PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP DEVELOPER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN (Study Kasus : ZONA PROPERTY MEDAN)
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan
Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
DIMAS DWI PUTRA
NIM. 040200301
Departemen Hukum Perdata
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmatNya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan baik. Penulis juga bersyukur atas kesehatan, waktu dan keadaan yang
diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.
Adapun skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu kewajiban
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan.
Skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan-bantuan
banyak pihak, oleh karena itu penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Terima kasih penulis sampaikan khusus buat papa dan mama tercinta,
yang telah membesarkan dan mendidik sehingga penulis bisa menjadi seperti yang
sekarang ini, juga selalu memberikan motivasi dan dorongan kapan pun, dimana
pun yang sangat berarti bagi penulis, terima kasih atas kasih sayang dan
kesabarannya selama ini. Semoga penulis dapat membuat papa dan mama bahagia
dan bangga. Terima kasih juga kakakku tersayang, yang selalu ada disamping
penulis, dan adinda yang selalu memberikan dukungan. Terima kasih untuk selalu
mendorong penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Dengan segala
kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan.
2. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
3. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II dan
sekaligus sebagai dosen wali saya yang telah banyak memberikan
bimbingan-bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
5. Semua Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik penulis. Terima kasih
atas ilmu yang diberikan kepada penulis, semoga berguna bagi bangsa dan
negara.
6. Teman-teman seperjuangan, baik junior maupun seniorku yang tidak
mungkin disebut namanya satu persatu, serta pihak-pihak yang telah
membantu sampai selesainya tulisan ini.
7. Para pembantu dekan dan para pegawai administrasi dan bagian tata usaha
serta karyawan-karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Medan.
Akhir kata, seperti pepatah tak ada gading yang tak retak, penulis
menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini tak luput dari kekurangan-kekurangan,
maka dari itu penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, mahasiswa, praktisi dan
perkembangan dunia ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum
perlindungan konsumen.
Penulis
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap
Developer Menurut Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini adalah pada masa
sekarang ini, pertumbuhan sektor perumahan ditanah air terbilang sangat pesat
pertumbuhannya didorong oleh meningkatnya permintaan masyarakat akan
perumahan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya.
Pokok permasalahan yang diangkat dalam hal ini adalah :
1. Keabsahan jual beli rumah yang ditawarkan Zona Property.
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi pada proses jual beli rumah.
3. Ketidakseimbangan posisi konsumen perumahan dengan developer sebagai
pelaku usaha perumahan.
4. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian pengikatan jual beli
rumah.
Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian normatif empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat
mengikat yang disahkan oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Disamping itu
dapat juga menggunakan surat Keputusan Menteri Perumahan Nomor 9 Tahun
1995 selaku bahan yang berhubungan berat dengan topik penulisan skripsi ini.
Ada juga buku-buku karangan para sarjana maupun selaku bahan pendukung
penulisan skripsi ini.
Pengaturan mengenai perjanjian standar sebaiknya diatur dalam peraturan
khusus, mengingat perjanjian standar sudah umum digunakan dalam kehidupan
sehari-hari dan meliputi berbagai bidang usaha, sehingga konsumen bisa
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... iii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
F. Metode Penulisan ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN ... 12
A. Sejarah Lahirnya Perlindungan Hukum Konsumen ... 12
B. Pengertian Konsumen ... 14
C. Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Hukum Positif Indonesia ... 16
D. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ... 30
BAB III KONSUMEN PERUMAHAN DEVELOPER ... 38
A. Pengertian Konsumen Perumahan ... 38
B. Pengertian Developer ... 38
C. Hak dan Kewajiban Konsumen Perumahan ... 41
D. Hak Dan Kewajiban Developer ... 52
E. Hubungan Konsumen dan Developer Dalam Kontrak Baku .. 54
BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP DEVELOPER MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA ZONA PROPERTY ... 66
A. Keabsahan Jual Beli Rumah Yang Ditawarkan Zona Property 66 B. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Pada Proses Jual Beli Rumah ... 70
C. Ketidakseimbangan Hukum Pembeli Rumah Dengan Posisi Developer Sebagai Pelaku Usaha Perumahan ... 74
D. Penyelesaian Sengketa Yang Timbul Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah ... 75
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 80
A.Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 82
PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP DEVELOPER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Study Kasus : ZONA PROPERTY MEDAN)
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Hukum
DIMAS DWI PUTRA NIM. 040200301 DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM DAGANG
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
NIP. 131 764 556
Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
( Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS ) ( Rosnidar Sembiring, SH, M.Hm ) NIP. 196204211988031004 NIP. 196602021991032002
FAKULTAS HUKUM UNVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap
Developer Menurut Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini adalah pada masa
sekarang ini, pertumbuhan sektor perumahan ditanah air terbilang sangat pesat
pertumbuhannya didorong oleh meningkatnya permintaan masyarakat akan
perumahan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya.
Pokok permasalahan yang diangkat dalam hal ini adalah :
1. Keabsahan jual beli rumah yang ditawarkan Zona Property.
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi pada proses jual beli rumah.
3. Ketidakseimbangan posisi konsumen perumahan dengan developer sebagai
pelaku usaha perumahan.
4. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian pengikatan jual beli
rumah.
Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian normatif empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat
mengikat yang disahkan oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Disamping itu
dapat juga menggunakan surat Keputusan Menteri Perumahan Nomor 9 Tahun
1995 selaku bahan yang berhubungan berat dengan topik penulisan skripsi ini.
Ada juga buku-buku karangan para sarjana maupun selaku bahan pendukung
penulisan skripsi ini.
Pengaturan mengenai perjanjian standar sebaiknya diatur dalam peraturan
khusus, mengingat perjanjian standar sudah umum digunakan dalam kehidupan
sehari-hari dan meliputi berbagai bidang usaha, sehingga konsumen bisa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rumah sebagai salah satu unsur utama bagi kesejahteraan rakyat. Memang
kebutuhan akan tempat yang dapat dipergunakan sebagai tempat berteduh,
disamping sandang dan pangan merupakan salah satu hal yang dirasakan setiap
orang. Dalam masyarakat yang adil dan makmur, sudah saatnya rakyat memiliki
tempat tinggal yang layak. Rumah bagi rakyat juga penting dalam iklim
pembangunan Negara, seperti yang sudah diterapkan oleh MPRS1 dan GBHN2
Pemilikan rumah oleh masyarakat dapat terdiri dari berbagai cara,
diantaranya pemberian subsidi rumah oleh pemerintah bagi pegawai negeri
khususnya, dan secara umumnya adalah melalui peralihan hak dan atau jual
khususnya, dan secara umumnya adalah melalui hak dan atau jual beli. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa pada umumnya semua masyarakat adalah
konsumen perumahan, dimana sudah sewajarnya untuk dilindungi oleh peraturan Pada masa sekarang ini, pertumbuhan sektor perumahan di tanah air
terbilang sangat pesat pertumbuhannya didorong oleh meningkatnya permintaan
masyarakat akan perumahan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya.
1
Sudargo Gautama. 1984. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Perumahan dan
Peraturan Sewa-Menyewa. Alumni. Bandung. h.2. “Dalam Ketetapan MPRS no.II/MPRS/1960
tanggal 3 desember 1960 dijelaskan mengenai kebutuhan akan perumahan dan program kerja yang harus dilaksanakan.”
2
AP. Parlindungan. 1997.Komentar atas Perumahan dan Pemukiman dan
Undang-Undang Rumah Susun. Mandar Maju. Bandung. h. 200, “Dalam GBHN, diterapkan bahwa
yang berkaitan dengan jual beli rumah, untuk menghindari kerugian yang dapat
dialami oleh setiap konsumen.
Adalah suatu realita dalam menjaga keberlangsungan roda perekonomian,
peranan konsumen cukup penting, tetapi ironisnya sebagai salah satu perilaku
ekonomi, dalam hal perlindungan hukum, posisi konsumen sangat lemah. Salah
satu bukti adalah keberadaan perjanjian baku dalam praktek perdagangan
sehari-hari.
Perjanjian standar (baku) sebenarnya dikenal sejak zaman Yunani Kuno.
Plato (423-347 SM) misalnya, oernah memaparkan praktik penjualan makanan
yang harganya ditentukan secara sepihah oleh penjual, tanpa memperhatikan
perbedaan mutu makanan tersebut”. Dalam perkembangannya, tentu saja
penentuan secara sepihak oleh produsen / penjual tidak lagi sekedar masalah
harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih mendetail. Selain itu,
barang-barang yang diatur dengan perjanjian standar juga makin bertambah. Di
Indonesia, perjanjian standar merambah ke pasar property dengan cara-cara yang
secara yuridis masih controversial, misalnya dalam hal satuan rumah susun,
diperbolehkan melakukan pembelian secara inden dalam bentuk perjanjian
standar. Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan
(kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan.3
3
Secara sederhana, perjanjian baku mempunyai ciri-ciri sebagai berikut4
(1) Perjanjian dibuat secara sepihak oleh produsen yang posisinya relatiif
lebih kuat dari konsumen ;
(2) Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian ;
(3) Dibuat dalam bentuk tertulis dan missal
(4) Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh
kebutuhan.
Sebagai perjanjian standar, biasanya perjanjian jual beli tidak memberikan
perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen perumahan karena dibuat
secara sepihak oleh developer. Faktor subjektifitas atau kepentingan developer
lebih dominan dimasukan dalam perjanjian standar perumahan, kependudukan
konsumen dan developer tidak seimbang. Posisi developer yang dominan ini
membuka peluang untuk cenderung menyalahgunakan kedudukannya.
Salah satu bukti ketidakseimbangan kedudukan antara developer dengan
konsumen dapat dilihat jika tejadi pengaduan pelanggaran hak-hak individual dan
pelanggaran hak-hak kolektif konsumen perumahan.
Dari jenis pengaduan konsumen perumahan yang sampai pada YLKI,
secara umum ada dua yakni :
Pertama, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat telah terjadinya pelangaran hak-hak individual konsumen perumahan. seperti mutu bangunan
dibawah standar, ukuran surat tanah tidak sesuai dan lain-lain.
4
Kedua, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat pelangaran hak-hak kolektif konsumen perumahan, seperti tidak dibangunnya fasilitas sosial/umum.
Sertifikasi, rumah fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim/informasi dalam iklan,
brosur, dan pameran perumahan.5
a. Bagi perusahaan pembangunan perumahan dan pemukiman guna
memperlancar perolehan dana murah dan kepastian pasar.
Pada saat sekarang ini terlihat telah berkembang kebiasaan pemasaran
property khususnya satuan rumah, sebelum rumah-rumah yang dipasarkan
tersebut selesai dibangun, bahkan tidak jarang terjadi pada saat masih
direncanakan.
Hal tersebut diatas ditempuh berdasarkan pertimbangan ekonomi yaitu :
b. Bagi pembeli atau konsumen agar harga jual rumah lebih rendah karena calon
pembeli membayar sebagian dimuka.
Langkah-langkah yang ditempuh perusahaan pembangunan perumahan
dan pemukiman dan konsumen tersebut diatas menimbulkan adanya jual beli
secara pesan lebih dahulu, sehingga menyababkan adanya perjanjian jual beli
pendahuluan (Preliminary purchase), yang selanjutnya dituangkan dalam akta
perikatan jual beli satuan rumah.
Dalam pengadaan perjanjian pengikatan jual beli rumah, yakni perjanjian
yang diadakan oleh developer dan konsumen sebelum akta jual beli dan serah
terima bangunan dilaksanakan,pemerintah telah melakukan pengawasan dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Preumahan Rakyat No. 09 Tahun 1995
5
tentang Pedoman Pengikat Jual Beli Rumah, untuk melindungi konsumen.
Namun, surat Keputusan tersebut dikeluarkan sebelum adanya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dan sampai
sekarang belum ada peraturan yang direvisi mengingat lahirnya undang-undang
perlindungan konsumen ini.
Maka penulis menganggap penting pembahasan mengenai Hukum
Perlindungan Konsumen melalui berbagai peraturan yang terkandung didalamnya
mencoba mengatasi masalah-masalah yang dialami konsumen dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
B. Permasalahan
Berdasarkan pengamtan dan penelaahan penulis dari berbagai literature,
informasi serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat dalam hal
pembelian dan penjualan perumahan, maka perlu kiranya penulis mengemukakan
permasalahan-permasalahan yang ada dalam skripsi ini.
Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana keabsahan jual beli rumah yang ditawarkan Zona Property ?
b. Apa hambatan-hambatan yang dihadapi pada proses jual beli rumah ?
c. Bagaimana ketidakseimbangan posisi konsumen perumahan dengan
developer sebagai pelaku usaha perumahan ?
d. Bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian pengikatan
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui jual beli rumah oleh Zona Property sudah memenuhi
prosedur hukum atau belum.
b. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam proses jual beli
rumah oleh Zona Property.
c. Untuk mengetahui cara penyelesaian masalah yang timbul antara konsumen
dan developer.
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :
a. Secara Teoritis
- Untuk memperoleh dan memperdalam pengetahuan tentang masalah jual
beli rumah terutama mengenai perlindungan hukum bagi konsumen dalam
perjanjian pengikatan jual beli rumah.
- Untuk mengetahui prosedur yang dapat ditempuh apabila terjadi sengketa
yang timbul antara konsumen dan pengembang.
b. Secara Praktis
- Agar masyarakat mengetahui akan haknya sebagai konsumen perumahan
sehingga dikemudian hari dapat menghindari diri dari kerugian yang
terjadi.
- Dapat menambah wawasan dan pengetahuan hukum terutama sebagai
masyarakat dalam hal ini konsumen dapat mengerti tentang proses jual
D. Keaslian Penulisan
Penulisan ini diselesaikan berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh
penulis sendiri dari berbagai sumber, selain dari bacaan, juga berdasarkan hasil
wawancara, dan sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang perlindungan
konsumen perumahan terhadap developer menurur undang-undang perlindungan
konsumen pada Zona Property sudah diselidiki sesuai dengan objek yang berbeda.
E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.6
Kata perlindungan konsumen apabila digabungkan, menurut Oxford of law Dari berbagai pengertian berbagai pengertian mengenai konsumen diatas,
untuk selanjutnya istilah konsumen yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah pengertian konsumen akhir yang didasarkan pada pasal 1 butir 1
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimana konsumen diartikan sebagai setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
7
Consumer protections are the protection, especially by legal means, of
consumers (thoise who contract otherwise than in the course of a business to memberikan arti bahwa :
6
Ahmadi Miru Sutarman Yodo. 2007. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, PT. Raja Grafindo. Jakarta. h. I
7
obtain goods or sevice from those who supply them in the course of business). It is
the policy of current legislation to protect consumers against unfair contract
terms. In particular they are protectd against terms that attempt to exclude or
restrict the seller’s implied undertakings thathe has a right to sell the goods, that
the goods confirm with either description or sample, and that they are
merchantable quality and fit for their particular purpose (Unfair Contract Terms
Act 1977).
Perlindungan konsumen merupakan perlindungan dalam arti hukum yang
diberikan kepada konsumen (mereka yang melakukan kontrak selain untuk tujuan
bisnis untuk mendapatkan barang dan jasa dari mereka yang menyediakannya
untuk tujuan bisnis). Perlindungan konsumen merupakan suatu kebijakan hukum
pada saat ini untuk melindungi konsumen terhadap ketentuan-ketentuan di dalam
kontrak yang tidak adil. Secara khususnya, konsumen dilindungi dari ketentuan
yang mengecualikan atau yang membatasi tanggung jawab penjual secara tidak
langsung atas dimilikinya hak menjual barang-barang tersebut (oleh penjual),
apakah barang-barang tersebut sesuai dengan gambaran atau contoh, dan memiliki
kualitas yang layak untuk diperdagangkan sesuai dengan tujuan utamanya).
Sedangkan di Indonesia, kata “perlindungan konsumen” memiliki arti :
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen8
8 Ibid
F. Metode Penelitan
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
hukum Deskriptif Normatif yaitu dengan cara melakukan pengumpulan data yang
berkaitan dengan permasalahan dana kemudian dilakukan analisis terhadap
permasalahan tersebut.
1. Bentuk penulisan
Penulisan skripsi ini mengunakan bentuk penelitian normatif empiris yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder, yaitu
meliputi :
a. Hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat
megikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini,
yang digunakan adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ; dan berupa peraturan perundang-undangan yang
terkait.
b. Bahan hukum sekunder ; berupa bahan yang berhubungan erat dengan
topic penulisan skripsi ini Surat Keputusan Menteri Perumahan No. 9
Tahun 1995 tentang Pedoman Pengikat Perjanjian Jual Beli Rumah,
Buku-buku karangan para sarjana, hasil penelitian, maupun situs internet.
2. Alat Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan
1. Penelitian lapangan (field research) ; yakni dengan mengadakan
wawancara kepada staf Zona Property serta mengadakan studi
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan topic skripsi ini.
2. Penelitian kepustakaan (library research) ; yakni dengan membaca,
mempelajari dan menganalisa buku-buku yang berhubungan dengan
Skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Bab I : Pada Bab ini, penulis menguraikan tentang hal-hal yang
umum yang mendasari penulisan skripsi ini, yang terdiri
dari latar belakang, manfaat dan tujuan penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
Bab II : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambaran umum
tentang Perlindungan Hukum Konsumen yang dimulai
dengan latar belakang lahirnya perlindungan hukum
konsumen, pengertian konsumen, perlindungan hukum
positif indonesia, prinsip-prinsip hukum perlindungan
konsumen.
Baba III : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambar mengenai
konsumen perumahan dan developer, hak dan kewajiban
konsumen perumahan, hak dan kewajiban developer dan
Bab IV : Dalam Bab ini, penulis akan menguraikan pokok dari
permasalahan yakni perlindungan konsumen perumahan
terhadap developer menurut Undang-Undang Perlindungan
Terhadap Konsumen pada Zona Property, yang terdiri dari :
Keabsahan jual beli rumah yang ditawarkan Zona Property,
Hambatan-hambatan yang dihadapi pada Proses Jual Beli
Rumah, ketidakseimbangan hukum pembeli rumah dengan
posisi developer sebagai pelaku usaha perumahan dan
penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian
pengikat jual beli rumah.
BAB V : Dalam Bab ini, penulis memberikan kesimpulan dan
saran-saran yang diperoleh berdasarkan bab-bab sebelumnya yang
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN
A. Sejarah Lahirnya Perlindungan Hukum Konsumen
Aktifitas ekonomi dirasakan hidup, apabila tercipta suasana yang
mendukung kelancaran arus produksi barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
Globalisai ditandai dengan perdagangan bebas, namun belum banyak memberikan
perbaikan ekonomi di Indonesia. Anggapan bahwa perdagangan bebas
menguntungkan konsumen dalam bentuk mutu dan harga barang ataupun jasa
barangkali masih merupakan mitos yang diciptakan untuk mempertahankan
dominasi perusahaan dan produsen atas konsumen dalam sistem ini.
Dalam hal ini terdapat indikasi meningkatkan sengketa antara produsen
sebagai pelaku usaha dengan konsumen. Dari sinilah kita baru disadarkan kembali
urgensinya perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan konsumen.
Gerakan konsumen internasional sejak tahun 1960 memiliki wadah yang
cukup bewibawa, yaitu Internasional Organization of Consumers Union (IOCU)
yang kemudian sejak tahun 1995 berubah nama menjadi Custumers International
(CI). Anggota CI mencapai 203 organisasi konsumen yang berasal dari sekitar 90
negara di dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri ada dua organisasi yaitu Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia yang berada di Jakarta dan di Semarang. Yang
mana tiap pada tanggal 15 maret C.I memperingati hari konsumen sedunia, dan
memberi tema yang berbeda untuk setiap-tiap tahunnya.9
9
Konsumen Indonesia merupakan bagian dari konsumen global, sehingga
gerakan konsumen di dunia Internasional mau tidak mau menembus batas-batas
Negara, dan mempengaruhi kesadaran konsumen lokal untuk berbuat hal yang
sama. Persaingan antar produsen saat ini semakin kuat, dan hal ini berarti
konsumen mempunyai banyak pilihan terhadap produk barang dan jasa yang
dikonsumsinya.
Gejala-gejala itu memberikan pengaruh kepada gerakan konsumen di
dunia khususnya di Indonesia, yakni mulai beralih dari isu-isu konsumen dari
sekedar mempersoalkan mutu menuju ke arah yang lebih berskala makro dan
universal. Perhatian konsumen dalam negeri sama dengan perhatian konsumen
diberbagai Negara, dan konsumen kita pun konsumen global.
Menurut Emil Salim, gerakan konsumen global ditandai oleh globalisasi
diberbagai bidang. Pertama, globalisasi produksi, yang berarti tidak ada produk
yang hanya di satu Negara. Faktor kedua, globalisasi financial dimana uang tidak
lagi mengenal bendera suatu Negara. Ketiga, globalisasi perdagangan. Hali ini
tampak dari dihilangkannya dinding-dinding tarif sehingga dunia menjadi satu
pasar. Dan faktor keempat, yakni globalisasi teknologi. Yang antara lain
membawa konsekuensi makin tergesernya alat-alat produksi tradisional mengarah
pada moderenisasi dan mekanisme.10
10
B. Pengertian Konsumen
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen”
sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasayang tersedia dalam masyarakat,
bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
untuk tidak diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK, yang diberlakukan
pemerintah mulai 20 april 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang
tegas tentang konsumen dalam hukum positif Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen
dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan sama sekali
tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan
tersebut.
Diantara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dari Persingan Usaha Tidak Sehat
(diberlakukan 5 Maret 2000 ; satu tahun setelah diundangkan). Undang-undang
ini memuat suatu defenisi tentang konsumen yaitu setiap pemakai dan pengguna
barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
orang lain. Batasan ini mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UUPK.
Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (kooper).
Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pengertian konsumen lebih jelas dan lebih luas daripada pembeli. Pakar masalah
Depdagri disimpulkan bahwa, para ahli hukum pada umumnya sepakat
mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan/atau
jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan
pemakai terakhir, dan konsumen pemakai terakhir.
Pemahaman pengertian “konsumen” akan lebih jelas bila dilakukan studi
perbandingan atas beberapa Negara yang telah mengembangkan perlindungan
konsumen yang memadai dalam sistem hukumnya.
Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang,
konsumen diartikan sebagai “The person who obtains goods and sevice for
personal or family purposes.11
Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat
dalam Magnussom-MossWarranty, Ferderal Trade Commission Act 1975,
mengartikan persis sama dengan ketentuan di Perancis, demikian pula rumusan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku VI, Pasal
236), walaupun terkesan lebih umum (karena dimuat dalam bab tentang
syarat-syarat umum perjanjian), namun yang dikandung tetap kurang lebih sama. Dalam
NBW itu konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika
mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi
dan perusahaan.
Dari defenisi ini terkandung dua unsur, yaitu (1)
konsumen hanya orang, (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan
pribadi atau keluarganya.
12
11
Tim FH UI & Depdagri, Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1992. hal. 57.
12
Di Spanyol, konsumen diistilahkan tidak hanya individu (orang), tetapi
juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang
menarik disini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga
dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.13
Consumer Protection Act of 1986, No. 68 di Negara India mengatakan
Konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati,
menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang
mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersil.14
Di Australia, ketentuannya lebih jauh lebih moderat. Dalam Trade
Practies Act 1974, yang sudah berkali-kali diubah, konsumen diartikan sebagai :
seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harga
tidak melewati 40.000 Dollar Australia. Artinya, jauh tidak melewati jumlah uang
diatas, tujuan pembeli barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah
uangnya sudah melewati 40.000 Dollar, keperluannya harus khusus.15
C. Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Positif Indonesia
Hukum positif (ius constitutum) merupakan substansi hukum yang berlaku
pada waktu yang telah ditentukan. Waktu tertentu yang dimaksud disini ketika
suatu peristiwa hukum itu tertentu. Hukum positif dengan kata lain, hukum yang
sedang berlaku, bukan hukum dimasa lampau atau hukum yang dicita-citakan (ius
constituendum).
13
Tim FH & Depdagri, Op.Cit, hal. 58. 14
AZ. Nasution, Op. Ch. 15
Dalam kaca mata aliran hukum positif (Positivisme Hukum) hukum yang
berlaku (hukum positif) itu harus memenuhi unsur keberlakuan (geltung) yuridis.
Ia boleh saja mengabaikan unsur folosifis dan sosiologis tetapi tidak dapat
meninggalkan unsur yuridis. Suatu peraturan dikatakan memenuhi unsur
keberlakuan yuridis bila peraturan itu dilahirkan oleh lembaga yang berwenang
dan melalui proses yang benar. Dengan demikian hukum positif semata-mata
mementingkan fomalitas, bukan isi (materi) dari peraturan itu. Disebur hukum
positif semata-mata karena ia masih berlaku sampai saat ini. Hukum positif
merupakan substansi hukum yang mempunyai 3 unsur, yaitu (1) struktur, (2)
substansi, (3) budaya hukum.16
Menurut norma hukum positif Indonesia landasan yuridis tertinggi
terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 27 ayat (1). Dalam Struktur hukum mengacu kepada bentuk dan kedudukan pranata hukum
yang terdapat dalam sistem hukum. Hubungan antar lembaga tinggi Negara
contohnya, suatu penggambaran dari stuktur hukum. Adapun substansi hukumnya
merupakan kumpulan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma hukum yang ada.
Inilah yang lazim dikenal dengan law in the books dalam suatu sistem hukum.
Tentu saja tidak sama dari aturan hukum itu berjalan sesuai dengan harapan
dilapangan. Ada aturan yang ditaati dan ada yang disampingi. Semua itu
terangkum dalam law in action atau living law. Unsur yang penting dalam
mempengaruhicorak hukum yang hidup itu adalah budaya hukum dari masyarakat
yang menjadi subjek hukum.
16
ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal tersebut pada dasarnya
memberi landasan konstitusional bagi perlindungan konsumen di indonesia.
Karena dalam ketentuan tersebut sudah jelas dinyatakan bahwa kedudukan hukum
semua warga Negara adalah sama atau sederajat (equaly before the law). Sebagai
warga Negara, kedudukan hukum konsumen tidak boleh rendah dari pada
produsen atau pemasar produksi produsen. Mereka memilih hak-hak yang
seimbang satu sama lainnya.
Landasan konstitusional tersebut erat pula kaitannya dengan konsep bahwa
setiap orang adalah konsumen. Produksi (barang dan/atau jasa) tidak berarti
apa-apa tanpa dilanjutkan dengan konsumsi. Tidak ada orang yang tidak
mengkonsumsi barang dan jasa pihak lain. Tidak mungkin ada badan usaha yang
mempunyai produksi semua barang dan jasa secara mandiri.
Perusahaan-perusahaan yang berskala besar, yang lazim disebut konglomerat sekali pun dalam
era perdagangan bebas dan pasar global dewasa ini, justru cenderung membatasi
diversifikasi usahanya, dan mulai memusatkan perhatiannya pada core
businessnya. Kecendrungan demikian seharusnya dapat memperkuat komitmen
konstitusional sebagaimana diletakkan Pasal 27 UUD 1945.
Mengingat luasnya objek material (pokok bahasan) hukum perlindungan
konsumen itu, maka sangat sulit memberikan sistematika yang lengkap. Objek
material hukum perlindungan konsumen mencakup semua lapangan hukum pada
beragam jenis peraturan yang melingkupi, menurut adanya konsistensi, baik
dalam dalam substansi maupun penerapannya dilapangan. Untuk mencegah hal itu
sangat diperlukan adanya umbrella act. Adapun aturan-aturan lain, baik yang
setungkat dengan Undang-Undang maupun yang dibawahnya, merupakan
pengaturan yang bersifat lebih sektoral. Peraturan yang disebut sebagai umbrella
act adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
(selanjutnya disingkat dengan UUPK, yang disahkan pada tanggal 20 april 1999,
tetapi baru diberlakukan satu tahun kemudian (tanggal 20 april 2000). Penundaan
ini dianggap perlu untuk melengkapi berbagai pranata hukum yang diberlakukan.
UUPK sendiri dalam penjelasan umumnya menyebutkan sejumlah
Undang-Undang yang dapat dikategorikan sebagai peraturan hukum sektoral.
Undang-Undang tersebut telah ada mendahului UUPK. Untuk memberikan
gambaran pengaturan hukum perlindungan konsumen secara komperhensif dalam
hukum positif indonesia, uraian berikut akan lebih diarahkan kepada pendekatan
objek formal (sudut pandang) nya, yang dikelompokan menjadi aspek hukum
keperdataan, hukum pidana, hukum administrasi Negara dan hukum internasional.
1. Hukum Keperdataan
Hukum keperdataan secara substansional merupakan area hukum yang
sangat luas dan dinamis. Keluasan hukum keperdataan sekilas segera tampak dari
judul-judul buku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan leg spesialis,
sementara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah leg generalisnya. Dalam
azas hukum dikatakan, jika terjadi perselisihan pengaturan antara undang-undang
khusus dan undan-undang lebih umum, maka yang khusus inilah yang digunakan
(leg spesialis deorgate lege generalis).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terlihat perjalanan yuridis
seorang manusia sejak lahir sampai setelah yang bersangkutan wafat. Dalam
hukum perdata itu antara lain dibicarakan bagaiman hubungan seorang dengan
keluarga, benda orang lain dalam lapangan harta kekayaan, dan ahli warisnya jika
meninggal.
Dalam KUHPerdata tidak pernah disebut kata “konsumen”. Istilah lain
yang sepadan dengan itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang
(debitur). Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Pasal 1235 (Jo. Pasal 1033, 1157, 1236, 1236, 1365, 1444, 1473, 1474, 1482,
1550, 1560, 1706, 1744) :
“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan suatu termaktub kewajiban si
berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat
penyerahan”.
2. Pasal 1236 (jo. Pasal-pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391, 1444, 1480) ;
“ Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga
untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna
menyelamatkannya”.
3. Pasal 1504 (Jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504, s.d 1511).
“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang
yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang
dimaksud itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama
sekali tidak akan selain dengan harga yang kurang”.
Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas jelas masih terlalu
umum untuk mengantisipasi perkembangan bidang hukum perdata yang sangat
dinamis itu. Dinamika yang diamati, misalnya, dari makin banyaknya
bentuk-bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak (individu dan individu, atau
lembaga-lembaga, atau individu dan lembaga). Dinamika hukum perdata ini
disadari pula oleh perancang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada abad
ke-19, antara lain dengan mencantumkan kriteria perjanjian yang bernama
(beneomd, specified) dan tidak bernama (onbenoemd, unspecified).
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai sebutan tersendiri,
yakni yang diatur atau diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian bernama ini diatur dalam Bab V
sampai dengan Bab XVIII (dan juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang). Diluar adalah perjanjian tidak bernama. Dapat dibayangkan, betapa
Adapun azas kebebasan berkontrak mendorong pihak-pihak yang terlibat
dalam hubungan keperdataan melakukan inovasi jenis-jenis perjanjian baru.
Perjanjian sewa beli, misalnya, merupakan jenis perjanjian yang termasuk
perjanjian tidak bernama menurut versi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian ini merupakan
faktor sangat penting, walaupun bukan faktor mutlak yang harus ada. Dalam
perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, pernah ada suatu kurun waktu
yang menganggap unsur perjanjian mutlak harus ada lebih dahulu, barulah
konsumen dapat memperoleh perlindungan yuridis dari lawan sengketa.
Pandangan prinsipil seperti itu saat ini perlu ditinjau kembali.
Adanya hubungan hukum berupa perjanjian tentu saja sangat membantu
memperkuat posisi konsumen dalam berhadapan dengan pihak yang merugikan
hak-haknya. Perjankian ini perlu dikemukakan karena merupakan salah satu
sumber lahirnya perikatan.
Perikatan yang berhubungan dengan kepentingan ekonomis ini disebut
dengan “perutangan”. Kata perutangan ini menunjukan adanya hubungan hukum
yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam lapangan harta
kekayaan. Pengaturan perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
merupakan pengaturan secara umum saja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1319
KUHPerdata “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun
yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan umum
dan bab yang lalu” adalah bab II tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari
perjanjian dan bab I tentang perikatan-perikatan pada umumnya.
Pengaturan yang bersifat umum tersebut dengan demikian juga mengikat
perikatan-perikatan yang dibuat dalam dunia perdagangan, khususnya yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang “Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang ini,
sekedar dari dalam Kitab Undang-Undang ini tidak diatur secara khusus
menyimpang. “Anak kalimat terakhir dari pasal tersebut mengisyaratkan
berlakunya asas “lex specialis derogate lege generalis” (peraturan yang khusus
mengeyampingkan peraturan yang umum).
Perikatan dapat terjadi karena dua sebab, yaitu karena adanya perjanjian
dan karena adanya undang-undang (pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata). Dua pengertian ini sangat mempengaruhi perlindungan dan penyelesaian
sengketa hukum yang melibatkan kepentingan konsumen didalamnya. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menerima dan mengatur dua sumber perikatan
ini.
Dalam perikatan karena perjanjian, para pihak bersepakat untuk
mengikatkan diri melaksanakan kewajiban masing, dan untuk itu
masing-masing memperoleh hak-haknya. Kewajiban para pihak tersebut dinamakan
prestasi. Pihak yang menikmati prestasi disebut dengan kreditur, dan yang wajib
menunaikan prestasi dinamakan debitur. Dengan demikian, dalam transaksi
konsumen, baik produsen maupun konsumen, keduanya dapat saja berdiri dalam
Agar perjanjian itu memenuhi harapan kedua pihak, masing-masing perlu
memiliki iktikad baik untuk memenuhi prestasinya secara bertanggung jawab.
Hukum disini berperan untuk memastikan bahwa kewajiban itu memang
dijalankan dengan penuh tanggung jawab sesuai kesepakatan semula. Jika terjadi
pelanggaran dari kesepakatan itu, atau yang lazim disebut dengan wanprestasi,
maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhannya berdasarkan perjanjian
tersebut. Penentuan ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Selain perjanjian, sumber perikatan lainnya adalah undang-undang.
Perikatan yang timbul karena undang-undang ini dibedakan dalam pasal 1352
KUHPerdata menjadi : (1) perikatan yang memang ditentukan oleh
Undang-Undang, (2) perikatan yang timbul karena perbuatan orang. Kriteria perikatan
yang timbul karena perbuatan orang ini ada yang (1) memenuhi ketentuan hukum.
Disebut perbuatan menurut hukum, (2) pembayaran tanpa hutang. Yang diatur
dalam pasal 1359 sampai pasal 1364.
Dalam kaitan dengan hukum perlindungan konsumen, kategori kedua,
yaitu perbuatan melawan hukum, sangat penting untuk dicermati lebih lanjut
karena paling memungkinkan untuk digunakan oleh konsumen sebagai dasar
yuridis penentuan terhadap pihak lawan sengketanya.
2. Hukum Pidana
Pengaturan hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di Indonesia penerepannya
van strafrecht voor naderlandsch-Indie. Hukum pidana sendiri termasuk dalam
kategori hukum publik. Dalam kategori ini termasuk pula hukum administrasi
negara, hukum acara, dan hukum internasional. Diantara semua aspek hukum
publik itu, yang paling banyak menyangkut perlindungan konsumen adalah
hukum pidana dan hukum administrasi negara.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut-sebut kata
“konsumen”. Kendati demikian, secara implicit dapat ditarik beberapa pasal yang
memberikan perlindungan hukum bagi konsumen antara lain :
1. Pasal 204 “ Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau
membagi-bagikan barang, yang diketahui membahayakan itu tidak diberitahukan,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Jika perbuatan
mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
2. Pasal 205 “ Barang siapa karena kealpaannya menyabebkan bahwa
barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan
atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli
atau memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah”. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah
dikenakan penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurung paling
3. Pasal 359 “ Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun ( LN 11906 No.1).
4. Pasal 360 “ Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun. Barang siapa dengan kealpaannya
menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit
atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu
tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
5. Pasal 382 “ Barang siapa menjual, menawarkan, atau menyerahkan makanan,
minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan
menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun”.
6. Pasal 382 bis “ Barang siapa yang mendapatkan, melangsungkan atau
memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang
lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau
orang tertentu diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi
konkiren-konkoren orang lain itu, karena persaingan curang, dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus
7. Pasal 383 “ Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan, seorang penjual yang berbuat curang, terdapat pembeli : (1) karena
sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2)
mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan
menggunakan tipu muslihat”.
8. Pasal 390 “ Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong
yang menyebabkan harga barang dagangan, dana-dana atau surat berharga
menjadi turun atau naik, diancam pidana pejara paling lama dua tahun
delapan bulan”.
Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali
ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Tentu saja
konsekuensi lain adalah mengartikan perbuatan melawan hukum
(wederrechetlijke daad) dilapangan hukum pidana tidak seleluasa dilapangan
hukum perdata. Putusan-putusan pengadilan berkaitan dengan perluasan
penafsiran tentang perbuatan. Melawan hukum memang juga mempengaruhi
pemikiran para ahli hukum pidana. Vost, misalnya menganut pemikiran agar
dalam hukum pidana pun unsur perbuatan melawan hukum ditafsirkan secara
luas. Sehingga menjadi perbuatan yang oleh masyarakat tidak diperbolehkan,
tidak sekedar yang oleh Undang-Undang dilarang. Cara berfikir Vost ini disebut
pidana dapat kehilangan sifat melawan hukumnya hanya jika ada peraturan
(minimal) setingkat dengan itu (misalnya sama-sama Undang-Undang).17
3. Hukum Administrasi Negara
Seperti halnya hukum pidana, hukum admministrasi Negara adalah
instrument hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen.
Sanksi-sanksi hukum secara pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai Sanksi-sanksi
administrative. Sanksi administrative tidak ditunjukan pada konsumen pada
umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik produsen maupun para penyalur
hasil-hasil produknya. Sanksi admninistrative berkaitan dengan perizinan yang
diberikan pemerintah kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi
pelanggaran, izin-izin tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah.
Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari
produsen/penyalur. Produksi ini diartikan secar luas, dapat berupa barang dan
jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi
konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Campur tangan
administrative Negara idaelnya harus dilatarbelakangi iktikad melindungi
masyarakat luas dari bahaya.
Sanksi administrasi ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi
perdata atau sanksi pidana. Ada berupa alasan untuk mendukung pernyataan ini.
Pertama, sanksi administrative dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak izin tidak perlu meminta
17
terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan, kalau itu dibutuhkan mungkin
dari instansi-instansi pemerintah terkait. Sanksi adminitratif juga tidak perlu
melalui proses pengadilan. Memang, banyak pihak yang tekena sanksi ini dibuka
kesempatan untuk membela diri, antara lain mengajukan kasus tersebut
kepengadilan tata usaha Negara, tetapi sanksi itu senidri dijatuhkan terlebih
dahulu, sehingga berlaku efektif. Kedua, sanksi perdata dan/atau pidana
terkadang tidak membawa efek jera pada pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana
yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang
diraih dari perbuatan negatif produsen.
Dalam lapangan hukum adminitrasi Negara, perlindungan yang diberikan
biasanya lebih bersifat tidak langsung, prefentif dan proaktif. Pemerintah biasanya
mengeluarkan berbagai ketentuan normatif yang membebani pelaku usaha dengan
kewajiban tertentu. Walaupun sasaran langsungnya kepada pelaku usaha, tetapi
dampak positif dari kebijakan itu sebenarnya ditujukan kepada konsumensebagai
warga masyarakat terbesar.
Karena pemerintah sebagai instansi pengeluar perizinan, maka dalam
bidang administrasi, pemerintah berwenang meninjau kembali setiap izin yang
dinilai disalahgunakan. Hal ini berarti, sanksi administrative juga dapat bersifat
D. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Prof. Hans W. Micklitz,18
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
dalam perlindungan konsumen secara
garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat
komplementer, yaitu kewajiban yang mewajibkan pelaku usaha memberikan
informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua,
kebijakan kompenstoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap
kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan).
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting
dalam hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung
jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau
liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum namun berlaku dalam
hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan
1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru
dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika unsur kesalahan
yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHperdata, yang lazim disebut sebagai pasal
tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur
pokok, yaitu (1). Adanya perbuatan, (2). Adanya unsur kesalahan, (3). Adanya
kerugian yang diderita, (4). Adanya hubungan kualitas dan kerugian.
18
Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan
hukum. Pengertia “hukum” tidak hanya bertentangan dengan undang-undang,
tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara,
yakni asas audi et alteram pertem atau asas kedudukan yang sama antara semua
pihak yang berperkara. Disini hakim harus memberi para pihak beban yang
seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama
untuk memenangkan perkara tersebut.
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak
bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si Tergugat. Tampak beban
pembuktian terbalik (omkering van bewejslast) diterima dalam prinsip tersebut.
UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan
dalam pasal 19, 22, 23 (lihat ketentuan Pasal 28 UUPK).
Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah
seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan
sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan azas hukum praduga tidak bersalah
(presumption of Inconcence) yang lazim dukenal dalam hukum. Namun, jika
diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika
digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu
bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidaklah berarti dapat
sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai Pengugat selalu
terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia tinggal menunjukan
kesalahan si Tergugat.
3. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk
tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability principle) hanya
dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan
demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
4. Prinsip tanggung jawab mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan
prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula
para ahli yang membedakan kedua termologi diatas. Ada pendapat yang
menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan
kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskannya dari tanggung jawab,
misalnya keadaan force majure. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip
tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
Biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena :
(1). Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya
(2). Waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau
menambah komponen biaya tertentu pada harga pokoknya.
(3). Asas ini dapat memaksa produsen lain berhati-hati.
5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (lilmitation of liability
principle) sangat disenagi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul
eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak
film misalnya, ketentuan film yang dicuci cetak film misalnya, ditentukan bila
film yang dicuci cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas),
maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sepuluh kali harga satu rol film
baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan
secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku
usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan
konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada
pembatasan mutlak harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas.19
E. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen
Apabila kita mendengar kata melindungi, perlindungan maka biasanya
yang dilindungi itu adalah hak dan kepentingan, maksudnya adalah hal-hal atau
kepentingan mana saja dari konsumen yang dilindungi.
19
Mengenai kepentingan konsumen yang harus dilindungi ini lebih rinci
termuat dalam resolusi PBB Nomor 2111 tahun 1978. Kemudian pada 16 April
1985 dengan resolusi Nomor A / RES / 38 / 248, dimana diserukan penghormatan
terhadap hak-hak konsumen, dalam Guidelines for consume protection, bagian II
(General Principles) pada angka 3 digariskan kepentingan konsumen (legatimate
needs) itu adalah :
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap keselamtan dan
keamanan.
b. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan
mereka kemampuan melakukan pilihan yang tepat dan sesuai.
d. Pendidikan konsumen
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif
f. Kebiasaan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya
yang relevan untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut kepentingan bersama.
Untuk memudahkan dan mendasarkan diri pada pemahaman umum
masyarakat tentang kepentingan mereka yang harus dilindungi itu sebagai
konsumen maka bahan tentang kepentingan konsumen ini dilakukan dengan
mengunakan pengelompokan bentuk lain yaitu :
a. Kepentingan fisik
b. Kepentingan sosial ekonomi
ad.1. Kepentingan Fisik Konsumen
Maksud dari kepentingan fisik konsumen disini adalah kepentingan badan
konsumen yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan atau
jiwa mereka dalam menggunakan barang atau jasa konsumen, dan dalam setiap
perolehan barang dan atau jasa konsumen tersebut dan memberikan manfaat
baginya baik tubuh dan jiwanya.
Apabila perolehan barang dan atau jasa menimbulkan kerugian berupa
gangguan kesehatan badan atau ancaman pada keselamtan jiwanya maka
kepentingan fisik konsumen dapat terganggu. Misalnya : pembelian sebuah
kompor, dimaksidkan agar dengan alat tersebut dapat dimasak makanan yang
merupakan kebutuhan konsumen dan keluarganya, kepentingan fisik konsumen
akan terganggu kalau kompor tadi, karena tidak memenuhi standar dalam
penggunaanya mengakibatkan rumah terbakar dan atau cideranya fisik konsumen
yang bersangkutan.
ad.2. Kepentingan Sosial Ekonomi
Untuk kepentingan sosial ekonomi ini dimaksudkan agar setiap konsumen
dapat memperoleh hasil optimal dari penggunaan sumber ekonomi mereka dalam
mendapatkan barang dan atau jasa kebutuhan hidup mereka, oleh karena itu
tentunya konsumen harus mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung
jawab tentang produk konsumen tersebut yaitu informasi yang informative
tentang segala sesuatu kebutuhan hidup yang diperlukan. Untuk dapat mengerti
produk konsumen yang disediakan, tersedianya upaya penggantian kerugian
membentuk organisasi atau kelompok-kelompok yang diikutsertakan dalam setiap
proses pengambilan keputusan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
konsumen maka konsumen pun harus memperoleh pendidikan yang relevan.
ad.c. Kepentingan Perlindungan Hukum
Di dalam peraturan perundang-undangan positif kita secara tidak langsung
telah memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur dan/atau melindungi konsumen,
tetapi pada kenyataannya mengandung kendala tertentu yang menyulitkan
konsumen.
Kendala itu adalah :
1. Hambatan bagi konsumen terjadi karena peraturan perundang-undangan
dimaksud diterbitkan bukan untuk tujuan khusus mengatur dan atau
melindungi konsumen. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
konsumen hanyalah sekedar sampiran saja dari pokok permasalahan yang
diatur, baik itu yang menyangkut masalah keperdataan, administrasi maupun
masalah pidana termasuk hukum-hukum acara yang berkaitan dengan itu.
Contoh dalam pasal 42 ayat 2 Sub b UU Penyiaran UU No.24 Tahun 1997,
mengatakan dilarang iklan niaga yang memuat promosi barang dan jasa yang
berlebih-lebihan dan menyesatkan, baik mengenai mutu, asal, isi, ukukran,
sifat, komposisi maupun keaslian, selanjutnya pasal 63 UU tersebut
menyatakan bahwa Pemerintah mengenakan sanksi administrasi atas
pelanggaran terhadap beberapa pasal dari UU tersebut termasuk pelanggaran
terhadap pasal 42 ayat 2 Sub b. Dari Pasal-pasal ini jelas bahwa UU
usaha, sedangkan dalam UU penyiaran ini tidak diatur bagaiman
perlindungan terhadap kepentingan konsumen, bila pelaku usaha melanggar
pasal 42 ayat 2 Sub b tersebut.
2. Bahwa hukum acara yang berlaku tidak mudah untuk dimafaatkan konsumen
untuk menyelesaikan masalahnya karena dirugikan pelaku usaha tersebut,
karena belum biasanya dilaksanakan proses pengadilan yang sederhana, cepat
dan biaya murah, sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 (Undang-Undang Pokok Kehakiman).
Berbagai kepentingan konsumen seperti yang disepakati bersama anggota
PBB, memerlukan prasarana dan sarana hukum untuk dapat diwujudkan bagi
BAB III
KONSUMEN PERUMAHAN DAN DEVELOPER
A. Pengertian Konsumen Perumahan
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Konsumen perumahan mewah, sederhana dan kalangan kelas-kelas kecil.
Selain membeli untuk tinggal, mereka juga mengharapkan adanya pencapaian
kepuasan. Oleh karena itu didalam memasarkan perumahan para pengembang
harus mampu menciptakan kepuasan bagi para konsumennya. Dengan demikian
para developer harus memberikan pelayanan yang lebih maksimal kepada seluruh
konsumen perumahan mewah, sederhana dan kalangan kelas-kelas kecil.
Untuk mampu menciptakan kepuasan konsumen tersebut, para
pengembang perlu memiliki suatu strategi pemasaran yang jitu dalam
memasarkan produknya, karena strategi pemasaran juga merupakan alat
fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan
mengembangkan keunggulan bersaing yang digunakan untuk melayani pasar
sasaran.
B. Pengertian Developer
Developer adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi
pengalihan hak atas produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui
proses yang telah ditentukan.
Developer adalah juga sebagai badan usaha yang berbadan hukum,
mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada
pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Salah satu bentuk strategi pemasaran yang mampu mendukung dalam
memasarkan perumahan untuk mencapai kepuasan konsumen adalah pengunaan
marketing mix (bauran pemasaran).
Marketing mix (bauran pemasarran) merupakan seperangkat alat
pemasaran yang digunakan untuk mencapai tujuan pemasaran dalam pasar
sasaran. Secara umum, bauran pemasaran menekankan pada pengertian suatu
strategi yang mengintegrasikan produk (product), harga (price), promosi
(promotion), dan distribusi (place), dimana kesemuanya itu diarahkan untuk dapat
menghasilkan omset penjualan yang maksimal atas produk yang dipasarkan
dengan memberikan kepuasan kepada para konsumen. Sejalan dengan semakin
kompetitifnya dunia bisnis, 4-P yaitu product, place, price, promotion,
participant, physical evidence dan process.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, maka bauran pemasaran dapat
meliputi produk, harga, lokasi, promosi, dan bukti fisik. Degan demikian, faktor
yang dalam bauran pemasaran merupakan variabel-variabel yang diharapkan
mampu menciptakan kepuasan konsumen, atau dengan kata lain variabel-variabel
Pembangunan perumahan untuk kelompok masyarakat menengah keatas
cenderung dilakukan oleh para pengembang swasta, dimana mereka lebih
menekan pada profit orientied. Untuk mencapai tujuan tersebut, penekanan pada
daya tarik bentuk rumah yang mereka bangun lebih diutamakan. Hal terebut
dilakukan dengan mengunakan para konsultan pembangunan perumahan,
sehingga perumahan yang mereka bangun mampu menghasilkan bentuk yang
menarik konsumen untuk membelinya. Sedangkan beberapa hal seperti
konstruksi, sarana jalan, saluran, dan fasilitas-fasilitas umum yang seharusnya ada
dalam kompleks perumahan yang mereka bangun, cenderung diabaikan. Dengan
demikian, ketidakpuasan konsumen mungkin akan muncul setelah membeli
rumah yang dipasakan oleh para pengembang. Bertitik tolak pada paparan yang
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pola pikiran yang berkembang dalam
pembelian rumah di era sekarang ini, terutama untuk rumah kelas menengah
keatas adalah bahwa rumah tidak hanya sebagai tempat berlindung, namun juga
berfungsi sebagai tempat tinggal yang nyaman, sehat, bahkan estetika menjadi
bahan pertimbangan mereka dalam pembelian rumah.
Dengan demikian, para pengembang harus mampu memberikan pelayanan
yang optimal untuk memberikan kepuasan pada konsumennya. Oleh karena itu,
selain faktor teknis, para pengembang perlu mengetahui dan mengerti prilaku
konsumen dalam memasarkan produknya. Karena dengan mempelajari prilaku
konsumen para pengembang akan banyak memperoleh informasi tentang
sekaligus menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang
mendahului tindakan ini.
C. Hak dan Kewajiban Konsumen Perumahan
Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu : (1). Hak
untuk mendapatkan keamanam (the right to safety), (2). Hak untuk mendapatkan
informasi (the right to be informed), (3). Hak untuk memilih (the right to choose),
(4). Hak untuk didengar (the right to be heard).
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,
organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International
Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak,
sepertu hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian,
dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun tidak semua
oeganisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka bebas
untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya memutuskan untuk
menambah satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak
mendapatkan lingkungan yang sehat dan baik sehingga keseluruhannya dikenal
sebagai panca hak konsumen. Ada delapan hak secara eksplisit dituangkan dalam
Pasal 4 UUPK, sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka.
Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen
yang dirurmuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khusus dalam Pasal 7 yang
antinomy dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai
hak konsumen.
Akhirnya, jika hak-hak tersebut disusun secara sistematis (mulai dari yang
diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut :
1. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan
Konsumen berhak mendapatkan kewenagan dari barang dan jasa yang
ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan
jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan secara jasmani dan rohani.
Hak untuk memperoleh keamanan itu penting ditempatkan pada kedudukan
utama, karena selam berabad-abad berkembang suatu falsafah berfikir bahwa
konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku
usaha.
Dalam barang dan/atau jasa yang dihasillan dan dipasarkan oleh pelaku
usaha beresiko sangat tinggi terhadap kemanan konsumen, maka Pemerintah
selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat. Satu hal yang harus
diperhatikan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah
fasilitas umum yang memenuhi syarat yang ditetapkan.
2. Hak untuk mendapatkan informasi yang jelas
Setiap produk yang dikenalkan kepada konsumen harus disertai dengan
informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai