BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN KONSUMEN DAN KLUSULA BAKU
A. Tinjauan Umum Tentang Pembiayaan Konsumen
1. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Pembiayaan Konsumen
Lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia dimulai pada tahun 1988,
yaitu dengan dikeluarkannya Keppres No 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga
Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No 1251/KMK.013/1988 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua keputusan
inilah yang merupakan titik awal dari sejarah perkembangan pengaturan
pembiayaan kosumen sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia.86
Pembiayaan konsumen dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
(consumer finance). Pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis kredit konsumsi (consumer credit). Hanya saja, jika pembiayaan konsumen dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara kredit konsumen diberikan oleh bank87
Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan apabila ada seseorang yang
menginginkan barang-barang konsumen seperti mobil, sepeda motor, televisi,
lemari es, dan lain sebagainya, sementara penghasilannya tidak cukup untuk Adapun yang dimaksud dengan pembiayaan konsumen menurut Pasal 1
angka (7) Pepres No. 9 Tahun 2009 tentang lembaga pembiayaan (consumer finance) adalah “kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.”
86
Sunaryo, Op.cit., hal. 98
87
membayar secara tunai dan lunas barang-barang tersebut, maka dapat
menggunakan alternatif pembiayaan dengan sistem pembiayaan kosumen.
Lembaga pembiayaan konsumen (consumers finance) ini bertujuan membantu seseorang untuk mendapatkan barang-barang konsumsi tersebut dengan
memberikan kemudahan-kemudahan melebihi kemudahan yang diberikan oleh
bank.88
Lahirnya pemberian kredit dengan sistem pembiayaan konsumen ini bukan
akibat dari pengadopsian secara langsung dari pranata hukum dari luar negeri.
Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang dari lahirnya pembiayaan
konsumen di Indonesia, antara lain: 89
a. Bank-bank kurang tertarik/tidak cukup dalam menyediakan kredit
kepada konsumen, yang umumnya merupakan kredit-kredit berukuran
kecil. Padahal jika dilihat dari fakta di masyarakat, sebagian besar dari
masyarakat Indonesia membutuhkan pembiayaan untuk hal-hal yang
menyangkut kebutuhan dalam rumah tangga, hal ini disebabkan
pendapatan sebagian besar masyarakat yang terbatas sehingga tidak
mampu untuk membeli barang ekonomis secara lunas dan tunai.
b. Sumber dana yang formal lainnya banyak keterbatasan atau sistemnya
yang kurang fleksibel atau tidak sesuai dengan kebutuhan. Misalnya
apa yang dilakukan oleh Perum Pegadaian, disamping daya
jangkauannya yang terbatas, tetapi juga mengharuskan penyerahan
sesuatu sebagai jaminan. Ini sangat memberatkan bagi masyarakat.
88
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hal. 117
89
Ketidakfleksibelan sistem yang diberlakukan oleh para penyedia
sumber dana membuat sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki
sesuatu untuk dijaminkan menjadi kehilangan kesempatan untuk
membeli suatu barang, sehingga perputaran uang menjadi terbatas pula.
c. Sistem pembayaran informal seperti yang dilakukan oleh para lintah
darat atau tengkulak dirasakan sangat mencekik masyarakat
dikarenakan seringkali bunga yang diberlakukan oleh para lintah darat
atau tengkulak tersebut diatas batas kewajaran. Sehingga sistem seperti
itu sangat dibenci dan dianggap riba, dan banyak negara maupun agama
melarangnya.
d. Sistem pembiayaan formal lewat koperasi, seperti Koperasi Unit Desa
(KUD) ternyata juga tidak berkembang seperti yang diharapkan.
Sebenarnya KUD merupakan salah satu pembiayaan yang baik jika
perkembangannya maju. Hal ini dikarenakan KUD dalam
melaksanakan kegiatan menjunjung tinggi asas gotong- royong dan
kekeluargaan, sehingga pembiayaan yang dilakukan akan memberikan
kemudahan bagi masyarakat.
Mengingat faktor - faktor yanng disebut diatas, maka dalam prakteknya
mulailah dicari suatu sistem pendanaan yang mempunyai sistem dan kondisi yang
lebih fleksibel dan tidak jauh berbeda dengan sistem perkreditan biasa, tetapi
menjangkau masyarakat luas selaku konsumen. Maka mulailah dikembangkan
sistem yang kemudian disebut “pembiayaan konsumen” ini.90
90
2. Pengaturan Pembiayaan Konsumen di Indonesia
Pengaturan Pembiayaan Konsumen di Indonesia awalnya di atur dalam
Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan
Konsumen, tetapi Keputusan Presiden itu sudah dicabut dan diganti dengan
Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, namun
untuk peraturan pelaksana yang dikeluarkan dalam bentuk Surat Keputusan
Menteri Keuangan, selama tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini tetap
berlaku sebagai dasar hukum yang mengatur tentang Lembaga Pembiayaan,
khususnya Pembiayaan Konsumen.91
a. Dasar Hukum Substantif
Akan tetapi untuk perundang-undangan
yang mengatur secara khusus mengenai praktek pembiayaan konsumen
(consumers finance) belum ada sampai saat ini, sehingga dalam pelaksanaan kegiatannya perusahaan pembiayaan konsumen hanya berpedoman kepada
kebijaksanaan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang ada.
Dasar hukum dari lembaga pembiayaan konsumen dapat diklasifikasikan,
menjadi dasar hukum substantif dan dasar hukum administratif.
Adapun yang merupakan dasar hukum substantif eksistensi pembiayaan
konsumen adalah perjanjian di antara para pihak berdasarkan asas
“kebebasan berkontrak”. Yaitu perjanjian pembiayaan konsumen ini
dibuat berdasarkan asas – asas kebebasan berkontrak para pihak yang
membuat rumusan kehendak berupa hak dan kewajiban dari perusahaan
91
pembiayaan konsumen sebagai pihak penyedia dana (fund lender) dan konsumen sebagai pengguna dana (fund user).92 Sejauh yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, maka
perjanjian seperti itu sah dan mengikat secara penuh. Hal ini dilandasi
pada ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
menyatakan bahwa “suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.”93
b. Dasar Hukum Administratif
Seperti juga terhadap kegiatan lembaga pembiayaan lainnya, maka
pembiayaan konsumen ini mendapat dasar dan momentumnya dengan
dikeluarkannya Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang “Lembaga
Pembiayaan” yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri
Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang “Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan”. Dimana ditentukan bahwa salah
satu kegiatan dari lembaga pembiayaan tersebut adalah menyalurkan
dana dengan sistem yang disebut “Pembiayaan Konsumen”.
Meskipun dalam praktek operasional pembiayaan konsumen ini mirip
dengan kredit konsumsi yang sering dilakukan oleh bank, hakikat dan
keberadaan perusahaan finansial yang sama sekali berbeda dengan
bank, sehingga secara substantif yuridis tidak layak diberlakukan
peraturan perbankan kepadanya. Secara yuridis formal, karena
92
Sunaryo, Op.cit., hal. 98
93
perusahaan pembiayaan tersebut bukan bank, maka kegiatannya tidak
mungkin tunduk kepada peraturan perbankan.
Sektor hukum memang harus dapat mengikuti perkembangan ekonomi
yang sedang berlangsung. Selama ini kelemahan utama bidang hukum
yang sering dihadapi oleh pelaku ekonomi di Indonesia adalah masalah
ketidakpastian hukum. Padahal kepastian hukum juga dibutuhkan untuk
memperhitungkan atau mengantisipasi resiko.94
3. Para Pihak dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
a. Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Kreditur)
Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha berbentuk PT
atau koperasi yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan
barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran
angsuran atau berkala oleh konsumen. Perusahaan tersebut
menyediakan jasa kepada konsumen dalam bentuk pembayaran harga
barang secara tunai kepada supplier. Antara perusahaan dan konsumen harus ada terlebih dahulu kontrak pembiayaan konsumen yang sifatnya
pemberian kredit. Dalam kontrak tersebut, perusahaan wajib
menyediakan kredit sejumlah uang kepada konsumen sebagai harga
barang yang dibelinya dari supplier, sedangkan pihak konsumen wajib membayar kembali kredit secara angsuran kepada perusahaan
tersebut.95
94
Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo : Mas Media Buana Pustaka, 2009), hal. 21-22
95
Kewajiban pihak-pihak dilaksanakan berdasarkan kontrak pembiayaan
konsumen. Sejumlah uang dibayarkan tunai kepada supplier untuk kepentingan konsumen. Pihak konsumen wajib membayar secara
angsuran sampai lunas kepada perusahaan sesuai dengan kontrak
selama angsuran belum dibayar lunas, maka barang milik konsumen
tersebut menjadi jaminan hutang secara fidusia.96
b. Konsumen (Debitur)
Konsumen adalah pihak pembeli barang dari supplier atas pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. konsumen
tersebut dapat berstatus perorangan dapat pula badan hukum. Dalam hal
ini ada 2 (dua) hubungan kontraktual yaitu :
1) Perjanjian pembiayaan yang bersifat kredit antara perusahaan dan
konsumen
2) Perjanjian jual beli antara supplier dan konsumen yang bersifat tunai
Pihak konsumen umumnya masyarakat karyawan, buruh tani, yang
berpenghasilan menengah kebawah yang belum tentu mampu bila membeli
barang kebutuhannya itu secara tunai. Dalam pemberian kredit ini, resiko
menunggak angsuran merupakan hal yang biasa terjadi. Oleh karena itu,
pihak perusahaan dalam pemberian kredit kepada konsumen masih
memerlukan jaminan terutama jaminan fidusia atas barang yang dibeli itu,
di samping pengakuan hutang dari pihak konsumen.
96
Dalam perjanjian jual beli antara supplier dan konsumen, pihak supplier
menetapkan syarat bahwa harga barang akan dibayar oleh pihak ketiga
yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Apabila karena alasan apapun,
perusahaan tersebut melakukan wanprestasi, yaitu tidak melakukan
pembayaran sesuai dengan kontrak, maka jual beli antara supplier dan konsumen akan dibatalkan. Dalam perjanjian jual beli, pihak supplier
(penjual) menjamin barang dalam keadaan baik, tidak ada cacat
tersembunyi.97
c. Supplier / Dealer
Supplier / dealer adalah pihak penjual barang kepada konsumen atas pembayaran oleh pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen.
Hubungan kontraktual antara supplier dan konsumen adalah jual beli bersyarat. Syarat yang dimaksud adalah pembayaran dilakukan oleh
pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. antara
perusahaan pembiayaan dan konsumen terdapat hubungan kontraktual,
dimana konsumen wajib membayar harga barang secara angsuran
kepada perusahaan pembiayaan konsumen yang telah melunasi harga
barang tersebut secara tunai kepada supplier / dealer.98
Antara perusahaan pembiayaan dan supplier tidak ada hubungan kontraktual, kecuali sebagai pihak ketiga yang diisyaratkan. Oleh
karena itu, apabila perusahaan pembiayaan melakukan wanprestasi,
padahal kontrak jual beli dan kontrak pembiayaan telah selesai
97
Sunaryo, Op.Cit., hal. 105
98
dilaksanakan, maka jual beli bersyarat tersebut dapat dibatalkan oleh
supplier.99
B. Tinjauan Umum mengenai Klausula Baku
1. Pengertian Klausula Baku
Tidak dapat disangkal, klausula baku marak digunakan dalam perjanjian,
khususnya perjanjian yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya
perjanjian parkir, asuransi, jual beli rumah, kredit perbankan, pengiriman barang,
kredit konsumen, sewa menyewa dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa
klausula baku lahir sebagai akibat munculnya pemasaran masal atas produk
maupun jasa.100
a. Apabila konsumen membutuhkan produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepadanya, maka setujuilah perjanjian dengan syarat-syarat baku yang disodorkan oleh pelaku usaha (take it);
Klausula baku umumnya dikenal sebagai ketentuan dengan syarat-syarat
yang telah disiapkan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha sehingga sudah tentu
lebih menguntungkan pelaku usaha sebagai pihak yang lebih kuat kedudukannya
sedangkan konsumen hanya dihadapkan pada 2 (dua) pilihan yaitu:
b. Apabila konsumen tidak menyetujui syarat-syarat baku yang ditawarkan tersebut maka jangan membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang bersangkutan (leave it).101
Pada tataran undang- undang, secara resmi, pengertian klausula baku
pertama kali dimuat dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), dalam Pasal 1 angka 10
Undang - Undang Perlindungan Konsumen menguraikan bahwa klausula baku
99
Ibid.
100
Ahmad Fikri Assegaf, Penjelasan Hukum (Restatement) tentang Klausula Baku, (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014), hal. 2
101
adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yanng mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen.”102
Memperhatikan rumusan definisi klausula baku tersebut, tampak
penekanannya lebih tertuju pada prosedur pembuatannya yang dilakukan secara
sepihak oleh pelaku usaha, dan bukan isinya.103 Berkenaan dengan prosedur
perbuatan ini sangat terkait dengan syarat sahnya perjanjian yaitu “kesepakatan
mereka untuk mengikatkan dirinya” sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Dalam penggunaan klausula baku, kebebasan untuk melakukan kontrak
serta pemberian kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan sebebas
dengan perjanjian yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan para pihak
dalam menegosiasi klausula perjanjian.104
2. Pengaturan Klausula Baku dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 18 ayat (1) UUPK, diatur mengenai larangan bagi pelaku
usaha untuk membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian, yang isinya antara lain:105
102
Ahmad Fikri Assegaf, Op.cit., hal. 6
103
Persoalan tentang isi klausula baku akan dipersoalkan dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
104
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., hal. 19
105
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelkau usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK dinyatakan bahwa “larangan
pembuatan atau pencantuman klausula baku tersebut dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan
prinsip kebebasan berkontrak.”
Kemudian dalam Pasal 18 ayat (2) UUPK disebutkan mengenai ketentuan
teknis dari pencantuman klausula baku yang isinya sebagai berikut: “Pelaku usaha
dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti”.106
106
Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 18 ayat (2)
Contohnya huruf-huruf yang (lebih) kecil, ditempatkan di bagian-
bagian yang sulit terlihat atau penyusunan kalimatnya sulit dipahami kecuali
UUPK berusaha untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat klausula
baku. Dalam penjelasan Pasal 18 UUPK, dikatakan bahwa:
“larangan untuk memasukkan klausula baku yang mengandung sesuatu yang akan mengakibatkan kerugian konsumen, dimaksudkan untuk menempatkan konsumen sejajar dengan pengusaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. UUPK memberikan batas agar klausula baku tidak dibuat hanya mementingkan pihak penyedia jasa saja.”
Dalam Pasal 18 ayat (3) UUPK diatur bahwa “setiap klausula baku yang
telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi
hukum”107 Pengertian batal demi hukum menurut Subekti adalah “dari semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan”.108
Kemudian dalam Pasal 18 ayat (4) dinyatakan bahwa “pelaku usaha wajib
menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan UUPK”.
Dengan berlakunya UUPK maka semua perjanjian yang dilakukan sejak
berlakunya UUPK tidak boleh mencantumkan klausula baku yang dilarang sesuai
dengan Pasal 18 UUPK. Bila tetap dicantumkan atau dibuat, maka
konsekuensinya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum. Jadi tujuan para
pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan
hukum adalah gagal.
109
107
Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 18 ayat (3)
108
Subekti (2), Op.cit., hal. 17
109
Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 18 ayat (4)
Dengan
berlakunya UUPK, para pelaku usaha yang telah mencantumkan klausula baku
yang bertentangan dengan Pasal 18 UUPK tersebut diwajibkan untuk
Pada prinsipnya, UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat
perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau
perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, sepanjang perjanjian
baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan kententuan
sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) serta tidak berbentuk sebagaimana
dilarang dalam Pasal 18 ayat (2) UUPK tersebut.110
3. Bentuk dan Ciri Klausula Baku
Penggunaan klausula baku
merupakan kebebasan individu pelaku usaha untuk menyatakan kehendaknya
dalam menjalankan usahanya. Dalam hal ini dimungkinkan dengan adanya
kebebasan berkontrak.
Bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan pencantuman atau pembuatan
klausula baku sesuai dengan Pasal 18 UUPK, maka sesuai dengan Pasal 62 ayat
(1) UUPK, ia dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah).
Berdasarkan pengertian klausula baku menurut UUPK, dinyatakan bahwa
klausula baku mempunyai ciri dan bentuk seperti:111
a. Dalam bentuk persyaratan-persyaratan
Klausula baku berbentuk syarat-syarat khusus, bersifat baku, merugikan
salah satu pihak (konsumen) yang termuat dalam suatu perjanjian,
berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda penjualan, kartu - kartu
tertentu, pada papan - papan pengumuman yang diletakkan di ruang
110
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit., hal. 86- 87
111
penerimaan tamu atau di lapangan, atau secarik kertas tertentu yang
termuat di dalam kemasan atau pada wadah produk bersangkutan.
Biasanya berbentuk tulisan dengan kalimat-kalimat, antara lain:
“barang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” (biasanya termuat pada
bon/kuitansi pembelian barang-barang dari toko dan/atau kedai), “ganti
rugi maksimum sepuluh kali ongkos pengiriman” (pada bon atau
kuitansi dari perusahaan transportasi pengangkut barang atau orang),
“barang-barang dalam mobil yang diparkir dan atau mobil hilang di
luar tanggung jawab kami” (biasanya pada penyedia tempat-tempat
parkir kendaraan bermotor), “barang-barang yang dijamin sesuai
dengan ketentuan-ketentuan tercantum pada surat/kartu garansi ini”,
dan sebagainya. Biasanya huruf yang digunakan kecil - kecil dan halus,
sehingga sulit diketahui, kecuali mereka yang telah memahami tentang
persoalannya.
4. Berlakunya Perjanjian dengan Klausula Baku
Perjanjian baku adalah salah satu bentuk format atau model perjanjian yang
merupakan sub sistem dalam sistem hukum perdata. Sebagai sub sistem hukum
perdata, maka isi perjanjian baku haruslah tunduk pada prinsip – prinsip
(asas-asas) hukum perjanjian dan norma - norma hukum perjanjian yang diatur dalam
Buku III KUH Perdata.112
112
Abdul Hakim Siagian, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan Asas Kepatutan Dalam Perlindungan Konsumen, (Medan : UMSU Press, 2014), hal. 6
Menurut ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang - Undang
memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata, yang mana perjanjian itu
setelah dibuat maka berlaku sebagai Undang - Undang bagi para pihak yang
membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak,
atau karena alasan - alasan yang cukup menurut Undang - Undang dan harus
dilaksanakan dengan iktikad baik.113
Perjanjian dengan syarat-syarat baku terjadi dengan berbagai cara. Sampai
saat ini berlakunya perjanjian dengan syarat-syarat baku itu antara lain dengan
cara-cara:
Hal tersebut diatas berlaku juga terhadap
perjanjian baku yahg merupakan suatu perjanjian.
114
a. Memuatnya dalam butir-butir perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak biasanya oleh kalangan pengusaha, baik itu produsen, distributor, atau pedagang eceran produk bersangkutan. Pokoknya disediakan oleh si penyedia barang atau jasa yang ditawarkan pada orang banyak (perhatikan kontrak-kontrak jual-beli, atau beli-sewa kendaraan bermotor, perumahan, alat-alat elektronik, dan lain- lain).
b. Dengan memuatnya dalam carik-carik kertas baik berupa tabel, kuitansi, bon, tanda terima barang atau lain-lain bentuk penjualan dan atau penyerahan barang (perhatikan pada carik kertas/bon/atau tanda penyerahan barang dari toko, kedai, supermarket, dan sebagainya). Dengan pembuatan pengumuman tentang berlakunya syarat-syarat baku di tempat - tempat tertentu, seperti di tempat-tempat parkir atau di hotel/penginapan dengan meletakkan atau menempelkan pengumuman itu di meja/ruang penerima tamu atau di ruang duduk kamar yang disewakan.
Ketentuan mengenai pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian
diatur pula oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pada prinsipnya
Undang - Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha
untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen
113
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
114
dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/ atau jasa, selama dan
sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan
ketentuan sebagaimana yang dilarang dalam pasal 18 ayat (1), serta tidak
“berbentuk” sebagaiman dilarang dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.115
C. Profil PT. Kembang 88 Multi Finance
PT. Kembang 88 didirikan pada tahun 2000 oleh Bapak Chandra Yahya,
awalnya Bapak Chandra Yahya memulai usahanya dibidang jual beli mobil bekas
pada tahun 1985 dengan nama usaha ‘Kembang Motor’ berstatus perorangan dan
berizin usaha trading kendaraan. Usaha tersebut mengalami peningkatan dengan hasil yang sangat memuaskan dari segi luasnya jangkauan dan penetrasi pasar dan
hasil operasional serta keuangan. 116
Sejalan dengan perkembangan peraturan pemerintah, pada tahun 2000
didirikan PT. Kembang 88, didirikan di Jakarta berdasarkan Akte Notaris
Ilmawan Dekrit Supatmo, Sarjana Hukum dengan akte nomor 28 tertanggal 20
Nopember 2000. Akte pendirian tersebut telah mendapat persetujuan Menteri Perkembangan usaha ‘Kembang Motor’ mengalami peningkatan, dengan
banyaknya permintaan pembelian kendaraan secara kredit dan mendapat
dukungan pihak perbankan, pada tahun 1999 mulai dirintis secara serius
pemberian fasilitas kredit angsuran kendaraan dengan sistem sewa beli.
115
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Op.cit., hal 57
116
Kehakiman Dan Hak Azazi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan
Nomor C- 24797HT.01.01.TH.2000, tertanggal 1 Desember 2000. Akte pendirian
tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan, akte nomor 20 tertanggal 23
Maret 2001 mengenai perubahan pasal 11 ayat 3 anggaran dasar perseroan dan
akte nomor 3 tertanggal 4 Juni 2002 mengenai perubahan susunan Direksi dan
Komisaris perseroan, kedua akte perubahan tersebut dibuat oleh notaris yang
sama.
Maksud dan tujuan perusahaan adalah menjalankan usaha dalam bidang
Leasing (Sewa Guna Usaha), Factoring (Anjak Piutang), Credit Card (Kartu Kredit) dan Consumer Finance (Pembiayaan Konsumen) yang di fokuskan bergerak dibidang Pembiayaan Konsumen khususnya untuk pembiayaan
kendaraan bermotor (Car Financing).
Dengan demikian secara garis besar Kembang 88 Group terbagi atas :117
1. PT. Kembang 88 Multifinance, bergerak dibidang Pembiayaan 2. Kembang Motor, bergerak di bidang trading mobil bekas
3. Summit Rental yang bergerak di bidang rental mobil dan angkutan
travel
PT. Kembang 88 , dengan jaringan kerja sebanyak 23 kantor cabang dan 3
kantor sub cabang, terbagi dalam 6 area kerja sebagai berikut :118
1. Area 1, Wilayah Sumatera
2. Area 2, Wilayah Jabodetabek
117
Hasil Wawancara dengan Hendro, Marketing Staff PT. Kembang 88 Multi Finance, Cabang Medan – Medan, tanggal 14 Oktober 2016
118
3. Area 3, Wilayah Jawa Barat
4. Area 4, Wilayah Jawa Tengah & DIY
5. Area 5, Wilayah Jawa Timur & Bali
6. Area 6, Wilayah Sulawesi & Kalimantan
Kembang Motor (KM88) mempunyai jaringan kerja sebanyak 10 outlet dealer, dengan area kerja :
1. Kembang Motor Kantor Pusat Jakarta – Bungur
2. Kembang Motor Cabang Jakarta – Bursa Mobil Kelapa Gading
3. Kembang Motor Cabang Jakarta – Pondok Gede
4. Kembang Motor Cabang Bogor – Dengan nama 3 R Motor
5. Kembang Motor Cabang Bandung – Dengan nama Permata Motor
6. Kembang Motor Cabang Cirebon
7. Kembang Motor Cabang Surabaya
8. Kembang Motor Cabang Medan
9. Kembang Motor Cabang Makassar
10.Kembang Motor Cabang Pare-pare
Sebagai perusahaan yang terus berkembang dalam satu kesatuan ‘Kembang
Group’ dalam menjalankan roda perusahaan dari segi manajemen, sistem,
prosedur dan pencatatan sudah dilakukan secara terpisah. dimana bagi PT.
Kembang 88 , Kembang Motor merupakan dealer rekanan yang sama seperti
dealer rekanan lainnya dan Summit Rental merupakan usaha untuk rental mobil
PT. Kembang 88 Multi Finance memiliki visi dan misi sebagai berikut :119 Visi :
“PT. Kembang 88 sebagai satu diantara yang terdepan di bidang jasa transportasi
darat di Indonesia dengan pelayanan yang terbaik dan harga yang kompetitif.”
Misi :
“Menjaga kepuasan pelanggan dengan menetapkan kualitas layanan yang bagus
dengan standard yang tinggi dari kepuasan pelanggan dan karyawan, memperoleh
kesetiaan pelanggan jangka panjang, serta selalu berusaha meningkatkan nilai
pemegang saham.”
119
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN (finance) DIKAITKAN
DENGAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengaturan Hubungan Hukum antara Konsumen dengan PT.
Kembang 88 Multi Finance dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Pada era globalisasi saat ini manusia dihadapkan oleh berbagai macam
kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya, hal ini disebabkan karena kemajuan
dibidang teknologi sehingga produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang satu
dengan perusahaan yang lain sangat bervariasi. Bagi masyarakat kelas atas
mungkin tidak ada masalah dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
seperti pangan, sandang, papan dan kebutuhan akan barang mewah. Berbeda
halnya dengan kalangan menengah dan bawah yang harus berusaha sekuat tenaga
untuk memenuhi kebutuhannya yang beragam, kondisi seperti di ataslah yang
menyebabkan tumbuh dan berkembangnya pembiayaan konsumen.
Pada dasarnya Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan pada Pasal 1 angka 7 adalah “kegiatan pembiayaan untuk pengadaan
barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran”.120
Pengadaan barang terhadap kebutuhan konsumen dengan cara pembayaran
secara angsuran tersebut sangat memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk
120
dapat memiliki barang konsumen yang dikehendakinya. Akan tetapi, untuk
menikmati fasilitas pembiayaan tersebut maka debitur harus terlebih dahulu
menyetujui berbagai syarat dan mengikuti prosedur yang telah ditentukan oleh
suatu lembaga pembiayaan konsumen.
PT. Kembang 88 Multi Finance, merupakan salah satu perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usahanya di bidang pembiayaan konsumen
(consumer finance) yang berfokus pada pembiayaan Kredit Kepemilikan Mobil (KPM). Kegiatan pembiayaan ini melalui sistem pemberian pembiayaan terhadap
kepemilikan mobil, yang pembayarannya oleh konsumen dapat dilakukan secara
angsuran atau berkala.121
Sebelum melakukan kegiatan pembiayaan, konsumen akan datang ke
perusahaan pembiayaan dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan
fasilitas pembiayaan yang diinginkan. Tahap awal dari proses permohonan
pembiayaan adalah debitur / konsumen biasanya sudah mempunyai usaha yang
baik dan atau mempunyai pekerjaan yang tetap, serta berpenghasilan yang
memadai. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh debitur / konsumen
untuk dapat mengajukan permohonan fasilitas pembiayaan konsumen, yaitu :122
1. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) calon peminjam
2. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami/isteri calon peminjam 3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
4. Kartu Keluarga/ Surat Nikah bagi konsumen yang telah menikah 5. Slip gaji atau Surat Keterangan Gaji (jika calon peminjam bekerja) 6. Rekening Listrik/ Rekening Telepon/ Rekening Air (PDAM) 7. Surat Keterangan lainnya yang diperlukan
121
Hasil Wawancara dengan Hendro, Marketing Staff PT. Kembang 88 Multi Finance, Cabang Medan – Medan, tanggal 18 November 2016
122
Setelah mengajukan permohonan fasilitas pembiayaan, debitur akan diikat
dengan sebuah kontrak. Kontrak akan melindungi proses bisnis para pihak,
apabila kontrak tersebut dibuat secara sah maka hal tersebut menjadi penentu pada
proses hubungan hukum selanjutnya.123
Salah satu bentuk perjanjian yang berkembang dan banyak dipergunakan
bagi pelaku bisnis dalam hubungan dengan konsumen adalah perjanjian
pembiayaan konsumen dalam bentuk yang baku / sudah standar. Pembakuan
syarat-syarat perjanjian merupakan mode yang tidak dapat dihindari bagi para
pelaku usaha, karena penggunaan perjanjian baku merupakan cara mencapai
tujuan ekonomis yang efisien, praktis, cepat serta tidak bertele-tele. Namun bagi
para ahli hukum khususnya yang berpandangan secara normatif, dalam perjanjian
yang memuat klausula baku, maka ada kecenderungan bahwa dalam proses
negosiasi pembuatan perjanjian tersebut tidak mengindahkan norma-norma asas
hukum perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Jo 1337 KUH
Perdata jika perjanjian itu dilakukan dalam bentuk standar.
124
Perjanjian pembiayaan konsumen terbagi atas perjanjian dengan akta
otentik dan perjanjian di bawah tangan, perjanjian akta otentik adalah “akta yang
dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang – undang, dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat di mana akta
dibuat.”125
123
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proposional Dalam Kontrak Komersial, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010), hal 156
124
Munir Fuady (2), Op.cit., hal. 113
125
Pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Perjanjian dengan akta dibawah tangan adalah “akta yang sengaja
Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan.”126
Dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia dikatakan bahwa jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu benda atau
lebih dari satu jenis benda, termasuk piutang baik yang telah ada pada saat
jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Maka dalam perjanjian
pembiayaan konsumen yang menjadi objek jaminan fidusia adalah kendaraan
yang spesifikasinya telah disebutkan pada awal perjanjian.
Akta di bawah
tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Untuk
akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh para
pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan.
Perjanjian Pembiayaan Konsumen pada PT. Kembang 88 Multi Finance, merupakan perjanjian hutang-piutang antara pihak PT. Kembang 88 Multi Finance dengan pihak yang terkait secara langsung dalam hal ini adalah konsumen, maupun pihak yang tidak terkait secara langsung, yaitu penyedia
barang (supplier) dan asuransi. Dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT. Kembang 88 Multi Finance juga terdapat perjanjian dengan penyerahan hak milik jaminan secara fidusia.
127
Pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia
dilakukan atas dasar kepercayan dengan cara constitutum possessorium yang artinya pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda kepada penerima fidusia
dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersbeut yang berakibat bahwa
126
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal.125
127
pemberi fidusia seterusnya akan menguasai benda dimaksud untuk kepentingan
penerima jaminan fidusia, yang pengalihannya harus didaftarkan kepada Kantor
Pendaftaran Fidusia.128
Pendaftaran fidusia yang diatur dalam Undang – Undang Jaminan Fidusia
No. 42 Tahun 1999 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap
para pihak yang terkait dalam fidusia. Karena sebelum keluarnya Undang –
Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 pendaftaran fidusia tidak
diwajibkan. Permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh pihak
penerima fidusia atau wakilnya atau kuasanya dengan melampirkan pertanyaan
Pendaftaran Jaminan Fidusia, hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Undang –
Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.129
1. Proses pendaftaran jaminan fidusia melakukan melalui kantor pendaftaran jaminan fidusia di Kanwil Departemen Hukum dan HAM (Kasubid Pendaftaran Jaminan Fidusia)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata
Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia,
prosedur pendaftaran jaminan fidusia secara manual dapat digambarkan sebagai
berikut :
2. Dalam pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia secara manual dokumen fisik yang harus di bawa adalah akta notariil jaminan fidusia berikut dokumen dokumen yang menyertai.
3. Setelah dokumen fisik pendaftaran jaminan fidusia dinyatakan lengkap maka notaris diwajibkan mengisi formulir pernyataan pendaftaran jaminan fidusia yang berdasarkan akta jaminan fidusia disertai uraian objek jaminan fidusia.
4. Setelah pengisian formulir pernyataan pendaftaran jaminan fidusia dinyatakan lengkap dan benar maka pihak KPF (Kantor Pendaftaran
128
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Cetakan 5, PT. Citra Aditya Bakti, (Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 191
129
Fidusia) mengeluarkan / mencetak sertipikat jaminan fidusia yang disertai dengan uraian objek jaminan fidusia.
5. Setelah itu ditandatangani oleh kepala kantor pendaftaran fidusia secara manual.
Dalam sistem administrasi pendaftaran Jaminan Fidusia secara manual
sudah tidak diberlakukan lagi seperti yang telah disampaikan dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU.06.OT.03.01 pada angka 2 (dua),
yaitu Kantor Pendaftaran Fidusia diseluruh Indonesia dalam menjalankan tugas
dan fungsinya tidak lagi menerima permohonan pendaftaran jaminan fidusia
secara manual dan turut menginformasikan kepada pemohon untuk melakukan
permohonan pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik.130
1. Menu pendaftaran digunakan untuk melakukan pengisian formulir pendaftaran jaminan fidusia
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 10 Tahun
2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Permohonan Jaminan Fidusia Secara
Elektronik disebutkan bahwa pertama-tama membuka halaman login pendaftaran
jaminan fidusia, dan pengguna wajib mengisi username dan password sesuai dengan username dan password yang telah diberikan oleh Dirjen AHU setelah itu klik tombol submit (dilakukan oleh notaris). Untuk masuk pada menu pemohon maka notaris membuka tampilan menu pemohon yang terdiri dari 3 (tiga) pilihan
menu:
2. Menu perubahan digunakan untuk melakukan perubahan terhadap sertifikat jaminan fidusia
3. Menu daftar transaksi digunakan untuk melihat daftar transaksi yang telah dilakukan. Notaris mencetak bukti permohonan pendaftaran untuk
130
Ditjen Ahu Online,
melakukan pembayaran ke bank persepsi. Apabila tidak melakukan pembayaran selama 3 (tiga) hari maka data permohonan pendaftaran akan dibatalkan / dihapus dari data base.
4. Setelah melakukan pembayaran transaksi maka bisa dilihat di Menu daftar transaksi dengan berubahnya warna hijau berarti sudah bayar dan bisa melakukan cetak sertifikat131
Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan
Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan
Jaminan Fidusia.
Perjanjian pembiayaan ini merupakan bentuk perjanjian
accessoir/tambahan dari perjanjian pokoknya yaitu hutang - piutang, dalam perjanjian accessoir objek fidusia diserahkan kepemilikannya kepada debitur atau konsumennnya, dengan tetap memberikan kewajiban terhadap debitur untuk
melunasi angsuran kepada kreditur atau pemberi dana. Sebagai jaminannya
perusahaan pembiayaan tidak akan menyerahkan Bukti Kepemilikan Kendaraan
Bermotor (BPKB) kepada debitur sebelum debitur tersebut melunasi
kewajibannya.132
Perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia antara debitur
dengan PT Kembang 88 Multi Finance merupakan perjanjian dengan akta otentik yang dilakukan di hadapan Notaris, karena obyek jaminan fidusia tidak saja
barang-barang bergerak yang sudah terdaftar, tetapi pada umumnya adalah barang
131
Pendaftaran Fidusia – Ahu Online,
16 Januari 2017/15.28 wib
132
bergerak yang tidak terdaftar maka akta otentiklah yang dapat menjamin kepastian
hukum berkenaan dengan obyek jaminan fidusia.133
1. Jumlah Pembiayaan (Pasal 2)
Hubungan hukum yang diatur dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT.
Kembang 88 Multi Finance adalah mengenai Jumlah Pembiayaan, Jangka Waktu Perjanjian, Pernyataan Jaminan, Pemberian Jaminan Fidusia, Hak dan Kewajiban
Para Pihak serta hal-hal lain yang dimuat dalam pasal – pasal perjanjian
pembiayaan konsumen tersebut.
Berdasarkan Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT. Kembang 88 Multi Finance, hal yang diatur adalah:
Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat atas pemberian/penerimaan Pembiayaan tersebut sesuai dengan kebutuhan pembiayaan yang diperlukan oleh konsumen dalam pasal ini diatur juga mengenai jangka waktu pinjaman sejak ditandatanganinya perjanjian tersebut, pembayaran kembali, besar angsuran dan bunga.
2. Jangka Waktu Perjanjian (Pasal 3)
Bahwa perjanjian mulai berlaku dan mengikat sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian tersebut oleh kedua belah pihak dan akan berakhir sampai seluruh pinjaman termasuk bunga dan denda yang berkaitan dengan pinjaman ini telah lunas dibayarkan oleh pihak kedua. Pihak kedua dapat mengambil Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) 15 hari setelah pihak kedua melunasi seluruh pinjaman
3. Pernyataan Jaminan (Pasal 7)
Pihak kedua menjamin dan menyatakan kepada pihak pertama bahwa a. Pihak kedua berhak penuh membuat perjanjian dan perjanjian
jaminan karena semua persyaratan anggaran dasar Pihak kedua telah terpenuhi
b. Pihak kedua memiliki semua izin-izin persetujuan yang disyaratkan untuk menjalankan usaha-usahanya serta perusahaanya dan Pihak kedua berjanji untuk segera meminta pembaharua izin-izin yang akan berakhir jangka waktunya
c. Pihak kedua tidak tersangkut suatu perkara sengketa baik Pidana maupun Perdata
133
d. Pihak kedua tidak mempunyai suatu tunggakan kepada Negara Republik Indonesia termasuk tunggakan pajak.
4. Pemberian Jaminan Fidusia (Pasal 9)
Untuk menjamin pembayaran seluruh kewajiban pembayaran pihak kedua kepada pihak pertama yang timbul dari perjanjian maka pihak kedua dengan ini menyerahkan kepada pihak pertama hak miliknya secara fiducia atas kendaraan yang spesifikasinya telah disebutkan dalam perjanjian, kendaraan tersebut tetap dipegang oleh pihak kedua tetapi pihak kedua tidak lagi sebagai pemilik melainkan hanya sebagai peminjam pakai saja, walaupun kendaraan tersebut diatasnamakan pihak kedua. Pihak kedua juga tidak boleh menjual, menyewakan, meminjamkan atau memindahtangankan kepada pihak lain dengan cara dan alasan apapun.
5. Hal-Hal Lain (Pasal 12)
Semua piutang pihak pertama terhadap pihak kedua berdasarkan perjanjian ini atau perjanjian lainnya antara pihak kedua dan pihak pertama dapat dialihkan oleh pihak pertama kepada pihak lain, siapapun adanya dan pihak kedua dengan ini memberikan persetujuan di muka atas pengalihan hak tersebut, tanpa diperlukan suatu pembertahuan resmi atau dalam bentuk atau cara lain apapun juga.
Dalam hubungan hukum, apabila terjadi kesepakatan antara pihak
perusahaan pembiayaan dengan debitur telah tercapai, maka akan timbul hak dan
kewajiban diantara para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan
konsumen. UUPK telah mengatur tentang hak dan kewajiban pelaku usaha dan
konsumen. Pihak perusahaan pembiayaan sebagai pelaku usaha berkewajiban
untuk memberikan sejumlah dana (uang) untuk pembelian suatu barang konsumsi
kepada konsumen, atau mengabulkan keinginan konsumen atas objek barang yang
telah disepakati dalam perjanjian pembiayaan konsumen, sementara pihak
konsumen berkewajiban untuk membayar kembali uang tersebut atau membayar
secara angsuran (cicilan) kepada pihak perusahaan pembiayaan setelah menerima
barang yang diinginkan134
134
Khotibul Umam, Hukum Lembaga Pembiayaan – Hak dan Kewajiban Nasabah Pengguna Jasa Lembaga Pembiayaan, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010), hal. 37 (selanjutnya disebut Khotibul Umam 1)
Kewajiban konsumen ini merupakan hak dari perusahaan pembiayaan
karena perusahaan pembiayaan berhak untuk menerima pembayaran angsuran dari
konsumen sesuai dengan perjanjian pembiayaan konsumen. Secara yuridis apabila
kontrak pembiayaan tersebut sudah ditandatangani oleh para pihak dan
dana/barang sudah dicairkan serta barang sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka barang tersebut sudah langsung menjadi hak milik konsumen,
meskipun harganya belum dibayar lunas.135
Berdasarkan Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT. Kembang 88 Multi Finance, diatur mengenai hak dan kewajiban para pihak, hak dan kewajiban dari Kreditur adalah :136
1. Hak Kreditur :
a. Bunga Pinjaman (pasal 4)
Kreditur berhak merubah suku bunga dari waktu ke waktu atas kebijakan Pihak Pertama (kreditur) tanpa mendiskusikan terlebih dahulu kepada Pihak kedua (debitur)
b. Pembayaran Kembali (pasal 5)
Kreditur berhak mendapatkan angsuran setiap bulan dari debitur (konsumen) (pasal 5 ayat 1)
serta berhak mendapatkan pembayaran denda atas keterlambatan pembayaran sebesar 5 (lima) Permil perhari dari jumlah angsuran tertunggak (pasal 5 ayat 2).
c. Keadaan Lalai (pasal 8)
Kreditur berhak menagih seluruh pinjaman tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur (konsumen) atau sewaktu – waktu. (pasal 8 ayat 1) apabila :
1) Pihak kedua lalai membayar angsuran; 2) Pihak kedua dinyatakan dalam keadaan pailit; 3) Pihak kedua meninggal dunia;
4) Harta kekayaan Pihak kedua disita pihak lain;
5) Apabila kendaraan tersebut disewakan, dipinjamkan atau dipindahtangankan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan tertulis dari pihak pertama;
6) Pihak kedua dinyatakan dibawah pengampuan;
135
Ibid.
136
7) Pihak kedua tersangkut dalam suatu perkara pidana
8) Pihak kedua tidak menyerahkan BPKP, STNK selama 2 bulan kepada Pihak pertama sejak tanggal perjanjian.
Kreditur berhak menarik objek perjanjian dari debitur apabila pihak kedua tidak mampu atau lalai untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati (pasal 8 ayat 4).
2. Kewajiban Kreditur:
a. Jumlah Pembiayaan (Pasal 2)
Kreditur berkewajiban untuk memberikan pembiayaan kepada debitur sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian
b. Pembayaran Kembali (Pasal 5)
Kreditur berkewajiban memberikan diskon kepada debitur yang melunasi pembayaran sebelum jangka waktu yang ditentukan (pasal 5 ayat 4)
c. Penyerahan Kembali Dokumen Jaminan (Pasal 11)
Kreditur berkewajiban untuk menyerahkan barang jaminan berupa surat – surat bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKP), 15 hari setelah seluruh pinjaman debitur dibayar lunas kepada kreditur.
Sedangkan Hak dan Kewajiban Debitur adalah :
1. Hak Debitur :
a. Jumlah Pembiayaan (Pasal 2)
Debitur berhak untuk menerima pembiayaan dari kreditur sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian
b. Jangka Waktu Perjanjian (Pasal 3)
Debitur berhak untuk mendapatkan penyerahan hak milik atas objek perjanjian setelah angsuran lunas (pasal 3 ayat 2)
c. Pembayaran Kembali (Pasal 5)
Debitur berhak mendapat diskon/potongan jika melakukan pelunasan pinjaman lebih awal dari waktu yang telah ditentukan (pasal 5 ayat 4)
2. Kewajiban Debitur :
a. Pembayaran Kembali (Pasal 5)
Debitur berkewajiban untuk membayar uang muka beserta angsuran tepat waktu kepada kreditur (pasal 5 ayat 1)
Debitur berkewajiban untuk membayar denda keterlambatan angsuran sebesar 5 (lima) Permil perhari dari jumlah angsuran tertunggak (pasal 5 ayat 2)
Debitur berkewajiban untuk membayar denda dan biaya pinalti (pasal 5 ayat 2)
b. Asuransi (Pasal 10)
Hubungan hukum yang mengikat antara pihak kreditur kepada debiturnya
adalah kewajiban pihak perusahaan pembiayaan untuk memberikan Buku
Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) dengan mengecek keabsahan BPKB dan
faktur (copy asli) pada instansi yang berwenang dan memastikan bahwa BPKB dan faktur tersebut bukan duplikat. Penyerahan kewajiban tersebut dilakukan pada
saat berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan tentunya dengan
persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Semua ketentuan mengenai perjanjian dan perikatan yang berlaku dalam
hukum perjanjian hendaknya dijadikan pedoman dalam pengaturan pelaksanaan
perjanjian pembiayaan. Dalam prakteknya harus dilaksanakan sesuai dengan
Undang-Undang kebiasaan dan kepatutan seperti yang diatur dalam Pasal 1338
KUH Perdata.137
B. Akibat Hukum Pencantuman Klausula Baku dalam Perjanjian
Pembiayaan Konsumen di PT. Kembang 88 Multi Finance
Mayoritas bentuk perjanjian pembiayaan konsumen adalah berbentuk
tertulis yang merupakan perjanjian innominaat artinya perjanjian tersebut tumbuh dan berkembang di luar aturan KUH Perdata.138
137
A. Qiram Syamsudin Meliala, Op.cit., hal. 20
138
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal 49
Perjanjian pembiayaan konsumen
muncul ketika terjadi hubungan bisnis yang terjalin antara para pihak yang
memiliki tujuan untuk saling bertukar kepentingan yang mana mereka tuangkan
kedalam sebuah kontrak. Namun, saat ini para pengusaha selaku pihak kreditur
dikarenakan demi mengharapkan efisiensi akan waktu tenaga dan biaya dalam hal
pembuatan perjanjian. Sehingga, posisi debitur hanya dapat bersikap menerima
atau tidak menerima sama sekali isi dari perjanjian tersebut.
Dikarenakan pentingnya suatu kontrak demi penentu proses hukum
selanjutnya, maka telah disiapkan seperangkat aturan hukum sebagai tolak ukur
bagi para pihak untuk menguji standar keabsahan kontrak yang para pihak buat.
Adanya pengujian keabsahan kontrak tersebut, dikarenakan perjanjian
pembiayaan konsumen yang di buat oleh perusahaan lembaga pembiayaan
biasanya sudah dibakukan atau biasa disebut standard contract.139
Istilah perjanjian baku dalam bahasa Belanda disebut “standaard contract
atau standaard voorwarden”, dalam bahasa Inggris disebut “standard contract
atau standard form of contract”. Istilah tersebut dipopulerkan oleh Mariam Darus dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar tahun 1980 dan dalam pidato tersebut, kata
“baku” diartikan sebagai patokan, ukuran, acuan. Namun istilah ini masih belum
memiliki keseragaman dalam penggunaannya.140 Pendapat diatas juga
dikemukakan oleh Sutan Remy, yang menyatakan perjanjian standar adalah
“perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya distandarisasi oleh pembuatnya
dan kemudian diberikan ke pihak lain, dan pihak lain itu pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan isinya.”141
Dapat disimpulkan bahwa perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang salah
satu pihak telah mendominasi isi dan bentuk perjanjian, sehingga pihak lain hanya
139
Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal. 156
140
Tan Kamello, (Penyunting), Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa, (Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003), hal. 16
141
dapat menerima saja tanpa ada kemampuan untuk merubah sama sekali. Disinilah
selalu dipersoalkan perjanjian baku dari segi hukum perjanjian, apakah perjanjian
baku itu sah atau cacat hukum.142 Salah satu bentuk perjanjian yang berkembang dan
banyak dipergunakan oleh pelaku bisnis dalam hubungannya dengan konsumen
adalah perjanjian pembiayaan konsumen dalam bentuk yang baku / sudah standar.
Pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode yang tidak dapat dihindari, bagi
para pelaku usaha mungkin cara untuk mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis
dan cepat serta tidak bertele-tele. Namun bagi para ahli hukum khususnya yang
berpandangan secara normatif, maka ada kecenderungan bahwa dalam proses
negosiasi pembuatan perjanjian tidak mengindahkan norma-norma dan asas-asas
hukum perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 jo 1337 KUH
Perdata.143
“Pihak pertama berhak untuk merubah suku bunga dari waktu ke waktu atas kebijakan Pihak Pertama. Pihak Pertama akan memberitahukan perubahan tersebut melalui surat kepada Pihak Keduat atau melalui pengumuman pada kantor-kantor cabang pihak pertama dan perubahan tersebut akan mulai berlaku terhitung sejak pemberitahuan tersebut. Dengan demikian besar Dari perjanjian pembiayaan konsumen PT. Kembang 88 Multi Finance
dapat ditemukan beberapa permasalahan dengan klausula-klausula yang
memberatkan kedudukan pihak konsumen atau membuat konsumen berada dalam
posisi yang lebih dirugikan dan bertentangan Pasal 18 Undang-Undang No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tentang ketentuan pencantuman
klausula baku. Adapun klausula-klausula tersebut terdapat pada Pasal 4 tentang
bunga pinjaman :
142
Munir Fuady (2), Op.cit., hal. 111
143
angsuran perbulan akan disesuaikan sebagaimana dimaksud pada awal perjanjian ini.”
Perjanjian tersebut terdapat klausul yang memuat kata “pihak pertama
berhak merubah suku bunga dari waktu ke waktu” dengan adanya klausula
tersebut menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan ataupun pengubahan lanjutan dan pengalihan tanggung
jawab. Klausula dalam perjanjian PT. Kembang 88 Multi Finance tersebut yang intinya menyatakan konsumen tunduk dengan ketentuan perjanjian pembiayaan
yang berlaku yang ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha telah melanggar
Pasal 18 ayat (1) huruf g UUPK, tentang “larangan untuk menyatakan tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.” Dalam hal ini ada bentuk
penekanan kepada konsumen, yaitu konsumen harus menyetujui terlebih dahulu
mengenai adanya perubahan suku bunga.
Dilihat dari ketentuan tersebut, konsumen pun harus menanggung beban
lebih berat karena adanya klausula tersebut, konsumen yang sudah merasa berat
dengan jumlah bunga cicilan malah semakin dirugikan dengan perubahan suku
bunga yang berubah sewaktu – waktu, ini akan membuat beban konsumen
semakin bertambah karena jumlah hutang/cicilan konsumen akan semakin banyak
dan hingga pada akhirnya konsumen pun tidak dapat melunasi cicilannya sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. 144
144
Klausula baku juga ditemukan dalam Pasal 9 ayat (5) dalam perjanjian
pembiayaan konsumen PT. Kembang 88 Multi Finance yang berbunyi :
“Pihak kedua bertanggung jawab penuh atas setiap kehilangan, kerusakan, penyusutan, kemunduran nilai, kerugian yang terjadi atas kendaraan dan atas setiap ongkos serta biaya yang timbul dari penguasaan, penyiapan, pemakaian, pemeliharaan, perubahan yang dilakukan pihak kedua atas kendaraan yang dipegang oleh pihak kedua sebagai pihak yang menjamin kendaraan dari pihak pertama.”
Dalam klausula tersebut terdapat unsur pembebanan resiko secara sepihak
yang dibebankan kepada konsumen. Pembebanan resiko yang penyebabnya tidak
dibatasi sehingga meliputi semua keadaan, termasuk keadaan memaksa atau
overmacth yang harus ditanggung oleh konsumen sangat tidak adil dan sangatlah merugikan konsumen karena tidak semua keadaan yang dapat menyebabkan
hilang/rusaknya barang adalah tanggung jawab konsumen.
Pengalihan atau pembebasan tanggung jawab yang dilakukan oleh kreditur
kepada konsumen ini secara prinsip bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a
UUPK tentang “larangan menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.”
Kebijakan perusahaan atau pelaku usaha sebagai lembaga pembiayaan
menundukkan konsumen pada peraturan tambahan atau perubahan ketentuan yang
telah disepakati menjadi beban konsumen dalam perjanjian kredit dan dapat
merugikan konsumen karena konsumen langsung terikat ketentuan itu pada saat
menerima pemberitahuan. Berdasarkan asas kepatutan dalam Pasal 1339 KUH
Perdata, suatu pihak dari perjanjian hanya terikat pada ketentuan dan syarat-syarat
yang sebelumnya telah diketahui dan dipahami oleh yang bersangkutan.
hak untuk menyetujui atau tidak menyetujuinya. Tanpa adanya kesepakatan dari
mereka yang membuatnya peraturan tambahan tersebut, maka tidak sah dan tidak
bisa dianggap menjadi bagian dari perjanjian kredit yang telah ditandatangani.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa adanya beberapa klausula yang
secara jelas terlihat bahwa kedudukan hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT. Kembang 88 Multi Finance belum adil, karena lemahnya kedudukan konsumen, konsumen tidak dapat
menegosiasikan ulang klausul dalam perjanjian tersebut. Ketimpangan hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian, pihak Debitur memiliki banyak sekali
kewajiban yang tidak sebanding dengan pihak Kreditur. Dilihat dari beberapa
klausula yang melanggar peraturan perundang-undangan, bentuk perjanjian yang
tata letak penulisan kurang jelas, serta masih terdapat kata-kata yang masih belum
di pahami oleh debitur yang awam, kerugian yang ditimbulkan dari pemanfaatan
kontrak baku dalam perjanjian pembiayaan ini adalah kedudukan debitur
(konsumen) dan kreditur tidak seimbang, dimana posisi dominan pihak pelaku
usaha membuka peluang yang luas bagi kreditur untuk menyalahgunakan
kedudukannya. Suatu pelaku usaha bisa saja melakukan tindakan yang tidak jujur
atau curang sehingga dapat membahayakan keselamatan diri konsumen.145
Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPK, maka akibat hukum dari klausula
baku yang memenuhi unsur-unsur Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUPK adalah
145
batal demi hukum.146 Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan UUPK.147
C. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan oleh Konsumen Atas
Pencantuman Klausula Baku pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen (finance) pada Lembaga Pembiayaan PT. Kembang 88 Multi Finance Pembahasan diatas telah disinggung mengenai beberapa klausula pada
perjanjian pembiayaan konsumen oleh PT. Kembang 88 Multi Finance yang memenuhi unsur- unsur aturan Pasal 18 ayat (1) huruf a, dan huruf g UUPK.
Maka berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPK sebagai akibat hukumnya adalah
klausula-klausula tersebut batal demi hukum. Terhadap klausula-klausula yang
telah batal demi hukum tersebut wajib diganti dan disesuaikan dengan aturan
UUPK, seperti yang diatur pada Pasal 18 ayat (4) UUPK. Sementara itu dari segi
teknis, mengingat letaknya yang sulit terlihat dan penulisan yang sangat kecil,
maka klausula-klausula tersebut telah memenuhi unsur Pasal 18 ayat (2) UUPK
oleh karena batal demi hukum. Oleh sebab itu penulisan dan penempatan
pedoman dan syarat pengiriman ini harus dirubah dan diperbaiki sehingga sesuai
dengan ketentuan yang ada di UUPK.
Dalam perjanjian apapun, walau sudah diupayakan agar semua kata-kata
dan perumusan dalam perjanjian itu dituliskan secara ringkas, sederhana dan
tegas, namun dalam pelaksanaanya masih sering menimbulkan masalah. Apabila
146
Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 18 ayat (3)
147
masalah seperti itu timbul, maka tidak akan diragukan lagi bahwa perselisihan
mengenai pelaksaan perjanjian akan terjadi.148
Sebagaimana disebutkan dalam Buku III KUH Perdata bahwa perjanjian itu
termasuk ke dalam ruang lingkup hukum privat, yang mengatur hubungan antar
pribadi dengan pribadi. Dengan demikian, para pihak maupun individu yang
terlibat di dalam suatu perjanjian dapat mengatur sendiri mengenai cara
penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam perjanjian tersebut, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang dan hukum publik yang berlaku serta
kesusilaan.149
Pada dasarnya penyelesaian ganti rugi dapat dilakukan secara damai antara
konsumen dengan pelaku usaha. Namun, apabila upaya damai tersebut gagal
ditempuh maka upaya yang dilakukan konsumen adalah penyelesaian sengketa
sesuai yang diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen, jika konsumen
yang merasa dirugikan dapat menggugat ganti kerugian melalui lembaga di luar
peradilan maupun lembaga di lingkungan peradilan umum.150
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi dua macam bentuk
penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.151
Pasal 45 ayat (1) :
Hal ini
tercantum dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yang isinya sebagai berikut :
148
Ibid.
149
Ibid., hal 18
150
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hal. 19
151
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di luar lingkungan
peradilan umum.”
Pasal 47 :
“Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.”
1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
a. Penyelesaian sengketa secara damai oleh pihak sendiri;
Penyelesaian sengketa secara damai dimaksudkan penyelesaian
sengketa antara para pihak, dengan atau tanpa kuasa / pendamping
bagi masing-masing pihak, melalui cara damai. Hal ini dilakukan
dengan melakukan perundingan secara musyawarah dan / atau
mufakat antara para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian
sengketa seperti ini disebut juga penyelesaian secara kekeluargaan.
Banyak sengketa yang dapat atau tidak dapat diselesaikan dengan
menggunakan cara ini.152
Cara penyelesaian sengketa secara damai ini bertujuan untuk
membentuk suatu penyelesaian yang mudah, murah dan relatif lebih
cepat. Dasar hukum penyelesaian ini terdapat dalam KUH Perdata
Indonesia (Buku ke III, Bab 18, Pasal 1851-1854 tentang
152
perdamaian) dan dalam UU Perlindungan Konsume No. 8 Tahun
1999 Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 47.153
b. Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen;
Mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka cara
penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu dapat berupa :154
1) Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan pihak “konsultan” yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut tidak mengikat, artinya klien bebas untuk menerima pendapatnya atau tidak. 2) Negosiasi
Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi) dan pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi). Negosiasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang tidak terlalu rumit, dimana para pihak masih beritikad baik untuk duduk bersama dan memecahkan masalah. Negosiasi dilakukan apabila komunikasi antar pihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan meneruskan hubungan baik.
3) Mediasi
Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan yang dikuasakan kepadanya.
153
Az. Nasution, Op.cit., hal. 225-226
154
Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Hasil dari suatu mediasi dapat dirumuskan secara lisan maupun tulisan yang dapat dianggap sebagai suatu perjanjian baru atau dapat juga dijadikan sebagai suatu perdamaian di muka hakim yang akan menunda proses penyelesaian sengketa di pengadilan.155
4) Konsiliasi
Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator brubah menjadi konsiliator. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 KUH Perdata. Konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Dalam konsiliasi, pihak ketiga mengupayakan pertemuan di antara pihak yang berselisih untuk mengupayakan perdamaian. Pihak ketiga selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dengan para pihak yang berselisih, konsiliator biasanya tidak terlibat secara mendalam atas substansi dari perselisihan. Hasil dari kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa, dan didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis dari konsiliasi ini bersifat final dan mengikat para pihak.156
5) Penilaian ahli
Yang dimaksud dengan penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh lembaga arbitrase. Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi :
Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.157
PT. Kembang 88 Multi Finance dalam menyelesaikan sengketa, langkah pertama yang diambil untuk menyelesaikan sengketa dengan konsumen adalah
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (secara damai), penyelesaian sengketa
secara damai ini dilaksanakan di kantor cabang dengan menghadirkan para pihak
yang bersengketa (konsumen dan pelaku usaha) tanpa mendatangkan pihak ketiga
155
Khotibul Umam (2), Op.cit., hal. 10-11
156
Nurnaningsih Amriani, Op.cit., hal. 34
157
untuk membahas sengketa yang timbul, permasalahan akan dimusyawarahkan
sampai masalah tersebut dianggap selesai. Hal ini dikarenakan penyelesaian
sengketa secara damai tidak menempuh proses yang berbelit-belit, biaya hemat,
dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Bentuk penyelesaian secara damai ini
sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1851-1854 tentang perdamaian dan UU
Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 47
Penyelesaian sengketa secara damai juga bisa dilaksanakan melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) jika konsumen PT. Kembang 88 Multi Finance merasa tidak puas dengan hasil musyawarah atau membutuhkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa yang ada.158
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu
lembaga khusus yang dibentuk dan diatur dalam UUPK.159 Tugas dan wewenang
BPSK diatur dalam Pasal 52 UUPK, yang diantaranya meliputi pelaksanaan
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi atau
arbitrase atau konsiliasi, dan juga dapat menjatuhkan sanksi administratif bagi
pelaku usaha yang melanggar larangan-larangan tertentu yang dikenakan bagi
pelaku usaha. Putusan BPSK bersifat final dan mengikat, serta pelaksanaan atau
penetapan eksekusinya harus meminta penetapan dari pengadilan.160
158
Hasil wawancara dengan Hendro, Marketing Staff PT. Kembang 88 Multi Finance, Cabang Medan - Medan, 18 November 2016
159
Khotibul Umam (2), Op.cit., hal. 89
160