• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAS Gumbasa dengan luas ± 126.617 ha adalah bagian dari DAS Palu bagian hulu yang menjadi bagian integral DAS Palu. DAS Gumbasa terbagi dalam tiga sub DAS, yaitu DAS Lindu seluas 57.575 ha (45 %), DAS Sopu seluas 45.654 ha (36 %) dan DAS Gumbasa Hilir seluas 23.389 ha (18 %). Kawasan ini cukup terkenal selain karena adanya Danau Lindu, kawasan ini juga memiliki kekayaan alam yang tak ternilai harganya berupa keanekaragaman hayati flora dan fauna, termasuk keragaman sosial budaya masyarakat yang bermukim di dalamnya. Kawasan DAS Gumbasa juga memiliki nilai strategis karena letaknya di bagian hulu DAS Palu, sehingga memiliki fungsi perlindungan dan pelestarian, antara lain sebagai pengatur tata air terhadap seluruh bagian DAS, utamanya Sungai Palu yang bermuara di Kota Palu yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Oleh karena itu, pengelolaan DAS Gumbasa menjadi fokus perencanaan mengingat adanya keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi antara daerah hulu dan hilir DAS Palu (BPDAS Palu-Poso 2007).

Kondisi Fisik DAS Gumbasa

Kondisi fisik DAS Gumbasa saat ini terindikasi mengalami degradasi, baik lingkungan fisik maupun biotik yang ditunjukkan antara lain oleh besarnya fluktuasi debit air pada musim penghujan dan kemarau. Ada kecenderungan penurunan debit di musim kemarau pada outlet Sungai Gumbasa yang sekaligus menjadi sumber air utama bagi bendung Irigasi Gumbasa yang terletak di Desa Pandere Kecamatan Gumbasa, sehingga kebutuhan air pada areal Irigasi Gumbasa tidak terpenuhi pada musim kemarau. Laju erosi dan sedimentasi yang tinggi, ditengarai sebagai akibat tingginya tekanan terhadap lahan dan sumber daya alam lainnya, antara lain berupa pembalakan liar (illegal loging), perambahan hutan terutama pada wilayah-wilayah yang berlereng bergelombang sampai bergunung yang rawan untuk pembukaan lahan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Pada wilayah DAS Gumbasa juga terjadi penurunan jumlah populasi dan spesies dari flora dan fauna yang ada akibat perburuan dan penangkapan secara berlebihan terhadap berbagai jenis flora dan fauna di wilayah ini, termasuk yang sifatnya endemik di wilayah ini.

Geomorfologi

Di DAS Gumbasa terdapat lima unit geomorfologi yang didominasi oleh unit geomorfologi perbukitan metamorf terkikis (25,41 %), sedangkan yang

33

tersempit adalah unit geomorfologi berupa kipas aluvial (7,61 %). Distribusi unit geomorfologi di DAS Gumbasa disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Pembagian Unit Geomorfologi DAS Gumbasa

No. Unit Geomorfologi Luas (ha) Persentase (%)

1 Dataran Aluvial 23.034 18,19

2 Kipas Aluvial 9.633 7,61

3 Kipas Koluvial 27.138 21,43

4 Perbukitan Metamorf Terkikis 32.174 25,41

5 Pegunungan Metamorf Terkikis 31.187 24,63

Danau Lindu 3.451 2,73

Total 126.617 100,00

Sumber : BPDAS Palu-Poso 2008 Jenis tanah

Di wilayah DAS Gumbasa ditemukan empat jenis tanah yang menyebar membentuk delapan satuan peta tanah (SPT), yaitu: Aluvial Coklat (Tropofluvents), Aluvial Kelabu (Udifluvents), Kambisol Dystrik (Distropepts), Kambisol Eutrik (Eutropepts), Komplek Latosol Coklat dan Litosol, Komplek Podsolik Coklat dan Litosol, Latosol Coklat (Tropudalfs), dan Podsolik Coklat (Tropudults). Distribusi SPT di DAS Gumbasa disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Penyebaran Jenis Tanah DAS Gumbasa

No. Satuan Peta Tanah (SPT) Luas (ha) Persentase (%)

1 Aluvial Coklat (Tropofluvents) 20.298 16,03

2 Aluvial Kelabu (Udifluvents) 183 0,14

3 Kambisol Dystrik (Distropepts) 3.358 2,65

4 Kambisol Eutrik (Eutropepts) 8.374 6,61

5 Komplek Latosol Coklat dan Litosol 15.519 12,26

6 Komplek Podsolik Coklat dan Litosol 15.507 12,25

7 Latosol Coklat (Tropudalfs) 27.845 21,99

8 Podsolik Coklat (Tropudults) 32.082 25,34

Danau Lindu 3.451 2,73

Total 126.617 100,00

Sumber: BPDAS Palu-Poso 2008

Jenis tanah yang mendominasi wilayah DAS Gumbasa adalah Ordo Entisols, Inceptisols, Alfisols, dan Ultisols. Tanah-tanah Entisols banyak mendominasi kawasan hilir dan lembah-lembah yang dicirikan oleh meningkatnya aktivitas usaha tani sawah karena keadaan tanah yang relatif cukup subur. Sedangkan tanah-tanah Inceptisols, Alfisols, dan Ultisols mendominasi bagian tengah dan hulu DAS Gumbasa. Ketiga ordo tanah tersebut umumnya dicirikan oleh pola penggunaan lahan sebagai areal perkebunan dan hutan sekunder.

34

Topografi

Keadaan topografi di Sub DAS Sopu dan Gumbasa Hilir bervariasi dari landai hingga bergunung. Kawasan ini didominasi oleh daerah yang datar-landai dengan kemiringan 0-15 %, yaitu sebesar 25,85 % dari total luas DAS Gumbasa, sedangkan daerah yang sangat curam (bergunung) dengan kemiringan > 45 % hanya sebesar 24,55 % dari total luas kawasan tersebut. Pembagian kelas kemiringan lahan di DAS Gumbasa disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Kemiringan Lahan DAS Gumbasa

No. Kelas Kemiringan Lahan (%) Luas (ha) Persentase (%)

1 0 – 8 (datar) 20.611 16,28 2 8 – 15 (landai) 12.122 9,57 3 15 – 25 (bergelombang) 27.068 21,38 4 25 – 45 (berbukit) 32.283 25,50 5 > 45 (bergunung) 31.082 24,55 Danau Lindu 3.451 2,73 Total 126.617 100,00

Sumber: BPDAS Palu-Poso 2008

Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar (71,43 %) kondisi lahan di wilayah DAS Gumbasa merupakan lahan yang berlereng bergelombang sampai bergunung, sehingga sangat rawan terjadi erosi. Bahaya erosi terjadi terutama pada suatu kawasan yang mempunyai kemiringan lereng 15 % atau lebih. Timbulnya erosi yang tinggi dapat semakin diperparah oleh adanya kekeliruan dalam pengelolaan sumber daya lahan.

Iklim

DAS Gumbasa memiliki dua tipe iklim yang berbeda, yaitu tipe iklim D1 di sebelah Timur dan tipe iklim E1 di sebelah Barat. Berdasarkan kriteria Oldeman, tipe iklim D1 dicirikan oleh 3-4 bulan basah dan bulan kering kurang dari 2 bulan dalam satu tahun, sedangkan tipe iklim E1 dicirikan oleh bulan basah kurang dari 2 bulan dan bulan kering lebih dari 2 bulan dalam satu tahun. Rata-rata curah hujan di DAS Dumbasa disajikan pada Gambar 8. Kelembaban relatif di wilayah DAS Gumbasa berkisar antara 70-90 %.

Berdasarkan data iklim DAS Gumbasa (BPDAS Palu-Poso 2007), pada umumnya curah hujan terendah terjadi pada bulan Pebruari hingga mencapai 39 mm/bulan, selanjutnya berangsur-angsur meningkat dan mencapai puncak pertama pada bulan April dan puncak kedua pada bulan November dengan rata- rata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November, yakni sebesar 226

35

mm/bulan. Sedangkan curah hujan rata-rata tahunan di dataran Lindu mencapai 2.300 mm/tahun dan daerah ini merupakan wilayah yang selalu basah.

Gambar 8. Rata-Rata Curah Hujan Bulanan 10 Tahun Terakhir Di DAS Gumbasa

Hidrologi dan sumber daya air

Kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) mempunyai fungsi tangkapan air yang besar, didukung oleh dua sungai besar, yaitu: Sungai Gumbasa dan Danau Lindu di bagian Utara yang bergabung dengan Sungai Palu di bagian Barat serta Sungai Lariang di bagian Timur, Selatan, dan Barat. Fungsi hidrologis ini sangat besar manfaatnya bagi masyarakat di wilayah DAS Palu dan Sulawesi Tengah umumnya.

Sungai utama yang terdapat dalam DAS Gumbasa yang mengalir sepanjang tahun (perennial stream), yaitu Sungai Gumbasa. Sungai ini memanjang dari arah Timur dan bermuara di bagian Barat DAS Gumbasa langsung masuk ke Sungai Palu. Aliran Sungai Gumbasa merupakan perpaduan dari beberapa aliran sungai- sungai yang terletak di bagian hulu, antara lain Sungai Sopu dan Sungai Gumbasa Hulu yang berasal dari Danau Lindu. Kedua sungai ini juga merupakan tipe sungai perennial.

Debit aliran sungai dan sedimen melayang yang pengamatannya dilakukan di Sungai Sopu yang mengalir melalui empat desa, yakni Kamarora, Bahagia, Rahmat dan Makmur (BPDAS Palu-Poso 2007). Aliran air yang terdapat pada Sungai Sopu yang mengalir dari Kamarora hingga Makmur mempunyai variasi debit aliran sungai yang cukup tajam, yaitu berkisar antara 11,08 m3/detik di

0 50 100 150 200 250 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Cu ra h Hu ja n Bu la n a n ( m m ) DAS Lindu DAS Gumbasa Hilir DAS Sopu

36

Kamarora, 12,73 m3/detik di Bahagia, 24,99 m3/detik di Rahmat, hingga 35,99 m3/detik di Makmur. Pada kawasan aliran Sungai Sopu banyak dijumpai erosi tebing sungai dan pendangkalan sungai. Hal ini menyebabkan semakin menurunnya dimensi dan kapasitas aliran sungai. Gejalanya adalah tampaknya (munculnya) pengikisan yang cukup hebat pada lahan masyarakat yang dipergunakan sebagai areal budidaya tanaman, sehingga masyarakat setempat menderita kerugian yang tinggi sebagai akibat meluapnya aliran Sungai Sopu yang tinggi pada musim hujan. Luas DAS Sopu yang besar yang diikuti dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan kawasan ini mempunyai debit aliran puncak (peak runoff) yang tinggi, sehingga penampang Sungai Sopu tidak mampu menampung volume aliran air yang mengalir di atasnya. Total muatan sedimen melayang berkisar antara 2.802,50 ton/tahun di Kamarora, 3.153,70 ton/tahun di Bahagia, 6.128,98 ton/tahun di Rahmat, dan 11.233,77 ton/tahun di Makmur.

Debit aliran sungai di Sungai Gumbasa Hilir yang pengamatannya dilakukan di Desa Pakuli (33,26 m3/detik) dan Pandere (43,48 m3/detik). Sedangkan total muatan sedimen melayang berkisar antara 17.589,52 ton/tahun di Pakuli dan 31.400,14 ton/tahun di Pandere.

Debit rata-rata tahunan air sungai yang keluar dari Danau Lindu mencapai 18,656 m3/detik. Kondisi hidrologis kawasan Lindu dibentuk oleh aliran sungai- sungai yang umumnya berukuran kecil dan tersebar di seluruh sisi danau, di antaranya Sungai Katti (debit sesaat pada minggu ketiga bulan Maret 2001) sebesar 7,510 m3/detik, Sungai Lombosa sebesar 1,260 m3/detik, Sungai Langko sebesar 0,631 m3/detik, Sungai Wongkodono sebesar 0,104 m3/detik, dan Sungai Pada sebesar 0,107 m3/detik. Debit aliran air keluar Danau Lindu cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah debit dari kelima sungai inletnya. Hal ini menunjukkan sumber masukan air ke Danau Lindu cukup banyak dan tersebar dalam jumlah aliran yang kecil-kecil (BWSS III 2008).

Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa penggunaan air yang berasal dari saluran primer (Sungai Sopu dan Sungai Gumbasa) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sebagian besar hanya dibutuhkan untuk mandi, cuci, dan kakus. Sedangkan kebutuhan air minum masyarakat di sekitar sungai banyak mempergunakan air tanah yang berasal dari sumur dan pompa injeksi.

Uji laboratorium terhadap kualitas air yang dilakukan di desa Kamarora (bagian hulu DAS), Makmur (bagian tengah DAS), dan Pandere (bagian hilir

37

DAS), seperti pH, kandungan logam berat (Hg dan Fe), kesadahan (CaCO3), kandungan Nitrat (NO3), zat organik (KMnO4), dan deterjen menunjukkan bahwa kandungannya masih berada di bawah ambang kritis sebagai sumber air bersih dan air minum, walaupun demikian pada kawasan desa Makmur dan Pandere menunjukkan kecendrungan meningkatnya zat organik terlarut yang hampir mencapai ambang kritis yang diperbolehkan bagi kebutuhan air bersih dan air minum. Meningkatnya zat organik terlarut pada kawasan tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan aktifitas manusia untuk mempergunakan wilayah tersebut sebagai lahan pertanian, kebun, pemukiman dan industri rumah tangga di sekitar sungai Gumbasa. Penggunaan zat organik yang mudah larut dalam air di lahan pertanian, seperti pupuk, pestisida, limbah industri merupakan permasalahan kualitas air yang harus mulai mendapat perhatian secara khusus pada bagian hilir sungai Gumbasa.

Penggunaan lahan

Penggunaan lahan di DAS Gumbasa terdiri dari tujuh tipe utama seperti ditunjukkan pada Tabel 9, didominasi oleh tiga penggunaan lahan, yaitu: hutan lahan kering sekunder sebesar 62,70 % dari total luas DAS Gumbasa, hutan lahan kering primer 18,16%, dan pertanian lahan kering campur semak sebesar 12,88 % dari total luas kawasan tersebut. Sedangkan penggunaan lahan lainnya masing- masing kurang dari 10 %.

Tabel 9. Penggunaan Lahan DAS Gumbasa

No. Jenis Penggunaan

Lahan

Luas (ha) Total Luas

(ha) Persentase (%) Dalam Kawasan TNLL Luar Kawasan TNLL

1 Hutan lahan kering

primer 22.997 0 22.997 18,16

2 Hutan lahan kering

sekunder 49.787 29.607 79.394 62,70

3 Hutan rawa sekunder 845 0 845 0,67

4 Pertanian lahan kering 404 2.708 3.112 2,46

5 Pertanian lahan kering

campur semak 3.406 7.749 11.155 8,81

6 Sawah campur pemukiman dan tanah terbuka

0 5.154 5.154 4,07

7 Semak belukar 0 509 509 0,40

Danau Lindu 0 3.451 3.451 2,73

Total 77.439 49.178 126.617 100,00

38 Penggunaan lahan untuk kawasan budidaya umumnya berada pada kemiringan 0-3 %, menunjukkan penggunaan lahan yang baik dan tidak mengancam kawasan lindung. Namun demikian, hal tersebut perlu mendapat perhatian karena kawasan aktivitas manusia yang mencakup tegalan, kebun kopi, sawah dan pemukiman yang mencapai 15,34 % dari luas kawasan, berpotensi sebagai pemasok utama padatan tersuspensi dan material anthrofogenik yang dapat mengancam kualitas perairan danau.

Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya DAS Gumbasa

Masalah degradasi lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini seringkali berpangkal pada aktifitas manusia, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar kawasan DAS Gumbasa. Pertumbuhan populasi manusia yang cepat menyebabkan perbandingan jumlah penduduk dengan ketersediaan lahan pertanian menjadi tidak seimbang. Terbatasnya luas lahan yang dapat dipergunakan untuk areal budidaya tanaman, sempitnya lapangan pekerjaan, dan kendala tingkat pengetahuan maupun keterampilan masyarakat desa yang rendah merupakan faktor-faktor yang dominan dalam mendorong meningkatnya upaya eksploitasi hutan dan sumber daya alam lainnya (BPDAS Palu-Poso 2007).

Jumlah penduduk

Kependudukan merupakan salah satu aspek penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Laju pertambahan penduduk yang pesat dan tidak diimbangi oleh ketersediaan lapangan kerja yang memadai, telah akan terus mengakibatkan terjadinya pemanfaatan lahan yang tidak atau kurang memperhatikan daya dukung lahan, sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan dan sumber daya air. Perincian jumlah penduduk berdasarkan KK dan jiwa di wilayah DAS Gumbasa disajikan pada Tabel 10 berikut ini.

Desa yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah Desa Pakuli Kecamatan Gumbasa dengan jumlah penduduk sebesar 4.057 jiwa, jumlah KK sebesar 822, dan rata-rata penduduk per KK sebesar 5 jiwa. Sedangkan desa yang memiliki jumlah penduduk terendah adalah Desa Anca Kecamatan Lindu dengan

39 jumlah penduduk sebesar 528 jiwa, jumlah KK sebesar 149, dan rata-rata penduduk per KK sebesar 4 jiwa.

Tabel 10. Jumlah Penduduk Berdasarkan KK dan Jiwa di Wilayah DAS Gumbasa

Kecamatan Desa Kepala Keluarga

(KK) Jiwa Rata-Rata Penduduk/KK Lindu Puroo 245 930 9 Langko 183 894 8 Tomado 443 1.719 14 Anca 149 528 4 Gumbasa Pakuli 822 4.057 5 Pandere 616 2.379 4 Palolo Sintuwu 399 1.435 4 Tongoa 402 1.942 5 Bahagia 267 1.007 4 Berdikari 265 1.020 4 Rejeki 248 1.032 4 Ranteleda 362 1.475 3 Rahmat 588 1.839 4 Makmur 469 1.837 4 Kamarora A 491 1.771 5 Lembantongoa 404 1.979 5 Uwenuni 595 1.735 3 Kamarora B 362 1.395 4 Kadidia 212 646 3 Sopu 221 791 4 Bulili 347 1.601 5 Sejahtera 375 1.540 4 Total 8.465 33.552

Sumber: Data BPS Kabupaten Donggala 2006

Kepadatan penduduk

Kepadatan penduduk pada suatu wilayah dapat memberikan gambaran tentang tekanan penduduk terhadap sumber daya alam, khususnya terhadap hutan dan sumber daya air di suatu wilayah. Tekanan penduduk muncul sebagai akibat dari bertambahnya jumlah penduduk di suatu lokasi, dan berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan terhadap lahan garapan dan berbagai aktivitas penduduk dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pemanfaatan sumber daya alam. Pada Tabel 11 disajikan data kepadatan penduduk di tiga kecamatan yang terdapat dalam wilayah DAS Gumbasa.

Ciri utama penduduk desa-desa di wilayah DAS Gumbasa adalah penyebarannya secara geografis yang sangat tidak merata. Desa Uwenuni dan Desa Sejahtera Kecamatan Palolo memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, masing-masing sebesar 811 jiwa/km2 dan 570 jiwa/km2. Sebaliknya di Desa Anca

40 Kecamatan Lindu, memiliki tingkat kepadatan yang terkecil, yaitu hanya sebesar 4 jiwa/km2.

Tabel 11. Kepadatan Penduduk di Wilayah DAS Gumbasa

Kecamatan Desa Luas

(km2) Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) Lindu Puroo 106.94 930 9 Langko 107,35 894 8 Tomado 120,83 1.719 14 Anca 131,43 528 4 Gumbasa Pakuli 32,05 4.057 127 Pandere 18,16 2.379 131 Palolo Sintuwu 19,23 1.435 75 Tongoa 31,51 1.942 62 Bahagia 2,14 1.007 471 Berdikari 2,64 1.020 386 Rejeki 2,14 1.032 482 Ranteleda 4,27 1.475 340 Rahmat 5,47 1.839 336 Makmur 76,91 1.837 24 Kamarora A 12,12 1.771 146 Lembantongoa 12,82 1.979 154 Uwenuni 2,14 1.735 811 Kamarora B 11,10 1.395 146 Kadidia 2,42 646 266 Sopu 7,35 791 352 Bulili 2,27 1.601 218 Sejahtera 2,70 1.540 570

Sumber: Data BPS Kabupaten Donggala 2006 Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah memberikan gambaran mengenai intensitas pemanfaatan sumber daya alam, baik di saat ini maupun di masa yang akan datang. Tekanan penduduk terhadap lahan yang ditandai oleh laju pertambahan penduduk yang tinggi, merupakan faktor dominan yang mendorong intensitas pembukaan lahan hutan. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan dasar yang dimiliki masyarakat, utamanya di pedesaan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Aktifitas pembukaan lahan hutan tersebut berdampak langsung terhadap menurunnya kemampuan menahan laju degradasi lahan. Pertumbuhan penduduk di wilayah DAS Gumbasa sejak tahun 1990-2006 disajikan pada Tabel 12.

Desa yang memiliki laju pertumbuhan penduduk terbesar di antaranya adalah Desa Lembantongoa dan Desa Tongo Kecamatan Palolo, masing-masing sebesar 6,28 % dan 6,16 %. Sedangkan desa yang memiliki laju pertumbuhan

41

penduduk rendah diantaranya Desa Kamarora B dan Desa Kamarora A Kecamatan Palolo, masing-masing sebesar -5,35 % dan -3,87 %.

Berdasarkan data BPS Kabupaten Donggala tahun 2006, sekitar 30 % masyarakat di DAS Gumbasa tergolong pada keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan, 36 % tergolong pada keluarga miskin, dan 34 % tergolong pada keluarga sejahtera.

Tabel 12. Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Wilayah DAS Gumbasa

Kecamatan Desa Jumlah Penduduk Tahun Pertumbuhan

Penduduk (%) 1990 (jiwa) 2006 (jiwa) Lindu Puroo 707 930 1,71 Langko 635 894 2,14 Tomado 1.345 1.719 1,53 Anca 505 528 0,28 Gumbasa Pakuli 2.802 4.057 2,31 Pandere 2.026 2.379 1,00 Palolo Sintuwu 796 1.435 3,68 Tongoa 725 1.942 6,16 Bahagia - 1.007 - Berdikari - 1.020 - Rejeki - 1.032 - Ranteleda - 1.475 - Rahmat - 1.839 - Makmur - 1.837 - Kamarora A 3.290 1.771 -3,87 Lembantongoa 725 1.979 6,28 Uwenuni - 1.735 - Kamarora B 3.285 1.395 -5,35 Kadidia 3.290 646 4,22 Sopu - 791 - Bulili - 1.601 - Sejahtera - 1.540 -

Sumber: Data BPS Kabupaten Donggala 2006

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS Gumbasa

Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga kelestarian DAS. Usaha menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: 1) kesempatan masyarakat untuk ikut dalam kegiatan, 2) kemampuan untuk berpartisipasi, dan 3) kemauan untuk memanfaatkan kesempatan. Faktor-faktor yang termasuk dalam kesempatan, yaitu peluang petani untuk menjadi peserta program. Sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kemampuan, yaitu pendidikan formal dan non formal, pengalaman petani dalam berusaha tani, usia petani, dan luas lahan. Sedangkan faktor yang termasuk dalam kemauan, yaitu motivasi yang dimiliki petani.

42

a). Komunitas masyarakat di DAS Lindu

Masyarakat Di Desa Puro’o hanya menerima informasi dan himbauan untuk tidak melakukan konversi lahan hutan dan lahan di sekitar sempadan sungai. Sedangkan kegiatan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat, utamanya yang terkait langsung dengan pelestarian DAS belum pernah dilakukan di desa ini. Sedangkan masyarakat di Desa Tomado memiliki tingkat patisipasi yang lebih tinggi, di mana masyarakat dan pemerintah daerah bersama-sama membentuk kelembagaan, yaitu Lembaga Konservasi Desa (LKD) yang berfungsi dan berperan mempertahankan kelestarian sumber daya DAS. Demikian pula di Desa Langko, di mana Dinas Praswil bersama-sama masyarakat setempat memperbaiki saluran-saluran drainase dan pengairan guna mengurangi resiko terjadinya musibah banjir.

b) Komunitas masyarakat di DAS Sopu

Desa-desa yang berada di DAS Sopu memiliki tingkat partisipasi yang beragam dalam kegiatan pengelolaan DAS. Di Desa Sejahtera, Rejeki dan Rahmat, kegiatan ataupun program-program yang terkait dengan upaya konservasi sumber daya hutan dan sumber daya air DAS Gumbasa belum sepenuhnya melibatkan peran aktif masyarakat. Pihak pemerintah desa dan pihak BTNLL masih sebatas memberikan informasi dan larangan bagi masyarakat untuk mengkonversi hutan. Beberapa utusan dari desa-desa tersebut pernah mengikuti kegiatan pelatihan dan lokakarya di Desa Bahagia, namun keberadaan mereka masih sebatas peserta undangan dan mereka tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan. Sedangkan di Desa Bahagia partisipasi masyarakat tergolong tinggi, di mana pemerintah melalui instansi terkait telah melakukan sejumlah kegiatan terprogram yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Salah satu wujud konkrit program penguatan kelembagaan yang melibatkan stakeholders perwakilan Kecamatan Palolo adalah pelatihan petani tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya lahan yang memperhatikan kaidah konservasi, penanaman tanaman obat-obatan, seperti jahe, serei, serta menanami sempadan sungai dengan tanaman bambu sebagai salah satu upaya mengurangi laju erosi dan degradasi lahan di DAS Sopu. Dalam kegiatan ini masyarakat Desa Bahagia berperan secara aktif di setiap tahapan kegiatan. Perbedaan tingkat partisipasi masyarakat di beberapa desa tersebut akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya lahan, hutan dan air ke arah konservatif atau sebaliknya eksploitatif.

43

c) Komunitas masyarakat di DAS Gumbasa Hilir

Desa Pakuli dan Pandere yang terletak di DAS Gumbasa Hilir memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, di mana pemerintah selain menghimbau dan melakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan dan sumber daya air DAS Gumbasa, juga memberikan dukungan berupa bantuan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, misalnya pelaksanaan program normalisasi sungai yang pernah mengalami musibah banjir.

Potensi konflik di DAS Gumbasa

Keberhasilan pengelolaan sumber daya alam termasuk di dalamnya DAS Gumbasa sangat ditentukan oleh keeratan hubungan antara masyarakat dan sumber daya alam. Hal ini dapat terwujud bila didukung oleh eksistensi kelembagaan masyarakat dalam mengelola DAS Gumbasa.

Kelembagaan masyarakat merupakan modal dasar masyarakat (social capital) yang dapat dipandang sebagai aset produktif yang dapat mendorong individu-individu anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disepakati bersama dalam rangka meningkatkan produktifitas anggotanya secara individu maupun produktifitas masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, agar pengelolaan DAS Gumbasa benar-benar menjadi bagian dalam proses pengembangan produktifitas masyarakat, maka kelembagaan masyarakat harus diperhatikan eksistensinya, kemudian dipertahankan dan dikembangkan secara bertahap, sehingga ikatan yang melembaga dalam masyarakat dapat terpelihara.

Ditinjau dari segi kelembagaan, maka kegagalan dalam mencapai pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan sering disebabkan oleh hak penguasaan dan batas yurisdiksi yang tidak jelas serta belum adanya aturan, sehingga penggunaan sumber daya alam milik bersama, misalnya Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) cenderung bersifat akses terbuka. Dalam kondisi akses terbuka, maka setiap individu atau kelompok tertentu akan saling berlomba dalam memanfaatkan dan menguasai sumber daya sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan resiko terjadinya kerusakan lingkungan.

Aktifitas pencurian hasil hutan dan penyerobotan lahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, khususnya di kawasan TNLL sudah lama terjadi. Di awal tahun 1990an, ditemukan gejala tekanan manusia terhadap lahan yang tinggi pada beberapa desa di seputar TNLL, selanjutnya laju konversi lahan hutan secara besar-besaran terjadi sejak tanaman kakao memiliki nilai ekonomi tinggi.

44

BPDAS Palu-Poso 2007 mengemukakan bahwa secara mikro dijumpai permasalahan yang berpotensi terhadap munculnya konflik di DAS Gumbasa, di antaranya:

1) Ketidakjelasan hak penggunaan lahan yang disebabkan oleh tidak jelasnya batas kawasan TNLL di lapangan, sehingga menciptakan konflik antara masyarakat dengan BTNLL, bahkan antara sesama masyarakat.

2) Perencanaan pengelolaan DAS Gumbasa yang dikembangkan belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah provinsi maupun kebupaten dan belum banyak melibatkan partispasi aktif masyarakat melalui pendekatan partisipatif dalam

Dokumen terkait