Eksistensi Hak Tanggungan
Eksistensi hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah sebetulnya sudah ada sejak diundangkannya UUPA tanggal 5 September 1960, sebagaimana disebutkan dalam Pasal-pasal 25, 33, dan 39. Namun, keputusan-keputusan yang mengatur hak tanggungan itu tidak ada dimuat dalam UUPA, sehingga keten-tuan-ketentuan mengenai hipotik dalam Buku II BW dinyatakan masih berlaku sebagai pengganti sementara undang-undang yang akan mengatur hak tanggungan yang belum ada. Untuk jelasnya mengenai hal ini, berikut kita kutip uraian Boedi Harsono, S.H. yang dikenal sebagai orang yang membidani kelahiran UUPA tersebut di bawah ini.
Dalam makalahnya yang berjudul Masalah Hipotik dan Credietverband yang disampaikan dalam Seminar tentang Hipotik dan Lembaga-lembaga Jaminan lainnya di Yogyakarta tanggal 28 - 30 Juli 1977, Boedi Harsono, menyatakan:45)
UUPA bertujuan rnenciptakan unifikasi hukum tanah, dengan meniadakan tanah barat (diktum No. 4) dan menyatakan bahwa hukum tanah lyang baru) adalah hukum adat {Pasal 5
UUPA), Sehubungan dengan itu, hak-hak atas tanah yang seluruhnya terdiri atas 2 perangkat, mengalami pula unifikasi. Untuk selanjutnya, hukum tanah kita hanya mengenal satu perangkai hak-hak tanah saja, yaitu sebagai yang diatur dalam UUPA. Adapun hak-hak tanah yang merupakan hubungan-hubungan hukum yang ada, diubah menjadi salah satu hak yang baru, melalui apa yang dikenal dengan sebutan "konversi" (Pasal l s.d. IX Ketentuan Konversi UUPA).
Yang ditetapkan oleh UUPA itu bukan hanya hak-hak atas tanah saja, melainkan juga hak jaminan. Hak jaminan atas tanah yang baru disebut hak tanggungan (Pasal 25, 33 dan 39 UUPA). Demikian pula hak-hak jaminan khusus hipotik, sebagai hubungan hukum, juga mengalami konversi (Pasal I ayat 6 Ketentuan Konversi: "Hak-hak hipotik ... yang dibebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut menjadi suatu hak menurut undang-undang ini").
Karena hak jaminan yang dikenal dalam UUPA adalah hak tanggungan, konversi hak hipotik tersebut tentunya menjadi hak tanggungan pula. Hal-hal itu menunjukkan, bahwa lembaga jaminan atas tanah juga mengalami unifikasi.
Menurut Boedi Harsono, S.H. yang dinyatakan masih berlaku oleh Diktum No. 4 UUPA itu bukanlah hipotik sebagai suatu lembaga, tetapi hanya ketentuan-ketentuannya saja, sebagai pengganti sementara undang-undang yang akan mengatur hak tanggungan yang belum ada. Meskipun demikian, beliau tidak keberatan untuk tetap mempergunakan sebutan hipotik di dalam peraturan perundang-undangan dan praktek, asal disadari bahwa yang disebut hipotik itu adalah hak tanggungan, yang menggu-nakan peraturan-peraturan hipotik sebagai pelengkap daripada peraturannya sendiri yang sudah ada. Penggunaan sebutan hipotik adalah semata-mata dimaksudkan untuk menghemat kata-kata dalam menyebut hak tanggungan dalam hubungan-hubungan hukum tertentu.46)
46) Ibid., p. 82.
45) BPHN, Seminar Tentang Hipotik dan Lembaga-lembaga jaminan lainnya. Binacipta, Jakarta, 1978, p. 78-79.
Jadi, yang tidak ada lagi setelah UUPA adalah lembaga hipotik sebagai jaminan atas tanah. Sedangkan hipotik sebagai jaminan atas benda-benda tidak bergerak lainnya seperti atas kapal laut sebagaimana dimaksud Pasal 314 ayat (3) WvK masih tetap ada.
Namun, setelah adanya Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah yang diundangkan tanggal 9 April 1996 (LN 1996 No. 42), bukan hanya lembaga jaminan hipotik atas tanah yang tidak berlaku lagi, tetapi juga ketentuan-ketentuan hipotik atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Buku II BW dan ketentuan-ketentuan credietverband dalam Stb, 1908 No. 542 sebagaimana telah diubah dengan Stb. 1937 No. 190. Hak Tanggungan merupakan lembaga jaminan (nasional) pengganti hipotik dan credietverband (peninggalan kolonial Hindia Belanda), karena dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 merupakan lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat dengan ciri-ciri:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya (preferent);
b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite);
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
d. Mudah dan pasti pelaksanaannya. Pengertian Hak Tanggungan
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan selanjutnya disebut UUHT dalam Pasal 1 augka 1 menyatakan:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No, 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain vang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Jadi, hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Utang yang dijamin pelunasannya (pembayarannya) dengan hak tanggungan dapat berupa utang yang sudah ada maupun yang belum ada, tetapi sudah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat eksekusi hak tanggungan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (1) UUHT). Jadi, utang yang dijamin pelunasan itu dapat berupa utang yang terjadi karena pembayaran yang dilakukan kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan bank garansi, bunga atas pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian.
Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, artinya hak tanggungan membebani setara untuk obyek hak tanggungan dan setiap bagian dari padanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan dari beban hak tanggungan, melainkan tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi (Pasal 2 ayat (1) UUHT).
Namun, apabila hak tanggungan dibebankan kepada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai tersendiri, maka dapat diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang menjadi obyek jaminan, yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut, sehingga kemudian hak tanggungan itu hanya membebani sisa obyek hak tanggungan untuk menjamin pelunasan sisa utang yang belum dibayar (Pasal 2 ayat (2) UUHT).
Ketentuan di atas ini untuk menampung kebutuhan perkem-bangan dunia perkreditan, antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang semula menggunakan to edit pembangunan seluruh kompleks dan kemudian yang dijual kepada pemakai satu persatu, sedangkan untuk membayarkannya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminas rumah yang bersangkutan. Pembeli rumah yang melunasi kredi'nya di bank akan membebaskan tanah dan rumah yang dibelinya dari hak tanggungan.
Obyek Hak Tanggungan
Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan disebutkan dalam Pasal 4 UUHT yaitu:
a. Hak milik:
c. Hak guna bangunan.
Dalam UUPA yang ditunjuk sebagai hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan pelunasan (pembayaran) utang sebagai obyek hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan sebagai hak-hak atas tanah yang wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah-tangankan. Sedangkan hak pakai dalam UUPA tidak ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan, karena pada waktu itu tidak termasuk hak atas tanah yang wajib didaftarkan sehingga tidak memenuhi syarat publisitas untuk dapat dijadikan jaminan pelunasan utang.
Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian hak pakai pin harus didaftarkan yaitu hak pakai yang diberikan atas tanah negara Sebagian dari hak pakai yang didaftarkan ini pun menurut sifat dan kenyataannya dapat dipindahtangankan, baik yang diberikan kepada orang-perorangan maupun badan hukum perdata, sehingga hak yang dimaksudkan dapat dibebani fidusia (UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun).
Namun, dalam UUHT ini hak pakai dinyatakan dapat dibebani atau dijadikan obyek hak tanggungan. Dalam Pasal 4 ayat (2) UUHT dinyatakan:
Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak pakai atas tanah negara menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dan dapat juga dibebani hak tanggungan. Sedangkan hak pakai atas tanah hak milik ddak dapat dibebani hak tanggungan karena tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas. Akan tetapi, mengingat perkembangan kebutuhan masyarakat dan pembangunan di kemudian hari, hak pakai atas tanah hak milik juga dimungkinkan untuk dibebani hak tanggungan, jika telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yang untuk ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Demikian pula dengan hak pakai atas tanah negara, yang walaupun wajib didaftarkan, karena sifatnya tidak dipindah-tangankan, seperti hak pakai atas nama perwakilan negara asing, yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya diperlukan untuk keperluan tertentu, tidak dapat dibebani atau dijadikan obyek hak tanggungan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan obyjek hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah negara. Jadi, dengan adanya UUHT ini, hak tanggungan merupakan satu-satunya lembaga jaminan atas tanah. Dengan demikian, menjadi tuntaslah unifikasi hukum tanah nasional yang merupakan tujuan daripada UUPA.
Hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah beserta bangunan, tanaman dan hasil karya yang ada atau akan ada, misalnya candi, patung, gapura, relief yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang merupakan hak milik pemegang hak atas tanah. Untuk ini harus dinyatakan dengan tegas dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan (Pasal 4 ayat (4) UUHT). Namun, apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut bukan hak milik pemegang nak atas tanah, maka pembebanan hak tanggungannya harus dilakukan bersamaan dengan pembebanan hak tanggungan atas tanah yang bersangkutan. Untuk ini harus dinyatakan dalam satu akta pemberian hak tanggungan, yang ditandatangani bersama oleh pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan hasil karya yang bersangkutan atau kuasanya, keduanya sebagai pihak pemberi hak tanggungan (Pasal 4 ayat (5) UUHT).
Suatu obyek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang, sehingga terdapat pemegang hak tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua, dan peringkat seterusnya, yang ditentukan menurut tanggal pendaftarannya di Kantor Pertanahan. Jika pendaftaran beberapa hak tanggungan dilakukan pada tanggal yang sama, peringkat hak tanggungan ditentukan berdasarkan nomor akta pemberiannya, karena pembuatan beberapa akta pemberian hak tanggungan atas obyek yang sama hanya dapat dilakukan oleh PPAT yang sama (Pasal 5 ayat (3) UUHT).
Apabila debitur cedera janji (wanprestasi), maka pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Hak pemegang hak tanggungan tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan, tanpa persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan (Pasal 6 UUHT).
Hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya meskipun sudah berpindahtangan dari pemberi hak tanggungan kepada pihak lain. Artinya, kreditur pemegang hak tanggungan masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi jika debitur cedera janji (Pasal 7 UUHT).
Subyek Hak Tanggungan
Subyek hak tanggungan adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian pemberian hak tanggungan yaitu pihak pemberi hak tanggungan dan pihak penerima/pemegang hak tanggungan.
Pemberi hak tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
pembuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untus melakukan pembuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan dimaksud harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan yang bersangkutan. Pemberi hak tanggungan tidak harus pihak yang berutang (debitur), tetapi juga bisa pihak ketiga, yang penting dia berwenang melakukan pembuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan.
Karena yang menjadi obyek bak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, maka pihak yang dapat memberi hak tanggungan tentu tidak semua orang perorangan dan badan hukum, tetapi orang perorangan dan badan hukum tertentu, yang menurut UUPA dapat mempunyai hak-hak atas tanah tersebut di atas.
Sedangkan penerima/pemegang hak tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (kreditur). UUHT tidak menentukan syarat-syarat bagi pemegang hak tanggungan, sehingga setiap kreditur dapat menjadi pemegang hak tanggungan. Apakah dia warga negara Indonesia atau warga negara asing, apakah badan hukum Indonesia atau badan hukum asing, apakah berkedudukan di Indonesia atau di luar negeri, semuanya bisa menjadi pemegang hak tanggungan, Tata Cara Pemberian Pendaftaran, Peralihan dan Hapusnya Hak Tanggungan
Hak tanggungan merupakan ikutan (accessoir) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit. UUHT menentukan bahwa untuk pemberian hak tanggungan harus didahulukan janji untuk memberikan hak tanggungan, sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lain yang menimbulkan utang tersebut (Pasal 10 ayat (1) UUHT).
Perjanjian utang-piutang tersebut dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta otentik. Namun, pemberian hak tanggungan harus dilakukan dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 10 ayat (2) UUHT).
Apabila obyek hak tanggungan berupa hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan, tetapi pendaftarannya belum dilakukan, maka pem-berian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 10 ayat (3) UUHT). Ketentuan ini berlaku juga terhadap tanah yang sudah
berseni fikat. tetapi belum didaftar atas nama pemberi hak tanggungan sebagai pemegang hak atas tanah yang baru, yaitu tanah yang belum didaftar peralihan haknya, pemecahannya, atau penggabungannya.
Dimungkinkannya hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang demikian untuk dijadikan obyek hak tanggungan, mengingat hak kepemilikan atas tanah yang demikian waktu ini masih banyak. Maksudnya, untuk memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit, di samping untuk mendorong pensertifikatan tanah pada umumnya.
Di dalam akta pemberian hak tanggungan wajib dicantumkan: a Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan; b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan kantor PPAT tempat pembuatan akta pemberian hak tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih; c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1): d. Nilai tanggungan; dan
e. Uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan.
Tidak dicantumkannya hal-hal tersebut di atas secara lengkap dalam akta pemberian hak tanggungan, mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialisasi dari hak tanggungan, baik mengenai subyek, obyek, maupun utang yang dijamin pelunasannya.
Kemudian dalam akta pemberian hak tanggungan dapat dicantukan janji-janji antara lain:
a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan obyek hak tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan;
b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek hak tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan;
c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk mengelola obyek hak tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi letak obyek hak tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cedera janji;
d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk menyelamatkan obyek hak tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek hak tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya undang-undang.
e. Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitur cedera janji;
f. Janji diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama bahwa obyek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan;
g. Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek hak tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
h. Janji bagi pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh
atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek hak tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
I. Janji bahwa pemjgang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebtgian dari utang angsuran yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek hak tanggungan diasuransikan;
j. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan mengosongkan obyek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan; k. Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).
Janji-janji di atas ini sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya akta. Pihak-pihak bebas menentukan untuk mencantumkan atau tidak janji-janji tersebut dalam akta pemberian hak tanggungan. Akan tetapi, apabila janji-janji itu dican-tumkan dalam akta pemberian hak tanggungan yang kemudian didaftarkan di Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.
Namun, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum (Pasal 12 UUHT). Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitur dan pemberi hak tanggungan lainnya, terutama jika nilai
obyek hak tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamui, Pemegang hak tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik obyek hak tanggungan karena debitur cedera janji. Meskipun demikian, tidaklah dilarang bagi pemegang hak tanggungan untuk menjadi pembeli obyek hak tanggungan asalkan melalui prosedur sebagaimana yang diatur daiam Pasal 20 UUHT.
Setelah akta pemberian hak tanggungan selesai dibuat dan ditandatangani oleh PPAT, pemberian hak tanggungan ini wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menandatangani akta pemberian hak tanggungan tersebut. PPAT wajib mengirim akta itu dan warkah lain47) yang diperlukan ke Kantor Pertanahan.
Setelah menerima akta pemberian hak tanggungan dari PPAT, Kantor Pertanahan kemudian membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan untuk pendaftarannya. Jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya.
Pendaftaran pemberian hak tanggungan sebagainmana diurai-kan di atas merupadiurai-kan salah satu asas hak tanggungan yaitu asas publisitas. Oleh karena itu, didaftarkannya pemberian hak tang-gungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tangtang-gungan tersebut dan mengikatnya hak tanggungan terhadap pihak ketiga.
Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sertifikat hak tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan, sedangkan sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah (pemberi hak tanggungan), kecuali diperjanjikan lain.
Dalam praktek pemberian kredit di bank pada umumnya, sertifikat hak atas tanah lazimnya dipegang oleh bank, sehingga pemberi hak tanggungan tidak bisa lagi menjaminkan hak atas tanahnya itu 47) Warkah lain yang dimaksudkan disini adalah surat-surat
bukti yang berkaian dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak pihak yang bersangkutan, sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai
kepada kreditur lain. Oleh karena itu, bank yang bersangkutan menjadi satu-satunya kreditur pemegang hak tanggungan atas tanah tersebut. Hal ini untuk menghindarkan berbagai persoalan eksekusi apabila debitur cedera janji.
Pada dasarnya, pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi bak tanggungan. Namun, apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT, maka diperkenankan menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang harus dibuat dengan akta notaris atau