• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADAAN GANDJIL DAN ‘ADJAIB LUAR BIASA DI DUNIA Dua Negara, Dua Kekuasaan dalam satu daerah,

Dalam dokumen Analisis Manifesto politik NII ID (Halaman 28-35)

------BAB VIII:

KEADAAN GANDJIL DAN ‘ADJAIB LUAR BIASA DI DUNIA Dua Negara, Dua Kekuasaan dalam satu daerah,

nusantara Indonesia; Negara Islam Indonesia dan Republik Indonesia. (R.I.S.)

1. Segera kemudian daripada letusan terachir didaerah Djerman; jang menundjukkan, bahwa Perang Dunia Kedua dibagian benua Eropah telah berachir; disusul dengan ledakan bom atom jang kedua dan terachir atas beberapa kota Djepang; belum djuga diselenggarakan “Perdjandjian Damai Dunia”, maka dengan tergesa-gesa dan tergopoh-gopoh orang berpendapat dan berkejakinan, bahwa “Perang Dunia Kedua dengan resmi telah disudahi”. Manusia telah haus akan damai, dahaga akan aman dan tenteram! Maka kesudahan Perang Dunia Kedua itu tidaklah sekali2 diartikan, bahwa seluruh dunia sudah aman dan tenteram, mendjelang zaman bahagia dan sedjahtera, melainkan Perang Dunia Kedua itu diberbagai2 tempat meninggalkan batu-bara jang masih selalu menjala-njala dan membakar2 bangsa2 jang lemah, ummat2 terlindas, golongan2 terdjadjah, sehingga dibeberapa tempat dipendjuru dunia, terutama di Asia, berkobarlah, revolusi nasional; revolusi melawan pendjadjahan dan perbudakan, revolusi menentang kekuasaan asing, jang manapun djuga. Salah satu daerah jang menduduki tempat penting dalam sedjarah dunia, jang berkenaan riwajat revolusi nasional di benua Asia, ialah: Indonesia. Lebih djauh diperiksalah:

A. Riwajat Tiongkok Nasional jang amat tragis itu, hingga terusirnja pemerintah nasional (Chiang Kai Sek) dari daratan Asia, dan hingga digantinja oleh peme-rintah ra’jat (Komunis-Mao Tse Tung); B. Riwajat Hindustan jang achir-kemudiannja mendjadi dua: (1) India, dan (2) Pakistan.

C. Pergolakan di Korea, Indo-Tjina, Malaja, Burma dan lain2 lagi, jang kini tidak lagi merupakan masalah setempat melainkan sudah beralih sifat dan wudjudnja, mendjadi: masalah dunia (berela-vraagstuk). 2. Revolusi Nasional itu selesai, setelah masing2 bangsa dan golongan jang bersangkutan mendapat

kedudukan jang pantas dan patut, didalam lingkungan bangsa2 dan negara2 merdeka didunia. Masing2 memperoleh miliknja sendiri2. Ada jang mendjadi “bo-neka” (satelliet) daripada negara besar dan jang mendapat “daulat hadiyah”, kemerde-kaan terikat, dengan selubung dan tabir berkilau-kilauan jang mensilaukan tiap2 mata jang “buta politik”.

Wal-hasil negara2 baru, negara2 muda berdiri seperti tjendawan dimusim hudjan. Maka beralihlah sifat dan bentuk revolusi nasional, jang hanja menghadap keluar, mendj’adilah revolusi sosial, revolusi kedalam dan didalam, sehingga membakar dan menghanguskan tiap2 sesuatu, jang ada didalam tubuh bangsa dan ummat itu.

Peristiwa jang serupa ini, antara lain2 terdjadi di Indonesia, jang hingga kini belum djuga diperoleh penjelesaian jang memuaskan kedua belah pihak jang bertentangan. Mereka tetap bertarung didalam selimut, merupakan “Perang-Saudara”, perang kejakinan, perang ideologi.

Titik dan garis jang mempertemukan kedua belah pihak belum didapatkan, sedang pintu pembuka “penjelesaian” tetap tertutup dengan rapat2. Jang satu ber-sikeras kepada sikap dan pendiriannja, kepada kejakinan dan pendapatnja, kepada ideologi dan filsafat hidupnja, tiada tawar-menawar dan kalah mengalah, dengan kesanggupan mendjandjikan kurban apa dan betapapun djuga. Sedang sebaliknja, pihak jang lain-nja pun demikian pula.

Oleh sebab itu, maka perang saudara, perang ideologi, perang kejakinan itu, tidaklah hanja merupakan “perang kalam” (tjatur) dan perang pena, melainkan berwudjudkan “perang adu tenaga, perang

bersendjata”. Selandjutnja, sual itu mendjadi sual “darah dan besi”, sual kekuatan dan kekuasaan, sual negara, di dalam ma’na jang luas.

Di dalam hal ini, sual “hidup dan mati” tidaklah masuk perhitungan. Sampai dimana kelandjutan proces perang saudara dan perang ideologi akan berlaku, seberapa besar djumlah korban manusia dan harta benda jang perlu disadjikan, tidaklah agaknja seorang manusia dapat meraba2 dan memperhitungkannja.

Hanjalah boleh ditaksir2, bahwa djumlah korban djiwa manusia dan harta benda jang sudah dituntut oleh revolusi sosial ini, djauh lebih besar, lebih banjak dan lebih berharga daripada korban jang telah diberikan oleh ummat dan bangsa Indonesia, dimasa revolusi nasional jang telah lampau.

3. Untuk menolong dan memudahkan pembatja, memperoleh kesimpulan dan tindjauan jang tepat, serta timbangan jang djudjur dan ‘adil, baiklah terlebih dulu kami per-silahkan meneliti:

A. Lampiran 1, Ichtisar I, Bandingan A., antara Republik Indonesia Djogja, Negara Islam Indonesia dan Republik Indonesia Djakarta; dan

B. Lampiran 2, Ichtisar II, bandingan B., antara Negara Islam Indonesia dan Repu-blik Indonesia Djakarta. Dengan tjara jang mudah, nanti tiap2 pembatja akan memperoleh kesimpulan dan chulasoh jang pasti, betapakah gerangan duduknja perkara jang sesungguhnja. Lebih2 lagi djika pembatja sudi meneliti dengan seksama, barang apa jang dituliskan sebelum maupun sesudahnja.

Beberapa hal, pada hemat kami, perlu bagi pengetahuan dan pengertian jang kritis, dan bagi menetapkan sikap jang ta’ berat sebelah, dan lebih djauh, untuk memperoleh tindjauan (visie) dan pendapat genap-lengkap, ‘adil, djudjur dan benar, maka di ba-wah ini kami sadjikan kupasan atasnja. Kiranja pembatja jang bidjak-budiman suka memperhatikan seperlunja.

4. Kelahiran. Periksalah lampiran jang bersangkutan!

A. Jang paling tua –dihitung daripada kelahirannja, sedjak kebangunan nasional (nasional reveille)– ialah Republik Indonesia, atau dengan kata2 lain disebut di dalam karangan ini, dengan istilah “Republik Indonesia Djogja” (karena nama pusatnja: Djogjakarta), untuk menolong dan memudahkan pembatja, di dalam mendjeladjah dan menelitinja, terutama bagi pembatja luar negeri. Hari jang bersedjarah itu adalah hari Proklamasi Nasional 17 Agustus 1945.

B. Dengan; berdjangkitnja penjakit jang menghinggapi dirinja –periksalah riwajat selajang pandang di atas! —, dan karena desakan, tekanan dan serangan “penja-kit” dari luar, maka ‘umurnja RI Djogja tidak memandjang lebih daripada sa’at ditanda-tanganinja Statement Rum-Royen, pada pertengahan tahun 1949. Dengan itu, selesailah sudah nasibnja Republik Indonesia Djogja.

C. Dengan tjara nakal, serong dan tjurang, terutama untuk mengelabui ra’jat Indonesia dan (djuga) mata internasional, jang hingga kini belum pernah melepaskan pengawasannja atas Indonesia –langsung ataupun tidak langsung—, maka bangkai jang telah mati pada pertengahan tahun 1949 itu, sengadja tidak lekas2 dikubur. Upatjara penguburan resmi jang dimaksudkan, barulah dilakukan satu tahun lebih daripada matinja, ja’ni pada tanggal 17 Agustus 1950. Kesempatan ini digunakan untuk “memaksa” RIS (Republik Indonesia Serikat, natidjah K.M.B.) mewarisi nama bangkai jang mati itu, sehingga mendjadilah “Republik Indonesia” (II). Didalam karangan ini, nama RI (II) itu disebut dengan istilah : “Republik Indonesia Djakarta” (karena nama ibukotanja: Djakarta).

D. Hari kelahiran RI Djakarta ini –sesungguhnja nama resminja: Republik Indonesia Serikat– djatuh bersamaan turunnja “daulat-hadiyah”, ja’ni: 27 Desember 1949, ialah salah satu hari jang bersedjarah di dalam riwajat Indonesia, baik ba-gi bangsa Indonesia maupun bangsa Belanda. Djika kelahiran RIS (RI Dajakarta) itu, oleh sebagian daripada bangsa Indonesia, terutama jang “buta-politik”, disam-but dengan riang gembira dan suka-tjita, maka sebaliknja bagi bangsa Belanda hari itu merupakan hari berkabung, hari sungkawa. Karena pada sa’at itu pemerin-tah Belanda, dengan sedih dan ratap-tangis serta terharu, terpaksa menjerahkan sebuah “hadiyah jang maha besar”, ialah: hadiyah kemerdekaan Indonesia, walaupun tidak 100%. Dengan beberapa patah kata kami ingin menggambarkan, betapa

gerangan “suasana” jang sesungguhnja pada dewasa itu, terutama didalam kalangan bangsa Belanda, di Nederland maupun di Indonesia. Bangsa Belanda dan pemerintah Belanda –dipandang daripada sudut pendirian dan keadaanja pada dewasa itu– tidaklah merasa mempunjai alasan jang tjukup, sah dan kuat untuk memberikan “daulat-hadiyah” itu. Terutama sekali, bila dipandang dari sudut militer, bahwa tentaranja (KNIL dan KL) di dalam melakukan tugasnja (“perang”) di Indonesia tidaklah mengetjewakan dan merasa kalah, bahkan sebaliknja.

Buktinja? Di antara orang2 besar bangsa Belanda, jang memegang tampuk pemerintahan di Indonesia, di Negeri Belanda maupun di luar negeri, sama “mengundurkan diri dengan hormat”, karena mereka tidak menjetudjui beleid pemerintahnja. Malah ada pula jang (letterlijk) “bunuh diri”, seperti peristiwa djenderal Spoor, beberapa hari sebelum ditanda-tanganinja perdjandjian KMB.

Pendjeladjahan lebih dalam menundjukkan adanja “udang internasional, di balik batu”, jang mendjepit, menekan dan mendesak pemerintah Belanda dan bangsa Belanda, kepada suatu posisi jang amat sukar-sulit (internationale dwangpositie), jang memaksa pemerintah dan bangsa Belanda, sukarela atau terpaksa, ichlas atau tidak, dengan gembira atau sedih: “mengakui dan menjerahkan kembali kemerdekaan Indonesia kepada ra’jat bangsa Indonesia, meski tidak bulat dan tidak genap-lengkap sekali pun”.

Peranan jang dipegang oleh “udang internasional” itu amat sungguh penting dan berguna bagi ra’jat bangsa Indonesia. Adapun alat-pendjepit jang amat sakti itu, ialah: “Atlantic Charter” beserta “self-determination”-nja. Dan “udang internasional” jang kami maksudkan itu, jang mendorong dan menjorong dengan kerasnja “turunnja daulat-hadiyah” itu ialah: pihak Amerika Serikat, Inggeris dan Australia, djuga Perantjis.

E. Setelah RI – Djogja mati dan meninggalkan langgang perdjuangan, pulang ke maqam abadi, dan belum pula Konferensi Medja Bundar (KMB) dimulai, maka pada sa’at itu lahirlah satu negara baru, dengan bentuk dan sifat baru, dengan sendi dan tjara2 baru, ialah: Negara Islam Indonesia.

Periksalah: Bab VII di atas, Proklamasi berdirinja Negara Islam Indonesia, beser-ta Pendjelasan Singkat Atasnja: Peristiwa penting, jang berlaku menurutkan Ke-hendak dan Kekuasaan Allah semata, terdjadilah pada tanggal 7 Agustus 1949.

Dengan kenjataan riwajat ini (historis), maka bolehlah ditetapkan, bahwa Negara Islam Indonesia lebih tua dari RIS, jang kemudian diberi nama pindjaman Repu-blik Indonesia (matinja RI Djakarta). Tetapi setelah “pemimpin2” RI Djogja, jang tjurang dan chianat itu, tahu dan sadar, bahwa mereka (RI Djakarta) didalam posisi politik maupun sepandjang hukum (staatkundig en staatsrechtelijk), terutama sepandjang kenjataan sedjarah, menduduki posisi jang lemah dan kalah, maka dengan segera mereka mentjoba-kan tipu-daja dan tipu-muslihatnja, untuk membangunkan dan menghidupkan kembali nama “RI (Djogja)” jang sudah mati itu, sehingga RIS dipaksakan memakai nama “Republik Indonesia”, tegasnja: RI Djakarta. Semuanja itu dilaku-kan dengan tjurang dan serong, dengan chianat dan hasut, dengan sengadja hendak mengelabui mata dan menjumbat mulut ra’jat, serta dunia internasional, dan lebih djauh untuk mendjauhkan dan menghilangkan perhatian dan mata dunia kepada Negara Islam Indonesia.

Tiap-tiap manusia jang tahu dan memperhatikan sedalam2nja akan riwajat Indonesia, berkenan dengan hal ini nistjajalah tidak akan menolak atau membe-narkannja dengan bulat2, disertai dengan pertanggung-djawab sepenuhnja.

F. Sepandjang sedjarah, jang tentu dibenarkan oleh tiap2 manusia dan pihak jang masih sehat ‘akalnja dan ‘adil pendiriannja, maka njatalah sudah, bahwa:

1) RI Djakarta –RI lainnja memang tiada lagi– sungguh2 telah melanggar, mem-perbuat kedjahatan politik dan sengaja berchianat kepada Proklamasi Kemer-dekaan 17 Agustus 1945.

2) RI Djakarta (jang kini masih ada) bukanlah RI 17 Agustus 1945, jang ditim-bulkan dalam masa revolusi nasional pertama.

3) RI Djakarta adalah satu natidjah (resultante) daripada sikap serong dan tjurang, hasut dan chianat dari “pemimpin2nja”, jang kini lagi menaiki “kuda tunggang dan sapi perah” ra’jat dengan megah dan gagah, sombong dan takabburnja. Ra’jat Indonesia dan Ummat Islam bangsa Indonesia ditipu, didjual dan dichianati mentah2!!! Ra’jat Indonesia dan Ummat Islam bangsa Indonesia mendjadi korban: hina, papa, sengsara, miskin dan nista dalam segala-galanja, lebiih daripada zaman kolonial Belanda, bahkan lebih dari-pada zaman pendudukan Djepang, jang terkutuk itu!!!

Hai, “pemimpin2 kebangsaan” jang chianat! Nantikanlah perhitungan atas perbuatanmu jang djahat, atas Bangsa, Negara maupun Agama itu!!!

4) Adapun ketjurangan dan pelanggaran RI atas perdjandjian KMP (RTC) maupun penipuan terang-terangan terhadap kepada dunia internasional, bukanlah tempatnja diuraikan didalam karangan ini. Melainkan kami serahkan dan pertjajakan sepenuhnja atas beleid dan kebi-djaksanaan, sikap dan pendirian masing2 pihak: Amerika Serikat, Inggeris, Australia, Perantjis. Dan silahkan!

5. Dasar dan ideologi negara, antara NII dan RI Djakarta. Bandingkanlah dengan lampiran jang bersangkutan! A. Dengan djelas dan tegas, NII meletakkan sendi2 dan dasar2 kenegaraannja: ISLAM 100%; satu-satunja

Agama Allah –jang hingga kini sepandjang penelitian dan penjelidikan daripada para ‘alim ‘ulama dan ahli pengetahuan, dari pihak kawan dari lawan—, masih tetap terpelihara dalam kesutjiannja dan kemurni-annja.

Barang siapa, jang tidak sengadja dari tadinja menolak kebenaran Islam, atau ingkar (kufur) daripada tuntunan Ilahy dan adjaran Muhammad Rasulullah Clm., dapatlah menetapkan kejakinannja jang kuat dan kepertjajaannja jang teguh, bahwa:

“Islam menentukan dengan pasti dasar2 hidup dan kehidupan, dlahir (materieel) maupun bathin(spiritueel), mengandung peraturan2 bakti duniawy dan uchrowy, mulai keperluan pergaulan hidup sehari2 biasa dan ‘ibadah chususnja (rubbu-biyah) hingga sampai kepada dasar2 dan tingkatan memperdjuangkan, memiliki dan mengatur negara dan dunia Islam.” Di dalam Islam tiada faham dan pendirian, jang memisahkan dunia dari achirat, dlahir dari bathin, mesdjid dari kantor, tidak sesuai dengan faham “kuno”, faham “Damaskus”, jang menjatakan perpisahan antara agama dan negara (scheiding van kerk on staat). Djika pada zaman abad kedua puluh ini masih djuga ada orang atau pihak jang pendirian “kuno”, silahkan mempeladjari kembali Kitabul-lah dan Sunatin-Nabi Besar, Muhammad Clm., dan Insja AlKitabul-lah achir-kemudiannja akan sampai kepada satu kesimpulan: mengoreksi faham dan pendiriannja, jang salah dan keliru itu!

Djadi, kalau di sini kita katakan Islam, djanganlah hendaknja kita merasa tjukup dan puas dengan keterangan2 dari mulutnja “tukang obat” jang tidak bertanggung-djawab, atas benar atau salahnja kata2 jang dilahirkannja, lepas daripada niat baik atau djelek daripada orang jang mengutjapkannja. Melainkan, kita harus dan wadjib memandang Islam, sebagai peraturan jang hidup, stelsel masjarakat, stelsel pemerintahan, stelsel negara dan stelsel dunia.

Dengan sendinja jang pasti, kuat dan sentausa, luas dan mendalam, sutji dan ter-pelihara, jang tidak dapat diperkuda dan dipermainkan oleh siapapun djuga, maka kami –Negara Islam Indonesia– meletakkan dasar2 negara kami. Kami tidak ingin ingkar daripadanja sedjari sekalipun! Melainkan kami akan mentju-kupi sepenuhnja barang apa jang termaktub dalam adjaran Islam! Insja Allah. Kami tidak ingin melalaikan dan menawarnja, sedjengkal sekalipun! Sebaliknja, kami ingin memenuhi segenap tuntunan Ilahy dan Sunnah Nabi Besar Muhammad Clm., dengan sempurnanja. Insja Allah. Sendi dasar inilah, jang pada ‘umumnja orang mengatakan: ISLAMISME.

B. Adapun sendi dan dasar daripada Republik Indonesia seperti jang sering didengung2kan oleh “pemimpinnja”, terutama “Presidennja”, ialah: Pantjasila. Satu tjampuran (alliage) daripada (1) Shintoisme Djepang, (2) Sjirik Indonesia –animisme, dengan persembahan kepada Blorong, Dewi Sri, Dewi (ibu) Pertiwi, dll. Dewa tjiptaan, tiada bedanja dengan persembahan kepada Dewa2 Wisnu, Brahma dll. atau kedjawen (heidendom),, sebuah model persembahan berhala, jang berlaku di Djawa Tengah—, (3) Hakko Itjiu, alias theori penipuan “Kemak-muran Asia Timur Raja”, buatan Djepang semasa zaman pendudukan, dan (4) Nasionalisme Indonesia djahil, jang agak kemerah-merahan itu.

Dengan kupasan singkat di atas, —tidak mengikuti susunan dan aliran pikiran Soekarno dan kawan2-nja (ma’af)—, maka mudahlah kita dapat mengerti dan memfahami sedalam-dalamkawan2-nja:

1) Apakah gerangan sebabnja, maka “Tuhan” ala Pantjasila itu tidak mempunjai wudjud, sifat perbuatan dan lain2 jang tentu2, baik jang “wadjib”, jang “hak” maupun jang “mustahil”; “tuhan” jang tidak ber-‘amal (memerintah) dan tidak pula ber-“nahi” (terlarang); “tuhan” jang tidak menurunkan “nabi”nja, atau “utusan”-nja dan “wahju”-nja; “tuhan” neutraal (bebaskah? Jang boleh dibajangkan dan ditafsirkan oleh tiap-tiap manusia, menurut kehendak, pikir-an dan perasaannja masing2, walaupun oleh manusia jang sesat, jang anti-tuhan sekalipun (seperti komunis); “tuhan” inikah jang di dalam ‘ilmu “Kedja-wen” disebut dengan istilah ‘alam suwung wangwung” (tiada sesuatu alias kosong)? Wal-hasil, “tuhan” ini adalah “tuhan palsu”, “tuhan” buatan manusia, “tuhan” tjiptaan Soekarno. Lebih-lebih lagi, tampak bohong dan palsunja “tuhan” a la Pantjasila itu, dan chianatnja pentjipta dan buatannja (Soekarno) beserta pengi-kut-pengikutnja, dimana “tuhan” pantjasila itu “dipersamakan” (atau didu-dukan sedjadjar) dengan Tuhan dalam faham dan kejakinan Islam: Allahu Subhanahu wa Ta’ala! Subhana-Llah! Maha-Sutji-lah Allah! Maha Sutji dari-pada tiap2 terkaan dan rabaan, bandingan dan buatan, fikiran dan hitungan manusia jang manapun djuga. Kalau di antara “pemimpin2” Islam di kalangan RI Djakarta masih djuga ada jang berpendapat, bahwa “tuhan” ala Pantjasila itu “sama” dengan Allah di dalam Al-Qur'an, maka faham dan pendapat, kejakinan dan kepertjajaan jang serupa itu teranglah salah, sesat dan keliru semata2. Hendaklah “pemim-pin” Islam jang “musjrik dan memusjrikkan” itu –walaupun dengan tidak sengadja, hanja karena bodoh dan tolol (ma’af) belaka– segera insaf, sadar dan taubat kepada Allah! Sajang ibadah jang dilakukan seumur hidupnja hanjalah dihadapkan dan diperuntukkan kepada “tuhan bajangan” belaka.

2) Apakah gerangan sebabnja, maka kata2 muluk “kebangsaan Indonesia”, ke-daulatan ra’jat, keadilan sosial dan kemanusian” hanjalah merupakan “huruf jang mati” dan hiasan mulut munafiq? Kata2 jang membumbung seting-gi langit itu hanjalah merupakan “alamat palsu” dan “bajangan” (chajal kepa-da chalajak ramai, kalau2 ra’jat boleh merasa puas dengan dongeng2 jang hebat2 itu” dan kenjang dengan “omong kosong” jang senantiasa dihambur-hamburkan dan membosankan itu! Ra’jat minta bukti! Ra’jat menuntut realiteit! Bukti! Bukti! Bukti! Itulah jang diharap-harapkan ra’jat.

3) Apakah gerangan sebabnja, maka Nasionalisme Indonesia lebih dekat kepada Merah (Komunisme) daripada kepada hidjau (Islamisme) ?

Karena Nasionalisme Indonesia berdasarkan kepada “tuhan” jang neutraal (bajangan) tjiptaan pantjasila, alias “kosong”; sedang Komunis Indonesia, sesuai dengan adjaran2 tiap2 faham dan kejakinan “ketuhan-an” jang manapun djuga (historis materialisme). Komunis asli Moskow menolak mentah2.

4) Apakah gerangan sebabnja, maka Komunis Indonesia, dengan tjepat berkem-bang-biak didalam tubuhnja pemerintah Republik Indonesia, jang –katanja– berdasarkan nasionalisme itu? Sekali baksil-baksil dan bakteri-bakteri Komunis itu disuntikkan dan diratjunkan (geinjecteerd en geinfecteerd) kedalam tubuhnja RI, maka sekali itu tjukuplah kiranja untuk “memper-merah dan memper-moskow-kan RI, karena perbedaan antara djahil dan sjirik hanja-lah beberapa streep belaka. Ratjun komunisme buatan Moskow itu dibuat demikian rupa, sehingga nasionalisme Indonesia (batja RI Djakarta) selalu tergila-gila kepada tiap2 jang merah dan jang ke-merah2an, terpikat oleh tiap-tiap komunis dan barang sesuatu jang komunistis. Berkenaan dengan kenja-taan jang berdjalin-djalin dalam tubuhnja RI, lebih2 lagi setelah membatja statement Party Nasional Indonesia (jang kini telah mengikuti djedjak langkah PKI–mengiblat ke Moskow) pada awal bulan Djuli 1952 jbl.; ditambah de-ngan sikap komunis Indonesia jang sudah tidak tahu malu dan lebih dari kurang adjar, mengindjak-indjak kepala RI dengan njanjian “internationale” (komunis), dan menusuk-nusuk djantung hati pemerintah RI dengan ratjun buatan Moskow, maka mengingat semuanja itu, dengan ini kami dapat menja-takan pendapat jang pasti, bahwa:

a. RI Djakarta –jang katanja Nasional itu, sesungguhnja “nasional merah”– kini sudah mendjadi RI Komunis; dan

b. RI inilah jang berchianat kepada perdjuangan kemerdekaan Indonesia, kepada Agama Islam, kepada ummat Islam Bangsa Indonesia: kepada Allah dan Rasul-Nja, tegasnja: berchianat kepada Negara Islam Indonesia!!!

5) Apakah gerangan sebabnja, maka “ideologi” pantjasila tidak dapat tertanam dan hidup didalam dada dan hati ra’jat jang sebagian besar memeluk Agama Isllam? Memang sedjak mula berdirinja, RI (kini RIK) selalu berpegangan kepada pihak luar, pihak internasional. “International minded” katanja. Tegas-nja: RI (RIK) tidak berakar kedalam, melainkan keluar, tidak berdiri atas kekuatan dan tenaga ra’jat sendiri; tidak sesuai dengan kehendak dan tjita2 ra’jat; melainkan kedaulatan dan kemerdekaannja diperoleh dan dipertahan-kan dengan pegangan kepada “tongkat internasional”, dan berdasar atas kasih sajang dan kemurahan pihak luar. Maka dengan tjepat kita dapat menjebutkan, bahwa kedudukan RI (RIK) kini ialah: “Bergantung ta’ bertali, berdiri ta’ berakar!“ 6. Kanun Asasy Negara Islam Indonesia dan Undang-Undang Dasar RI palsu.

Undang-Undang Dasar RI sebagai “warisan badju” daripada “bangkai jang sudah mati itu” (RI Djogja) dan sebagai indjakan tampak kosongnja, kosong daripada dasar hukum, jang mendjadi salah satu tulang-sendi (prinsip) bagi pendirian suatu negara, sesungguhnja tidaklah patut ditindjau dan didjeladjah. Sebab, memang bukan dasar dan pakaian RI sekarang (Djakarta) sendiri. Tetapi untuk kepentingan pembatja jang masih “asing” dalam seluk beluknja keadaan dan kedjadian di Indonesia, teru-tama sekitar “tipu-muslihat RI Djakarta”, maka dengan ini baiklah kami sadjikan buah pendjeladjahan sekedarnja, dengan pertanggung-djawab sepenuhnja atas benarnja penerangan dan keterangan tersebut:

A. Bahwa RI Djakarta kini belum mempunjai Undang-Undang Dasar (Grondwet), jang seharusnja mendjadi tulang sendirinja sesuatu negara.

B. Bahwa pemakaian UUDRI (Djogja) adalah suatu pentjurian politik jang amat tjurang (kurang adjar jang dilakukan oleh pemimpin2 RI (Djogja lama), jang kini –dengan bukti2 jang njata, terang dan djelas– boleh selandjutnja dinamakan: Republik Indonesia Komunis, disingkat dibatja dan ditulis: “er-ie-ka atau “rik”.

C. Bahwa karenanja, RIK bukanlah suatu negara hukum (rechtsstaat) –sedang Undang-Undang Dasar pun belum memilikinja—, sehingga pada hakikatnja dan pada bukti sjari’atnja, tidak terikat dan tidak mengikatkan dirinja dengan suatu hukum. Lebih2 lagi, djika kita suka meneliti bukti2 kenjataannja, bahwa:

1) Tiada suatu peraturan jang tentu, jang mengekang mengendalikan peme-rintahan didalam negara, sehingga pesawat-pesawat dan alat-alat negara tidak mempunjai pegangan jang tetap, dalam

Dalam dokumen Analisis Manifesto politik NII ID (Halaman 28-35)

Dokumen terkait