DAFTAR LAMPIRAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.4. Keadaan fisika kimia air wadah pemeliharaan
Pengukuran parameter fisika maupun kimia air dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan penambahan bahan organik terhadap kecenderungan keadaan fisika kimia air pada wadah pemeliharaan. Nilai parameter fisika kimia yang telah diukur disajikan pada Lampiran 8.
Hari ke- 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Ni la i C OD (m g /l ) 0 20 40 60 80 100
tanpa penambahan bahan organik bahan organik 0.5 mg/l
bahan organik 1.0 mg/l
Gambar 8. Nilai COD pada tiga perlakuan berbeda
COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan gambaran besarnya bahan organik di suatu perairan yang dapat didekomposisi secara biologi maupun kimia. Pengukuran COD dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan pengaruh penambahan bahan organik terhadap kandungan bahan organik di masing-masing
wadah pemeliharaan. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan besarnya nilai COD. Ketiga perlakuan memiliki kecenderungan variasi perubahan yang sama untuk nilai COD, yakni mengalami kenaikan sampai hari tertentu dan mengalami penurunan hingga pengamatan terakhir.
Nilai COD paling tinggi adalah pada wadah dengan konsentrasi bahan organik sebesar 1,0 mg/l dengan nilai 86,67 mg/l pada pengamatan hari ke-12. Sedangkan nilai COD tertinggi pada perlakuan bahan organik 0,5 mg/l adalah 59,33 mg/l pada hari ke-15 dan untuk dan perlakuan tanpa penambahan bahan organik adalah 20,67 mg/l untuk pengamatan hari ke-6. Kisaran nilai COD untuk perlakuan tanpa bahan organik adalah 16,67-20,67 mg/l. Perlakuan dengan bahan organik 0,5 mg/l memiliki kisaran 14,33-59,33 mg/l. Sedangkan pada wadah perlakuan dengan penambahan bahan organik 1,0 mg/l, nilai COD berkisar antara 15,67-86,67 mg/l. Perbedaan nilai COD ini disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organik yang ditambahkan pada masing-masing wadah perlakuan.
Salah satu parameter fisika yang diukur adalah suhu, yakni salah satu parameter yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan biota air. Metabolisme biota akan meningkat jika terjadi kenaikan suhu hingga batas tertentu dan sebaliknya, akan terjadi penurunan tingkat metabolisme bila terjadi penurunan suhu. Pengukuran parameter suhu dilakukan setiap tiga hari. Suhu yang tercatat berkisar antara 26,1-27,4 ºC. Kecenderungan variasi suhu untuk masing-masing perlakuan sama, seperti yang terlihat pada Gambar 9. Masing-masing wadah pemeliharaan tidak memperlihatkan kenaikan maupun penurunan suhu yang signifikan. Suhu paling tinggi terjadi pada pengamatan hari ke-9 dan paling rendah terjadi pada pengamatan hari ke-6.
Gambar 10 menggambarkan keadaan pH pada masing-masing wadah pemeliharaan. Pengukuran pH dilakukan setiap minggu dan ditampilkan dalam bentuk grafik dalam bentuk rata-rata untuk masing-masing perlakuan. Nilai pH tertinggi tercatat pada pengamatan minggu pertama pada wadah pemeliharaan tanpa penambahan bahan organik dan terendah pada wadah dengan bahan organik 0,5 mg/l untuk pengamatan minggu terakhir. Kisaran nilai pH berada pada rentang 6,9-7,7. Variasi nilai pH kecil dan masih memenuhi syarat hidup untuk biota perairan yakni 6-9.
hari ke- 2 4 6 8 10 12 14 16 n il a i su h u ( 0 C) 25,0 25,5 26,0 26,5 27,0 27,5 28,0
tanpa penambahan bahan organik bahan organik 0.5 mg/l
bahan organik 1.0 mg/l
Gambar 9. Nilai suhu pada tiga perlakuan berbeda
minggu ke- 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 n il a i pH 6,0 6,5 7,0 7,5 8,0
Gambar 10. Nilai pH pada tiga perlakuan berbeda
Parameter selanjutnya adalah oksigen terlarut (Dissolved Oxygen). Hampir sama seperti suhu, nilai DO juga sangat mempengaruhi aktivitas metabolisme biota air termasuk larva chironomida. DO digunakan sebagai
masukan untuk respirasi bagi mahluk hidup heterotrof. Nilai DO sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti aktivitas fotosintesis organisme autotrof, difusi udara, maupun mixing. Pada penelitian kali ini tidak ada penambahan kadar oksigen yang dilakukan secara sengaja. Fotosintesis yang berlebihan pun secara tidak langsung dihindari dengan cara penempatan wadah di ruang tertutup. Cara ini dilakukan untuk menghindari tumbuhnya perifiton yang diperkirakan akan mengganggu pertumbuhan larva chironomida itu sendiri.
Gambar 11 menunjukkan variasi nilai DO yang cenderung mengalami penurunan. Variabilitas nilai DO untuk setiap perlakuan hampir sama. Perlakuan tanpa penambahan bahan organik menunjukkan kisaran nilai DO yang lebih tinggi dari dua perlakuan yang lain. Nilai DO berkisar antara 3,8-7,8 mg/l. Perlakuan dengan penambahan bahan organik 0,5 mg/l berkisar antara 4,7-6,7 mg/l. Sedangkan untuk perlakuan dengan bahan organik 1,0 mg/l yakni kandungan bahan organik paling tinggi, nilai DO berkisar antara 3,8-5,3 mg/l.
hari ke- 2 4 6 8 10 12 14 16 n il a i o k si g en te rl a ru t (m g /l ) 0 2 4 6 8
tanpa penambahan bahan organik bahan organik 0.5 mg/l
bahan organik 1.0 mg/l
4.1.5. Pengelompokan larva chironomida berdasarkan instar
Fase hidup chironomida saat larva adalah tahapan hidup paling lama dari keempat siklus hidup chironomida. Perkembangan larva chironomida di daerah tropis umumnya membutuhkan waktu ± 1 bulan. Selama fase ini, chironomida mengalami empat instar. Waktu capaian masing-masing instar dari larva chironomida berbeda-beda bergantung pada spesiesnya. Penentuan capaian instar dari larva chironomida pada penelitian ini dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar kapsul kepala. Kapsul kepala dari larva chironomida terbuat dari zat kitin. Penentuan instar didasarkan pada pergantian kulit (molting) pada kapsul kepala yang menandai terjadinya pergantian instar. Tabel 2 merupakan dasar pengelompokan instar berdasarkan penelitian Dettinger-Klemm (2003).
Tabel 2. Karakteristik ukuran larva Chironomus sp. berdasarkan instar
Instar Head L (µm) Head W (µ m) Body L (mm) Body W (µ m)
I 105-108; 123 ± 10,9 101-184; 112 ± 11,2 0,7-2,0 40-201 II 182-224; 199 ± 10,7 159-208; 190 ± 9,9 1,7-3,8 102-347 III 270-405; 355 ± 29,7 245-356; 311 ± 22,3 3,0-7,5 161-564 IV 494-649; 585 ± 40,3 409-592; 510 ± 37,1 4,7-12,8 353-1128
Tabel 2 dijadikan pedoman dalam menentukan centroid atau pemusatan data panjang dan lebar kapsul kepala dari larva chironomida. Selanjutnya data diolah dengan menggunakan perangkat lunak MINITAB 14. Larva dikelompokkan menjadi 4 instar. Masing-masing instar memiliki kisaran panjang dan lebar kapsul kepala yang berbeda. Berikut ditampilkan grafik pengelompokan larva berdasarkan instar dengan pedoman ukuran dari Dettinger-Klemm (2003).
Gambar 12 menunjukkan bahwa berdasarkan penelitian, pada wadah dengan perlakuan tanpa penambahan bahan organik hanya terdapat satu kelompok larva chironomida, yakni instar satu. Kisaran panjang kapsul kepala untuk instar satu adalah antara 15-121 µm dan lebar kapsul kepala berkisar antara 12,5-91,4 µm. Keterbatasan bahan organik adalah faktor yang mempengaruhi terhambatnya pertumbuhan larva Chironomus sp. pada perlakuan tanpa penambahan bahan organik. Kurangnya bahan organik sebagai sumber makanan dan bahan pembuatan tubes bagi larva chironomida menyebabkan terganggunya pertumbuhan larva.
0 200 400 600 0
200 400
600 instar I
Gambar 12. Pengelompokan instar I larva Chironomus sp.berdasarkan panjang total dan lebar kapsul kepala pada wadah tanpa penambahan bahan organik
Gambar 13 (bagian atas) menunjukkan grafik pengelompokan instar pada wadah perlakuan dengan penambahan bahan organik dengan kadar 0,5 mg/l. Bahan organik menjadi sumber makanan dan bahan pembuatan tubes bagi larva Chironomus sp. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa terjadi pertumbuhan larva yang ditandai oleh perkembangan instar mulai dari instar I hingga instar IV pada Gambar 13. Instar I memiliki kisaran panjang kapsul kepala antara 38-183 µm dan lebar kapsul kepala antara 24-126 µm. Larva Chironomus sp. instar II memiliki kisaran panjang dan lebar kapsul kepala antara 187-270 µm dan 185-232 µm. Instar III dengan kisaran panjang kapsul kepala antara 287-475 µm dan lebar kapsul kepala 253-356 µm. Sedangkan untuk lava Chironomus sp. instar IV memiliki kisaran panjang dan lebar kapsul kepala antara 476-515 µm dan 358-428 µm.
0 100 200 300 400 500 600 0 100 200 300 400 500 600 0 100 200 300 400 500 600 0 100 200 300 400 500 600
Gambar 13. Tahap perkembangan larva Chironomus sp. berdasarkan panjang total dan lebar kapsul kepala perlakuan dengan penambahan bahan organik 0,5 mg/ l (atas) dan 1,0 mg/l (bawah)
Gambar 13 (bagian bawah) menunjukkan informasi mengenai perkembangan larva Chironomus sp. yang terbagi menjadi empat instar. Masing- masing instar memiliki kisaran yang berbeda baik dari segi panjang maupun lebar kapsul kepala. Penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi perlakuan dengan penambahan bahan organik 1,0 mg/l, larva Chironomus sp. dapat tumbuh dengan
baik dan mencapai empat instar hingga dewasa. Berdasarkan Gambar 13 dapat diketahui bahwa kisaran panjang kapsul kepala untuk instar I berkisar antara 44,5- 160 µm dan lebar kapsul kepala 40,9-137 µm. Kisaran panjang dan lebar kapsul kepala untuk instar II berkisar antara 193-228 µm dan 166-208 µm. Larva Chironomus sp. instar III memiliki panjang kapsul kepala sebesar 229-405 µm dan lebar kapsul kepala antara 209-353 µm. Instar terakhir (instar IV) panjang dan lebar kapsul kepala berkisar antara 408-572 µm dan 360-404 µm. Berdasarkan perbandingan kedua grafik tersebut, dapat dilihat bahwa penambahan bahan organik yang lebih banyak akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan yang lebih besar. Titik-titik pada grafik menunjukkan bahwa pada penambahan bahan organik 1,0 mg/l mengakibatkan pertumbuhan lebih besar pada instar IV.
Berdasarkan pengelompokan instar, dapat diketahui waktu capaian masing-masing instar dengan membandingkan kisaran panjang total larva Chironomus sp. dengan waktu. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Zilli et al. (2008) yang menyatakan bahwa kurva pertumbuhan populasi erat kaitannya dengan pertumbuhan panjang total berdasarkan waktu. Tabel 3 menggambarkan hasil penelitian Zilli et al. (2008) mengenai waktu capaian instar pada spesies C. calligraphus.
Tabel 3. Karakteristik ukuran larvadan waktu capaian instar C. calligraphus Instar Lebar Kapsul
Kepala (µm) Tingkat Pertumbuhan Panjang Total (µm) Jangka Waktu (hari) I 115,2±6,9 1,58 1109±193,4 5±1,2 II 182,2±10,8 1,62 2449,1±701,4 3±0,7 III 295,3±19,1 1,6 5121,1±750,7 6±2,6 IV 472,8±30,9 1,6 8943,6±1672,7 10±1,7
Penentuan waktu capaian instar dilakukan dengan membandingkan data panjang total berdasarkan penelitian Zilli et al. (2008) dengan panjang total berdasarkan penelitian. Panjang total untuk masing-masing perlakuan dirata- ratakan setiap harinya dan dilakukan penentuan waktu capaian berdasarkan pengelompokan panjang total pada Tabel 3. Sehingga diperoleh waktu capaian instar yang ditampilkan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Karakteristik ukuran larva dan waktu capaian instar berdasarkan penelitian
Instar
Waktu Capaian Instar (± hari) Bahan Organik 0 mg/l Bahan Organik 0,5 mg/l Bahan Organik 1,0 mg/l I 7* 4 4 II - 2 2 III - 13 10 IV - 2** 5**
*waktu capaian instar I tidak bisa ditentukan karena terjadi kematian seluruh individu pada hari ke-7
**waktu capaian ketika sudah ada chironomida yang mencapai fase pupa
Berdasarkan hasil penelitian dapat dibandingkan jangka waktu yang dibutuhkan larva pada masing-masing perlakuan untuk melewati masing-masing instar. Larva pada perlakuan tanpa penambahan bahan organik hanya bertahan hingga pengamatan hari ke-7 karena tidak tersedianya bahan organik sebagai sumber makanan. Fase hidup larva chironomida pada perlakuan ini hanya fase planktonik dan instar I. Perlakuan dengan penambahan bahan organik 0,5 mg/l dan 1,0 mg/l memiliki pola yang sama untuk jangka waktu instar I dan II. Akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada instar III dan IV. Penambahan bahan organik yang lebih tinggi menyebabkan larva Chironomus sp. lebih cepat mencapai instar IV, namun jangka waktu untuk instar IV menjadi lebih lama. Hal ini membuktikan, bahan organik memberikan pengaruh bagi waktu capaian instar pada Chironomus sp.
Berdasarkan tingkatan instar yang telah diperoleh dari nilai rata-rata panjang total, larva chironomida dikelompokkan berdasarkan keempat tingkatan instar tersebut. Gambar 14 dan 15 menunjukkan perbandingan panjang dan lebar kapsul kepala (kiri) dan lebar badan (kanan) larva chironomida untuk masing- masing instar pada perlakuan penambahan bahan organik. Berdasarkan gambar tersebut dapat terlihat bahwa terjadi perubahan ukuran kapsul kepala dan lebar badan. Perlakuan dengan penambahan bahan organik lebih tinggi menyebabkan perubahan ukuran lebih cepat karena ketersediaan makanan yang lebih tinggi. Namun, pada perlakuan ini memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai instar IV.
Gambar 14. Perbandingan kapsul kepala dan lebar badan setiap instar pada perlakuan penambahan bahan organik 0,5 mg/l
Gambar 15. Perbandingan kapsul kepala dan lebar badan setiap instar pada perlakuan penambahan bahan organik 1,0 mg/l
4.1.6. Penentuan kohort berdasarkan analisis distribusi frekuensi panjang larva chironomida dengan metode NORMSEP
Larva chironomida yang diamati memperlihatkan perubahan ukuran baik panjang total, lebar badan, panjang kepala, maupun lebar kepala. Hal ini membuktikan bahwa larva chironomida mengalami pertumbuhan. Analisis pertumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode NORMSEP (Normal Separation). Larva chironomida diklasifikasikan menjadi beberapa selang kelas panjang dan diolah dalam bentuk grafik distribusi panjang dengan perangkat lunak FISAT II.
Berdasarkan data panjang total larva chironomida yang telah dikelompokkan berdasarkan selang kelas tertentu, perlakuan tanpa penambahan bahan organik tidak menunjukkan pertumbuhan yang signifikan sehingga tidak dapat dideskripsikan dengan menggunakan metode ini. Gambar 15 menunjukkan perbandingan grafik distribusi panjang untuk perlakuan dengan penambahan bahan organik sebanyak 0,5 mg/l dan 1,0 mg/l. Setiap grafik menunjukkan hanya ada satu sebaran normal untuk masing-masing perlakuan. Hal ini menjelaskan bahwa hanya ada satu kohort (kelompok umur) pada kedua perlakuan ini.
Pergeseran garis merah ke arah kanan menggambarkan terjadinya perubahan nilai modus setiap minggunya. Berdasarkan metode ini dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan panjang larva chironomida cukup signifikan dilihat dari pergerakan ke kanan dari nilai modus yang terjadi (Lampiran 5).
Pergesaran nilai modus ke arah kanan lebih signifikan terjadi pada perlakuan dengan penambahan bahan 1,0 mg/l. Nilai modus pada minggu pertama adalah 2490 µm, minggu kedua 5730 µm dan minggu ketiga 6140 µm. Sedangkan untuk penambahan bahan organik 0,5 mg/l, nilai modus yang ditemukan lebih kecil dari perlakuan penambahan bahan organik 1,0 mg/l, yaitu berturut-turut dari minggu pertama hingga minggu ketiga adalah 2214, 4966 dan 5605 µm. Hal ini menjelaskan bahwa perubahan ukuran panjang total dari larva Chironomus sp. lebih cepat terjadi pada perlakuan dengan penambahan bahan organik yang lebih tinggi. Pertumbuhan panjang ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan. Apabila kedua hal ini telah tercukupi dan tersedia dalam kondisi optimum, pertumbuhan larva juga akan optimum.
Gambar 16. Distribusi panjang total Chironomus sp. (kiri: bahan organik 0,5 mg/l, kanan: bahan organik 1,0 mg/l)
Berdasarkan pergeseran nilai modus, diperoleh hubungan regresi linier sederhana antara waktu dengan modus panjang total larva Chironomus sp. Perlakuan dengan penambahan bahan organik 1,0 mg/l menyebabkan kenaikan nilai modus sebesar 1136 µm setiap satu minggu. Perlakuan dengan penambahan bahan organik yang lebih sedikit, yaitu 0,5 mg/l menunjukkan kenaikan nilai modus yang lebih kecil, yakni 870,6 µm. Gambar 17 memperlihatkan grafik hubungan antara waktu dengan penambahan nilai modus.
minggu ke- 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 n il a i m o d u s 2214 4966 5605 2490 5730 6140
penambahan bahan organik 0.5 mg/l penambahan bahan organik 1.0 mg/l penambahan bahan organik 0.5 mg/l penambahan bahan organik 1.0 mg/l
Selain menggunakan hubungan regresi linier sederhana untuk menunjukkan perbedaan pengaruh penambahan bahan organik, dilakukan uji rancangan acak lengkap untuk melihat pengaruh bahan organik terhadap nilai modus yang dicapai dari grafik distribusi frekuensi panjang. Berdasarkan tabel pengujian rancangan acak lengkap, diperoleh hasil Fhitung>Ftabel. Keputusan yang
diperoleh adalah tolak H0 yang artinya perlakuan mempengaruhi nilai modus yang
diperoleh berdasarkan waktu. Hal ini menggambarkan bahwa penambahan bahan organik memberikan pengaruh bagi pertumbuhan panjang total larva chironomida.
4.1.7. Pengaruh perbedaan perlakuan bahan organik terhadap berbagai parameter pertumbuhan
Pertumbuhan adalah salah satu ciri mahluk hidup yang membedakannya dari mahluk tak hidup. Secara teoritis pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan dimensi (panjang, berat, ukuran, volume, dan jumlah) per satuan waktu baik individu, stok maupun komunitas. Pertumbuhan banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor keturunan, jenis kelamin, umur, ketahanan terhadap penyakit, dan kemampuan dalam memanfaatkan makanan. Sedangkan faktor eksternal meliputi jumlah makanan yang tersedia di perairan, ukuran makanan, kandungan gizi makanan, dan faktor lingkungan.
Pertumbuhan ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Pertumbuhan positif ditandai oleh selisih yang nilainya positif, sedangkan pertumbuhan negatif ditandai oleh selisih yang nilainya negatif atau dengan kata lain mengalami penurunan. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, penelitian ini mengambil aspek bahan organik yang dalam kehidupan larva chironomida berperan sebagai sumber makanan dan bahan pembuatan tubes. Tiga perlakuan bahan organik diamati pengaruhnya bagi pertumbuhan larva Chironomus sp. Berdasarkan data yang diambil setiap hari selama tiga minggu pada fase larva, diperoleh empat parameter pertumbuhan yakni panjang total, lebar badan, serta panjang dan lebar kapsul kepala.
Dalam rangka mengetahui pengaruh penambahan bahan organik terhadap pertumbuhan larva Chironomus sp, maka data parameter pertumbuhan tersebut
dimasukkan ke dalam tabel rancangan acak lengkap. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan tabel ‟Anova: single factor‟ pada perangkat lunak Ms. Excell. Berdasarkan tabel hasil pengujian rancangan acak lengkap untuk keempat parameter, yakni panjang total, lebar badan, serta panjang dan lebar kapsul kepala diperoleh nilai Ftabel<Fhitung. Keputusan yang dihasilkan adalah tolak H0, artinya
minimal ada satu perlakuan yang mempengaruhi pertumbuhan larva Chironomus sp. Hal ini menggambarkan bahwa bahan organik yang ditambahkankan pada wadah pemeliharan larva Chironomus sp. memberikan pengaruh bagi pertumbuhan larva tersebut.
4.1. Pembahasan
Larva, pupa, maupun chironomida dewasa membentuk bagian yang terintegrasi pada jaring-jaring makanan. Organisme ini berperan sebagai makanan bagi invertebrata yang lebih besar, ikan, amfibi maupun burung (Eppler 2001). Peran chironomida lainnya adalah sebagai bioindikator untuk memantau kondisi dan kesehatan suatu perairan. Beberapa genus dari subfamili chironomidae bersifat toleran terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Selain itu, penggunaan chironomida dalam fungsi paleolimnologi juga mulai dikembangkan. Penggunaan analisis isotop terhadap sedimen memungkinkan rekonstruksi ulang beberapa hal di masa lampau seperti variasi fisik, iklim dan lingkungan. Hal ini dilakukan dengan menguji rekaman sedimen lewat penggunaan sisa-sisa biologis termasuk chironomida (Velle & Laroque 2007). Pengujian seringkali dilakukan dengan menggunakan kapsul kepala karena bagian kepala larva chironomida ini terbuat dari zat kitin yang bisa bertahan sangat lama di alam tanpa terdekomposisi. Oleh karena, itu dibutuhkan penelitian yang lebih spesifik mengenai chironomida untuk mengetahui seberapa besar potensinya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan lingkungan dan manusia.
Penelitian ini dilakukan dengan memelihara chironomida mulai dari fase telur hingga menjadi pupa dan tumbuh menjadi chironomida dewasa di laboratorium dengan perlakuan penambahan kadar bahan organik yang berbeda. Pemeliharaan dilakukan di laboratorium dengan tujuan untuk mempermudah pengkajian baik dari segi pengamatan siklus hidup maupun pertumbuhan.
Chironomida memiliki empat fase metamorfosis. Fase pertama yakni fase telur, dimulai dari pemijahan dewasa yang pada sebagian besar spesies chironomida terjadi di udara dan di tanah untuk beberapa spesies. Selanjutnya chironomida meletakkan telurnya di permukaan air. Beberapa saat setelah peletakkan, telur akan dibungkus oleh struktur kompleks berupa gelatin. Massa telur kemudian tenggelam ke dasar perairan atau tersangkut di beberapa tumbuhan air yang tenggelam. Beberapa spesies chironomida, massa telurnya tetap mengapung di permukaan air dalam bentuk massa gelatin. Masing-masing massa telur berjumlah kurang dari 100 hingga 2000 telur bergantung pada spesies (Bay 2003). Telur-telur ini biasanya memerlukan waktu tetas sekitar 24 sampai 36 jam (Bay 2003) bahkan bisa mencapai 3 hari (Zilli et al. 2008). Sedangkan pada penelitian ini, telur membutuhkan waktu ±17 jam sejak pengambilan massa telur dari alam hingga menetas. Kemungkinan yang terjadi adalah massa telur telah diletakkan cukup lama oleh chironomida dewasa sehingga hanya memerlukan waktu kurang dari 24 jam untuk menetas.
Pemeliharaan chironomida setelah menetas dilakukan di wadah dengan perlakuan yang berbeda. Wadah tanpa penambahan bahan organik, wadah dengan penambahan bahan organik sebesar 0,5 mg/l, dan wadah dengan penambahan bahan organik 1,0 mg/l. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali dan bahan organik diduga berperan sebagai sumber makanan maupun bahan pembuat tubes bagi chironomida. Kotoran kuda kering adalah bahan organik yang digunakan dalam penelitian kali ini.
Selama penelitian berlangsung, parameter fisika kimia yang diamati antara lain suhu, pH, DO dan COD. Suhu yang teramati hanya berkisar antara 26,1-27,4 ºC. Suhu yang cenderung stabil disebabkan pemeliharaan yang dilakukan di laboratorium sehingga suhu air dalam wadah tidak terlalu dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Begitu pula dengan nilai pH, berkisar antara 6,9-7,7. Nilai tersebut masih mendukung kehidupan biota air sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupan larva chironomida.
Parameter selanjutnya, yakni nilai DO atau oksigen terlarut. Nilai DO yang teramati bervariasi berdasarkan kadar bahan organik pada wadah pemeliharaan. Kisaran nilai DO tertinggi ada pada wadah perlakuan tanpa
penambahan bahan organik karena tidak dilakukannya penambahan bahan organik sehingga oksigen yang terlarut di air tidak terlalu banyak dimanfaatkan untuk dekomposisi bahan organik. Kisaran ini menurun seiring penambahan kandungan bahan organik. Wadah perlakuan dengan penambahan bahan organik paling tinggi yakni 1,0 mg/l memiliki kisaran nilai DO yang paling kecil karena oksigen digunakan untuk proses dekomposisi (perombakan bahan organik). Sedangkan untuk nilai COD, kecenderungan nilainya hampir sama untuk setiap wadah perlakuan yakni rendah pada pengamatan awal, kemudian mengalami kenaikan hingga titik tertentu dan kembali turun hingga hari terakhir pengamatan. Hal ini disebabkan karena pada awal pengamatan, bahan organik belum begitu berpengaruh pada kondisi kualitas air pada wadah. Selanjutnya COD mengalami kenaikan karena bahan organik mulai mempengaruhi air dan kembali mengalami penurunan seiring pertumbuhan chironomida. Hal ini menjelaskan bahwa bahan organik digunakan oleh larva chironomida sebagai sumber makanan dan bahan pembuatan tubes.
Larva chironomida yang diamati pada penelitian ini berasal dari subfamili Chironominae dan genus Chironomus sp. Identifikasi dilakukan dengan mengamati bagian mentum larva dan berpedoman pada buku identifikasi Eppler (2001). Siklus hidup Chironomus sp. terdiri dari 4 fase, yakni telur, larva, pupa dan dewasa. Fase larva merupakan fase terlama yang terdiri dari ± 21 hari pada wadah dengan penambahan bahan organik. Sedangkan pada tanpa penambahan bahan organik, pertumbuhan larva hanya sampai ± 1 minggu dan hanya tumbuh hingga instar I dengan sifat hidup planktonik. Terhambatnya pertumbuhan larva pada kondisi minim bahan organik disebabkan karena kekurangan bahan makanan dan tidak tersedianya bahan untuk pembuatan tubes sehingga larva hanya bersifat planktonik. Pada wadah B dan C, larva menjadi bersifat bentik secara keseluruhan pada hari ke-4. Bahan organik yang tersedia memungkinkan larva