Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak hanya sekadar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum, tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut
hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan. Hal ini berbeda sekali dengan konsepsi perkawinan menurut Hukum Perdata Barat yang memandang perkawinan hanya sebagai perbuatan keperdataan belaka sebagaimana terlihat dalam Pasal 26 Burgerlijk Wetboek yang menyatakan: "Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdatanya".
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan:
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu "
Pada penjelasannya disebutkan:
"Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada per-kawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan keper-cayaannya itu, sesuci dengan Undang-undang Dasar 1945". Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak be-tentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini
Dari bunyi dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di atas ini dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum dan keper-cayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 dimana pada Pasal 29 dinyatakan:
(1)
"Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ".(2)
"Negara tnenjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayannya itu "Prof. Dr. Hazairin, S.H., dalam bukunya Tinjauan Mengenai Undang-undang No. 1 Tahun 1974 seperti dikutip K. Wantjik Saleh, S.H., dalam buku Hukum Perkawinan Indonesia menyatakan:
"Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang agama Kristen dan bagi orang Hindu Budha seperti dijumpai di Indonesia"31)
30) Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, Pengadilan Umum bagi famnya (lihat Pasal 63 Undang-undang No. 1 Tahun 1974).
Oleh karena itu, maka sah tidaknya suatu perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diukur dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan dengan memenuhi semua syarat dan rukun hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Demikianlah kebanyakan pendapat para ahli hukum dan sarjana hukum yang dianut oleh umat Islam Indonesia. Sehingga menurut pendapat ini, pencatatan perkawinan hanyalah merupakan tindakan administratif belaka, bukan menentukan sah tidaknya perkawinan.32)
Akan tetapi, para ahli dan sarjana hukum serta golongan yang selama ini tunduk dan melaksanakan perkawinan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam BW dan HOCI, dimana perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan mempunyai pendapat lain yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan menentukan sah tidaknya perkawinan. Menurut pendapat ini, kedua ayat dari Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tersebut33) harus dibaca sebagai satu ketentuan. Artinya, perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan itu segera disusul dengan pencatatan, karena sebagaimana ditentukan Pasal 100 BW dan Pasal 34 HOCI, akta perkawinan adalah bukti satu-satunya suatu perkawinan. Pendapat ini juga mengemukakan, bilamana Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tersebut dikaitkan dengan Bab III (Pasal 13 s.d. 21) dan Bab IV (Pasal 22 s.d. 28) mengenai pencegahan dan pembatalan perkawinan, maka pencegahan maupun pembatalan suatu perkawinan hanyalah mungkin dilakukan bila prosedur pencatatannya ditempuh menurut ketentuan dalam peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sehingga bilamana perkawinan dianggap sah tanpa pencatatan, maka kedua Bab mengenai pencegahan dan pembatalan perkawinan tersebut hampir tidak berguna. Dikemukakan pula seandainya pencatatan perkawinan dianggap tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, maka banyaklah di antara perbaikan-perbaikan yang diinginkan masyarakat yang hendak dicapai dengan Undang-undang No. i
tahun 1974 ini yang tidak dilaksanakan misalnya pengawasan polygami, pencegahan perkawinan anak-anak dan sebagainya.34)
32)
Drs. H. Saidus Syahar, S.H., op.cit., p. 16.33)
Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan (1) "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu", (2) "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut 3!) K. Wantjik Saleh, S.H., op.cit., p. 16.Kalau pendapat yang kedua ini diikuti secara konsekuen, dari segi teknis pelaksanaannya saja sudah menimbulkan banyak problem yang sukar dipecahkan, mengingat sarana dan prasarana untuk melaksanakan pencatatan perawinan ini keadaannya di negara kita masih jauh daripada memadai. Instansi pencatat perkawinan saja misalnya, bagi daerah-daerah luar pulau Jawa, pada tiap-tiap kecam,': tan belum tentu ada. Belum lagi bila jarak antara desa dengan kecamatan kadang-kadang berpuluh-puluh kilometer jauhnya, sedang perhubungan sedemikian sukarnya. Oleh karena itu, bila keabsahan perkawinan digantungkan pula dengan pencatatannya, maka ini akan menimbulkan beban yang terlalu berat bagi masyarakat di luar kesalahan mereka.35)
Kalau kita lihat sejarah penetapan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka dapat diketahui bahwa fungsi pencatatan perkawinan semula dikehendaki oleh perancang undang-undang adalah sebagai syarat untuk sahnya suatu perkawinan. Karena itu, mengenai pencatatan perkawinan ini pengaturannya diformulering oleh perancang undang-undang dalam Pasal 2 sebagai berikut:36)
1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan, dicatat dalam daftar pencatatan per-kawinan oleh Pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang dan/atau ketentuan hukum per-kawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.2)
Pencatatan perkawinan dimaksud ayat (1) pasal ini dilakukan oleh pejabat negara yang diatur lebih lanjut dalam perundang-undangan tersendiri.Akan tetapi, ketika RUU perkawinan itu diajukan dan dibicarakan di DPR, maka maksud perancang undang-undang perkawinan yang ingin menempatkan pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya perkawinan sebagaimana diformulering dalam rancangan Pasal 2 tersebut di atas, mendapat tantangan yang keras terutama .dari wakil rakyat dalam Fraksi Persatuan Pembangunan, karena hal itu bertentangan dengan aqidah Islam. Bahkan, bukan hanya Pasal 2 saja dari RUU itu yang dipandang bertentangan dengan Islam, akan tetapi masih ada beberapa pasal lainnya, sehingga RUU perkawinan yang banyak mengandung pertentangan-pertentangan dengan aqidah Islam itu, pada waktu itu cukup menimbulkan keresahan dalam masyarakat.37)
34)
Drs. H. Saidus Syahar, S.H., loc.cit.35)
Ibid., p. 30,31.36)
Lihat RUU Perkawinan yang disampaikan olehAkhirnya, diperoleh suatu kompromi berdasarkan permusya-waratan permufakatan, bahwa pencatatan perkawinan disadari dan dirasakan sangat penting artinya sehingga perlu ada. Namun, pencatatan perkawinan tidaklah menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, karena sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Rancangan Pasal 2 Undang-undang perkawinan itupun kemu-dian diubah sedemikian rupa menjadi Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sekarang yang menyatakan:
(1)
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu ".(2)
"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ".Selain itu, RUU perkawinan tersebut yang pada waktu disampaikan ke DPR tanggal 31 Juli 1973 berjumlah 73 pasal, ketika diundangkan menjadi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 dalam LNRI 1974 No. 1 hanya tinggal 67 pasal, sebab beberapa pasal RUU yang bertentangan dengan agama Islam telah dihilangkan.
Dalam praktik peradilan, pendapat yang menyatakan bahwa sah tidaknya suatu perkawinan hanya bergantung kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaan, sedangkan pencatatan perkawinan hanyalah merupakan tindakan administratif saja, ternyata telah diikuti Pengadilan, khususnya Pengadilan Negeri Jakarta Utara Timur dalam putusannya No. 253/1978 G terhadap perkara perceraian antara Ny. Titi Tjahaja Kumandang (penggugat) yang dikuasakan kepada Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong) vs Sujono Karsono. Pengadilan Negeri Jakarta Utara Timur berpendapat, bahwa kendatipun perkawinan antara penggugat dan tergugat yang dilakukan di Hongkong tanggal 15 April 1969 tidak dicatat dan ini menurut Undang-undang Perkawinan yang berlaku di Hong Kong dianggap tidak sah, tetapi karena perkawinan tersebut menurut agama Islam adalah sah, sehingga perkawinan itu harus dinyatakan sebagai perkawinan yang sah.
37) Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, Al Ma'arif, Bandung, 1976, p. 30, 31.