• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN NASABAH KARTU KREDIT DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H

SYIFILLA FARAHDIBA NIM : 070200387

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN NASABAH KARTU KREDIT DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H

SYIFILLA FARAHDIBA NIM : 070200387

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA DAGANG

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

( Dr. HASIM PURBA, SH, MHum ) NIP : 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

( Dr. HASIM PURBA, SH, MHum ) ( M. SIDDIK, SH, MHum )

NIP : 196603031985081001 NIP : 195412101986011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAKSI

PERLINDUNGAN NASABAH KARTU KREDIT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dr. Hasim Purba, SH, MHum M. Siddik, SH, MHum

Syifilla Farahdiba

Perubahan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi menyebabkan kebutuhan akan pengguna sistem pengguna kartu plastik semakin dibutuhkan. Masyarakat semakin menginginkan sistem pelayanan yang lebih efisien dan dapat memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan transaksi perbankan, antara lain untuk melakukan penarikan uang tunai, pembayaran tagihan kartu kredit, pembayaran tagihan pulsa dan lainnya.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah terkait dengan hubungan hukum antara bank sebagai penerbit kartu kredit dengan nasabah pemegang kartu kredit, hak dan kewajiban pihak bank dan nasabah pemegang kartu kredit, dan perlindungan nasabah pemegang kartu kredit ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Masalah-masalah tersebut dijawab dengan penelitian kepustakaan (library research) yang menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa dasar hubungan hukum antara nasabah pemegang kartu kredit dengan bank penerbit adalah perjanjian yang dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian baku, sebab dokumen yang mengandung klausula perjanjian sudah disiapkan dan ditentukan terlebih dahulu oleh penerbit, dalam hal ini adalah bank, sebagai kreditur sehingga pemegang kartu kredit hanya menerima atau tidak terhadap semua klausula yang ditentukan (take it or leave it). Di dalam perjanjian tersebut terdapat hak dan kewajiban bagi bank dan pemegang kartu kredit. Kewajiban bank menjadi hak bagi pemegang kartu kredit, dan sebaliknya hak bank merupakan kewajiban bagi pemegang kartu kredit. Hak dan kewajiban para pihak tersebut dibatasi dengan adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berdasar pada 5 (lima) asas yaitu manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, dan kepastian hukum. Selain itu wujud perlindungan konsumen dapat dilihat dari didirikannya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Penelitian ini menyarankan agar pemasaran produk dan jasa perbankan dapat lebih memperhatikan kewajiban pemegang kartu kredit maupun bank, prosedur dan persyaratan dalam penerbitan kartu kredit dilakukan lebih selektif, dan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat lebih meningkatkan perannya sebagai lembaga pengawas produk perbankan khususnya terhadap kartu kredit.

Kata Kunci : Perlindungan Nasabah, Kartu Kredit

 Dosen Pembimbing I  Dosen Pembimbing II

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 8

D. Tinjauan Kepustakaan... 9

E. Keaslian Penulisan... 12

F. Metode Penelitian... 12

G. Sistematikan Penulisan... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen... 16

B. Hak dan Kewajiban Konsumen... 17

C. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia... 19

D. Asas, Tujuan dan Manfaat Perlindungan Konsumen... 24

E. Aspek Hukum yang Mempengaruhi Perlindungan Konsumen... 27

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KARTU KREDIT A. Pengertian Kartu Kredit... 30

B. Pihak-pihak dalam Kartu Kredit... 32

(5)

D. Jenis-jenis Kartu Kredit... 42

E. Dasar Hukum Kartu Kredit... 46

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH

PEMEGANG KARTU KREDIT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Hubungan Hukum antara Bank sebagai Penerbit Kartu Kredit dengan Nasabah Pemegang Kartu Kredit... 49

B. Hak dan Kewajiban Pihak Bank dengan Nasabah

Pemegang Kartu Kredit... 55

C. Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Pemegang Kartu Kredit... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 77

B. Saran... 78

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat, berkah dan karunia – Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik – baiknya, yang berjudul “Perlindungan

Nasabah Kartu Kredit Ditinjau dari Undang – Undang No.8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen”.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat wajib untuk meraih

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis

menyadari bahwa ide – ide yang Penulis tuangkan dalam penelitian skripsi ini

tidaklah datang begitu saja, tetapi melalui proses pembelajaran yang panjang yang

Penulis telah lewati pada bangku perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Oleh karena itu, perkenankanlah Penulis mengucapkan terima

kasih yang sedalam – dalamnya kepada seluruh dosen atau staf pengajar Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memandu jalan Penulis di dalam

hukum yang serba abstrak ini. Selain itu Penulis juga ingin mengucapkan terima

kasih yang khusus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,M,Se (CTM).Sp.A(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus Dosen

(7)

4. Bapak M. Siddik, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II;

5. Ibu Rosnidar Sembiring, S.H, M.Hum, selaku Dosen Wali selama Penulis

menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen beserta staf di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

7. Terimakasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua tercinta Bapak Ahmad

Syahrul Siregar, S.H dan Ibu Ervina Yusnawati yang selalu memberikan

dukungan moril maupun materil serta cinta dan kasih sayang juga semangatnya

dalam penyelesaian skripsi ini. Terlebih untuk abang Fadilla Alfiansyah

terimakasih atas jasa - jasa nya dalam membantu penyelesaian skripsi ini.

8. Terimakasih untuk sahabat - sahabat yg luar biasa Daus, Novy, Olvi, Yudhi, Ewi

dan Elon yang telah memberikan bantuan, dukungan, waktu dan semangat

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan sebaik - baiknya.

9. Dan terimakasih untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu -

persatu atas bantuan dan dukungan sampai akhirnya skripsi ini dapat

terselesaikan.

Penulis tidak dapat membalas segala kebaikan pihak-pihak yang telah membantu

penulis selama penulis mengecap pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa yang dapat membalas baik budi

(8)

Semoga ilmu yang telah penulis peroleh selama ini dapat bermanfaat,

bermakna, serta dapat penulis terapkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Medan, 19 September 2011

(9)

ABSTRAKSI

PERLINDUNGAN NASABAH KARTU KREDIT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dr. Hasim Purba, SH, MHum M. Siddik, SH, MHum

Syifilla Farahdiba

Perubahan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi menyebabkan kebutuhan akan pengguna sistem pengguna kartu plastik semakin dibutuhkan. Masyarakat semakin menginginkan sistem pelayanan yang lebih efisien dan dapat memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan transaksi perbankan, antara lain untuk melakukan penarikan uang tunai, pembayaran tagihan kartu kredit, pembayaran tagihan pulsa dan lainnya.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah terkait dengan hubungan hukum antara bank sebagai penerbit kartu kredit dengan nasabah pemegang kartu kredit, hak dan kewajiban pihak bank dan nasabah pemegang kartu kredit, dan perlindungan nasabah pemegang kartu kredit ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Masalah-masalah tersebut dijawab dengan penelitian kepustakaan (library research) yang menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa dasar hubungan hukum antara nasabah pemegang kartu kredit dengan bank penerbit adalah perjanjian yang dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian baku, sebab dokumen yang mengandung klausula perjanjian sudah disiapkan dan ditentukan terlebih dahulu oleh penerbit, dalam hal ini adalah bank, sebagai kreditur sehingga pemegang kartu kredit hanya menerima atau tidak terhadap semua klausula yang ditentukan (take it or leave it). Di dalam perjanjian tersebut terdapat hak dan kewajiban bagi bank dan pemegang kartu kredit. Kewajiban bank menjadi hak bagi pemegang kartu kredit, dan sebaliknya hak bank merupakan kewajiban bagi pemegang kartu kredit. Hak dan kewajiban para pihak tersebut dibatasi dengan adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berdasar pada 5 (lima) asas yaitu manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, dan kepastian hukum. Selain itu wujud perlindungan konsumen dapat dilihat dari didirikannya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Penelitian ini menyarankan agar pemasaran produk dan jasa perbankan dapat lebih memperhatikan kewajiban pemegang kartu kredit maupun bank, prosedur dan persyaratan dalam penerbitan kartu kredit dilakukan lebih selektif, dan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat lebih meningkatkan perannya sebagai lembaga pengawas produk perbankan khususnya terhadap kartu kredit.

Kata Kunci : Perlindungan Nasabah, Kartu Kredit

 Dosen Pembimbing I  Dosen Pembimbing II

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbankan merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting

di berbagai bidang, antara lain dalam kegiatan masyarakat khususnya di bidang

financial, serta kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pribadi seseorang

yang semuanya dapat terpenuhi lewat jasa-jasa perbankan. Jasa-jasa yang

dilakukan oleh pihak bank menurut ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun

1992 (UU No. 7 Tahun 1992) jo Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU No.

10 Tahun 1998) tentang Perbankan harus sesuai dengan ketentuan yang ada yaitu

berdasarkan pada jenis banknya.

Berdasarkan pada penggolongan jenis bank maka menurut UU No. 7

Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998, jasa-jasa yang dapat dilakukan oleh bank

umum salah satunya adalah transfer atau pemindahan uang. Fungsi bank dalam

menjalankan operasional secara umum adalah menghimpun dana dari masyarakat

dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau

sebagai financial intermediary atau lembaga keuangan,1 sehingga bank dalam

melakukan usahanya selalu berpedoman pada prinsip kehati-hatian (prudential

banking regulation) atau pengaturan tentang prinsip-prinsip kehati-hatian pada

bank, yang pada dasarnya berupa berbagai ketentuan yang diperlukan untuk

menjamin kelangsungan hidup dan pengelolaan bank secara sehat sehingga

1

(11)

mampu menjaga kepercayaan masyarakat serta menjalankan fungsinya sebagai

lembaga intermediasi dan pelayanan system pembayaran bagi perekonomian.2

Bank selalu dituntut untuk bersikap profesional agar dapat berfungsi

secara efisien, sehat serta menghadapi persaingan global. Dalam era globalisasi

perkembangan ilmu dan teknologi maju dengan pesatnya. Hal ini juga terjadi di

dalam sistem perbankan, dimana perbankan diharuskan untuk menyesuaikan diri

dengan perkembangan teknologi tersebut untuk melayani nasabahnya dengan

baik.

Salah satu jasa yang dilakukan oleh pihak bank adalah transfer atau

pemindahan uang. Saat ini perbankan Indonesia telah mengembangkan electronic

banking system atau yang lebih dikenal dengan perbankan elektronik. Sistem

perbankan elektronik adalah segala macam transfer dan pemprosesan data dengan

menggunakan sistem dan peralatan elektronik meliputi transaksi intern dan

ekstern suatu bank. Kegiatan transfer dana dengan menggunakan sistem dan

peralatan elektronik tersebut dikenal dengan istilah Electronic Funds Transfer

(EFT). Sistem dan peralatan elektronik yang digunakan dalam transfer dana

tersebut berupa telepon, komputer, pita magnetis dan lainnya.3

Pada dasarnya transaksi dengan menggunakan Electronic Funds Transfer

berbeda dengan transaksi pembayaran secara konvensional yang dilakukan

dengan menggunakan kertas (paper) maka dalam Electronic Funds Transfer

2

Perry Warjiyo, 2004, Bank Indonesia Sebagai Sebuah Pengantar, PPSK BI, Jakarta, Hal. 145

3

(12)

adalah transaksi pembayaran yang dilakukan tanpa menggunakan kertas (paper)

atau warkat melainkan menggunakan media elektronik.4

Semua jenis transaksi yang ada dalam EFT tersebut sudah diterapkan

dalam perbankan Indonesia dan yang paling banyak digunakan dalam masyarakat

selain ATM (Automatic Teller Machine) adalah kartu kredit. Salah satu ciri

Electronic Funds Transfer pada salah satu sistem pembayaran adalah dengan

menggunakan kartu plastik (credit card, debit card maupun dengan menggunakan

sarana ATM).

Dengan menggunakan sarana kartu plastik tersebut, para nasabah dapat

melakukan berbagai transaksi dan tidak perlu harus datang dan antri di

kantor/bank pemberi jasa, melainkan cukup datang di outlet-outlet yang tersebar

hampir di tempat-tempat yang cukup strategis sehingga sangat memudahkan bagi

para nasabah untuk menggunakan fitur-fitur yang ditawarkan oleh bank pemberi

jasa. Perubahan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi menyebabkan

kebutuhan akan pengguna sistem pengguna kartu plastik semakin dibutuhkan.

Masyarakat semakin menginginkan sistem pelayanan yang lebih efisien dan dapat

memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan transaksi perbankan,

antara lain untuk melakukan penarikan uang tunai, pembayaran tagihan kartu

kredit, pembayaran tagihan pulsa dan lainnya.

Sistem pembayaran secara elektronik ini dapat memberikan kenyamanan

dengan proses yang lebih cepat, efisien, paperless, waktu yang lebih fleksibel,

tanpa perlu hadir di counter bank telah memberikan electronic funds trasfer

4

(13)

beberapa kelebihan. Namun harus disadari bahwa dengan sifatnya yang unik

tersebut perlindungan terhadap nasabah dapat menjadi tidak jelas, dimana pada

akhirnya dapat mengakibatkan masalah-masalah yang timbul dari transaksi

tersebut. Bahkan nasabah sering berada dalam pihak yang dirugikan, misalnya

transaksi dengan menggunakan kartu kredit, sebagai contoh adanya transaksi yang

tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh pemilik kartu kredit namun yang terjadi

adanya pemberitahuan dari pihak bank mengenai tagihan kartu kredit tersebut,

perhitungan kredit limit atau saldo yang salah sehingga pemegang kartu kredit

membatalkan transaksi belanja mereka, adanya keluhan dari nasabah mengenai

suku bunga yang tidak sesuai pada saat perjanjian, hal ini jelas sangat merugikan

nasabah pada saat melakukan transaksi.5

Berdasarkan pada uraian diatas dapat dikemukakan bahwa nasabah

sebagai konsumen memiliki kedudukan yang lemah. Nasabah hanya bisa

mengajukan klaim pada pihak bank. Transaksi dengan menggunakan electronic

funds transfer sangat rentan terhadap timbulnya penipuan (fraud) yang antara lain

dapat dilakukan oleh nasabah atau pihak yang berhubungan dengan nasabah,

pihak bank dalam hal ini adalah pegawai bank itu sendiri maupun dari transmisi

telekomunikasi.

Selain fraud dalam electronic funds transfer juga memungkinan adanya

kesalahan atau error yang disebabkan oleh tidak adanya standarisasi dari format

message, tidak ada standarisasi prosedur electronic funds transfer terutama dalam

5

(14)

transfer internasional, juga kesalahan dari peralatan atau software yang

digunakan, sehingga hal ini human error juga dapat terjadi.

Pada situasi di atas, dapat dikemukakan bahwa nasabah sebagai konsumen

pengguna jasa electronic funds transfer memiliki kedudukan yang lemah dan

sering dirugikan. Dalam pemakaian jasa electronic funds transfer saat ini, posisi

dan kepentingan nasabah belum terlindungi dengan baik, di lain pihak posisi bank

sangatlah dominan yang tentunya akan mengutamakan kepentingan bank itu

sendiri. Hal ini jelas terlihat dalam perjanjian antara bank dan nasabah ataupun

ketentuan tentang pemakaian jasa atau produk bank yang ditetapkan secara

sepihak oleh bank, sehingga dalam kondisi demikian jika timbul suatu

permasalahan nantinya maka tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat

dengan tanggung jawab yang jelas. Hal ini dapat terjadi oleh karena Indonesia

belum memiliki undang-undang yang khusus tentang electronic funds transfer

yang mengatur tentang hak dan kewajiban, tanggung jawab nasabah maupun bank

secara jelas sehingga kepentingan nasabah pengguna jasa electronic funds transfer

dapat terlindungi dengan baik.

Selama ini jika terjadi suatu permasalahan antara nasabah dengan pihak

bank yang berkenaan dengan pemakaian jasa electronic funds transfer maka dapat

diselesaikan dengan mengacu pada perjanjian antara kedua belah pihak, ketentuan

dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK). Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin kepastian

hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Di dalam UUPK juga

memuat tentang hak dan kewajiban konsumen, menurut Bab II Pasal 4, hak

(15)

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan / atau jasa.

2. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

Menurut Pasal 5 UUPK, kewajiban konsumen adalah :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan / atau jasa demi keamanan dan keselamatan.

2. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

Sedangkan pada bagian kedua Pasal 6 UUPK mengatur mengenai hak

pelaku usaha antara lain, yaitu :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan / atau jasa yang

diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik.

3. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang

diperdagangkan.

Menurut Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :

1. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan / atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

(16)

2. Memberi kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian apabila barang

dan / atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Permasalahan antara nasabah dengan pihak bank yang berkenaan dengan

pemakaian jasa EFT khususnya dalam hal ini adalah kartu kredit, dapat

diselesaikan dengan mengacu pada perjanjian kedua belah pihak, ketentuan dalam

UUPK, sehingga dirasakan perlu adanya suatu undang-undang yang khusus

mengatur mengenai electronic funds transfer yang tujuannya lebih melindungi

kepentingan nasabah dengan menetapkan aspek standar sekuriti dan keamanan

produk, standar perlindungan konsumen, standar pengawasan dan penyelesaian

sengketa. Baik yang menyangkut tentang kedudukan, hak dan kewajiban nasabah

selaku konsumen berdasarkan Undang-undang Perbankan maupun

undang-undang lainnya. Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, maka penyusun tertarik

untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan PERLINDUNGAN

NASABAH KARTU KREDIT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang penelitian diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah hubungan hukum antara bank sebagai penerbit kartu kredit

(17)

2. Bagaimanakah hak dan kewajiban pihak bank dan nasabah pemegang

kartu kredit?

3. Bagaimanakah perlindungan nasabah pemegang kartu kredit ditinjau dari

Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan bertitik tolak terhadap judul dan permasalahan yang telah

diuraikan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui hubungan hukum antara bank sebagai pemberi kartu

kredit terhadap nasabahnya.

2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak.

3. Untuk mengetahui perlindungan nasabah kartu kredit ditinjau dari

Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis yaitu:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian bagi

perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya. Penelitian ini

juga diharapkan dapat menambah literatur dalam aspek hukum

perlindungan hukum bagi konsumen pemegang kartu kredit sebagai pihak

yang menggunakan jasa kartu kredit terhadap penyalahgunaan kartu

(18)

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yuridis

tentang perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penyalahgunaan

kredit, serta memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada

pihak-pihak terkait, khususnya bagi bank penerbit, pihak konsumen selaku

pemegang kartu kredit, pihak penjual barang/jasa, pihak perantara

penagihan, pihak perantara pembayaran serta masyarakat pada umumnya.

D. Tinjauan Kepustakaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kartu kredit adalah kartu kecil

yang dikeluarkan oleh bank yang menjamin pemegangnya untuk dapat berbelanja

tanpa membayar kontan dan pengeluaran belanja itu akan diperhitungkan dalam

rekening pemilik kartu di bank.6

Menurut O.P. Simorangkir, yang dimaksud dengan kartu kredit adalah

uang tunai atau cek.7 Sedang menurut Imam Prayogo Suryohadibroto dan Djoko

Prakoso, yang dimaksud dengan kartu kredit adalah suatu jenis alat pembayaran

sebagai pengganti uang tunai, di mana sewaktu-waktu dapat ditukarkan apa aja

yang diinginkan yakni di tempat-tempat mana saja cabang yang dapat menerima

kartu kredit dari bank, atau perusahaan yang mengeluarkan atau dapat juga

menguangkan kepada bank yang mengeluarkan atau pada cabang yang

mengeluarkan.8

6

W.J.S. Poerwadarminta, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 448

7

O.P. Simorangkir, 1985, Seluk Beluk Bank Komersil, Aksara Persana Indonesia, Jakarta, hal. 17

8

Imam Prajogo Suryohadibroto dan Djoko Prakoso, 1991, Surat Berharga Alat

(19)

Menurut Munir Fuady, kartu kredit merupakan suatu kartu yang umumnya

dibuat dari bahan plastik, dengan dibubuhi identitas dari pemegang dan

penerbitnya, yang memberikan hak terhadap siapa kartu kredit diisukan untuk

menandatangani tanda pelunasan pembayaran dari harga jasa atau barang yang

dibeli di tempat-tempat tertentu, seperti toko, hotel, restoran, penjualan tiket

pengangkutan dan lain-lain.

Pemegang kartu kredit (card holder) adalah pemegang kartu kredit yang

namanya tercetak di kartu dan berhak menggunakan kartu pada pihak penjual

barang atau jasa (merchant). Di dalam bidang perbankan, pemegang kartu kredit

merupakan nasabah dari penerbit kartu kredit (bank) yang juga dipersamakan

dengan konsumen yang diatur di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Dalam Pasal 1 ayat (2) UUPK disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang

pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan

diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.

Menurut Suharno, konsumen adalah pembeli atau pemakai barang atau

jasa yang diperjualbelikan. Mereka membutuhkan perlindungan agar sebagai

pembeli atau sebagai pemakaian barang dan atau jasa tidak mengalami kerugian

atau memperoleh bahaya.9 Sedangkan menurut Sri Redjeki Hartono, mengatakan

bahwa setiap orang, pada suatu waktu dalam posisi tunggal atau sendiri maupun

9

Suharno, 1995, Makalah Sistem Pengawasan Barang dan Jasa Dalam Rangka

(20)

berkelompok bersama orang lain dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen

untuk suatu produk atau jasa tertentu.10

Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan lain tidak sama.

Sebagai contoh, di Spanyol konsumen diartikan tidak hanya individu (orang),

tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Dan

yang menarik, konsumen juga tidak harus terikat dalam hubungan jual beli,

sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.11 Namun

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata konsumen dinyatakan sebagai orang

alamiah. Maksudnya ketika mengadakan perjanjian ia tidak bertindak selaku

orang yang menjalankan profesi perusahaan.12

Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Ketentuan Umum

Pasal 1 ayat (1) UUPK menyatakan perlindungan konsumen adalah segala upaya

yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum” diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan

sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan

perlindungan konsumen.

Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-undang

Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha

tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian

nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. Kesewenang-wenangan akan

mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu agar segala upaya

10

Sri Redjeki Hartono, Dalam Husni Syawali, Neni Sri Imaniyati, op.cit, hal. 78 11

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, Hal. 3 12

(21)

memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif

ditentukan dalam UUPK dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan

masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam bidang

Hukum Privat (Perdata) maupun bidang Hukum Publik (Hukum Pidana dan

Hukum Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana

dikemukakan di atas, memperjelas kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen

berada dalam kajian Hukum Ekonomi.13

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan  informasi  yang  ada  dan  dari  penelusuran  yang  dilakukan  di 

Kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul 

PERLINDUNGAN NASABAH KARTU KREDIT DITINJAU DARI UNDANG‐UNDANG NOMOR 

TAHUN  1999  TENTANG  PERLINDUNGAN  KONSUMEN,  belum  pernah  ada  yang 

melakukan  penelitian ini sebelumnya. Dengan  demikian, maka dari  segi keilmuan 

penelitian ini dapat dikatakan asli, sesuai dengan asas‐asas keilmuan yang jujur, rasional 

dan obyektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan 

kebenaran ilmiah sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya 

secara akademis. Kalaupun ada pendapat orang lain atau kutipan dalam penulisan 

skripsi ini semata‐mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap, karena hal 

tersebut memang sangat dibutuhkan untuk melengkapi tulisan ini. 

 

13

Sastri Wahyuni, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen terhadap Perjanjian Standar di

(22)

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini data-data yang penulis kumpulkan diperoleh

dari cara melakukan Penelitian Kepustakaan (Library Research), artinya melalui

penelitian ini penulis mengumpulkan data-data skunder dengan cara membaca,

mempelajari dan menguraikan pasal-pasal dalam perundang-undangan, pandangan

dan pendapat para ahli di bidang hukum, khususnya yang menyangkut dengan

perlindungan nasabah kartu kredit. Disamping itu, penulis juga menganalisis

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder.

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap

bahan kepustakaan. Berdasarkan kekuatan mengikatnya, bahan hukum untuk

memperoleh data terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:

a. Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma

dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan.14

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer15 yang berupa buku, hasil-hasil penelitian

dan atau karya ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya,

pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan obyek penelitian.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang

untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder16, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum

14

Soerjono Soekanto dan Sri Mulyadi, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 55.

15

Ibid., hal. 55. 16

(23)

dan kamus hukum, surat kabar, internet serta makalah-makalah yang

berkaitan dengan obyek penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab, di mana masing-masing bab

dibagi atas beberapa sub bab. Urutan bab tersebut tersusun secara sistematis dan

saling berkaitan satu sama lain. Uraian singkat atas bab-bab dan sub bab tersebut

dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian

penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pada bab ini diuraikan berbagai konsep teoritis yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan di teliti yang

meliputi pengertian konsumen, hak dan kewajiban konsumen,

dasar hukum perlindungan konsumen di indonesia, asas,

tujuan dan manfaat perlindungan konsumen serta aspek

hukum yang mempengaruhi perlindungan konsumen.

(24)

Bab ini menguraikan tentang pengertian kartu kredit,

pihak-pihak dalam kartu kredit, mekanisme penggunaan kartu

kredit, jenis-jenis kartu kredit serta dasar hukum kartu kredit.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan inti dalam tulisan ini yang

mengetengahkan tentang hubungan hukum antara bank

sebagai penerbit kartu kredit dengan nasabah pemegang kartu

kredit, hak dan kewajiban pihak bank dan nasabah pemegang

kartu kredit, dan perlindungan nasabah pemegang kartu

kredit ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab akhir yang berisi tentang kesimpulan

yang merupakan jawaban ringkas terhadap permasalahan di

dalam tulisan ini, dan saran yang merupakan sumbangsih

(25)

BAB II

TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Konsumen

Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

adalah, pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka oleh

pengusaha. Dalam buku A.Z. Nasution yang berjudul aspek-aspek hukum masalah

perlindungan konsumen, istilah konsumen berasal dari bahasa consumer

(Inggris-Amerika) atau consument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer adalah

lawan dari produsen, setiap orang yang menggunakan barang.17

Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna barang

dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.18 Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2) UUPK,

konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Berdasarkan pengertian di atas, subyek yang disebut sebagai konsumen

berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Menurut

A.Z. Nasution, orang yang dimaksud di atas adalah orang alami bukan badan

hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan atau memanfaatkan barang dan

17

A.Z. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, Hal. 3 18

(26)

atau jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia.19

Di dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2) UUPK disebutkan bahwa di dalam

kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen

antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,

sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk

barang atau jasa untuk membuat barang atau jasa lainnya untuk diperdagangkan.

Batasan-batasan tentang konsumen akhir menurut A.Z. Nasution adalah

setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang tersedia di dalam

masyarakat, digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga, atau

rumah tangganya, dan tidak untuk kepentingan komersial.20

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud

konsumen adalah pemakai terakhir dari barang dan/atau jasa untuk kepentingan

diri sendiri, keluarga atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

B. Hak Dan Kewajiban Konsumen

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum,

sehingga perlindungan konsumen pasti mengandung aspek hukum. Materi yang

mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik saja melainkan kepada hak-hak

yang bersifat abstrak. Jadi perindungan konsumen sangat identik dengan

perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.

19

Ibid, Hal. 7 20

(27)

Secara umum dikenal adanya empat hak dasar konsumen yaitu hak untuk

mendapatkan keamanan (the right to safety), hak untuk mendapatkan informasi

(the right to be informed), hak untuk memilih (the right to choose), dan akhirnya

hak untuk didengar (the right to be heard ).21

Di dalam UUPK Bab III Pasal 4, hak konsumen adalah :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa

b. Hak untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan barang dan /

atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya

21

(28)

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan diatas, terlihat bahwa

masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang

paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa

yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak

aman atau dapat membahayakan keselamatan konsumen penggunanya, maka

konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang

dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan

jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk

didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi

sampai ganti rugi.

Betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran

yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan generasi keempat hak

asasi manusia, yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi manusia

dalam perkembangan di masa yang akan datang.22

Pasal 5 UUPK mengatur tentang kewajiban konsumen yaitu:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan / atau jasa demi keamanan dan keselamatan

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan / atau

jasa

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

22

(29)

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut

Penjabaran pasal tersebut di atas, dimaksudkan agar konsumen sendiri

dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau jasa kepastian

hukum bagi dirinya.23

C. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan

perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang pesat

telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang

dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut umumnya

merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer

satu terhadap yang lainnya. Dengan diversifikasi produk yang sedemikian luasnya

dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, di

mana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi

batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada

berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang

berasal dari produksi domestik di mana konsumen berkediaman maupun yang

berasal dari luar negeri.

Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang

sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan

distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang sefektif mungkin agar

23

(30)

dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Pada situasi ekonomi

global dan menuju era perdagangan bebas, upaya untuk mempertahankan pasar

atau memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas merupakan dambaan setiap

produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk berusaha. Persaingan yang

makin ketat ini juga dapat memberikan dampak negatif terhadap konsumen pada

umumnya. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan

konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada dalam posisi yang

lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang

sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta

penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru dimulai pada tahun

1970, hal ini ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) pada

bulan Mei 1973. Pendirian yayasan ini dikarenakan adanya rasa mawas diri dari

masyarakat sebagai konsumen terhadap promosi untuk memperlancar

barang-barang dalam negeri. Atas desakan dari masyarakat, maka kegiatan promosi ini

harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan agar masyarakat tidak

dirugikan serta kualitas terjamin.24

Adanya keinginan dan desakan dari masyarakat untuk melindungi dari

barang yang rendah kualitasnya telah memacu pihak pemerintah untuk

memikirkan secara sungguh-sungguh usaha dalam memberikan perlindungan

kepada konsumen, maka dimulailah suatu usaha untuk merealisasikannya. Puncak

dari perealisasian usaha ini adalah lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen, dengan

24

Mohammad Siddik, 2001, Filsafat Ilmu Dikaitkan dengan Undang-undang

Perlindungan Konsumen, Majalah Citra Justitia Fakultas Hukum Universitas Asahan Kisaran, Hal.

(31)

motto melindungi konsumen, menjaga martabat konsumen dan membantu

pemerintah. Motto ini telah menjadi landasan dan arah perjuangan bagi Yayasan

Lembaga Konsumen.

Yayasan Lembaga Konsumen secara konsisten telah memberdayakan

konsumen melalui ceramah-ceramah, seminar ataupun tulisan-tulisan di media

massa. Usaha Yayasan Lembaga Konsumen ini telah mendorong pemerintah

untuk mengeluarkan UUPK yang diharapkan dapat memberikan pengaruh positif

terhadap pelaku usaha dan konsumen serta dapat bermanfaat bagi kedua belah

pihak tersebut.

Dalam pengaturan UUPK telah melibatkan empat pihak, yaitu konsumen

yang baik, pelaku usaha yang baik, konsumen yang nakal dan pelaku usaha yang

nakal. Hal tersebut dapat dipahami, karena konsumen dan pelaku usaha bukanlah

lawan melainkan pasangan yang saling membutuhkan. Masa depan dari pelaku

usaha sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi dari konsumennya, jika

konsumen dan perekonomian dalam kondisi yang baik maka pelaku usaha juga

memiliki masa depan yang baik begitu pula sebaliknya. Apabila pelaku usaha

berbuat curang maka yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen saja tetapi juga

pelaku usaha yang baik. Demikian juga jika ada konsumen yang nakal, hal itu

tidak hanya akan merugikan pelaku usaha saja tetapi juga merugikan konsumen

(32)

Sebelum diundangkannya UUPK di Indonesia, ada beberapa peraturan

yang dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum perlindungan konsumen.

Peraturan-peraturan tersebut adalah:25

a. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang

Barang menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene

b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah

Daerah

c. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal

d. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan

e. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

f. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan

g. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri

h. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

i. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Agreement Establishing the

World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia)

j. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang

sekarang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas

k. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang sekarang

telah diganti dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

25

(33)

l. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

m. undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta

n. undang Nomor 13 Tahun 1967 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Hak Paten dan telah direvisi menjadi

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001

o. Undangundang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang

-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Hak Merek dan telah direvisi

menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001

p. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup

q. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran

r. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang

telah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997.

s. undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dengan diundangkannya UUPK, maka peraturan-peraturan mengenai

perlindungan konsumen yang lainnya telah diunifikasi.26

26

(34)

D. Asas, Tujuan dan Manfaat Perlindungan Konsumen

Pasal 2 UUPK menyebutkan Perlindungan konsumen berasaskan manfaat,

keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian

hukum. Di dalam penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan perlindungan konsumen

diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan

dalam pembangunan nasional, yaitu:

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberi kesempatan kepada konsumen

dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil

maupun secara spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

(35)

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

Menurut Pasal 3 UUPK perlindungan konsumen bertujuan :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan konsumen.

Manfaat Perlindungan Konsumen adalah :

a. Balancing Position

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Dengan diterapkan perlindungan konsumen di Indonesia diharapkan

(36)

usaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya menjadi subyek

yang sejajar dengan pelaku usaha. Dengan posisi konsumen yang

demikian maka akan tercipta kondisi pasar yang sehat dan saling

menguntungkan bagi konsumen karena dapat menikmati produk-produk

yang berkualitas dan bagi produsen karena tetap mendapatkan

kepercayaan pasar yang tentunya akan mendukung kelangsungan

usahanya di masa mendatang.

b. Memberdayakan Konsumen

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran

konsumen akan hak-haknya yang masih rendah, sehingga perlu adanya

upaya pemberdayaan. Proses pemberdayaan harus dilakukan secara

integral baik melibatkan peran aktif dari pemerintah, lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat maupun dari kemampuan

masyarakat sebagai konsumen untuk lebih mengetahui hak-haknya. Jika

kesadaran konsumen akan hak-haknya semakin baik maka konsumen

dapat ditempatkan pada posisi yang sejajar yaitu sebagai pasangan yang

saling membutuhkan dan menguntungkan.

c. Meningkatkan Profesionalisme Pelaku Usaha

Perkembangan dunia industrialisasi dan kesadaran konsumen yang

semakin baik menuntut pelaku usaha untuk lebih baik dalam menjalankan

usahanya secara profesional. Hal itu harus dijalankan dalam keseluruhan

proses produksi. Pelaku usaha juga harus mengubah orientasi usahanya

yang selama ini cenderung untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek

(37)

tersebut akan mematikan usahanya. Selain itu pelaku usaha dalam

menjalankan usahanya harus memperhatikan kejujuran, keadilan serta

etika dalam menjalankan usahanya. Semua itu dilakukan agar pelaku

usaha dapat tetap eksis dalam menjalankan usahanya.

E. Aspek Hukum yang Mempengaruhi Perlindungan Konsumen

Aspek-aspek yang dapat mempengaruhi pelaksanaan perlindungan

konsumen adalah:

a. Aspek Ekonomi

Aspek ekonomi memegang peranan yang sangat penting dalam

pelaksanaan perlindungan konsumen. Kondisi perekonomian saat ini

mengakibatkan kemampuan ekonomi masyarakat semakin merosot

sehingga mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat dan dalam hal

memilih produk konsumen hanya dapat mengkonsumsi produk yang

terjangkau harganya. Masyarakat tidak akan memikirkan mengenai hak-

haknya yang telah dirugikan karena mengkonsumsi produk yang

kualitasnya dibawah standar. Dengan kondisi yang demikian maka

perlindungan konsumen susah untuk diterapkan, sebab pada prinsipnya

pelaksanaan perlindungan konsumen hanya akan terwujud jika konsumen

yang menjadi pihak di dalamnya perduli dengan hak-haknya, artinya jika

konsumen menyadari bahwa ia telah dirugikan dan perlu untuk menuntut

haknya maka perlindungan konsumen dapat dijalankan. Akan tetapi jika

(38)

perlindungan konsumen tidak dapat dijalankan. Dalam prakteknya

konsumen memilih diam sebab mereka tidak mengetahui dengan benar

hak-haknya mereka, justru hal ini sering membuat posisi konsumen lemah.

b. Aspek Hukum

Selain aspek ekonomi, aspek hukum juga memiliki peran penting dalam

pelaksanaan perlindungan konsumen. Dalam aspek ekonomi yang menjadi

fokus adalah situasi ekonomi dari konsumen yang bersangkutan sedangkan

pada aspek hukum yang menjadi fokus adalah bagaimana hukum

diterapkan dalam rangka menjamin hak-hak konsumen untuk dilindungi

dari berbagai hal yang merugikan. Pembentukan UUPK ditujukan untuk

memberikan perlindungan kepada para konsumen dan untuk

mewujudkannya maka penegak hukum harus bersungguh-sungguh dan

konsisten dalam menjalankan tugasnya.

c. Aspek Politis

Pelaksanaan perlindungan hukum juga dilihat dari aspek politis, tidak

hanya untuk melindungi kepentingan konsumen terhadap produk-produk

asing yang masuk ke Indonesia. Terhadap produk asing yang masuk ke

Indonesia juga harus menaati peraturan yang berlaku. Pelaksanaan

perlindungan hukum secara politis dilakukan untuk melindungi

kepentingan nasional dari pengaruh produk asing yang akan merugikan

bagi konsumen Indonesia.

(39)

Pelaksanaan perlindungan konsumen tidak dapat terlepas dari faktor

budaya yang berlaku dalam masyarakat sebab hal tersebut berkaitan erat

dengan kebiasaan masyarakat yang akan sangat menentukan sistem nilai

yang berlaku di masyarakat tersebut. Perlindungan konsumen mengandung

sistem nilai dan budaya tersendiri. Oleh karena itu, membutuhkan waktu

(40)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG KARTU KREDIT

A. Pengertian Kartu Kredit

Kebanyakan masyarakat mengartikan Kartu Kredit ini sebagai kartu yang

pada umumnya dibuat dari bahan plastik, tetapi dengan semakin pesatnya

perkembangan dari pemakaian Kartu Kredit sebagai metode transaksi pembayaran

pada saat ini maka sangat perlu untuk mengetahui apa arti sebenarnya kartu kredit

tersebut. Beberapa ahli membuat definisi tentang Kartu Kredit ini berbagai

macam istilah diantara adalah:

a. Emmy Pangaribuan br. Simanjuntak mengatakan kartu kredit adalah suatu

kartu yang memberikan hak kepada pemegangnya atas penunjukkan dari

kartu itu dan dengan menandatangani formulir rekening pada suatu

perusahaan dapat memperoleh barang atau jasa tanpa perlu membayar

secara langsung.27

b. Muhammad Djumhana memberikan definisi kartu kredit adalah alat

pembayaran pengganti uang tunai.28

c. Munir Fuady mengatakan kartu kredit merupakan suatu kartu yang pada

umumnya dibuat dari plastik dengan dibubuhkan identitas dari pemegang

dan penerbit (card issuer) yang memberikan hak terhadap siapa kartu

kredit diisukan untuk menandatangani tanda pelunasan pembayaran harga

27

Emmy Pangaribuan br Simanjuntak, 1991, Surat Berharga, Media Cipta, Jakarta, hal. 2 28

(41)

dari jasa atau barang yang dibeli dari tempat-tempat tertentu seperti toko,

hotel, restoran, penjual tiket pengangkutan dan lain-lain.29

d. Menurut Imam Prayogo Suryahadibroto dan Djoko Prakoso, kartu kredit

adalah suatu jenis alat pembayaran sebagai pengganti uang tunai, di mana

sewaktu-waktu dapat ditukarkan apa aja yang diinginkan yakni di

tempat-tempat mana saja cabang yang dapat menerima kartu kredit dari bank, atau

perusahaan yang mengeluarkan atau dapat juga menguangkan kepada bank

yang mengeluarkan atau pada cabang yang mengeluarkan.30

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mengenai unsur-unsur yang

terdapat di dalam pengertian kartu kredit itu antara lain sebagai berikut:31

1. Kartu kredit ini merupakan fasilitas kredit.

2. Diperuntukkan kepada nasabah dari penerbit (card issuer) kartu dengan

persyaratan tertentu.

3. Kartu kredit diterbitkan oleh bank atau Perusahaan Pembiayaan.

4. Jumlah pagu kredit yang diberikan disesuaikan dengan besarnya jumlah

penghasilan pemegang kartu.

5. Kartu kredit adalah berupa kartu plastik.

6. Dapat dipergunakan sebagai cara pembayaran didalam kegiatan

bertransaksi di tempat tertentu.

Dengan memperhatikan definisi kartu kredit tersebut maka dapat dilihat

bahwa adanya kesamaan pendapat mengenai pengertian kartu kredit. Oleh sebab

itu dapat diambil kesimpulan bahwa kartu kredit adalah fasilitas Kartu Kredit

29

Munir Fuady, 1995, Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktik, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 217

30

Imam Prayogo Suryohadibroto dan Djoko Prakoso, op.cit., hal. 335 31

Andra Tanady, 2006, Skripsi: Klaim Nasabah Kartu Kredit atas Permintaan

(42)

yang diperuntukkan bagi siapa saja yang memiliki penghasilan dengan pagu kredit

sesuai kriteria dan persyaratan tertentu yang ditentukan oleh Perusahaan

Pembiayaan yang mempergunakan sarana berupa kartu plastik yang berguna

sebagai cara pembayaran di dalam kegiatan bertransaksi di tempat-tempat yang

terkait dengan jaringan Kartu Kredit tersebut.

B. Pihak-pihak dalam Kartu Kredit

Dalam bisnis kartu kredit ada beberapa pihak yang terkait dalam lingkup

kerjanya. Para pihak yang terlibat dalam hubungan dengan kartu kredit adalah:32

1. Pihak penerbit (card issuer)

2. Pihak pemegang kartu kredit (card holder)

3. Pihak penjual barang atau jasa (merhant), dan

4. Pihak perantara

Ad 1 Pihak Penerbit (Card Issuer)

Pihak penerbit kartu kredit ini terdiri dari:33

a. Bank.

b. Lembaga keuangan yang khusus bergerak di bidang penerbitan kartu

kredit.

c. Lembaga keuangan, yang di samping bergerak di dalam penerbitan kartu

kredit, bergerak juga di bidang kegiatan-kegiatan lembaga keuangan

lainnya.

32

Dita Pratiwi, 2007, Tesis: Aspek-aspek Hukum tentang Perjanjian Kredit Tanpa

Agunan dalam Penerbitan Kartu Kredit Ditinjau dari KUH Perdata di Citibank Medan, Fakultas

Hukum USU, Medan, Hal. 47 33

(43)

Ad 2. Pihak Pemegang Kartu Kredit (Card Holder)

Card holder atau card member diartikan sebagai pemegang kartu yang

namanya tercetak di kartu dan berhak menggunakan kartu pada

merchant/pedagang. Card holder adalah orang yang memegang kartu kredit

secara sah. Kartu kredit tidak dapat dipindahtangankan dan harus ditandatangani

oleh pemegang kartu kredit tersebut.34

Keuntungan-keuntungan yang diperoleh pemegang kartu kredit antara

lain:35

a. Keamanan

b. Praktis

c. Penggunaan internasional

d. Kartu kredit dapat dipakai untuk menarik uang tunai

e. Mendapatkan asuransi perjalanan

f. Pembayaran yang fleksibel

g. Pembayaran PIN (Personal Identification Number)

Ad 3. Pihak Penjual Barang/Jasa (Merchant)

Penggunaan istilah merchant diberikan kepada tempat-tempat di mana

kartu kredit dapat digunakan, seperti hotel, restoran, tempat hiburan dan lain-lain.

Menurut Imam Prayogo Suryohadibroto dan Djoko Prakoso, merchant adalah

pihak-pihak yang menerima pembayaran kartu kredit dari pemegangnya.

Tempat-tempat yang menerima kartu kredit sebagai alat memberikan tanda atau

34

Andra Tanady, op.cit, Hal. 31 35

(44)

menempelkan lago dari kartu kredit yang diterima.36 Tidak semua tempat dapat

menjadi merchant dari kartu kredit. Untuk dapat menjadi merchant bagi salah satu

kartu kredit, terdapat 2 (dua) cara yang dapat ditempuh, yaitu:37

a. Permohonan dari pengusaha kepada pihak bank agar ditunjuk sebagai

merchant

b. Penawaran atau permintaan dari pihak bank kepada pengusaha yang

bersangkutan, agar tempatnya bersedia menjadi merchant.

Untuk memperlancar para merchant dalam melayani transaksi dengan

kredit maka bank memberikan penjelasan-penjelasan kepada merchant tentang

mekanisme pelayanan transaksi yang akan diuraikan dalam bagian selanjutnya

dalam skripsi ini. Di samping itu, kepada merchant diberikan alat-alat yang dapat

mendukung transaksi, yaitu:38

a. Alat printer untuk mecetak huruf-huruf timbul yang ada pada kartu kredit

pada lembaran bukti transaksi

b. Sale draft, yaitu formulir yang disediakan bank sebagai sarana merchant

mencatat transaksi, dan sebagai bukti pendukung pada saat menagih

kepada bank

c. Daftar hitam (black list atau collection bulletin), atau sering disebut care

recovery bulletin yang memuat nomor kartu yang telah dibatalkan dan

tidak berlaku lagi. Daftar ini selalu diperbaharui setiap 7 (tujuh) hari

d. Logo atau lambang kartu kredit yang diterima untuk ditempel di meja

kasir atau pintu

36

Imam Prajogo Suryohadibroto dan Djoko Prakoso, op.cit, Hal. 51 37

Ibid, Hal. 53 38

(45)

Seperti halnya card holder, terhadap setiap merchant pun ditentukan pula

batas atau yang biasanya disebut floor limit. Maksud floor limit adalah batas

jumlah harga pembelian yang dapat dilayani langsung tanpa meminta persetujuan

dari pihak bank.39

Ad 4. Pihak Perantara (Acquirer)

Pihak perantara ini terdiri dari perantara penagihan (antara penjual dan

penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit). Pihak

perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) yang disebut juga dengan

acquirer, adalah pihak yang meneruskan tagihan kepada penerbit berdasarkan

tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh penjual barang/jasa.40 Pihak

perantara penagihan inilah yang melakukan pembayaran kepada pihak penjual

tersebut. Apabila pihak perantara penagihan ini terpisah dari pihak penerbit, maka

seperti juga tagihan perantara tersebut kepada penerbit, maka jumlah yang harus

dibayar kepada penjual pun terkena pemotongan komisi oleh pihak perantara.

Selanjutnya yang dimaksud dengan perantara pembayaran (antara pihak

pemegang dengan pihak penerbit) adalah bank-bank di mana pembayaran

kredit/harga dilakukan oleh pemilik kartu kredit.41 Bank-bank ini akan

mengirimkan uang pembayaran tersebut kepada penerbit. Pihak perantara

pembayaran ini berkedudukan dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama saja

seperti pemberian jasa pengiriman uang lainnya yang biasa dilakukannya. Dalam

hal ini bank perantara ini akan mendapatkan bayaran berupa fee tertentu.

39

Ibid, Hal. 55 40

Andra Tanady, op.cit, Hal. 51 41

(46)

C. Mekanisme Penggunaan Kartu Kredit

Dalam suatu transaksi jual beli barang/jasa, pembeli mempunyai

kewajiban untuk membayar harga barang/jasa yang dibelinya. Pembayaran

tersebut dapat dilakukan secara langsung yaitu dengan menggunakan uang tunai

ataupun dengan cara kredit yaitu menggunakan surat berharga atau kartu kredit.

Mekanisme penggunaan kartu kredit dalam transaksi jual beli adalah

sebagai berikut:42

1. Nasabah mengajukan aplikasi permohonan menjadi Card Holder.

Penerbit kartu (bank) menilai permohonan tersebut apakah memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan. Adapun syarat-syarat-syarat-syarat untuk menjadi pemegang kartu

kredit adalah:

a. Applicant berusia 18-65 tahun.

b. Pendapatan yang memadai (tergantung kepada jenis card).

c. Mempunyai masa kerja minimal 2 (dua) tahun untuk karyawan.

d. Melampirkan dokumen-dokumen penunjang sebagai berikut:

1) KTP/SIM/Pasport

2) Kartu Keluarga

3) Foto

4) Surat Keterangan Penghasilan (slip gaji)

5) Rekening koran 3 (tiga) bulan terakhir atau fotokopi buku tabungan

atau deposito

6) Akte Pendirian

7) Surat Izin Usaha Perseroan (SIUP)

42

Lindawaty, 2000, Skripsi: Aspek Yuridis tentang Pelaksanaan Kartu Kredit pada Bank

(47)

8) Surat Izin Praktik

9) Surat jaminan (pribadi/perusahaan)

Penilaian kelayakan pemberian kartu kredit pada prinsipnya sama dengan

cara-cara penilaian pada pinjaman kredit komersial lainnya, yang

berdasarkan:43

a. Character adalah watak dari orang yang akan diberi kartu, kejujuran,

kesungguhan dalam memenuhi janji dan keinginan untuk memenuhi janji.

b. Capacity adalah kemampuan calon dari calon card holder untuk

mengembalikan pinjaman yang diberikan.

c. Condition of economy adalah kondisi ekonomi calon pemegang kartu pada

saat memohon menjadi anggota.

d. Capital adalah ukuran tentang sumber-sumber modal yang dimiliki.

e. Collateral adalah jaminan yang diperlukan dari pemegang apabila tidak

dapat membayar. Jaminan tersebut dapat berupa personal guarantee,

blocking deposito/tabungan, mobil dan sebagainya.

Apabila permohonan disetujui, penerbit kartu/bank menerbitkan kartu kredit

atas nama pemegang kartu. Pemohon kartu kredit tersebut resmi menjadi

pemegang kartu.

Aplikasi permohonan yang ditandatangani nasabah telah disediakan

penerbit/bank dalam bentuk blanko. Aplikasi permohonan inilah yang

kemudian merupakan Perjanjian Kartu Kredit bagi penerbit/bank dengan

pemegang apabila penerbit/bank menyetujui permohonan tersebut.

Pada umumnya kartu kredit memuat hal-hal sebagai berikut:

43

(48)

a. Nama penerbit

b. Nomor kartu kredit

c. Tahun sejak menjadi pemegang kartu

d. Masa mulai berlakunya kartu

e. Masa habis berlakunya kartu

f. Nama pemegang kartu kredit

g. Tanda tangan pemegang kartu

2. Di lain pihak, merchant-merchant mengadakan kerja sama dengan penerbit

kartu/bank. Kedua belah pihak menandatangani perjanjian yang telah dibuat

oleh penerbit/bank. Perjanjian ini dinamakan Perjanjian Usahawan.

Perjanjian Kartu Kredit dan Perjanjian Usahawan telah disediakan oleh bank

dalam bentuk blanko. Dengan demikian berarti bahwa ketentuan yang

mengatur hak dan kewajiban para pihak telah dicetak dalam blanko tersebut.

Perjanjian demikian dinamakan dengan perjanjian baku.

3. Pemegang melakukan transaksi jula beli dengan merchant. Setelah menerima

kartu kredit, merchant wajib memeriksa kartu kredit tersebut, apakah masih

berlaku dan tidak tercantum dalam Warning Bulletin. Proses pemeriksaan

kartu kredit/otorisasi dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) cara:

a. Secara manual/voice authorization, yaitu dengan menggunakan imprinter.

Merchant menggesekkan kartu pada mesin imprinter kemudian mengisi

data pemegang dan jumlah belanja pada sales slip dan menelepon ke

bagian otorisasi acquirer bank untuk meminta otorisasi atas transaksi yang

dilakukan nasabah. Petugas otorisasi menginput secara manual data yang

(49)

ke penerbit. Penerbit akan memberikan respon berupa disetujui atau

ditolak. Pihak otorisasi akan menyampaikan respon yang muncul di

Terminal Cardpac kepada merchant melalui telepon.

b. Secara otomatis yaitu dengan menggunakan alat POS (Point of Sales

Terminal) dan atau EDC (Electronic Draft Capture). Merchant hanya

memasukkan data pemegang dan jumlah belanja pada mesin POS/EDC

dan menggesekkan kartu tersebut, maka secara otomatis data akan

diteruskan kepada penerbit/acquirer bank. Penerbit/acquirer bank akan

membalas dengan memberikan respon berupa diterima atau ditolak. Dalam

hal ini Floor Limit yang diberikan adalah Rp. 0,- atau tidak ada karena

otorisasi dilakukan secara otomatis melalui sistem.

Alat-alat yang dipergunakan dalam otorisasi dipinjamkan secara gratis oleh

pihak penerbit/bank kepada merchant dan harus dikembalikan apabila

Perjanjian Usahawan berakhir. Penentuan pemberian alat tergantung kepada

besarnya jumlah transaksi kartu kredit pemegang yang dilakukan pada

merchant.

Setelah proses otorisasi selesai, merchant memberikan sales slip untuk

ditandatangani oleh pemegang kartu. Sales slip tersebut terdiri dari 3 (tiga)

eksemplar, yaitu:

1) 1 (satu) eksemplar untuk penerbit

2) 1 (satu) eksemplar untuk pemegang

3) 1 (satu) eksemplar untuk merchant

4. Merchant memberikan barang dan sales slip kepada pembeli/pemegang. Pada

Referensi

Dokumen terkait

Perjanjian yang dimaksud adalah Dalam kaitannya dengan kartu kredit, nasabah yang dimaksud adalah nasabah dalam arti luas yang dapat dipahami sebagai konsumen di bidang

Perjanjian yang dilakukan oleh para pihak merupakan perjanjian segi tiga antara tiga pihak yaitu: Perusahaan/Bank penerbit kartu kredit dengan pemegang kartu kredit (card

Berdasarkan hasil penelitian, Bank Indonesia melarang merchant melakukan pembebanan biaya tambahan kepada konsumen dalam transaksi menggunakan kartu kredit

penelitian hukum dengan judul: “ KARTU KREDIT DAN NASABAH (Studi tentang Hubungan Hukum Antara Bank dan Pemegang Kartu Kredit di Kantor Cabang Utama Bank

4) Hak untuk menolak memperpanjang keanggotaan, dengan memberitahukan secara tertulis kepada bank penerbit. Berdasarkan hak-hak tersebut, pemegang kartu kredit mempunyai hak

Sutan Remi Sjahdeini, loc cit.. Bentuk dan isi model perjanjian kredit dibuat dan ditentukan secara sepihak oleh bank sebagai kreditur. Nasabah sebagai debitur hanya dapat

contract ). 7 Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti,

penyediaan uang atau/tagihan yang disediakan oleh bank sebagai kreditur kepada nasabah sebagai debitur berdasarkan perjanjian kredit. Terhadap prestasi yang muncul