• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap Developer Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Study Kasus : Zona Property Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap Developer Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Study Kasus : Zona Property Medan)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP DEVELOPER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN (Study Kasus : ZONA PROPERTY MEDAN)

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan

Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DIMAS DWI PUTRA

NIM. 040200301

Departemen Hukum Perdata

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkat dan rahmatNya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

dengan baik. Penulis juga bersyukur atas kesehatan, waktu dan keadaan yang

diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.

Adapun skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu kewajiban

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan.

Skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan-bantuan

banyak pihak, oleh karena itu penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Terima kasih penulis sampaikan khusus buat papa dan mama tercinta,

yang telah membesarkan dan mendidik sehingga penulis bisa menjadi seperti yang

sekarang ini, juga selalu memberikan motivasi dan dorongan kapan pun, dimana

pun yang sangat berarti bagi penulis, terima kasih atas kasih sayang dan

kesabarannya selama ini. Semoga penulis dapat membuat papa dan mama bahagia

dan bangga. Terima kasih juga kakakku tersayang, yang selalu ada disamping

penulis, dan adinda yang selalu memberikan dukungan. Terima kasih untuk selalu

mendorong penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Dengan segala

kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan.

2. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

(3)

3. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II dan

sekaligus sebagai dosen wali saya yang telah banyak memberikan

bimbingan-bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

5. Semua Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik penulis. Terima kasih

atas ilmu yang diberikan kepada penulis, semoga berguna bagi bangsa dan

negara.

6. Teman-teman seperjuangan, baik junior maupun seniorku yang tidak

mungkin disebut namanya satu persatu, serta pihak-pihak yang telah

membantu sampai selesainya tulisan ini.

7. Para pembantu dekan dan para pegawai administrasi dan bagian tata usaha

serta karyawan-karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Medan.

Akhir kata, seperti pepatah tak ada gading yang tak retak, penulis

menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini tak luput dari kekurangan-kekurangan,

maka dari itu penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, mahasiswa, praktisi dan

perkembangan dunia ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum

perlindungan konsumen.

Penulis

(4)

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap

Developer Menurut Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen. Yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini adalah pada masa

sekarang ini, pertumbuhan sektor perumahan ditanah air terbilang sangat pesat

pertumbuhannya didorong oleh meningkatnya permintaan masyarakat akan

perumahan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya.

Pokok permasalahan yang diangkat dalam hal ini adalah :

1. Keabsahan jual beli rumah yang ditawarkan Zona Property.

2. Hambatan-hambatan yang dihadapi pada proses jual beli rumah.

3. Ketidakseimbangan posisi konsumen perumahan dengan developer sebagai

pelaku usaha perumahan.

4. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian pengikatan jual beli

rumah.

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah

penelitian normatif empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat

mengikat yang disahkan oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Disamping itu

dapat juga menggunakan surat Keputusan Menteri Perumahan Nomor 9 Tahun

1995 selaku bahan yang berhubungan berat dengan topik penulisan skripsi ini.

Ada juga buku-buku karangan para sarjana maupun selaku bahan pendukung

penulisan skripsi ini.

Pengaturan mengenai perjanjian standar sebaiknya diatur dalam peraturan

khusus, mengingat perjanjian standar sudah umum digunakan dalam kehidupan

sehari-hari dan meliputi berbagai bidang usaha, sehingga konsumen bisa

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN ... 12

A. Sejarah Lahirnya Perlindungan Hukum Konsumen ... 12

B. Pengertian Konsumen ... 14

C. Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Hukum Positif Indonesia ... 16

D. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ... 30

(6)

BAB III KONSUMEN PERUMAHAN DEVELOPER ... 38

A. Pengertian Konsumen Perumahan ... 38

B. Pengertian Developer ... 38

C. Hak dan Kewajiban Konsumen Perumahan ... 41

D. Hak Dan Kewajiban Developer ... 52

E. Hubungan Konsumen dan Developer Dalam Kontrak Baku .. 54

BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP DEVELOPER MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA ZONA PROPERTY ... 66

A. Keabsahan Jual Beli Rumah Yang Ditawarkan Zona Property 66 B. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Pada Proses Jual Beli Rumah ... 70

C. Ketidakseimbangan Hukum Pembeli Rumah Dengan Posisi Developer Sebagai Pelaku Usaha Perumahan ... 74

D. Penyelesaian Sengketa Yang Timbul Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A.Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 82

(7)

PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP DEVELOPER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Study Kasus : ZONA PROPERTY MEDAN)

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

DIMAS DWI PUTRA NIM. 040200301 DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM DAGANG

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 131 764 556

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

( Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS ) ( Rosnidar Sembiring, SH, M.Hm ) NIP. 196204211988031004 NIP. 196602021991032002

FAKULTAS HUKUM UNVERSITAS SUMATERA UTARA

(8)

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap

Developer Menurut Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen. Yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini adalah pada masa

sekarang ini, pertumbuhan sektor perumahan ditanah air terbilang sangat pesat

pertumbuhannya didorong oleh meningkatnya permintaan masyarakat akan

perumahan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya.

Pokok permasalahan yang diangkat dalam hal ini adalah :

1. Keabsahan jual beli rumah yang ditawarkan Zona Property.

2. Hambatan-hambatan yang dihadapi pada proses jual beli rumah.

3. Ketidakseimbangan posisi konsumen perumahan dengan developer sebagai

pelaku usaha perumahan.

4. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian pengikatan jual beli

rumah.

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah

penelitian normatif empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat

mengikat yang disahkan oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Disamping itu

dapat juga menggunakan surat Keputusan Menteri Perumahan Nomor 9 Tahun

1995 selaku bahan yang berhubungan berat dengan topik penulisan skripsi ini.

Ada juga buku-buku karangan para sarjana maupun selaku bahan pendukung

penulisan skripsi ini.

Pengaturan mengenai perjanjian standar sebaiknya diatur dalam peraturan

khusus, mengingat perjanjian standar sudah umum digunakan dalam kehidupan

sehari-hari dan meliputi berbagai bidang usaha, sehingga konsumen bisa

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rumah sebagai salah satu unsur utama bagi kesejahteraan rakyat. Memang

kebutuhan akan tempat yang dapat dipergunakan sebagai tempat berteduh,

disamping sandang dan pangan merupakan salah satu hal yang dirasakan setiap

orang. Dalam masyarakat yang adil dan makmur, sudah saatnya rakyat memiliki

tempat tinggal yang layak. Rumah bagi rakyat juga penting dalam iklim

pembangunan Negara, seperti yang sudah diterapkan oleh MPRS1 dan GBHN2

Pemilikan rumah oleh masyarakat dapat terdiri dari berbagai cara,

diantaranya pemberian subsidi rumah oleh pemerintah bagi pegawai negeri

khususnya, dan secara umumnya adalah melalui peralihan hak dan atau jual

khususnya, dan secara umumnya adalah melalui hak dan atau jual beli. Oleh

karena itu dapat dikatakan bahwa pada umumnya semua masyarakat adalah

konsumen perumahan, dimana sudah sewajarnya untuk dilindungi oleh peraturan Pada masa sekarang ini, pertumbuhan sektor perumahan di tanah air

terbilang sangat pesat pertumbuhannya didorong oleh meningkatnya permintaan

masyarakat akan perumahan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya.

1

Sudargo Gautama. 1984. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Perumahan dan

Peraturan Sewa-Menyewa. Alumni. Bandung. h.2. “Dalam Ketetapan MPRS no.II/MPRS/1960

tanggal 3 desember 1960 dijelaskan mengenai kebutuhan akan perumahan dan program kerja yang harus dilaksanakan.”

2

AP. Parlindungan. 1997.Komentar atas Perumahan dan Pemukiman dan

Undang-Undang Rumah Susun. Mandar Maju. Bandung. h. 200, “Dalam GBHN, diterapkan bahwa

(10)

yang berkaitan dengan jual beli rumah, untuk menghindari kerugian yang dapat

dialami oleh setiap konsumen.

Adalah suatu realita dalam menjaga keberlangsungan roda perekonomian,

peranan konsumen cukup penting, tetapi ironisnya sebagai salah satu perilaku

ekonomi, dalam hal perlindungan hukum, posisi konsumen sangat lemah. Salah

satu bukti adalah keberadaan perjanjian baku dalam praktek perdagangan

sehari-hari.

Perjanjian standar (baku) sebenarnya dikenal sejak zaman Yunani Kuno.

Plato (423-347 SM) misalnya, oernah memaparkan praktik penjualan makanan

yang harganya ditentukan secara sepihah oleh penjual, tanpa memperhatikan

perbedaan mutu makanan tersebut”. Dalam perkembangannya, tentu saja

penentuan secara sepihak oleh produsen / penjual tidak lagi sekedar masalah

harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih mendetail. Selain itu,

barang-barang yang diatur dengan perjanjian standar juga makin bertambah. Di

Indonesia, perjanjian standar merambah ke pasar property dengan cara-cara yang

secara yuridis masih controversial, misalnya dalam hal satuan rumah susun,

diperbolehkan melakukan pembelian secara inden dalam bentuk perjanjian

standar. Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan

(kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan.3

3

(11)

Secara sederhana, perjanjian baku mempunyai ciri-ciri sebagai berikut4

(1) Perjanjian dibuat secara sepihak oleh produsen yang posisinya relatiif

lebih kuat dari konsumen ;

(2) Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian ;

(3) Dibuat dalam bentuk tertulis dan missal

(4) Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh

kebutuhan.

Sebagai perjanjian standar, biasanya perjanjian jual beli tidak memberikan

perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen perumahan karena dibuat

secara sepihak oleh developer. Faktor subjektifitas atau kepentingan developer

lebih dominan dimasukan dalam perjanjian standar perumahan, kependudukan

konsumen dan developer tidak seimbang. Posisi developer yang dominan ini

membuka peluang untuk cenderung menyalahgunakan kedudukannya.

Salah satu bukti ketidakseimbangan kedudukan antara developer dengan

konsumen dapat dilihat jika tejadi pengaduan pelanggaran hak-hak individual dan

pelanggaran hak-hak kolektif konsumen perumahan.

Dari jenis pengaduan konsumen perumahan yang sampai pada YLKI,

secara umum ada dua yakni :

Pertama, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat telah terjadinya pelangaran hak-hak individual konsumen perumahan. seperti mutu bangunan

dibawah standar, ukuran surat tanah tidak sesuai dan lain-lain.

4

(12)

Kedua, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat pelangaran hak-hak kolektif konsumen perumahan, seperti tidak dibangunnya fasilitas sosial/umum.

Sertifikasi, rumah fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim/informasi dalam iklan,

brosur, dan pameran perumahan.5

a. Bagi perusahaan pembangunan perumahan dan pemukiman guna

memperlancar perolehan dana murah dan kepastian pasar.

Pada saat sekarang ini terlihat telah berkembang kebiasaan pemasaran

property khususnya satuan rumah, sebelum rumah-rumah yang dipasarkan

tersebut selesai dibangun, bahkan tidak jarang terjadi pada saat masih

direncanakan.

Hal tersebut diatas ditempuh berdasarkan pertimbangan ekonomi yaitu :

b. Bagi pembeli atau konsumen agar harga jual rumah lebih rendah karena calon

pembeli membayar sebagian dimuka.

Langkah-langkah yang ditempuh perusahaan pembangunan perumahan

dan pemukiman dan konsumen tersebut diatas menimbulkan adanya jual beli

secara pesan lebih dahulu, sehingga menyababkan adanya perjanjian jual beli

pendahuluan (Preliminary purchase), yang selanjutnya dituangkan dalam akta

perikatan jual beli satuan rumah.

Dalam pengadaan perjanjian pengikatan jual beli rumah, yakni perjanjian

yang diadakan oleh developer dan konsumen sebelum akta jual beli dan serah

terima bangunan dilaksanakan,pemerintah telah melakukan pengawasan dengan

mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Preumahan Rakyat No. 09 Tahun 1995

5

(13)

tentang Pedoman Pengikat Jual Beli Rumah, untuk melindungi konsumen.

Namun, surat Keputusan tersebut dikeluarkan sebelum adanya Undang-Undang

Perlindungan Konsumen yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dan sampai

sekarang belum ada peraturan yang direvisi mengingat lahirnya undang-undang

perlindungan konsumen ini.

Maka penulis menganggap penting pembahasan mengenai Hukum

Perlindungan Konsumen melalui berbagai peraturan yang terkandung didalamnya

mencoba mengatasi masalah-masalah yang dialami konsumen dengan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

B. Permasalahan

Berdasarkan pengamtan dan penelaahan penulis dari berbagai literature,

informasi serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat dalam hal

pembelian dan penjualan perumahan, maka perlu kiranya penulis mengemukakan

permasalahan-permasalahan yang ada dalam skripsi ini.

Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana keabsahan jual beli rumah yang ditawarkan Zona Property ?

b. Apa hambatan-hambatan yang dihadapi pada proses jual beli rumah ?

c. Bagaimana ketidakseimbangan posisi konsumen perumahan dengan

developer sebagai pelaku usaha perumahan ?

d. Bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian pengikatan

(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui jual beli rumah oleh Zona Property sudah memenuhi

prosedur hukum atau belum.

b. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam proses jual beli

rumah oleh Zona Property.

c. Untuk mengetahui cara penyelesaian masalah yang timbul antara konsumen

dan developer.

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :

a. Secara Teoritis

- Untuk memperoleh dan memperdalam pengetahuan tentang masalah jual

beli rumah terutama mengenai perlindungan hukum bagi konsumen dalam

perjanjian pengikatan jual beli rumah.

- Untuk mengetahui prosedur yang dapat ditempuh apabila terjadi sengketa

yang timbul antara konsumen dan pengembang.

b. Secara Praktis

- Agar masyarakat mengetahui akan haknya sebagai konsumen perumahan

sehingga dikemudian hari dapat menghindari diri dari kerugian yang

terjadi.

- Dapat menambah wawasan dan pengetahuan hukum terutama sebagai

masyarakat dalam hal ini konsumen dapat mengerti tentang proses jual

(15)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan ini diselesaikan berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh

penulis sendiri dari berbagai sumber, selain dari bacaan, juga berdasarkan hasil

wawancara, dan sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang perlindungan

konsumen perumahan terhadap developer menurur undang-undang perlindungan

konsumen pada Zona Property sudah diselidiki sesuai dengan objek yang berbeda.

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.6

Kata perlindungan konsumen apabila digabungkan, menurut Oxford of law Dari berbagai pengertian berbagai pengertian mengenai konsumen diatas,

untuk selanjutnya istilah konsumen yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah pengertian konsumen akhir yang didasarkan pada pasal 1 butir 1

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimana konsumen diartikan sebagai setiap orang

pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.

7

Consumer protections are the protection, especially by legal means, of

consumers (thoise who contract otherwise than in the course of a business to memberikan arti bahwa :

6

Ahmadi Miru Sutarman Yodo. 2007. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, PT. Raja Grafindo. Jakarta. h. I

7

(16)

obtain goods or sevice from those who supply them in the course of business). It is

the policy of current legislation to protect consumers against unfair contract

terms. In particular they are protectd against terms that attempt to exclude or

restrict the seller’s implied undertakings thathe has a right to sell the goods, that

the goods confirm with either description or sample, and that they are

merchantable quality and fit for their particular purpose (Unfair Contract Terms

Act 1977).

Perlindungan konsumen merupakan perlindungan dalam arti hukum yang

diberikan kepada konsumen (mereka yang melakukan kontrak selain untuk tujuan

bisnis untuk mendapatkan barang dan jasa dari mereka yang menyediakannya

untuk tujuan bisnis). Perlindungan konsumen merupakan suatu kebijakan hukum

pada saat ini untuk melindungi konsumen terhadap ketentuan-ketentuan di dalam

kontrak yang tidak adil. Secara khususnya, konsumen dilindungi dari ketentuan

yang mengecualikan atau yang membatasi tanggung jawab penjual secara tidak

langsung atas dimilikinya hak menjual barang-barang tersebut (oleh penjual),

apakah barang-barang tersebut sesuai dengan gambaran atau contoh, dan memiliki

kualitas yang layak untuk diperdagangkan sesuai dengan tujuan utamanya).

Sedangkan di Indonesia, kata “perlindungan konsumen” memiliki arti :

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan kepada konsumen8

8 Ibid

(17)

F. Metode Penelitan

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian

hukum Deskriptif Normatif yaitu dengan cara melakukan pengumpulan data yang

berkaitan dengan permasalahan dana kemudian dilakukan analisis terhadap

permasalahan tersebut.

1. Bentuk penulisan

Penulisan skripsi ini mengunakan bentuk penelitian normatif empiris yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder, yaitu

meliputi :

a. Hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat

megikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini,

yang digunakan adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen ; dan berupa peraturan perundang-undangan yang

terkait.

b. Bahan hukum sekunder ; berupa bahan yang berhubungan erat dengan

topic penulisan skripsi ini Surat Keputusan Menteri Perumahan No. 9

Tahun 1995 tentang Pedoman Pengikat Perjanjian Jual Beli Rumah,

Buku-buku karangan para sarjana, hasil penelitian, maupun situs internet.

2. Alat Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan

(18)

1. Penelitian lapangan (field research) ; yakni dengan mengadakan

wawancara kepada staf Zona Property serta mengadakan studi

dokumen-dokumen yang berkaitan dengan topic skripsi ini.

2. Penelitian kepustakaan (library research) ; yakni dengan membaca,

mempelajari dan menganalisa buku-buku yang berhubungan dengan

Skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Bab I : Pada Bab ini, penulis menguraikan tentang hal-hal yang

umum yang mendasari penulisan skripsi ini, yang terdiri

dari latar belakang, manfaat dan tujuan penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan

sistematika penulisan.

Bab II : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambaran umum

tentang Perlindungan Hukum Konsumen yang dimulai

dengan latar belakang lahirnya perlindungan hukum

konsumen, pengertian konsumen, perlindungan hukum

positif indonesia, prinsip-prinsip hukum perlindungan

konsumen.

Baba III : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambar mengenai

konsumen perumahan dan developer, hak dan kewajiban

konsumen perumahan, hak dan kewajiban developer dan

(19)

Bab IV : Dalam Bab ini, penulis akan menguraikan pokok dari

permasalahan yakni perlindungan konsumen perumahan

terhadap developer menurut Undang-Undang Perlindungan

Terhadap Konsumen pada Zona Property, yang terdiri dari :

Keabsahan jual beli rumah yang ditawarkan Zona Property,

Hambatan-hambatan yang dihadapi pada Proses Jual Beli

Rumah, ketidakseimbangan hukum pembeli rumah dengan

posisi developer sebagai pelaku usaha perumahan dan

penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian

pengikat jual beli rumah.

BAB V : Dalam Bab ini, penulis memberikan kesimpulan dan

saran-saran yang diperoleh berdasarkan bab-bab sebelumnya yang

(20)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

A. Sejarah Lahirnya Perlindungan Hukum Konsumen

Aktifitas ekonomi dirasakan hidup, apabila tercipta suasana yang

mendukung kelancaran arus produksi barang dan jasa dari produsen ke konsumen.

Globalisai ditandai dengan perdagangan bebas, namun belum banyak memberikan

perbaikan ekonomi di Indonesia. Anggapan bahwa perdagangan bebas

menguntungkan konsumen dalam bentuk mutu dan harga barang ataupun jasa

barangkali masih merupakan mitos yang diciptakan untuk mempertahankan

dominasi perusahaan dan produsen atas konsumen dalam sistem ini.

Dalam hal ini terdapat indikasi meningkatkan sengketa antara produsen

sebagai pelaku usaha dengan konsumen. Dari sinilah kita baru disadarkan kembali

urgensinya perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan konsumen.

Gerakan konsumen internasional sejak tahun 1960 memiliki wadah yang

cukup bewibawa, yaitu Internasional Organization of Consumers Union (IOCU)

yang kemudian sejak tahun 1995 berubah nama menjadi Custumers International

(CI). Anggota CI mencapai 203 organisasi konsumen yang berasal dari sekitar 90

negara di dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri ada dua organisasi yaitu Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia yang berada di Jakarta dan di Semarang. Yang

mana tiap pada tanggal 15 maret C.I memperingati hari konsumen sedunia, dan

memberi tema yang berbeda untuk setiap-tiap tahunnya.9

9

(21)

Konsumen Indonesia merupakan bagian dari konsumen global, sehingga

gerakan konsumen di dunia Internasional mau tidak mau menembus batas-batas

Negara, dan mempengaruhi kesadaran konsumen lokal untuk berbuat hal yang

sama. Persaingan antar produsen saat ini semakin kuat, dan hal ini berarti

konsumen mempunyai banyak pilihan terhadap produk barang dan jasa yang

dikonsumsinya.

Gejala-gejala itu memberikan pengaruh kepada gerakan konsumen di

dunia khususnya di Indonesia, yakni mulai beralih dari isu-isu konsumen dari

sekedar mempersoalkan mutu menuju ke arah yang lebih berskala makro dan

universal. Perhatian konsumen dalam negeri sama dengan perhatian konsumen

diberbagai Negara, dan konsumen kita pun konsumen global.

Menurut Emil Salim, gerakan konsumen global ditandai oleh globalisasi

diberbagai bidang. Pertama, globalisasi produksi, yang berarti tidak ada produk

yang hanya di satu Negara. Faktor kedua, globalisasi financial dimana uang tidak

lagi mengenal bendera suatu Negara. Ketiga, globalisasi perdagangan. Hali ini

tampak dari dihilangkannya dinding-dinding tarif sehingga dunia menjadi satu

pasar. Dan faktor keempat, yakni globalisasi teknologi. Yang antara lain

membawa konsekuensi makin tergesernya alat-alat produksi tradisional mengarah

pada moderenisasi dan mekanisme.10

10

(22)

B. Pengertian Konsumen

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen”

sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasayang tersedia dalam masyarakat,

bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan

untuk tidak diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK, yang diberlakukan

pemerintah mulai 20 april 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang

tegas tentang konsumen dalam hukum positif Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar

Haluan Negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen

dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan sama sekali

tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan

tersebut.

Diantara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dari Persingan Usaha Tidak Sehat

(diberlakukan 5 Maret 2000 ; satu tahun setelah diundangkan). Undang-undang

ini memuat suatu defenisi tentang konsumen yaitu setiap pemakai dan pengguna

barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan

orang lain. Batasan ini mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UUPK.

Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (kooper).

Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pengertian konsumen lebih jelas dan lebih luas daripada pembeli. Pakar masalah

(23)

Depdagri disimpulkan bahwa, para ahli hukum pada umumnya sepakat

mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan/atau

jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan

pemakai terakhir, dan konsumen pemakai terakhir.

Pemahaman pengertian “konsumen” akan lebih jelas bila dilakukan studi

perbandingan atas beberapa Negara yang telah mengembangkan perlindungan

konsumen yang memadai dalam sistem hukumnya.

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang,

konsumen diartikan sebagai “The person who obtains goods and sevice for

personal or family purposes.11

Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat

dalam Magnussom-MossWarranty, Ferderal Trade Commission Act 1975,

mengartikan persis sama dengan ketentuan di Perancis, demikian pula rumusan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku VI, Pasal

236), walaupun terkesan lebih umum (karena dimuat dalam bab tentang

syarat-syarat umum perjanjian), namun yang dikandung tetap kurang lebih sama. Dalam

NBW itu konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika

mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi

dan perusahaan.

Dari defenisi ini terkandung dua unsur, yaitu (1)

konsumen hanya orang, (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan

pribadi atau keluarganya.

12

11

Tim FH UI & Depdagri, Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1992. hal. 57.

12

(24)

Di Spanyol, konsumen diistilahkan tidak hanya individu (orang), tetapi

juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang

menarik disini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga

dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.13

Consumer Protection Act of 1986, No. 68 di Negara India mengatakan

Konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati,

menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang

mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersil.14

Di Australia, ketentuannya lebih jauh lebih moderat. Dalam Trade

Practies Act 1974, yang sudah berkali-kali diubah, konsumen diartikan sebagai :

seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harga

tidak melewati 40.000 Dollar Australia. Artinya, jauh tidak melewati jumlah uang

diatas, tujuan pembeli barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah

uangnya sudah melewati 40.000 Dollar, keperluannya harus khusus.15

C. Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Positif Indonesia

Hukum positif (ius constitutum) merupakan substansi hukum yang berlaku

pada waktu yang telah ditentukan. Waktu tertentu yang dimaksud disini ketika

suatu peristiwa hukum itu tertentu. Hukum positif dengan kata lain, hukum yang

sedang berlaku, bukan hukum dimasa lampau atau hukum yang dicita-citakan (ius

constituendum).

13

Tim FH & Depdagri, Op.Cit, hal. 58. 14

AZ. Nasution, Op. Ch. 15

(25)

Dalam kaca mata aliran hukum positif (Positivisme Hukum) hukum yang

berlaku (hukum positif) itu harus memenuhi unsur keberlakuan (geltung) yuridis.

Ia boleh saja mengabaikan unsur folosifis dan sosiologis tetapi tidak dapat

meninggalkan unsur yuridis. Suatu peraturan dikatakan memenuhi unsur

keberlakuan yuridis bila peraturan itu dilahirkan oleh lembaga yang berwenang

dan melalui proses yang benar. Dengan demikian hukum positif semata-mata

mementingkan fomalitas, bukan isi (materi) dari peraturan itu. Disebur hukum

positif semata-mata karena ia masih berlaku sampai saat ini. Hukum positif

merupakan substansi hukum yang mempunyai 3 unsur, yaitu (1) struktur, (2)

substansi, (3) budaya hukum.16

Menurut norma hukum positif Indonesia landasan yuridis tertinggi

terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 27 ayat (1). Dalam Struktur hukum mengacu kepada bentuk dan kedudukan pranata hukum

yang terdapat dalam sistem hukum. Hubungan antar lembaga tinggi Negara

contohnya, suatu penggambaran dari stuktur hukum. Adapun substansi hukumnya

merupakan kumpulan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma hukum yang ada.

Inilah yang lazim dikenal dengan law in the books dalam suatu sistem hukum.

Tentu saja tidak sama dari aturan hukum itu berjalan sesuai dengan harapan

dilapangan. Ada aturan yang ditaati dan ada yang disampingi. Semua itu

terangkum dalam law in action atau living law. Unsur yang penting dalam

mempengaruhicorak hukum yang hidup itu adalah budaya hukum dari masyarakat

yang menjadi subjek hukum.

16

(26)

ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa segala warga negara bersamaan

kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal tersebut pada dasarnya

memberi landasan konstitusional bagi perlindungan konsumen di indonesia.

Karena dalam ketentuan tersebut sudah jelas dinyatakan bahwa kedudukan hukum

semua warga Negara adalah sama atau sederajat (equaly before the law). Sebagai

warga Negara, kedudukan hukum konsumen tidak boleh rendah dari pada

produsen atau pemasar produksi produsen. Mereka memilih hak-hak yang

seimbang satu sama lainnya.

Landasan konstitusional tersebut erat pula kaitannya dengan konsep bahwa

setiap orang adalah konsumen. Produksi (barang dan/atau jasa) tidak berarti

apa-apa tanpa dilanjutkan dengan konsumsi. Tidak ada orang yang tidak

mengkonsumsi barang dan jasa pihak lain. Tidak mungkin ada badan usaha yang

mempunyai produksi semua barang dan jasa secara mandiri.

Perusahaan-perusahaan yang berskala besar, yang lazim disebut konglomerat sekali pun dalam

era perdagangan bebas dan pasar global dewasa ini, justru cenderung membatasi

diversifikasi usahanya, dan mulai memusatkan perhatiannya pada core

businessnya. Kecendrungan demikian seharusnya dapat memperkuat komitmen

konstitusional sebagaimana diletakkan Pasal 27 UUD 1945.

Mengingat luasnya objek material (pokok bahasan) hukum perlindungan

konsumen itu, maka sangat sulit memberikan sistematika yang lengkap. Objek

material hukum perlindungan konsumen mencakup semua lapangan hukum pada

(27)

beragam jenis peraturan yang melingkupi, menurut adanya konsistensi, baik

dalam dalam substansi maupun penerapannya dilapangan. Untuk mencegah hal itu

sangat diperlukan adanya umbrella act. Adapun aturan-aturan lain, baik yang

setungkat dengan Undang-Undang maupun yang dibawahnya, merupakan

pengaturan yang bersifat lebih sektoral. Peraturan yang disebut sebagai umbrella

act adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

(selanjutnya disingkat dengan UUPK, yang disahkan pada tanggal 20 april 1999,

tetapi baru diberlakukan satu tahun kemudian (tanggal 20 april 2000). Penundaan

ini dianggap perlu untuk melengkapi berbagai pranata hukum yang diberlakukan.

UUPK sendiri dalam penjelasan umumnya menyebutkan sejumlah

Undang-Undang yang dapat dikategorikan sebagai peraturan hukum sektoral.

Undang-Undang tersebut telah ada mendahului UUPK. Untuk memberikan

gambaran pengaturan hukum perlindungan konsumen secara komperhensif dalam

hukum positif indonesia, uraian berikut akan lebih diarahkan kepada pendekatan

objek formal (sudut pandang) nya, yang dikelompokan menjadi aspek hukum

keperdataan, hukum pidana, hukum administrasi Negara dan hukum internasional.

1. Hukum Keperdataan

Hukum keperdataan secara substansional merupakan area hukum yang

sangat luas dan dinamis. Keluasan hukum keperdataan sekilas segera tampak dari

judul-judul buku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab

(28)

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan leg spesialis,

sementara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah leg generalisnya. Dalam

azas hukum dikatakan, jika terjadi perselisihan pengaturan antara undang-undang

khusus dan undan-undang lebih umum, maka yang khusus inilah yang digunakan

(leg spesialis deorgate lege generalis).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terlihat perjalanan yuridis

seorang manusia sejak lahir sampai setelah yang bersangkutan wafat. Dalam

hukum perdata itu antara lain dibicarakan bagaiman hubungan seorang dengan

keluarga, benda orang lain dalam lapangan harta kekayaan, dan ahli warisnya jika

meninggal.

Dalam KUHPerdata tidak pernah disebut kata “konsumen”. Istilah lain

yang sepadan dengan itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang

(debitur). Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Pasal 1235 (Jo. Pasal 1033, 1157, 1236, 1236, 1365, 1444, 1473, 1474, 1482,

1550, 1560, 1706, 1744) :

“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan suatu termaktub kewajiban si

berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk

merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat

penyerahan”.

2. Pasal 1236 (jo. Pasal-pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391, 1444, 1480) ;

“ Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga

(29)

untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna

menyelamatkannya”.

3. Pasal 1504 (Jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504, s.d 1511).

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang

yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang

dimaksud itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama

sekali tidak akan selain dengan harga yang kurang”.

Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas jelas masih terlalu

umum untuk mengantisipasi perkembangan bidang hukum perdata yang sangat

dinamis itu. Dinamika yang diamati, misalnya, dari makin banyaknya

bentuk-bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak (individu dan individu, atau

lembaga-lembaga, atau individu dan lembaga). Dinamika hukum perdata ini

disadari pula oleh perancang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada abad

ke-19, antara lain dengan mencantumkan kriteria perjanjian yang bernama

(beneomd, specified) dan tidak bernama (onbenoemd, unspecified).

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai sebutan tersendiri,

yakni yang diatur atau diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian bernama ini diatur dalam Bab V

sampai dengan Bab XVIII (dan juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang). Diluar adalah perjanjian tidak bernama. Dapat dibayangkan, betapa

(30)

Adapun azas kebebasan berkontrak mendorong pihak-pihak yang terlibat

dalam hubungan keperdataan melakukan inovasi jenis-jenis perjanjian baru.

Perjanjian sewa beli, misalnya, merupakan jenis perjanjian yang termasuk

perjanjian tidak bernama menurut versi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian ini merupakan

faktor sangat penting, walaupun bukan faktor mutlak yang harus ada. Dalam

perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, pernah ada suatu kurun waktu

yang menganggap unsur perjanjian mutlak harus ada lebih dahulu, barulah

konsumen dapat memperoleh perlindungan yuridis dari lawan sengketa.

Pandangan prinsipil seperti itu saat ini perlu ditinjau kembali.

Adanya hubungan hukum berupa perjanjian tentu saja sangat membantu

memperkuat posisi konsumen dalam berhadapan dengan pihak yang merugikan

hak-haknya. Perjankian ini perlu dikemukakan karena merupakan salah satu

sumber lahirnya perikatan.

Perikatan yang berhubungan dengan kepentingan ekonomis ini disebut

dengan “perutangan”. Kata perutangan ini menunjukan adanya hubungan hukum

yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam lapangan harta

kekayaan. Pengaturan perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

merupakan pengaturan secara umum saja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1319

KUHPerdata “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun

yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan umum

(31)

dan bab yang lalu” adalah bab II tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari

perjanjian dan bab I tentang perikatan-perikatan pada umumnya.

Pengaturan yang bersifat umum tersebut dengan demikian juga mengikat

perikatan-perikatan yang dibuat dalam dunia perdagangan, khususnya yang diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang “Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang ini,

sekedar dari dalam Kitab Undang-Undang ini tidak diatur secara khusus

menyimpang. “Anak kalimat terakhir dari pasal tersebut mengisyaratkan

berlakunya asas “lex specialis derogate lege generalis” (peraturan yang khusus

mengeyampingkan peraturan yang umum).

Perikatan dapat terjadi karena dua sebab, yaitu karena adanya perjanjian

dan karena adanya undang-undang (pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata). Dua pengertian ini sangat mempengaruhi perlindungan dan penyelesaian

sengketa hukum yang melibatkan kepentingan konsumen didalamnya. Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menerima dan mengatur dua sumber perikatan

ini.

Dalam perikatan karena perjanjian, para pihak bersepakat untuk

mengikatkan diri melaksanakan kewajiban masing, dan untuk itu

masing-masing memperoleh hak-haknya. Kewajiban para pihak tersebut dinamakan

prestasi. Pihak yang menikmati prestasi disebut dengan kreditur, dan yang wajib

menunaikan prestasi dinamakan debitur. Dengan demikian, dalam transaksi

konsumen, baik produsen maupun konsumen, keduanya dapat saja berdiri dalam

(32)

Agar perjanjian itu memenuhi harapan kedua pihak, masing-masing perlu

memiliki iktikad baik untuk memenuhi prestasinya secara bertanggung jawab.

Hukum disini berperan untuk memastikan bahwa kewajiban itu memang

dijalankan dengan penuh tanggung jawab sesuai kesepakatan semula. Jika terjadi

pelanggaran dari kesepakatan itu, atau yang lazim disebut dengan wanprestasi,

maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhannya berdasarkan perjanjian

tersebut. Penentuan ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Selain perjanjian, sumber perikatan lainnya adalah undang-undang.

Perikatan yang timbul karena undang-undang ini dibedakan dalam pasal 1352

KUHPerdata menjadi : (1) perikatan yang memang ditentukan oleh

Undang-Undang, (2) perikatan yang timbul karena perbuatan orang. Kriteria perikatan

yang timbul karena perbuatan orang ini ada yang (1) memenuhi ketentuan hukum.

Disebut perbuatan menurut hukum, (2) pembayaran tanpa hutang. Yang diatur

dalam pasal 1359 sampai pasal 1364.

Dalam kaitan dengan hukum perlindungan konsumen, kategori kedua,

yaitu perbuatan melawan hukum, sangat penting untuk dicermati lebih lanjut

karena paling memungkinkan untuk digunakan oleh konsumen sebagai dasar

yuridis penentuan terhadap pihak lawan sengketanya.

2. Hukum Pidana

Pengaturan hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum

terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di Indonesia penerepannya

(33)

van strafrecht voor naderlandsch-Indie. Hukum pidana sendiri termasuk dalam

kategori hukum publik. Dalam kategori ini termasuk pula hukum administrasi

negara, hukum acara, dan hukum internasional. Diantara semua aspek hukum

publik itu, yang paling banyak menyangkut perlindungan konsumen adalah

hukum pidana dan hukum administrasi negara.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut-sebut kata

“konsumen”. Kendati demikian, secara implicit dapat ditarik beberapa pasal yang

memberikan perlindungan hukum bagi konsumen antara lain :

1. Pasal 204 “ Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau

membagi-bagikan barang, yang diketahui membahayakan itu tidak diberitahukan,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Jika perbuatan

mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara

paling lama lima belas tahun.

2. Pasal 205 “ Barang siapa karena kealpaannya menyabebkan bahwa

barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan

atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli

atau memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan

bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga

ratus rupiah”. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah

dikenakan penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurung paling

(34)

3. Pasal 359 “ Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang

lain, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling

lama satu tahun ( LN 11906 No.1).

4. Pasal 360 “ Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain

mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

atau kurungan paling lama satu tahun. Barang siapa dengan kealpaannya

menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit

atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu

tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau

kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

5. Pasal 382 “ Barang siapa menjual, menawarkan, atau menyerahkan makanan,

minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan

menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat

tahun”.

6. Pasal 382 bis “ Barang siapa yang mendapatkan, melangsungkan atau

memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang

lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau

orang tertentu diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi

konkiren-konkoren orang lain itu, karena persaingan curang, dengan pidana penjara

paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus

(35)

7. Pasal 383 “ Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat

bulan, seorang penjual yang berbuat curang, terdapat pembeli : (1) karena

sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2)

mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan

menggunakan tipu muslihat”.

8. Pasal 390 “ Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong

yang menyebabkan harga barang dagangan, dana-dana atau surat berharga

menjadi turun atau naik, diancam pidana pejara paling lama dua tahun

delapan bulan”.

Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali

ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Tentu saja

konsekuensi lain adalah mengartikan perbuatan melawan hukum

(wederrechetlijke daad) dilapangan hukum pidana tidak seleluasa dilapangan

hukum perdata. Putusan-putusan pengadilan berkaitan dengan perluasan

penafsiran tentang perbuatan. Melawan hukum memang juga mempengaruhi

pemikiran para ahli hukum pidana. Vost, misalnya menganut pemikiran agar

dalam hukum pidana pun unsur perbuatan melawan hukum ditafsirkan secara

luas. Sehingga menjadi perbuatan yang oleh masyarakat tidak diperbolehkan,

tidak sekedar yang oleh Undang-Undang dilarang. Cara berfikir Vost ini disebut

(36)

pidana dapat kehilangan sifat melawan hukumnya hanya jika ada peraturan

(minimal) setingkat dengan itu (misalnya sama-sama Undang-Undang).17

3. Hukum Administrasi Negara

Seperti halnya hukum pidana, hukum admministrasi Negara adalah

instrument hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen.

Sanksi-sanksi hukum secara pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai Sanksi-sanksi

administrative. Sanksi administrative tidak ditunjukan pada konsumen pada

umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik produsen maupun para penyalur

hasil-hasil produknya. Sanksi admninistrative berkaitan dengan perizinan yang

diberikan pemerintah kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi

pelanggaran, izin-izin tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah.

Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari

produsen/penyalur. Produksi ini diartikan secar luas, dapat berupa barang dan

jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi

konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Campur tangan

administrative Negara idaelnya harus dilatarbelakangi iktikad melindungi

masyarakat luas dari bahaya.

Sanksi administrasi ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi

perdata atau sanksi pidana. Ada berupa alasan untuk mendukung pernyataan ini.

Pertama, sanksi administrative dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak izin tidak perlu meminta

17

(37)

terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan, kalau itu dibutuhkan mungkin

dari instansi-instansi pemerintah terkait. Sanksi adminitratif juga tidak perlu

melalui proses pengadilan. Memang, banyak pihak yang tekena sanksi ini dibuka

kesempatan untuk membela diri, antara lain mengajukan kasus tersebut

kepengadilan tata usaha Negara, tetapi sanksi itu senidri dijatuhkan terlebih

dahulu, sehingga berlaku efektif. Kedua, sanksi perdata dan/atau pidana

terkadang tidak membawa efek jera pada pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana

yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang

diraih dari perbuatan negatif produsen.

Dalam lapangan hukum adminitrasi Negara, perlindungan yang diberikan

biasanya lebih bersifat tidak langsung, prefentif dan proaktif. Pemerintah biasanya

mengeluarkan berbagai ketentuan normatif yang membebani pelaku usaha dengan

kewajiban tertentu. Walaupun sasaran langsungnya kepada pelaku usaha, tetapi

dampak positif dari kebijakan itu sebenarnya ditujukan kepada konsumensebagai

warga masyarakat terbesar.

Karena pemerintah sebagai instansi pengeluar perizinan, maka dalam

bidang administrasi, pemerintah berwenang meninjau kembali setiap izin yang

dinilai disalahgunakan. Hal ini berarti, sanksi administrative juga dapat bersifat

(38)

D. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Prof. Hans W. Micklitz,18

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

dalam perlindungan konsumen secara

garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat

komplementer, yaitu kewajiban yang mewajibkan pelaku usaha memberikan

informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua,

kebijakan kompenstoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap

kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan).

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting

dalam hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung

jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau

liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum namun berlaku dalam

hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan

1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru

dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika unsur kesalahan

yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHperdata, yang lazim disebut sebagai pasal

tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur

pokok, yaitu (1). Adanya perbuatan, (2). Adanya unsur kesalahan, (3). Adanya

kerugian yang diderita, (4). Adanya hubungan kualitas dan kerugian.

18

(39)

Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan

hukum. Pengertia “hukum” tidak hanya bertentangan dengan undang-undang,

tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara,

yakni asas audi et alteram pertem atau asas kedudukan yang sama antara semua

pihak yang berperkara. Disini hakim harus memberi para pihak beban yang

seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama

untuk memenangkan perkara tersebut.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak

bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si Tergugat. Tampak beban

pembuktian terbalik (omkering van bewejslast) diterima dalam prinsip tersebut.

UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan

dalam pasal 19, 22, 23 (lihat ketentuan Pasal 28 UUPK).

Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah

seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan

sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan azas hukum praduga tidak bersalah

(presumption of Inconcence) yang lazim dukenal dalam hukum. Namun, jika

diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika

digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu

(40)

bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidaklah berarti dapat

sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai Pengugat selalu

terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia tinggal menunjukan

kesalahan si Tergugat.

3. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk

tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability principle) hanya

dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan

demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan

prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula

para ahli yang membedakan kedua termologi diatas. Ada pendapat yang

menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan

kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada

pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskannya dari tanggung jawab,

misalnya keadaan force majure. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip

tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena :

(1). Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya

(41)

(2). Waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau

menambah komponen biaya tertentu pada harga pokoknya.

(3). Asas ini dapat memaksa produsen lain berhati-hati.

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (lilmitation of liability

principle) sangat disenagi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul

eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak

film misalnya, ketentuan film yang dicuci cetak film misalnya, ditentukan bila

film yang dicuci cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas),

maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sepuluh kali harga satu rol film

baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan

secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku

usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan

konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada

pembatasan mutlak harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas.19

E. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen

Apabila kita mendengar kata melindungi, perlindungan maka biasanya

yang dilindungi itu adalah hak dan kepentingan, maksudnya adalah hal-hal atau

kepentingan mana saja dari konsumen yang dilindungi.

19

(42)

Mengenai kepentingan konsumen yang harus dilindungi ini lebih rinci

termuat dalam resolusi PBB Nomor 2111 tahun 1978. Kemudian pada 16 April

1985 dengan resolusi Nomor A / RES / 38 / 248, dimana diserukan penghormatan

terhadap hak-hak konsumen, dalam Guidelines for consume protection, bagian II

(General Principles) pada angka 3 digariskan kepentingan konsumen (legatimate

needs) itu adalah :

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap keselamtan dan

keamanan.

b. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan

mereka kemampuan melakukan pilihan yang tepat dan sesuai.

d. Pendidikan konsumen

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif

f. Kebiasaan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya

yang relevan untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan

keputusan yang menyangkut kepentingan bersama.

Untuk memudahkan dan mendasarkan diri pada pemahaman umum

masyarakat tentang kepentingan mereka yang harus dilindungi itu sebagai

konsumen maka bahan tentang kepentingan konsumen ini dilakukan dengan

mengunakan pengelompokan bentuk lain yaitu :

a. Kepentingan fisik

b. Kepentingan sosial ekonomi

(43)

ad.1. Kepentingan Fisik Konsumen

Maksud dari kepentingan fisik konsumen disini adalah kepentingan badan

konsumen yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan atau

jiwa mereka dalam menggunakan barang atau jasa konsumen, dan dalam setiap

perolehan barang dan atau jasa konsumen tersebut dan memberikan manfaat

baginya baik tubuh dan jiwanya.

Apabila perolehan barang dan atau jasa menimbulkan kerugian berupa

gangguan kesehatan badan atau ancaman pada keselamtan jiwanya maka

kepentingan fisik konsumen dapat terganggu. Misalnya : pembelian sebuah

kompor, dimaksidkan agar dengan alat tersebut dapat dimasak makanan yang

merupakan kebutuhan konsumen dan keluarganya, kepentingan fisik konsumen

akan terganggu kalau kompor tadi, karena tidak memenuhi standar dalam

penggunaanya mengakibatkan rumah terbakar dan atau cideranya fisik konsumen

yang bersangkutan.

ad.2. Kepentingan Sosial Ekonomi

Untuk kepentingan sosial ekonomi ini dimaksudkan agar setiap konsumen

dapat memperoleh hasil optimal dari penggunaan sumber ekonomi mereka dalam

mendapatkan barang dan atau jasa kebutuhan hidup mereka, oleh karena itu

tentunya konsumen harus mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung

jawab tentang produk konsumen tersebut yaitu informasi yang informative

tentang segala sesuatu kebutuhan hidup yang diperlukan. Untuk dapat mengerti

produk konsumen yang disediakan, tersedianya upaya penggantian kerugian

(44)

membentuk organisasi atau kelompok-kelompok yang diikutsertakan dalam setiap

proses pengambilan keputusan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan

konsumen maka konsumen pun harus memperoleh pendidikan yang relevan.

ad.c. Kepentingan Perlindungan Hukum

Di dalam peraturan perundang-undangan positif kita secara tidak langsung

telah memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur dan/atau melindungi konsumen,

tetapi pada kenyataannya mengandung kendala tertentu yang menyulitkan

konsumen.

Kendala itu adalah :

1. Hambatan bagi konsumen terjadi karena peraturan perundang-undangan

dimaksud diterbitkan bukan untuk tujuan khusus mengatur dan atau

melindungi konsumen. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan

konsumen hanyalah sekedar sampiran saja dari pokok permasalahan yang

diatur, baik itu yang menyangkut masalah keperdataan, administrasi maupun

masalah pidana termasuk hukum-hukum acara yang berkaitan dengan itu.

Contoh dalam pasal 42 ayat 2 Sub b UU Penyiaran UU No.24 Tahun 1997,

mengatakan dilarang iklan niaga yang memuat promosi barang dan jasa yang

berlebih-lebihan dan menyesatkan, baik mengenai mutu, asal, isi, ukukran,

sifat, komposisi maupun keaslian, selanjutnya pasal 63 UU tersebut

menyatakan bahwa Pemerintah mengenakan sanksi administrasi atas

pelanggaran terhadap beberapa pasal dari UU tersebut termasuk pelanggaran

terhadap pasal 42 ayat 2 Sub b. Dari Pasal-pasal ini jelas bahwa UU

(45)

usaha, sedangkan dalam UU penyiaran ini tidak diatur bagaiman

perlindungan terhadap kepentingan konsumen, bila pelaku usaha melanggar

pasal 42 ayat 2 Sub b tersebut.

2. Bahwa hukum acara yang berlaku tidak mudah untuk dimafaatkan konsumen

untuk menyelesaikan masalahnya karena dirugikan pelaku usaha tersebut,

karena belum biasanya dilaksanakan proses pengadilan yang sederhana, cepat

dan biaya murah, sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 (Undang-Undang Pokok Kehakiman).

Berbagai kepentingan konsumen seperti yang disepakati bersama anggota

PBB, memerlukan prasarana dan sarana hukum untuk dapat diwujudkan bagi

(46)

BAB III

KONSUMEN PERUMAHAN DAN DEVELOPER

A. Pengertian Konsumen Perumahan

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Konsumen perumahan mewah, sederhana dan kalangan kelas-kelas kecil.

Selain membeli untuk tinggal, mereka juga mengharapkan adanya pencapaian

kepuasan. Oleh karena itu didalam memasarkan perumahan para pengembang

harus mampu menciptakan kepuasan bagi para konsumennya. Dengan demikian

para developer harus memberikan pelayanan yang lebih maksimal kepada seluruh

konsumen perumahan mewah, sederhana dan kalangan kelas-kelas kecil.

Untuk mampu menciptakan kepuasan konsumen tersebut, para

pengembang perlu memiliki suatu strategi pemasaran yang jitu dalam

memasarkan produknya, karena strategi pemasaran juga merupakan alat

fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan

mengembangkan keunggulan bersaing yang digunakan untuk melayani pasar

sasaran.

B. Pengertian Developer

Developer adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi

(47)

pengalihan hak atas produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui

proses yang telah ditentukan.

Developer adalah juga sebagai badan usaha yang berbadan hukum,

mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada

pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Salah satu bentuk strategi pemasaran yang mampu mendukung dalam

memasarkan perumahan untuk mencapai kepuasan konsumen adalah pengunaan

marketing mix (bauran pemasaran).

Marketing mix (bauran pemasarran) merupakan seperangkat alat

pemasaran yang digunakan untuk mencapai tujuan pemasaran dalam pasar

sasaran. Secara umum, bauran pemasaran menekankan pada pengertian suatu

strategi yang mengintegrasikan produk (product), harga (price), promosi

(promotion), dan distribusi (place), dimana kesemuanya itu diarahkan untuk dapat

menghasilkan omset penjualan yang maksimal atas produk yang dipasarkan

dengan memberikan kepuasan kepada para konsumen. Sejalan dengan semakin

kompetitifnya dunia bisnis, 4-P yaitu product, place, price, promotion,

participant, physical evidence dan process.

Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, maka bauran pemasaran dapat

meliputi produk, harga, lokasi, promosi, dan bukti fisik. Degan demikian, faktor

yang dalam bauran pemasaran merupakan variabel-variabel yang diharapkan

mampu menciptakan kepuasan konsumen, atau dengan kata lain variabel-variabel

(48)

Pembangunan perumahan untuk kelompok masyarakat menengah keatas

cenderung dilakukan oleh para pengembang swasta, dimana mereka lebih

menekan pada profit orientied. Untuk mencapai tujuan tersebut, penekanan pada

daya tarik bentuk rumah yang mereka bangun lebih diutamakan. Hal terebut

dilakukan dengan mengunakan para konsultan pembangunan perumahan,

sehingga perumahan yang mereka bangun mampu menghasilkan bentuk yang

menarik konsumen untuk membelinya. Sedangkan beberapa hal seperti

konstruksi, sarana jalan, saluran, dan fasilitas-fasilitas umum yang seharusnya ada

dalam kompleks perumahan yang mereka bangun, cenderung diabaikan. Dengan

demikian, ketidakpuasan konsumen mungkin akan muncul setelah membeli

rumah yang dipasakan oleh para pengembang. Bertitik tolak pada paparan yang

telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pola pikiran yang berkembang dalam

pembelian rumah di era sekarang ini, terutama untuk rumah kelas menengah

keatas adalah bahwa rumah tidak hanya sebagai tempat berlindung, namun juga

berfungsi sebagai tempat tinggal yang nyaman, sehat, bahkan estetika menjadi

bahan pertimbangan mereka dalam pembelian rumah.

Dengan demikian, para pengembang harus mampu memberikan pelayanan

yang optimal untuk memberikan kepuasan pada konsumennya. Oleh karena itu,

selain faktor teknis, para pengembang perlu mengetahui dan mengerti prilaku

konsumen dalam memasarkan produknya. Karena dengan mempelajari prilaku

konsumen para pengembang akan banyak memperoleh informasi tentang

(49)

sekaligus menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang

mendahului tindakan ini.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen Perumahan

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu : (1). Hak

untuk mendapatkan keamanam (the right to safety), (2). Hak untuk mendapatkan

informasi (the right to be informed), (3). Hak untuk memilih (the right to choose),

(4). Hak untuk didengar (the right to be heard).

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,

organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International

Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak,

sepertu hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian,

dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun tidak semua

oeganisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka bebas

untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya memutuskan untuk

menambah satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak

mendapatkan lingkungan yang sehat dan baik sehingga keseluruhannya dikenal

sebagai panca hak konsumen. Ada delapan hak secara eksplisit dituangkan dalam

Pasal 4 UUPK, sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka.

Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen

yang dirurmuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khusus dalam Pasal 7 yang

(50)

antinomy dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai

hak konsumen.

Akhirnya, jika hak-hak tersebut disusun secara sistematis (mulai dari yang

diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut :

1. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan

Konsumen berhak mendapatkan kewenagan dari barang dan jasa yang

ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan

jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan secara jasmani dan rohani.

Hak untuk memperoleh keamanan itu penting ditempatkan pada kedudukan

utama, karena selam berabad-abad berkembang suatu falsafah berfikir bahwa

konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku

usaha.

Dalam barang dan/atau jasa yang dihasillan dan dipasarkan oleh pelaku

usaha beresiko sangat tinggi terhadap kemanan konsumen, maka Pemerintah

selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat. Satu hal yang harus

diperhatikan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah

fasilitas umum yang memenuhi syarat yang ditetapkan.

2. Hak untuk mendapatkan informasi yang jelas

Setiap produk yang dikenalkan kepada konsumen harus disertai dengan

informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai

Referensi

Dokumen terkait

Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Pintrich, 2003, Santrock, 2007, Brophy 2004). mahasiswa yang memiliki

Klausula eksonerasi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dilarang (pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Pencantuman

Sedangkan yang dimaksud dengan konsumen menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berbunyi “Setiap orang pemakai

Part 1 , Pythonic Classes via Special Methods : This part looks more deeply at object- oriented programming techniques and how we can more tightly integrate the class definitions

Kegiatan kelompok BKR Percontohan ini sangat penting sehingga terjadi komunikasi antara remaja dengan orang tua tentang kesehatan reproduksi yang selama ini belum

[r]

Analisis menunjukkan bahwa Kampung Bustaman memiliki kearifan lokal berwujud aktivitas ekonomi yang telah termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat serta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui positioning empat merek cosmetic lokal berlabel halal yang terkenal yaitu, Wardah Cosmetics, La Tulipe, Zoya Cosmetics, dan Sari