• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Pegunungan Arfak Letak Geografis dan Administrasi

Pegunungan Arfak terletak di wilayah kepala burung dari Bumi Cenderawasih (Tanah Papua). Secara geografis kawasan Pegunungan Arfak terletak pada posisi 01000’-01029’ Lintang Selatan dan 133053’-134015’ Bujur Timur. Pegunungan dengan puncak tertinggi mencapai ± 2900 meter dari permukaan laut (dpl) ini memiliki topografi yang berbukit-bukit dan bergelombang dengan iklim tropik.

Wilayah Pegunungan Arfak merupakan kawasan cagar alam yang telah ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan No. 783/Kpts-II/92 pada tanggal 11 Agustus 1992. Kawasan pegunungan yang terletak di ibukota Provinsi Papua (Kabupaten Manokwari) ini membentang sepanjang ± 243 376 km dengan luas wilayah ± 68 325 hektar. Pegunungan Arfak secara administratif berbatasan dengan :

− Sebelah Utara : Distrik Warmare.

− Sebelah Selatan : Distrik Oransbari, Ransiki, dan Anggi.

− Sebelah Timur : Teluk Sarera

− Sebelah Barat Daya : ibukota Kabupaten Manokwari

Secara administrasi pemerintahan kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak (CAPA) termasuk dalam delapan wilayah distrik (kecamatan), yaitu Distrik

Minyambouw, Membey, Hingk, Tanah Rubuh, Warmare, Manokwari Selatan, Ransiki, dan Oransbari, Kabupaten Manokwari. Sedangkan secara administrasi pengelolaan, CAPA berada dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah (SKW) III Bintuni, Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Manokwari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat.

Petocz (1987) menyatakan bahwa, secara historis CAPA merupakan gugusan pegunungan yang memiliki fungsi sebagai water catchment yang sangat penting untuk melindungi daerah-daerah di sekitarnya. Oleh karena itu, usulan kawasan ini sebagai kawasan konservasi dengan status Cagar Alam sangat tepat untuk memberi perlindungan bagi salah satu areal alami yang unik di wilayah Papua.

Kondisi Sumber Daya Alam (Fisik dan Bio Fisik)

Pegunungan Arfak secara umum terdiri atas batuan vulkanik andesit, mulai dari kaki perbukitan dan pegunungan dengan ketinggian kurang dari 1000 meter serta hutan-hutan wilayah pegunungan yang lebih rendah. Menurut Petocz (1987), kondisi inilah yang membuat Pegunungan Arfak berbeda dengan pegunungan lainnya di wilah kepala burung Pulau Papua. Bukan saja keadaan geologinya, tapi juga kondisi topografis yang curam dengan permukaan yang kasar (rugged). Selain itu, kawasan pegunungan ini memiliki komponen-komponen hutan padang aluvial dataran rendah yang tidak dimiliki oleh jajaran Pegunungan Tamrau (salah satu pegunungan yang juga berada di wilayah kepala burung).

Berdasarkan ketinggiannya, kawasan CAPA memiliki perwakilan tipe ekosistem cukup lengkap dengan tiga tipe ekosistem hutan yang utama, yaitu : 1. Hutan hujan dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 300 meter dpl. 2. Hutan hujan kaki gunung dengan ketinggian 300-1000 meter dpl.

3. Hutan hujan lereng pegunungan dengan ketinggian 1000-2900 meter dpl. Kondisi keanekaragaman hayati (khususnya fauna) di kawasan CAPA telah dieksplorasi sejak tahun 1872-1873 oleh ilmuan berkebangsaan Italia, yakni Luigi d’Albertis dan Oduardo Beccari. Mereka melakukan pengumpulan koleksi fauna dan merupakan salah satu catatan zoologi perdana di wilayah Papua. Kondisi fauna yang terdapat di CAPA secara umum didominasi oleh kelompok burung (aves). Petocz (1987) memaparkan bahwa di CAPA terdapat 333 jenis burung dengan 127 merupakan jenis-jenis burung pegunungan. Ada juga jenis-jenis menarik lainnya, yaitu : 14 jenis burung dewata, 4 jenis burung namdur, dan 26 jenis burung kakatua serta nuri. Saat ini beberapa jenis burung khas Pegunungan Arfak telah menjadi primadona dan daya tarik bagi wisatawan manca negara untuk mengunjungi kawasan tersebut. Jenis burung tersebut adalah burung pintar (Amblyornis inornatus) dalam bahasa daerahnya disebut Mbreceu. Selain itu burung lain yang menjadi daya tarik wisatawan adalah burung penari (Parotia sefilata), dan cenderawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus).

Selain jenis-jenis burung, CAPA juga memiliki 45 jenis fauna mamalia, diantaranya lima jenis bandikut, tiga jenis kuskus, tiga jenis oposum, empat jenis wallabi hutan, lima jenis tikus berkantung, dua jenis kucing marsupial, dan landak moncong panjang (Zaglossus bruijni) (Petocz 1987). Keunikan dan keindahan keragaman fauna CAPA lainnya, yaitu kekayaan jenis kumbang, kupu-kupu, dan serangga lainnya. Kupu-kupu yang ditemukan di kawasan CAPA lebih dari 300 spesies kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera sp.) merupakan jenis kupu-kupu

yang terkenal di dunia dan dikatakan hanya terdapat di CAPA (Petocz 1987 dan Laksono 2001). Menurut Laksono (2001), ada tujuh jenis kupu-kupu yang dilindungi, yaitu Ornithoptera paradisea arfakensis, Ornithoptera paradisea chrysanthimum (kupu-kupu sayap burung surga atau butterfly of paradise), Ornithoptera goliath samson (kupu-kupu sayap burung goliat), Ornithoptera tithonus misresiana (kupu-kupu burung titon atau tithonus birdwing), Ornithoptera rothschildi (kupu-kupu burung rotsil atau rothschild’s birdwing), Ornithoptera priamus poseidon (kupu-kupu sayap priamus), dan Troides oblongomaculatus (kupu-kupu raja).

Kawasan CAPA juga memiliki beragam flora yang secara turun temurun telah dimanfaatkan masyarakat suku Arfak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Beberapa jenis flora tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku membuat rumah, peralatan berkebun, berburu, obat-obatan, dan untuk dikonsumsi (Laksono 2001 dan Mulyadi 2012). Beberapa jenis flora yang dimanfaatkan tersebut, yaitu : Merbau (Intsia bijuga), Pulai (Alstonia scholaris), Binuang (Octomeles sumatrana), Matoa (Pometia sp.), Nyatoh (Palaquium sp.), Pinang (Areca catechu), Sirih (Piper sp.), dan Pandanus sp.. Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang oleh masyarakat digunakan masyarakat sebagai indikator untuk beraktifitas mereka. Misalnya keberadaan pohon bembuk dan ceskua di suatu lokasi memberikan indikasi bahwa lokasi tersebut dapat dibuka untuk berkebun.

Kondisi Umum Kampung Kwau

Kwau merupakan salah satu kampung (desa) dari 50 kampung yang terdapat di Distrik (kecamatan) Minyambouw, Kabupaten Manokwari. Berdasarkan letak geografis Kampung Kwau terletak pada kisaran 1005’24” Lintang Selatan dan 133055’54” Bujur Timur berada di kaki gunung Arfak dengan ketinggian tempat ± 1100 meter dpl. Kampung Kwau dipimpin oleh seorang kepala kampung yang diangkat langsung oleh masyarakat. Umumnya seorang kepala kampung adalah orang yang dipandang paling berpengaruh dan memiliki hak ulayat terbesar dari kampung tersebut.

Sumber : Foto pribadi 2012.

Gambar 7. Kondisi Kampung Kwau, Distrik Minyambouw, Kabupaten Manokwari

Kondisi topografi maupun iklim di Kampung Kwau dapat dikatakan hampir sama dengan kondisi dari ibukota Distrik Minyambouw. Kondisi topografinya

datar sampai berbukit dengan kemiringan mencapai 65 %. Jenis tanahnya adalah podsolik keabu-abuan, aluvial, liat, dan juga berkerikil dengan tingkat keasaman tanah (pH) sebesar 5-7. Curah hujannya sebesar 253.2 mm/bulan dengan kelembaban ± 85 % dan temperatur udara 14o-22oC serta jumlah hari hujannya adalah 15 hari/bulan. Musim kering di wilayah ini terjadi pada bulan Juli-Oktober, sedangkan musin hujan pada bulan Januari-Mei (Mulyadi 2012).

Kependudukan Kampung Kwau

Kependudukan sering juga disebut faktor demografi yang ditinjau dari berbagai aspek antara lain : faktor jumlah penduduk, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan mata pencaharian. Berdasarkan data kependudukan yang diperoleh di lapangan, jumlah penduduk Kampung Kwau tahun 2011 sebanyak 169 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 59 KK. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin dan umur di Kampung Kwau dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi penduduk Kampung Kwau menurut umur dan jenis kelamin tahun 2011

No. Umur (Tahun) Jenis Kelamin (Jiwa) Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Laki-laki Perempuan 1. 0-4 9 7 16 9.47 2. 5-14 19 8 27 15.98 3. 15-19 13 5 18 10.65 4. 20-24 8 6 14 8.28 5. 25-54 41 39 80 47.34 6. > 54 6 8 14 8.28 Total 96 73 169 100.00

Sumber : Data Kampung Kwau Tahun 2011 (diolah)

Penduduk Kampung Kwau berdasarkan nama marga lebih banyak dihuni oleh marga Mandacan (115 jiwa), kemudian diikuti oleh marga Wonggor (34 jiwa) dan Indou (20 jiwa). Sedangkan berdasarkan suku bangsanya, Kampung Kwau didominasi oleh suku Hatam dan Moile yang merupakan bagian dari suku besar Arfak.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kampung Kwau

Masyarakat Suku Arfak yang berdomisili di Kampung Kwau pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala kampung dapat dikatakan bahwa keseluruhan penduduknya adalah petani. Hal ini dapat terlihat pada salah satu perangkat kampung yang juga melakukan pembukaan lahan untuk berkebun serta terkadang membawa hasil pertaniannya dijual ke Kota Manokwari.

Sistem pengolahan lahan yang dilakukan penduduk Kampung Kwau masih dilakukan secara tradisional, yaitu dengan membuka suatu lokasi. Seperti pada masyarakat suku Arfak pada umumnya, pemilihan lahan untuk berkebun dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan, seperti topografi, warna tanah, dan jenis pohon yang tumbuh di atasnya. Setelah lokasi untuk berkebun ditentukan, kemudian dilakukan kegiatan pembersihan lokasi tersebut dengan memangkas semak belukar dan rerumputan. Umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh kepala keluarga dan dibantu anggota keluarga lainnya menggunakan sabit atau parang

dan membutuhkan waktu sekitar dua minggu. Setelah luasan lahan yang ingin ditanami dibersihkan, kepala keluarga akan membuat pagar yang mengelilingi lahan tersebut. Bahan baku pagar diambil dari cabang pohon-pohon berdiameter kurang dari 10 cm yang ditebang dari lokasi kebun atau yang berada di sekitarnya. Hal ini dilakukan untuk melindungi lahan kebun dari gangguan hewan babi dan sapi peliharaan atau liar.

Setelah pemagaran kebun, kegiatan selanjutnya adalah kegiatan pembakaran sisa-sisa potongan tumbuhan yang telah kering dengan mengumpulkan dan menyusunnya dalam bentuk beberapa gundukan di beberapa tempat dalam lahan. Kegiatan pembakaran atau dalam bahasa lokal disebut masairo dilakukan pada saat musim kemarau dengan mempertimbangkan arah angin agar tidak terjadi kebakaran hutan.

Aktifitas berkebun setelah melakukan pembakaran adalah penanaman (mabemij) yang dilakukan pada awal musim hujan. Pola tanam masyarakat Arfak pada umumnya adalah sistem campuran dalam satu hamparan lahan. Masing-masing tanaman ditanam secara berurutan sesuai dengan umur tanaman tersebut. Mulyadi (2012) memaparkan bahwa urutan penanaman masyarakat Arfak adalah sebagai berikut : tanaman yang pertama ditanam adalah labu, kemudian jagung, buncis, kentang, dan yang terakhir adalah ubi jalar.

Seiring dengan perkembangan kegiatan pembangunan dan juga informasi di bidang pertanian yang terus diperoleh, masyarakat suku Arfak umumnya dan penduduk Kampung Kwau pada khususnya mulai kembangkan komoditi tanaman dataran tinggi yang bernilai ekonomi seperti tanaman sayuran, antara lain wortel (Daucus carota), kentang (Solanum tuberosum), petsai (Brassica chinensis), kol/kubis (Brassica oleracea), daun bawang (Allium fistulosum), dan seledri (Apium graveolens). Komoditi sayuran tersebut saat ini telah menjadi komoditi utama masyarakat Kampung Kwau sebagai penghasilan utama keluarga, selain dari hewan ternak mereka.

Penduduk Kampung Kwau adalah penganut agama Kristen Protestan yang taat, walaupun dalam kehidupan sehari-hari mereka masih mempercayai hal-hal mistis, seperti Suanggi. Dalam kehidupan sehari-hari penduduk Kampung Kwau tidak merokok dan juga makan pinang seperti masyarakat Papua pada umumnya. Bagi penduduk Kampung Kwau mereka tidak merokok, karena terkait dengan keberadaan Suanggi tersebut. Suanggi adalah sebutan bagi orang yang dibayar untuk membunuh orang lain, karena rasa dendam atau tidak disukai. Dalam membunuh, Suanggi pada awalnya menggunakan racun yang diramu dari tumbuhan ataupun hewan. Hanya saja saat ini mereka juga menggunakan zat-zat kimia beracun dan mematikan yang dijual secara umum, seperti racun tikus atau jenis-jenis pestisida lainnya. Salah satu cara Suanggi melakukan aksinya adalah dengan meniupkan asap rokok ke arah orang yang menjadi sasarannya. Oleh karena itu, masyarakat suku Arfak pada umumnya termasuk penduduk Kampung Kwau tidak merokok karena akan dicurigai sebagai Suanggi. Sampai saat ini pun peristiwa kematian yang menimpa seseorang selalu dihubungkan dulu dengan Suanggi, walaupun kematiannya diakibatkan karena menderita suatu penyakit. Sedangkan, penduduk Kampung Kwau tidak makan pinang, karena menurut mereka hal tersebut terlihat jorok.

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam kegiatan pembangunan adalah tingkat pendidikannya. Semakin tinggi pendidikan

formal yang dicapai, maka semakin tinggi semakin tinggi partisipasinya dalam aktifitas pembangunan di lingkungannya. Brahmantyo dan Kusmayadi (1999) menyatakan bahwa, dengan tingginya pendidikan yang dicapai seseorang, maka tingkat kreativitas dan adaptasinya dalam pembangunan akan menjadi lebih baik.

Kampung Kwau merupakan salah satu kampung dari Distrik Minyambouw, Kabupaten Manokwari yang masih terisolir. Untuk mencapai kampung tersebut harus melewati hutan dengan jarak tempuh sekitar satu jam berjalan kaki. Sarana prasarana pendidikan yang ada di Kampung Kwau hanya berupa satu buah bangunan sekolah dasar (SD) dengan tiga orang guru yang keberadaannya pun jarang di tempat tugas. Untuk anak-anak Kampung Kwau yang ingin melanjutkan jenjang pendidikannya, maka mereka harus keluar dari kampung menuju Kota Manokwari. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin di Kampung Kwau dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi penduduk Kampung Kwau menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin tahun 2011

No. Pendidikan Jenis Kelamin (Jiwa) Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Laki-laki Perempuan 1. Buta huruf 70 62 132 78.11 2. SD 12 5 17 10.06 3. SMP 8 4 12 7.10 4. SMA 4 2 6 3.55 5. Peguruan Tinggi 2 - 2 1.18 Total 96 73 169 100.00

Sumber : Data Kampung Kwau Tahun 2011 (diolah)

Berdasarkan Tabel 4 di atas terlihat bahwa tingkat pendidikan penduduk Kampung Kwau masih sangat rendah, bahkan sebagian besar belum lancar dalam berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, selain masih terisolasinya Kampung Kwau juga karena terbatasnya sarana pendidikan di kampung tersebut. Umumnya penduduk yang berpendidikan lebih tinggi, karena mereka ikut dengan keluarga/kerabat yang berdomisili di kota Manokwari.

Pemilikan dan Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat Suku Arfak Tingkat ketergantungan masyarakat Papua terhadap hutan hingga saat ini masih tinggi. Hal ini terutama terlihat jelas pada masyarakat yang berdomisili di sekitar atau dalam kawasan hutan. Kondisi yang sama juga terlihat pada masyarakat Suku Arfak di Pegunungan Arfak. Pemanfaatan hutan telah terjadi sejak jaman nenek moyang mereka berupa bahan makanan, obat-obatan, hewan, dan juga kayu sebagai sumber kehidupan. Oleh karena itu, hutan bagi masyarakat suku Arfak merupakan tempat untuk menggantungkan hidup dan penyedia kebutuhan subsistensi (Laksono 2001).

Masyarakat Papua memiliki konsep tentang hutan sebagai seorang ibu yang memberikan makan/menyusui anak-anaknya. Oleh karena itu, dalam mengelola hutan masyarakat Papua selalu bergantung pada siklus ekologis alam. Hanya saja, walaupun semua sumber daya dalam kawasan hutan tumbuh dan berkembang secara alamiah, namun bukan berarti sumber daya tersebut tidak ada yang punya. Di Papua ada istilah yang menyatakan bahwa, tidak ada sejengkal tanah pun yang

tidak terbebani hak ulayat. Laksono (2001) menyatakan bahwa, hutan bagi masyarakat di pegunungan Arfak bukanlah tempat yang tak bertuan. Masyarakat suku Arfak mengenal batas-batas wilayah dalam memanfaatkan sumber daya hutan. Hamparan daratan Pegunungan Arfak telah dibagi-bagi menjadi wilayah tertentu dan menjadi milik kelompok masyarakat atau kampung yang disebut tanah milik adat.

Tanah adat adalah tanah yang merupakan milik bersama oleh masyarakat suatu kampung untuk dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Batas-batas dari tanah adat tersebut pun sangat jelas, seperti sungai, gunung, atau pohon tertentu, agar tidak terjadi pengambilan hasil hutan oleh orang atau kelompok lain. Batas-batas alam tanah adat yang oleh masyarakat suku Arfak dikatakan hanjob ini senantiasa dihormati. Pengenalan batas tanah adat kepada generasi penerus pun telah dilakukan sejak seorang anak berusia ± 10 tahun (Laksono 2001). Orangtua akan menunjukkan batas-batas alam tersebut pada saat mereka berkebun atau berburu.

Kepemilikan tanah adat dapat diberikan kepada orang lain diluar penduduk kampung pemilik tanah adat atas seijin kenamnyak/kenam. Hal tersebut terjadi apabila ada seseorang pindah dari kampung lain untuk menetap di kampung tersebut. Kenamnyak/kenam adalah orang yang pertama menemukan lokasi tanah adat dan memberikan nama terhadap tempat-tempat tertentu, jenis-jenis hewan, serta pohon-pohon dalam hutan/tanah adat tersebut. Pemberian pemilikan tanah adat kepada orang lain tersebut berstatus menumpang, sehingga tidak dapat diperjualbelikan. Namun, seiring dengan perkembangan jaman kepemilikan tanah adat/ulayat dapat diperjualbelikan tidak saja kepada sesama suku Papua, tapi juga kepada suku-suku lain diluar Papua, seperti suku Maluku, Jawa, Makasar, ataupun suku lainnya.

Masyarakat suku Arfak dalam mengelola tanah adat untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka mengenal pembagian wilayah pengelolaan menjadi empat (Laksono 2001 dan Mulyadi 2012), yaitu :

1. Kawasan Bahamti, yaitu kawasan hutan primer yang sama sekali tidak boleh diganggu untuk kegiatan berladang atau berkebun. Kawasan ini dijaga sangat ketat oleh masyarakat dari aktifitas seperti menebang pohon, berburu, membuat rumah, dan membuka lahan. Pada kawasan ini hanya diperbolehkan untuk mengambil kulit kayu, daun untuk atap rumah, dan rotan sekedarnya. 2. Kawasan Nimahamti, yaitu kawasan hutan yang sangat lembab dan banyak

lumut yang tumbuh di tanah ataupun menempel di pohon. Kawasan ini juga berada dalam kawasan Bahamti. Oleh karena itu, kawasan ini pun tidak dapat dimanfaatkan, karena secara geografis sangat sulit untuk dijangkau dari kampung dan memiliki suhu yang sangat dingin. Pada kawasan ini aktifitas berladang atau berkebun tidak dapat dilakukan, karena jenis tanaman yang umumnya ditanam masyarakat suku Arfak (jenis hortikultura) tidak dapat tumbuh dengan baik.

3. Kawasan Susti, merupakan kawasan hutan sekunder atau kawasan yang pernah dibuka untuk aktifitas berladang yang telah ditinggalkan selama ± 5-20 tahun (masa bera) yang ditandai dengan pohon-pohon yang berada dalam kawasan tersebut telah tumbuh besar. Pada kawasan ini diperbolehkan untuk mengambil kulit kayu, rotan, daun, berbur, dan membuka lahan untuk

berkebun. Yang tidak boleh dilakukan pada kawasan ini adalah membangun rumah.

4. Kawasan Situmti, adalah lahan bekas kebun ubi jalar, letaknya dekat dengan perkampungan penduduk atau halaman rumah yang dicirikan dengan tumbuh rerumputan atau tanaman sayuran.

Kehidupan masyarakat suku Arfak hingga kini tidak dapat dipisahkan dengan hutan dan sepenuhnya sangat bergantung pada kemurahan alam. Mereka masih mempraktikkan cara-cara tradisional dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini tercermin dalam aktivitas ekonomi masyarakat suku Arfak yang orientasinya masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan mengandalkan sumber daya alam terutama untuk kebutuhan pangan. Namun, seiring dengan perkembangan kegiatan pembangunan telah terjadi intervensi masyarakat luar yang mempengaruhi masyarakat suku Arfak untuk melakukan kegiatan perekonomian lain, seperti beternak kupu-kupu atau mengembangkan tanaman sayuran dataran tinggi.

Sekilas Sejarah Pengembangan Wisata Alam di Kampung Kwau Sektor pariwisata sebagai kegiatan perekonomian telah menjadi andalan potensial dan prioritas pengembangan bagi sejumlah negara, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki potensi wilayah yang luas dengan daya tarik wisata yang cukup besar. Banyaknya keindahan alam, aneka warisan sejarah budaya, dan kehidupan masyarakat (etnik) merupakan aset yang perlu dikelola dengan baik sebagai obyek wisata alam. Pariwisata di Indonesia merupakan salah satu penunjang perekonomian yang memilki prospek yang cerah, tetapi hingga dewasa ini belum memperlihatkan peranan yang sesuai dengan harapan dalam proses pembangunan di Indonesia.

Provinsi Papua Barat sebagai wilayah pemekaran dari Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua), secara empirik sektor pariwisata belum menjadi prioritas dalam kegiatan pembangunan, padahal potensinya sangat besar. Salah satu potensinya yang telah menjadi perhatian sejak dahulu adalah keunikan dan keindahan yang dimiliki Pegunungan Arfak. Keunikan dan keindahan kawasan Pegunungan Arfak tersebut pada awalnya menjadi daya tarik bagi para ilmuan, khususnya di bidang biologi untuk melakukan eksplorasi sumber daya biologinya. Namun seiring dengan perkembangan jaman, kelompok pencinta alam pun mulai tertarik untuk mengunjungi kawasan tersebut.

Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal yang pada awalnya membina masyarakat di Pegunungan Arfak untuk mengelola sumber daya alam, mulai memfasilitasi pengembangan sektor pariwisata khususnya wisata alam sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Sejak tahun 2009 dengan pendanaan dari luar negeri dilakukan pengembangan wisata alam di Pegunungan Arfak berlokasi di Kampung Kwau dan Syobri. Kedua kampung tersebut dipilih, karena merupakan habitat dari jenis burung endemik Pegunungan Arfak yang sangat indah dan unik (jenis burung Cenderawasih) dan merupakan obyek daya tarik wisata yang sangat diminati oleh wisatawan baik mancanegara maupun domestik.

Pendampingan dilakukan oleh LSM terhadap masyarakat dalam rangka untuk melayani pengunjung/wisatawan menjadi fokus utama. Pembangunan sarana prasarana seperti tempat penginapan (home stay), pusat informasi, serta sarana penunjang lainnya untuk kenyamanan pengunjung selama melakukan wisata. Namun saat ini pihak LSM sudah tidak lagi melakukan pendampingan untuk pengembangan wisata alam. Akses pengunjung untuk dapat menikmati keindahan dan keunikan Pegunungan Arfak dapat langsung berhubungan dengan local guide di kedua kampung tersebut yang merupakan penduduk dari kedua kampuung. Local guide yang ada di kedua kampung tersebut masing-masing berjumlah satu orang. Kedua orang tersebut dipilih sebagai local guide, karena mereka memiliki kelebihan dalam berkomunikasi dengan pengunjung/wisatawan dibandingkan dengan penduduk lain.

Untuk berwisata alam di Kampung Kwau atau DP CAPA lainnya selama ini, umumnya pengunjung mendapatkan informasi lewat situs internet yang dimiliki oleh operator wisata di Kota Manokwari. Setelah pengunjung melakukan deal dengan operator wisata, selanjutnya operator wisata akan menghubungi local guide di Kampung Kwau untuk menyambut pengunjung sesuai waktu yang sudah disepakati antara pengunjung dengan operator wisata. Local guide dari Kampung Kwau dapat menjemput langsung di Kota Manokwari atau di jalan masuk menuju home stay di kampung.

Berwisata di kedua kampung (Syobri atau Kwau) ada kesepakatan yang harus dipatuhi oleh pengunjung. Hal ini dimaksudkan, agar kegiatan wisata yang dilakukan dapat juga dirasakan manfaatnya oleh penduduk lainnya. Kesepakatan yang dimaksud adalah, untuk bahan makanan yang diusahakan oleh masyarakat seperti sayuran diharapkan pengunjung tidak membelinya di Kota Manokwari. Sebagai kontribusi kepada masyarakat, diharapkan pengunjung membeli kebutuhan makanan yang diusahakan masyarakat tersebut langsung di lokasi wisata.

Tarif yang dikenakan kepada pengunjung untuk berwisata di Kampung Kwau adalah sebagai berikut :

1. Penginapan Rp50 000/orang/hari

2. Fee untuk kampung Rp50 000/orang

3. Jasa guide Rp200 000/hari

4. Jasa porter menuju home stay Rp50 000/porter

Dokumen terkait