsumen atasa keamanan, maka setiap produk yang mengandung resiko terhadap kemanan konsumen, wajib disertai informasi berupa petujuk pemakaian yang jelas. Menurut Troelsrup, konsumen pada saat ini menbutuhkan banyak informasi yang lebih relevan dibanding dengan sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat ini (1) terdapat lebih banyak produk, merek, dan juga penjualannya., (2) daya beli konsumen semakin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang beredar dipasarkan, sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-model produk cepat berubah, (5) kemudian tranportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen dan penjual.20

Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof. Hans W. Micklitz,21

20

A.W. Troelsrup, The consumer in American Socciety : personal and Family Finance, ed. 5 (New York : Merrow Hill, 1974), 515.

21

RUUPK di Mata Pakar Hukum Jerman, Warta Konsumen Tahun XXIV No. 12 (Desember, 1998), hal. 33-34.

(9)

berperan dalam ekonomi pasar, (3) lancar berkomunikasi. Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab ddan relatif tidak memerlukan perlindungan. Tipe konsumen kedua memiliki ciri-ciri, antara lain (1) kurang pendidikan, (2) termasuk kategori kelas menengah kebawah, dan (3) tidak lancar berkomunikasi. Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab Negara memberikan perlindungan.

Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh Negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua konsumen (tidak diskriminatif).

3. Hak untuk didengar

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu, kosumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.

4. Hak untuk memilih

(10)

Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi dan memasarkan barang dan jasa, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produksi yang satu dengan produk lainnya.

Jika terdapat monopoli oleh perusahaan yang tidak berorientasi pada kepentingan konsumen, akhirnya konsumen didikte untuk mengkonsumsi barang dan jasa itu tanpa dapat berbuat yang lain. Dalam keadaan seperti itu, pelaku usaha dapat secara sepihak mempermainkan mutu barang dan harga jual. Monopoli juga dapat timbul akibat-akibat perjanjian-perjanjian antar pelaku usaha yang bersifat membatasi hak konsumen untuk memilih.22

5. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikan

Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang akan dibayar sebagai penggantinya. Namun, ketidak bebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketidakadaan pilihan. Konsumen dihadapkan pada posisi “take it or leave it”. Jika setuju silahkan membeli, dan jika tidak maka tinggalkan (padahal ditempat lain pun pasar sudah dikuasainya). Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa

22

(11)

mencari produk alternative (bila masih ada), yang boleh jadi kualitasnya malahan lebih buruk.

Akibat tidak berimbangnya posisi tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen, maka pihak pertama dapat saja membebankan biaya-biaya tertentu yang sewajarnya tidak ditanggung konsumen. Praktik yang tidak terpuji ini lazim dikenal dengan istilah externalities.

6. Hak untuk mendapatkan ganti rugi

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapat ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau asas kesepakatan masing-masing pihak.

7. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum

(12)

Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ini sebenarnya meliputi juga hak untuk mendapatkan ganti kerugian, tetapi kedua hak tersebut tidak berarti identik. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Sebaliknya, setiap upaya hukum pada hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah satu pihak. Tentu ada beberapa karakteristik tuntutan yang tidak membolehkan ganti kerugian ini, seperti dalam upaya Legal Standing LSM yang dibuka kemungkinannya dalam pasal 46 ayat (1) huruf (c) UUPK.

8. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan non fisik.

Menurut Heindrad Steiger, sebagaimana dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri,23

23

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cet. 11, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1994, 119

(13)

pengaruh lingkungan yang merugikan. Kedua, function of perfomance, yakni hak individu untuk menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya dipulihkan atau diperbaiki. Fungsi-fungsi itu telah tertampung sejak lama dalam hukum positif Indonesia.

Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat semakin dikemukakan akhir-akhir ini. Karena hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak-hak subjektif sebagai bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang.24

9. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebut dengan “persaingan tidak sehat dapat terjadi jika seseorang pengusaha menarik langganan atau klien usaha lain untuk memajukan usahanya dan memperluas penjualan atau pemasarannya, dengan mengunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan iktikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan sebagai upaya pre-empative yang harus dilakukan, khususnya oleh pemerintah, guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada pada saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 5

24

(14)

Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.25

10. Hak Untuk Mendapatkan Pendidikan

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh sebab itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum melayani hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran hukum. Semangkin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, semakin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melalui media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.

Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen” ini. Pengertian konsumen ini tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak produksi yang harus disampaikan pada konsumen. Bentuk informasi yang lebih komperhensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.26

25

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, “Aspek Yuridis dan Cara Penaggulangan persaingan curang” (makalah, Yogya, 6-7 Oktober 1992) hal. 1.

26

Shidarta, op.cit, hal. 27

(15)

Keterkaitan terhadap lingkungan. Dengan demikian apabila konsumen berharap hak-haknya ingin dipenuhi secara baik, hal itu dapat terlaksana apabila konsumen mempunyai kesediaan yang sama terhadap pemenuhan kewajibannya, untuk itu seorang konsumen perlu menyadari dan mengetahui tentang tanggung jawabnya.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, juga siregaskan mengenai kewajiban, dengan pengertian konsumen tidak hanya dapat menuntut hak-haknya, namun demikian konsumen berkewajiban melaksanakan hal-hal sebagai berikut :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

2. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut

Sejalan dengan pasal 5 tersebut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-Medan juga mengaris bawahi bahwa konsumen berkewajiban untuk :

1) Bersikap kritis

Bertanggung jawab untuk bertindak lebih waspada pada kritis terhadap harga dan mutu suatu barang atau jasa yang digunakan, serta akibat lain yang mungkin ditimbulkannya. Sikap kritis konsumen sangat diperlukan dalam rangka menetukan barang/jasa yang akan dikonsumsinya.

(16)

- Kritis terhadap penawaran barang/jasa oleh produsen secara langsung maupun yang tidak langsung melalui iklan di media cetak maupun elektronika.

- Kritis terhadap penampilan fisik barang, takaran, ukuran, dan timbangan maupun mutu.

2) Berani bertindak atas kesadaran

Berani bertindak guna melindungi dirinya sendiri maupun secara berkelompok dalam upaya menjamin perolehan pengakuan yang adil.

3) Memiliki kepedulian sosial

Turut bertanggung jawab serta waspada terhadap segal akibat yang ditimbulkan oleh sikap dan pola konsumsi bagi kita orang lain, terutama golongan masyarakat bawah.

Meskipun konsumen bebas memilih dalam berkomunikasi barang/jasa sesuai dengan kemampuan ekonomi, sosial dan pengetahuan, tapi cara komunikasi yang berlebihan tanpa memperhatikan kondisi sosial.

4) Tanggung jawab terhadap lingkungan

Mempunyai rasa tanggung jawab dalam melestarikan lingkungan hidup. Konsumen wajib memiliki kesadaran terhadap kebersihan, keamanan, kesehatan sebagai pola konsumsinya terhadap lingkungan, seperti tidak membuang sampah/limbah diparit atau sungai, atau disembarang tempat. 5) Memilik rasa kesetiakawanan

(17)

konsumen. Konsumen wajib tolong menolong dan saling memberikan informasi serta berhimpun untuk melindungi kepentingannya sebagai konsumen.

D. Hak-Hak dan Kewajiban Developer

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 diperinci apa saja yang menjadi hak dan kewajiban Developer. Developer juga mempunyai hak-hak yang harus dihargai dan dihormati oleh konsumen, pemerintah dan masyarakat pada umumnya karena pengusaha tanpa dilindungi hak-haknya akan akibat berhentinya aktivitas perusahaan. Hal ini sejalan dengan asas-asas perlindungan konsumen, yaitu : (1) Asas Manfaat, (2) Asas Keadilan, (3) Asas Keseimbangan, (4) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, (5) Asas Kepastian Hukum.

Adapun hak-hak developer yang dimuat dalam Pasal 6 Undang-Undang perlindungan Konsumen meliputi sebagai berikut :

1. Hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang/jasa yang diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

(18)

Sedangkan kewajiban developer terhadap konsumen, masyarakat, dan pemerintah dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen meliputi :

1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dam pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau dperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti kerugian, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti kerugian, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.27

27

(19)

E. Hubungan Konsumen dan Developer Dalam Kontrak Baku

Dalam praktek bisnis akhir-akhir ini, ada kecenderungan untuk menggunakan rancangan kontrak/perjanjian yang dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak (umumnya pihak principal). Rancangan kontrak/perjanjian telah dipersiapkan itu, berisi hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan perjanjian (term of conditions) dalam wujud pasal-pasal yang sudah dibakukan. Pasal-pasal dari rancangan itu umumnya tidak dapat berubah lagi. Pada waktu penanda tanganan, biasanya para pihak mengisi hal-hal yang bersifat subjektif, seperti identitas, alamat, dan lain-lain serta tanggal pembuatan kontrak/perjanjian. Rancangan kontrak inilah yang disebut dengan standar kontrak atau perjanjian baku.28

Melihat jenis, standar kontrak dibedakan dua macam, yaitu satndar kontrak yang dibuat oleh perusahaan principal – standar kontrak bisnis dan standar

Istilah standar kontrak adalah terjemahan dari standard contract, yang kemudian dapat di Indonesiakan menjadi perjanjian baku atau perjanjian standar. Kata standar merujuk pada ketentuan-ketentuan kontrak/perjanjian (term of conditions) yang sudah dibakukan, tercetak secara permanent sehingga tidak dapat dirubah lagi. Ketentuan-ketentuan kontrak perjanjian itu sudah standar yaitu berlaku untuk setiap kontrak / perjanjian yang dibuat perusahaan dengan mitra bisnisnya. Setiap kali perusahaan mengikat kontrak/perjanjian dengan mitra bisnisnya, maka berlakulah ketentuan yang sama, tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain.

28

(20)

kontrak yang dibuat oleh pemerintah yang dipergunakan oleh masyarakat standar kontrak publik.29

Dalam membuat rancangan kontrak/perjanjian ini mudah dipahami bahwa perusahaan principal akan memberikan beberapa hal penting untuk dimuat dalam rancangan kontrak untuk menjaga kepentingannya sendiri. Artinya para konsultan Standar kontrak publik digunakan oleh para notaris/PPAT dalam hal jual beli atau peralihan hak atas tanah dan penjaminan hak atas tanah. Standar kontrak seperti ini berasal dari pemerintah. Oleh karena itu, ketentuannya sama (seragam) di Indonesia. Istilah standar kontrak publik menunjuk pada campur tangan pemerintah dalam membuat rancangan kontrak dengan maksud untuk mencapai ketertiban administrasi dalam pertanahan.

Praktik penggunaan standar kontrak dilatar belakangi argument ekonomis, sedangkan dari segi hukum tidak ada argument yang dapat diajukan untuk menjelaskan kecenderungan tersebut.

Harus diakui bahwa untuk mencapai suatu kesepakatan, para pihak harus melakukan negosiasi. Negosisasi ini dapat memakan waktu yang lama, berlarut-larut, dan mungkin mengahabiskan biaya yang sangat besar. Karena itu, negosiasi yang larut harus dihindari. Untuk menghindari negosiasi yang berlarut-larut, salah satu cara yang ditempuh adalah mempersiapkan terlebih dahulu membuat rancangan kontrak/perjanjian yang akan dipergunakan untuk perusahaan tersebut dengan mitra usahanya/kliennya. Dalam membuat rancangan kontrak/perjanjian ini, umumnya perusahaan memakai jasa konsultan hukum.

29

(21)

akan sangat memperhatikan pesan-pesan pihak principal dan berupaya mempertahankannya dalam rancangan kontrak. Sebaliknya, ketentuan pihak lain akan cenderung kurang mendapat perlindungan.

Dari segi praktisnya, cara ini membawa manfaat besar sebab dengan demikian perusahaan principal tidak lagi harus bernegosiasi setiap kali membuat kesepakatan dengan klien atau mitra bisnisnya. Rancangan kontrak/perjanjian yang telah disiapkan dapat dicetak sekaligus dalam jumlah yang banyak dan akan diambil manakala kontrak untuk dibaca oleh mitra bisnisnya. Biasanya tidak ada lagi yang perlu dinegosiasikan. Kalau mitra bisnisnya setuju dengan apa yang sudah tertulis, mereka tinggal membutuhkan tanda tangan dan hal-hal tidak terlalu prinsipil.

Praktek penggunaan standar kontrak ini sudah meluas tidak hanya di perusahaan besar, tetapi juga di perusahaan kecil. Ada masalah yang selalu menjadi persoalan, yaitu mengenai keadilan yang dicerminkan hak dan kewajiban dalam kontrak/perjanjian itu. Bahkan ada ahli hukum yang mempersoalkan keabsahan penggunaan standar kontrak tersebut seperti Pitlo. Pitlo berpendapat bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah keadaan sosial dan ekononomi. Perusahaan yang besar, perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka menentukan syarat-syarat tertentu secara sepihak. Pihak lawannya yang pada umumnya mempunnyai kedudukan (ekonomi) lemah, baik karena posisinya maupan karena ketidaktahuan hanya menerima apa yang disodorkan itu.30

30

Fakultas Hukum USU, 1980 Pelangi Perdata. H.10

(22)

mengatakan standar kontrak ini bukanlah perjanjian sebab disini pengusaha berkedudukan sebagai pembuat undang-undang swasta.

Dari segi isi, terdapat ketidakseimbanganan hak dan kewajiban antara perusahaan principal dan kliennya sebagaimana diatur dalam kontrak / perjanjian itu. Keadaan ini dapat dipahami karena perbuatannya dilakukan sendiri oleh perusahaan principal tanpa mendengar mitranya terlebih dahulu. Pihak pengusaha melalui bantuan konsultan, menetapkan sejumlah kewajiban bagi mitranya demi mengamankan kepentingan usahanya, sekaligus membatasi sedemikian hak-hak lainnya itu. Berbagai klausula eksonerasi (exoneration clause) dirumuskan didalamnya, sehingga tampak seolah-olah perusahaan principal tidak mempunyai kewajiban yang cukup berarti. Dengan demikian, asas keseimbangan dalam hukum kontrak tidak terakomdasi disini, yang selanjutnya juga kurang mencerminkan asas keadilan.31

Secara teoritis, yang pertama kali dipersoalkan dalam penggunaan standar kontrak ini adalah apakah ada perjanjian yang menggunakan standar kontrak ada asas konsensual ? Asas ini penting dalam hukum kontrak. Ada beberapa pendapat mengenai asas ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa sudah ada/terpenuhi asas konsensual, melalui pembubuhan tanda tangan oleh para pihak yang berjanji. Membubuhkan tandan tangan merupakan perwujudan dari kemauan/kehendak. Assers – Rutten misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab atas isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada suatu

31

(23)

formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatanganinya. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahuinya. Konsumen diberikan pilihan untuk menerima atau menolak perjanjian itu. Dengan adanya unsur pilihan ini, oleh sementara pihak dikatakan perjanjian standar itu melanggar asas kebebasan berkontrak (pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUHP Perdata), karena bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take it) atau menolak (leave it) perjanjian yang diajukan kepadanya.

Pendapat kedua melihat lebih realistis. Mereka mengatakan bahwa meskipun disana sudah tertera tanda tangan, tetapi fakta menunjukan bahwa terdapat kecenderungan untuk tidak dapat merubah klausula yang sudah tercetak meskipun pihak lain tidak menyetujuinya. Memang secara formal ada konsesus, tetapi secara materil sebenarnya tidak demikian, perusahaan principal tidak memberi kesempatan pada pihak lain untuk ikut menentukan klausula perjanjian, termasuk untuk merubahnya. Kepada klien biasanya hanya ada pilihan : take it or leave it contact. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada kehendak bebas dalam membentuk/melahirkan konsensus (kesepakatan) sehubung dengan standar kontrak ini.

(24)

seharusnya didahulukan.32

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya

Pendapat Prof. Mariam Darus ini berdasarkan pada pasal 1320 KUHPerdata, yang menentukan bahwa untuk sahnya persetujuan diperlukan 4 syarat :

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal yang tertentu

4. Suatu sebab yang halal

“Sepakat mereka mengikatkan diri” adalah asas esensial dari hukum perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas konsensualisme yang menentukan “ada”nya perjanjian.33 Asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti “kemauan” (Will) para pihak untuk saling berprestasi, adanya kemauan saling mengikatkan diri.34

Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1388 KUH Perdata, yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan untk menentukan “apa” dan dengan “siapa”

32

Shidarta, Op.cit. h. 121. 33

Fakultas Hukum USU, Op.cit, h. 17 34

(25)

perjanjian itu diadakan.35

Melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kepada debitur untuk mengadakan “real bargaining” dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendaknya dengan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian. Karena itu perjanjian baku tidak memenuhi elemen-lelmen yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata dan akibat hukumnya tidak ada.

Perjanjian yang dibuat sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat.

36

Namun demikian, ada sarjana yang tidak lagi mempersoalkan keabsahan standar kontrak. Hondius misalnya, mempertahankan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku dilingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Syahdeni dengan tegas mengatakan : keabsahan berlakunya perjanjian tidak baku tidak perlu dipersoalkan oleh karena perjanjian baku, eksistensinya sudah merupakan kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan ini terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan oleh dan karena itu diterimannya masyarakat.37

(26)

Pada waktu terjadi kasus penjualan rumah fiktif oleh beberapa developer (pengembang) di Jakarta, rumah dijual tetapi izin lokasinya belum diperoleh, sementara konsumen yang akan meminta kembali uang mukanya pun sulit, banyak tanggapan dan pendapat mengenai klausula kontrak/perjanjian yang dikeluarkan oleh developer tersebut. Beberapa ahli mengusulkan supaya naskah standar kontrak dimintakan izin terlebih dahulu sebelum dipergunakan. Maksud asal usul ini adalah untuk melindungi kepentingan klien yang berhubungan dengan perusahaan principal pengguna standar kontrak. Usul ini segera mendapat tantangan dari pihak yang lain karena akan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dan kebiasaan yang sudah lama dipraktekkan. Lagi pula tidak sesuai dengan semangat deregulasi. Tentu akan membutuhkan waktu dan prosedur yang berlarut-larut manakala setiap rancangan standar kontrak harus mendapat persetujuan dari pihak yang berwenang terlebih dahulu. Sulit untuk menentukan pihak yang berwenang untuk memberi penilaian terhadap klausula standar kontrak itu.38

Namun, menurut Bernadette M. Waluyo SH, MH.CN, dalam tulisannya yang berjudul Hukum Perjanjian Sebagai Ius Constituendum, didalam perjanjian standar tetap dapat menciptakan keadilan, pasti dan seimbang, apabila dalam pembuatannya diperhatikan hal-hal sebagai berikut39

a. Asas kesamaan dalam hukum, artinya para pihak dalam perjanjian harus dipandang mempunyai kedudukan yang sama dan diberi kedudukan yang sama. Jadi, kalau kepada salah satu pihak diberi hal

:

38 Ibid. 39

(27)

untuk melakukan pemutusan perjanjian, maka pihak yang lain juga harus diberikan hak untuk melakukan pemutusan perjanjian.

b. Asas Contemporanneous, yaitu bahwa suatu asas dalam hukum kontrak yangn menyatakan bahwa syarat-syarat (conditions) dalam suatu kontrak yang akan ditutup, wajib diberitahukan oleh pihak yang menawarkan sebelum kontrak itu ditutup oleh penerima tawaran.

c. Seseorang atau pihak, harus bertanggung jawab tehadap pihak lain yang menderita kerugian akibat perbuatannya atau kelalaiannya. Asas ini penting dalam hubungannya dengan kewajiban seseorang terhadap kemungkinan timbulnya kerugian yang diderita pihak lain akibat mengkonsumsi barang jasa yang diproduksinya. Produsen misalnya, harus bertanggung jawab atas produk-produk yang dihasilkannya, dengan memberi jaminan bahwa produk tersebut mempunyai kualitas seperti tercantum dalam brosur.

d. Menghindari adanya penyalahgunaan keadaan (undue influence). Terjadinya undue influence dapat diindikasikan apabila salah satu pihah tidak memiliki kesempatan dan bebas untuk melakukan pertimbangan karena adanya hubungan khusus antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian, misalnya hubungan antara orang tua dan anak atau pun dokter dan pasien.

(28)

pihak yang posisinya lemah. Berdasarkan doktrin, hal-hal yang mengindikasikan bahwa kesepakatan mengandung cacat yang disebabkan oleh unconscionable conduct adalah :

1) Salah satu pihak berada dalam posisi yang benar-benar tidak mampu

2) Posisi yang tidak menguntungkan tersebut tidak memberikan kemungkinan untuk membuat keputusan termasuk karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang suatu dokumen. 3) Salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk memutuskan,

diman hal ini diketahui oleh pihak lawan.

4) Kesempatan tersebut digunakan secara tidak wajar oleh pihak lain untuk memperoleh keuntungan.

5) Perbuatan tersebut tidak sesuai dengan asas-asas iktikad baik dan kewajaran.

(29)

usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukkan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha ;

b. Mengatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerhan kembali barang yang dibeli konsumen ;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen ;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secar lansung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang diberi oleh konsumen secara angsuran ; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen ;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa ; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjut dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya ; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

(30)

Selanjutnya dalam pasal 18 ayat (2) pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) tersebut, UUPK menyatakan setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Hal ini adalah merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang diatur pasal 1320 KUH Perdata jo. Pasal 1337 KUH Perdata.40

Dari uraian diatas, berarti bahwa prinsipnya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang/jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan yang sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat 2 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.

40

(31)

BAB IV

PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP DEVELOPER MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN ZONA PROPERTY MEDAN

A. Keabsahan Jual Beli Rumah Yang Ditawarkan Zona Property

Mengingat pentingnya materi dari suatu PJBB (Perjanjian Pengikat Jual Beli), yakni sebagai landasan yang digunakan untuk menilai barang pada waktu penyerahan dilakukan, maka pemerintah telah membuat pedoman mengenai pengikat jual beli rumah yakni Surat Keputusan Menteri Perumahan Nomor 9 Tahun 1995. Sebagian besar dari ketentuan-ketentuan perjanjian pengikat Jual Beli Rumah pada Perumahan Setia Budi Indah juga berlandaskan SK Menteri Perumahan No. 09 Tahun 1995, yakni :

1. Kewajiban penjual

(32)

2. Jaminan penjual

Developer menjamin bahwa apa yang diperikatkan dalam perjanjian perikatan jual beli ini benar-benar milik developer, tidak tersangkut suatu perkara atau sengketa, tidak digadaikan atau dijaminkan, tidak dipertanggung jawabkan dengan cara apapun juga dan bebas dari sitaan.

3. Kewajiban pembeli

Apabila pembeli terlambat / lalai atau tidak dapat memenuhi kewajibannya seperti yang dimaksud dalam cara pembayaran dan syarat-syarat pembayaran yang telah disepakati dalam PPJB, maka pembeli dikenakan biaya administrasi untuk setiap keterlambatan sebesar 0,1 % per hari dari jumlah angsuran yang terutang, keterlambatan mana yang telah terbukti dengan lewatnya waktu saja, sehingga untuk ini tidak diperlukan lagi surat teguran resmi atau surat lain yang sejenis. Apabila pembeli tidak melakukan pembayaran angsuran selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, maka pengikatan ini terjadi batal dengan sendirinya menurut hukum. Dalam hal terjadi demikian kedua belah pihak saling melepaskan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1266, 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4. Serah terima bangunan

(33)

jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah tanggal tersebut, dengan lewatnya waktu saja pembeli dianggap telah menerima rumah berikut tanah tersebut dengan baik dan selayaknya dan dengan ini developer sekarang untuk menerima dan menandatangani BERITA ACARA PEMERIKSAAN DAN SERAH TERIMA rumah dimaksud sehingga segala resiko yang timbul setelah tanggal serah terima tersebut menjadi tanggung jawab dan dipikul oleh pembeli terkecuali dalam hal-hal masa pemeliharaan.

5. Pemeliharaan bangunan

Dalam batas waktu 1 (satu) bulan setelah tanggal penyerahan merupakan masa pemeliharaan dimana developer masih bertanggung jawab atas segala kerusakan-kerusakan yang disebabkan kesalahan teknis dari atau konstruksi bangunan, akan tetapi bukan karena kerusakan-kerusakan lain yang disebabkan oleh kesalahan pembeli dan/atau pihak luar.

6. Penggunaan bangunan

(34)

7. Pengalihan hak

Apabila pembeli hendak memindahkan dan menyerahkan hak dan kewajiban atas rumah (dan tanah) tersebut dalam perjanjian pengikat jual beli kepada PIHAK KETIGA, maka pembeli harus mendapat persetujuan tertulis dahulu dari developer dan diwajibkan membayar lunas dan seluruh angsuran dan biaya administrasi dan biaya yang terhutang. Apabila pembeli melanggar ketentuan diatas, maka perjanjian batal demi hukum, dan dalam hal demikian kedua belah pihak saling melepaskan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1266, 1267, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk kebatalan ini telah diatur dalam pasal VII untuk pemindahan dan penyerahan hak tersebut akan dibuat surat persetujuan pemindahan dan penyerahan hak antara pembeli dengan pihak Ketiga di hadapan developer. Untuk pemindahan dan penyerahan hak tersebut pembeli dikenakan penggantian biaya administrasi sebesar 10 % (sepuluh per seratus) dari harga pengikatan, kecuali karena warisan.

8. Ketentuan Pembatalan Pengikat

- Oleh karena suatu hal atas kemauan dari pembeli sendiri membatalkan pengikatan jual beli ini.

(35)

9. Akta Jual-Beli

Pengeturan mengenai akta jual beli tidak ada diatur dalam PPJB ini, namun sudah jadi kebiasaan. Pada saat melangsungkan jual beli tanah dan bangunan rumah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan atau pada waktu melangsungkan pengikatan didepan Notaris. Pembeli wajib membawa dan memperlihatkan asli surat-surat berikut kuitansi mengenai pembayaran harga tanah dan bangunan rumah beserta biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan itu.

10. Penyelesaian Perselisihan

Didalam PPJB Perumahan Setia Budi Indah ialah pengaturan mengenai masalah terjadinya perselisihan akibat perjanjian ini serta pelaksanaanya kedua belah pihak memilih tempat kedudukan hukum yang tetap dan umum di Kantor Panitera Pengadilan Negeri di Medan.

B. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Pada Proses Jual Beli Rumah Secara sederhana hambatan-hambatan ini dapat dibedakan menjadi dua sebagai berikut :

(36)

mampu membeli unit hunian dari pasar bebas relatif kecil pula dan pemecahannya lebih mudah karena perumahan dalam hak ini lebih merupakan tujuan akhir.

b. Hambatan yang terjadi oleh sebab sebagian besar masyarakat tinggal di unit-unit hunian sub – standar di pemukiman yang tidak layak atau kumuh oleh karena tidak dikuasainya sumber daya kunci yang memadai untuk menopang kehidupan mereka. Skala permasalahan ini di Negara berkembang seperti indonesia pada umumnya besar dan perlu penanganan yang lebih menyeluruh (comprehensive). Dalam memecahkan permasalahan ini program perumahan hanya merupakan alat/sarana (means) unutk pembangunan manusia seutuhnya.

Pada saat ini upaya penanganan perumahan ditekankan pada pengadaan perumahan sebanyak-banyaknya dengan harga yang terjangkau. Upaya ini didasarkan pada ancangan penyediaan (supply side oriented approach) yang mendorong pembangunan perumahan oleh sektor pemerintah maupun swasta untuk menghasilkan rumah sebagai komoditi yang dapat dipasarkan secara luas dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat. Bila perlu untuk memperluas jangkauan pemasaran dapat dilakukan dengan mengurangi standar atau memberikan subsidi.

(37)

dan developer sebagai mitra kerja sedangkan masyarakat hanya dilihat sebagai objek yang tidak berdaya yang kebutuhan mereka diupayakan dipenuhi.

Pola penanganan perumahan ini pada dasarnya melihat rumah sebagai produk komoditi yang dapat diproduksi secara besar-besaran untuk dipasarkan agar menutupi kesenjangan antara permintaan rumah (supplay) dan atau sebagai benda sosial (social goods) yang harus diproduksi besar-besaran untuk dialokasikan khususnya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin, sebagai upaya jalan pintas untuk mengkoreksi disparatis sosial ekonomi.

Pola ini meletakkan pemerintah beserta kerabat kerjanya, sektor swasta formal, sebagai tokoh sentral dan penentu dalam seluruh proses pembangunan perumahan ini (bertumpu pada pemerintah).

Seringkali unutk memperkuat / mendukung rencana ini penyediaan rumah melalui pola ini juga didudukkan sebagai alat instrument pengarah untuk mengatur tata ruang pertumbuhan ekonomi.

Tidak disangka pola penanganan perumahan ini telah mampu melahirkan proyek-proyek perumahan skala besar tersebut di kota-kota besar dan menengah di Indonesia dan memproduksi berbagai tipe bangunan rumah. Meskipun demikian hasil tersebut ternyata hanya mampu memenuhi sekitar 10% dari jumlah kebutuhan rumah perkotaan di Indonesia bila tidak dikaitkan dengan kelompok sasaran yang harus dicapai, sehingga 90% dari masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah harus menyediakan perumahan mereka sendiri.

(38)

yang membutuhkan termasuk yang berpenghasilan rendah, haruslah didukung oleh pemasokan sumber daya yang menerus.

Untuk itu ditempuh dua jalur sebagai berikut :

a. Jalur daur ulang dimana warga masyarakat yang menerima pelayanan perumahan melalui pola ini harus mampu mengendalikan dalam bentuk pembayaran atau angsuran. Ini berarti untuk menjamin kelanggengan produksi harus diimbangi pula dengan pengembalian modal yang lancar dan mantap.

b. Jalur subsidi silang yaitu dengan membangun perumahan mewah dan bangunan komersial untuk menutup deficit biaya penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dalam prakteknya sering mengaburkan misi pembangunan itu sendiri. Oleh sebab adanya konflik tujuan antara kerasnya upaya untuk menutup deficit tersebut di atas dan upaya penyediaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah akibatnya mengorbankan tujuan utama menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dilihat dari lokasi-lokasi KSB dan rumah-rumah tipe kecil yang sangat tidak menguntungkan.

Akibatnya pemilihan kelompok sasaran menjadi bias, cenderung kepada mereka yang lebih menjamin pembayaran kembali, atau produk rumah jadi sebagian dikomersilkan untuk menjamin likwiditas sehingga terjadilah rumah sebagai barang komoditi.

(39)

penanganan ini yang diwarnai oleh pemikiran yang berorientasi penyediaan (supply side oriented).

Jadi pola penanganan ini yang ditempuh yang terjadi secara khusus dirancang untuk memecahkan bagi masyarakat hambatan-hambatan atau konsumen untuk melakukan proses jual beli rumah.

C. Ketidakseimbangan Hukum Pembeli Rumah Dengan Posisi Developer Sebagai Pelaku Usaha Perumahan

Pesatnya pembangunan telah menghasilkan diversifikasi produk barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhan yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan di sisi lain kemajuan dan kesadaran konsumen masih rendah sehingga terjadi ketidakseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha.

(40)

Dalam situasi dan kondisi yang demikian diketahui bahwa dalam transaksi bisnis dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen, sehingga diperlukan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya perlindungan dan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya ini penting untuk mengimbangi kegiatan pelaku usaha yang menjalankan prinsip ekonomi untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin, yang dapat merugikan kepentingan konsumen, baik secar langsung maupun tidak langsung.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disebut UUPK) yang mulai berlaku 20 april 2000. Tujuan utama undang-undang ini antara lain adalah untuk mengikat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, serta menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. Undang-Undang ini diharapkan dapat berlaku efektif bagi perlindungan konsumen terhadap 220 juta penduduk di Indonesia yang notabene adalah konsumen.

D. Penyelesaian Sengketa Yang Timbul Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah

(41)

sesuai PPJB (Perjanjian Pengikat Jual Beli), dan lain-lain. Setahun kemudian yakni 1999, jumlah pengaduan yang masuk ke YLKI berkurang menjadi 196 kasus, dan terakhir tahun 2003 lalu jumlah kasus developer bermasalah turun drastis menjadi 29 kasus. Dari statistik diatas terlihat ada perkembangan positif yang berkurangnya pengaduan yang masuk. Namun itu belum bisa dijadikan ukuran karena bisa jadi masih banyak lagi konsumen yang enggan mengadu nasibnya ke YLKI atau mengambil langkah hukum melalui pengacara (lawyer) komersial. Ini diakui sendiri oleh Sudaryatmo, pengurus harian YLKI yang membidangi property.41

Berbagai masalah dapat muncul dalam proses jual beli rumah ini, masalah yang pada umumnya terjadi adalah42

a. Keraguan konsumen akan kebenaran klaim iklan/brosur perumahan. Masalah dalam tahap pratransaksi :

b. Ketidaklengkapan dokumen administrasi pada rumah saat dipasarkan c. Penjualan rumah fiktif

Masalah pada tahap transaksi :

a. Tidak adanya kesempatan bagi konsumen untuk mempelajari materi perjanjian perikatan jual beli rumah

b. Berat sebelahnya materi yang diatur dalam PPJB rumah. Materi kewajiban konsumen diatur secara detail, namun materi hak konsumen sangat minim bahkan tidak diatur.

41

42

(42)

c. Tidak adanya kesempatan bagi konsumen untuk mengutarakan keberatan terhadap materi PPJB rumah.

Masalah pada tahap purnatransaksi

a. Keterlambatan penyerahan rumah dari developer pada konsumen

b. Keterlambatan penyerahan sertifikat pecahan ketika konsumen adalah melunasi pembayaran harga rumah

c. Penjualan rumah di atas tanah rumah

d. Fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dijanjiakan dalam iklan/brosur tidak terealisir

e. Mutu bangunan di bawah standar f. Banjir

Tetapi masalah yang terjadi, tidak sepenuhnya merupakan tanggung jawa developer, sebagian masalah yang ada di lapangan juga dapat disebabkan oleh konsumen/pembeliannya sendiri, misalnya, pembeli wanprestasi terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak.

Biasanya ada beberapa prosedur yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pengembang, yakni :

1. Musyawarah

(43)

adalah pasal 185143

2. Melalui lembaga swasta / instansi yang berwenang

- 1864 KUH Perdata. Cara penyelesaian sengketa dengan musyawarah ini adalah cara penyelesaian pada umumnya dipilih oleh para pihak terlebih dahulu, sebelum mencoba cara lainnya, mengingat berbagai kemudahan dalam proses pelaksanaannya, yang tidak memakan waktu dan berbiaya murah.

Penyelesaian sengketa melalui instansi yang berwenang dapat dilakukan dengan mengadukan/melaporkan perihal gangguan yang dialami konsumen kepada instansi yang terkait. Instansi yang ini dapat merupakan lembaga swasta ataupun instansi pemerintahan, misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

3. Melalui Pengadilan Negeri Setempat

Konsumen mengajukan gugutan ganti rugi karena perbuatan ingkar janji atau perbuatan melawan hukum, tergantung dari hubungan hukum konsumen dan pelaku perbuatan yang merugikan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang.

Dalam menyelesaikan sengketa yang timbul antara konsumen dan pengembang ini, pada umumnya telah ditentukan cara penyelesaiannya yang dipilih dalam perjanjian pengikat jual beli.

Dalam perjanjian pengikatan jual beli rumah Perumahan Setia Budi Indah, ditentukan bahwa segala akibat serta pelaksanaan dari perjanjian ini, dalam arti

43

(44)

bahwa kedua belah pihak mengalami perselisihan maka kedua belah pihak memilih tempat kedudukan hukum yang tetap dan umum di Kantor Panitera Pengadilan Negeri di Medan. Ketentuan ini menegaskan bahwa setiap perselisihan yang timbul akan diselesaikan di Pengadilan, namun pada prakteknya, cara yang diutamakan adalah dengan musyawarah, dan berdasarkan pengakuan karyawan ZONA PROPERTY, selama ini cara musyawarah dapat menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi, terbukti dengan tidak adanya gugatan mengenai perumahan yang dikelola ZONA PROPERTY di Pengadilan Negeri Medan.

(45)

BAB V P E N U T U P

A. Kesimpulan

1. Keabsahan jual beli rumah yang ditawarkan ZONA PROPERTY adalah berdasarkan SK Menteri Perumahan No. 9 Tahun 1995, yakni : kewajiban penjual, kewajiban pembeli, serah terima bangunan, pemeliharaan bangunan, penggunaan bangunan, pengalihan hak, ketentuan pembatalan pengikat, akta jual beli dan penyelesaian perselisihan.

2. Hambatan-hambatan yang dihadapi pada proses jual beli rumah adalah : Hambatan yang terjadi oleh sebab kurangnya unit hunian yang dapat dipasarkan dengan hal ini upaya penanganan perumahan ditekankan pada pengadaan perumahan sebanyak-banyaknya dengan harga yang terjangkau. 3. Ketidakseimbangan Hukum Pembeli Rumah Dengan Posisi Developer

(46)

4. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian pengikatan jual beli rumah ini dengan 3 cara :

a. Musyawarah, disebut juga dengan penyelesaian secara damai.

b. Melalui lembaga swasta atau instansi yang berwenang misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia maupun Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

c. Melalui Pengadilan Negeri setempat

Namun, sayangnya, perjanjian lisan ini sering tidak dituangkan dalam bentuk tertulis yang pada nantinya mungkin dapat menjadi suatu alat pembuktian salah satu pihak mengingkari janjinya. Dan merupakan hal yang sangat bagus mengingat bahwa sampai pada saat sekarang ini ZONA PROPERTY sebagai pengembang yang berkompeten, tidak pernah digugat oleh konsumen.

(47)

misalnya mengenai besarnya dan lamanya cicilan, denda keterlabatan dan sebagainya. Perjanian lisan ini dilakukan mengingat kebiasaan setempat yang masih bersifat kekeluargaan, dan mudah percaya dan terutama berazaskan iktikad baik masing-masing pihak.

Namun, sayangnya, perjanjian lisan ini sering tidak dituangkan dalam bentuk tertulis yang pada nantinya mungkin dapat menjadi suatu alat pembuktian bila salah satu pihak mengingkari janji. Dan merupakan hal yang sangat bagus mengingat bahwa sampai pada saat sekarang ini ZONA PROPERTY sebagai pengembang yang berkompeten, tidak pernah digugat oleh konsumen.

B. Saran

Bagi kebanyakan developer berprinsip yang paling penting adalah rumahnya laku, persoalan komitmen (pemberian fasilitas maupun tanggung jawab lainnya) bisa belakangan. Sebagian pengembang nakal memanfaatkan tabiat orang Indonesia sebagai konsumen yang gampang percaya dan mudah memanfaatkan. Banyak pula orang Indonesia belum sadar hukum sehingga ketika hak-haknya todak dipenuhi, yang memilih diam daripada harus berurusan di lembaga peradilan. Oleh karena itu sebaiknya demi mengamankan kepentingan konsumen, bagi developer perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

(48)

2. Perlu diadakannya pengaturan dalam undang-undang tersendiri tentang persyaratan untuk melakukan penawaran melalui iklan, dengan kewajiban memberi penjelasan yang jujur kepada konsumen berkenaan dengan developernya, objeknya, izin-izin yang diperlulan untuk pembangunan proyek serta saksi apabila keterangan dalam iklan ternyata palsu atau menyesatkan.

3. Sebaiknya ada transparansi dari pihak developer mengenai keadaan keuangan maupun proyek-proyek propertinya. Dengan adanya ketentuan itu, di satu pihak akan membantu konsumen dalam membuat keputusan yang tepat karena transaksi dari pihak developer, di lain pihak, ketentuan itu memberi kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan yang berkesinambungan terhadap para developer, sehingga masalah ingkar janji dapat ditekan seminimal mungkin.

Sedangkan bagi konsumen perumahan, guna menghindari dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Sebaiknya konsumen mengelai benar reputasi pengembang dari rumah yang ingin dibelinya, agar dapat terhindar dari penjualan perumahan fiktif.

(49)

hanyalah masalah harga, diskon, lokasi, bentuk fisik bangunan. Pada tahap ini pengembang/agen pemasarannya juga selalu mengobral janji-janji indah tentang perumahan yang dipasarkan. Dalam praktek janji-janji mengiurkan tersebut acapkali tidak seindah malah bertolak belakang dengan kenyataan dikemudian hari. Untuk itu, sebaiknya konsumen sebelum menandatangani surat pesanan, meminta pengembang/agen pemasarannya untuk mencantumkan secara tertulis janji-janji tersebut pada surat pemesanan, lalu menandatanganinya karena pada saat surat pemesanan disetujui, draf perjanjian PPJB tidak dilampirkan serta apabila konsumen menolak PPJB, maka booking fee akan hangus.

(50)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

A. Sejarah Lahirnya Perlindungan Hukum Konsumen

Aktifitas ekonomi dirasakan hidup, apabila tercipta suasana yang mendukung kelancaran arus produksi barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Globalisai ditandai dengan perdagangan bebas, namun belum banyak memberikan perbaikan ekonomi di Indonesia. Anggapan bahwa perdagangan bebas menguntungkan konsumen dalam bentuk mutu dan harga barang ataupun jasa barangkali masih merupakan mitos yang diciptakan untuk mempertahankan dominasi perusahaan dan produsen atas konsumen dalam sistem ini.

Dalam hal ini terdapat indikasi meningkatkan sengketa antara produsen sebagai pelaku usaha dengan konsumen. Dari sinilah kita baru disadarkan kembali urgensinya perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan konsumen.

Gerakan konsumen internasional sejak tahun 1960 memiliki wadah yang cukup bewibawa, yaitu Internasional Organization of Consumers Union (IOCU) yang kemudian sejak tahun 1995 berubah nama menjadi Custumers International (CI). Anggota CI mencapai 203 organisasi konsumen yang berasal dari sekitar 90 negara di dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri ada dua organisasi yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang berada di Jakarta dan di Semarang. Yang mana tiap pada tanggal 15 maret C.I memperingati hari konsumen sedunia, dan memberi tema yang berbeda untuk setiap-tiap tahunnya.9

9

(51)

Konsumen Indonesia merupakan bagian dari konsumen global, sehingga gerakan konsumen di dunia Internasional mau tidak mau menembus batas-batas Negara, dan mempengaruhi kesadaran konsumen lokal untuk berbuat hal yang sama. Persaingan antar produsen saat ini semakin kuat, dan hal ini berarti konsumen mempunyai banyak pilihan terhadap produk barang dan jasa yang dikonsumsinya.

Gejala-gejala itu memberikan pengaruh kepada gerakan konsumen di dunia khususnya di Indonesia, yakni mulai beralih dari isu-isu konsumen dari sekedar mempersoalkan mutu menuju ke arah yang lebih berskala makro dan universal. Perhatian konsumen dalam negeri sama dengan perhatian konsumen diberbagai Negara, dan konsumen kita pun konsumen global.

Menurut Emil Salim, gerakan konsumen global ditandai oleh globalisasi diberbagai bidang. Pertama, globalisasi produksi, yang berarti tidak ada produk yang hanya di satu Negara. Faktor kedua, globalisasi financial dimana uang tidak lagi mengenal bendera suatu Negara. Ketiga, globalisasi perdagangan. Hali ini tampak dari dihilangkannya dinding-dinding tarif sehingga dunia menjadi satu pasar. Dan faktor keempat, yakni globalisasi teknologi. Yang antara lain membawa konsekuensi makin tergesernya alat-alat produksi tradisional mengarah pada moderenisasi dan mekanisme.10

10

(52)

B. Pengertian Konsumen

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasayang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan untuk tidak diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK, yang diberlakukan pemerintah mulai 20 april 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan tersebut.

Diantara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dari Persingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000 ; satu tahun setelah diundangkan). Undang-undang ini memuat suatu defenisi tentang konsumen yaitu setiap pemakai dan pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan ini mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UUPK.

(53)

Depdagri disimpulkan bahwa, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan/atau jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir, dan konsumen pemakai terakhir.

Pemahaman pengertian “konsumen” akan lebih jelas bila dilakukan studi perbandingan atas beberapa Negara yang telah mengembangkan perlindungan konsumen yang memadai dalam sistem hukumnya.

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai “The person who obtains goods and sevice for personal or family purposes.11

Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat dalam Magnussom-MossWarranty, Ferderal Trade Commission Act 1975, mengartikan persis sama dengan ketentuan di Perancis, demikian pula rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku VI, Pasal 236), walaupun terkesan lebih umum (karena dimuat dalam bab tentang syarat-syarat umum perjanjian), namun yang dikandung tetap kurang lebih sama. Dalam NBW itu konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi dan perusahaan.

Dari defenisi ini terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang, (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya.

12

11

Tim FH UI & Depdagri, Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1992. hal. 57.

12

(54)

Di Spanyol, konsumen diistilahkan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik disini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.13

Consumer Protection Act of 1986, No. 68 di Negara India mengatakan Konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersil.14

Di Australia, ketentuannya lebih jauh lebih moderat. Dalam Trade Practies Act 1974, yang sudah berkali-kali diubah, konsumen diartikan sebagai : seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harga tidak melewati 40.000 Dollar Australia. Artinya, jauh tidak melewati jumlah uang diatas, tujuan pembeli barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah uangnya sudah melewati 40.000 Dollar, keperluannya harus khusus.15

C. Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Positif Indonesia

Hukum positif (ius constitutum) merupakan substansi hukum yang berlaku pada waktu yang telah ditentukan. Waktu tertentu yang dimaksud disini ketika suatu peristiwa hukum itu tertentu. Hukum positif dengan kata lain, hukum yang sedang berlaku, bukan hukum dimasa lampau atau hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).

13

Tim FH & Depdagri, Op.Cit, hal. 58. 14

AZ. Nasution, Op. Ch. 15

(55)

Dalam kaca mata aliran hukum positif (Positivisme Hukum) hukum yang berlaku (hukum positif) itu harus memenuhi unsur keberlakuan (geltung) yuridis. Ia boleh saja mengabaikan unsur folosifis dan sosiologis tetapi tidak dapat meninggalkan unsur yuridis. Suatu peraturan dikatakan memenuhi unsur keberlakuan yuridis bila peraturan itu dilahirkan oleh lembaga yang berwenang dan melalui proses yang benar. Dengan demikian hukum positif semata-mata mementingkan fomalitas, bukan isi (materi) dari peraturan itu. Disebur hukum positif semata-mata karena ia masih berlaku sampai saat ini. Hukum positif merupakan substansi hukum yang mempunyai 3 unsur, yaitu (1) struktur, (2) substansi, (3) budaya hukum.16

Menurut norma hukum positif Indonesia landasan yuridis tertinggi terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 27 ayat (1). Dalam

Struktur hukum mengacu kepada bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum. Hubungan antar lembaga tinggi Negara contohnya, suatu penggambaran dari stuktur hukum. Adapun substansi hukumnya merupakan kumpulan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma hukum yang ada. Inilah yang lazim dikenal dengan law in the books dalam suatu sistem hukum. Tentu saja tidak sama dari aturan hukum itu berjalan sesuai dengan harapan dilapangan. Ada aturan yang ditaati dan ada yang disampingi. Semua itu terangkum dalam law in action atau living law. Unsur yang penting dalam mempengaruhicorak hukum yang hidup itu adalah budaya hukum dari masyarakat yang menjadi subjek hukum.

16

(56)

ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal tersebut pada dasarnya memberi landasan konstitusional bagi perlindungan konsumen di indonesia. Karena dalam ketentuan tersebut sudah jelas dinyatakan bahwa kedudukan hukum semua warga Negara adalah sama atau sederajat (equaly before the law). Sebagai warga Negara, kedudukan hukum konsumen tidak boleh rendah dari pada produsen atau pemasar produksi produsen. Mereka memilih hak-hak yang seimbang satu sama lainnya.

Landasan konstitusional tersebut erat pula kaitannya dengan konsep bahwa setiap orang adalah konsumen. Produksi (barang dan/atau jasa) tidak berarti apa-apa tanpa dilanjutkan dengan konsumsi. Tidak ada orang yang tidak mengkonsumsi barang dan jasa pihak lain. Tidak mungkin ada badan usaha yang mempunyai produksi semua barang dan jasa secara mandiri. Perusahaan-perusahaan yang berskala besar, yang lazim disebut konglomerat sekali pun dalam era perdagangan bebas dan pasar global dewasa ini, justru cenderung membatasi diversifikasi usahanya, dan mulai memusatkan perhatiannya pada core businessnya. Kecendrungan demikian seharusnya dapat memperkuat komitmen konstitusional sebagaimana diletakkan Pasal 27 UUD 1945.

(57)

beragam jenis peraturan yang melingkupi, menurut adanya konsistensi, baik dalam dalam substansi maupun penerapannya dilapangan. Untuk mencegah hal itu sangat diperlukan adanya umbrella act. Adapun aturan-aturan lain, baik yang setungkat dengan Undang-Undang maupun yang dibawahnya, merupakan pengaturan yang bersifat lebih sektoral. Peraturan yang disebut sebagai umbrella act adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (selanjutnya disingkat dengan UUPK, yang disahkan pada tanggal 20 april 1999, tetapi baru diberlakukan satu tahun kemudian (tanggal 20 april 2000). Penundaan ini dianggap perlu untuk melengkapi berbagai pranata hukum yang diberlakukan.

UUPK sendiri dalam penjelasan umumnya menyebutkan sejumlah Undang-Undang yang dapat dikategorikan sebagai peraturan hukum sektoral. Undang-Undang tersebut telah ada mendahului UUPK. Untuk memberikan gambaran pengaturan hukum perlindungan konsumen secara komperhensif dalam hukum positif indonesia, uraian berikut akan lebih diarahkan kepada pendekatan objek formal (sudut pandang) nya, yang dikelompokan menjadi aspek hukum keperdataan, hukum pidana, hukum administrasi Negara dan hukum internasional.

1. Hukum Keperdataan

(58)

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan leg spesialis, sementara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah leg generalisnya. Dalam azas hukum dikatakan, jika terjadi perselisihan pengaturan antara undang-undang khusus dan undan-undang lebih umum, maka yang khusus inilah yang digunakan (leg spesialis deorgate lege generalis).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terlihat perjalanan yuridis seorang manusia sejak lahir sampai setelah yang bersangkutan wafat. Dalam hukum perdata itu antara lain dibicarakan bagaiman hubungan seorang dengan keluarga, benda orang lain dalam lapangan harta kekayaan, dan ahli warisnya jika meninggal.

Dalam KUHPerdata tidak pernah disebut kata “konsumen”. Istilah lain yang sepadan dengan itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang (debitur). Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Pasal 1235 (Jo. Pasal 1033, 1157, 1236, 1236, 1365, 1444, 1473, 1474, 1482, 1550, 1560, 1706, 1744) :

“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan suatu termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat penyerahan”.

(59)

untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”.

3. Pasal 1504 (Jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504, s.d 1511).

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan selain dengan harga yang kurang”.

Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas jelas masih terlalu umum untuk mengantisipasi perkembangan bidang hukum perdata yang sangat dinamis itu. Dinamika yang diamati, misalnya, dari makin banyaknya bentuk-bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak (individu dan individu, atau lembaga-lembaga, atau individu dan lembaga). Dinamika hukum perdata ini disadari pula oleh perancang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada abad ke-19, antara lain dengan mencantumkan kriteria perjanjian yang bernama (beneomd, specified) dan tidak bernama (onbenoemd, unspecified).

Referensi

Dokumen terkait

Jika misalnya kemudian lessee harus menyerahkan kembali dana leasing di tengah jalan kepada lessor (prepayment),biasanya dalam kontrak ditegaskan bahwa lessee diharuskan

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah terkait dengan hubungan hukum antara bank sebagai penerbit kartu kredit dengan nasabah pemegang kartu kredit, hak dan

Tingkat dan Pola Konsumsi Beras Masyarakat Kota Medan Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus : Perumahan Taman Setia Budi Indah (TASBI) Kelurahan Tanjung

(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut

Ingin mengetahui tingkat kunjungan Ruang Terbuka (Open Space) pada Perumnas Simalingkar, Perumahan Debang Flamboyan Asri dan Perumahan Taman Setia Budi Indah di Kota Medan

Pelaku usaha ( developer ) bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen apabila konsumen menderita atau mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan akibat

TESIS PENGATURAN HAK KONSUMEN AMALIA SARTIKA N belah pihak baik dari Developer Perumahan dengan Konsumen yang berminat dengan. perumahan yang ditawarkan berdasarkan

akibat hukum yang terjadi karna kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, antara lain masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar