• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Wisata Alam (Natural Tourism)

Wisata alam dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2010 tentang pengusahaan pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, adalah seluruh atau sebagian kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan-kawasan tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan wisata alam adalah kegiatan rekreasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, kebudayaan, dan cinta alam. Semua kegiatan wisata ini dilakukan dalam obyek wisata yang ada.

Wisata alam atau yang lebih populer dengan sebutan ekowisata ini, telah menunjukkan perkembangan yang cepat dalam dunia pariwisata. Hal ini didorong oleh berubahnya pola kehidupan khususnya masyarakat perkotaan untuk bepergian melihat kehidupan dan memperkaya pengalaman di alam serta belajar tentang alam. Berbeda dengan wisata konvensional, wisata alam merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai suatu perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES 2000 dalam Damanik dan Weber 2006).

Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Ceballos-Lascurain yang mendefinisikannya sebagai kunjungan ke daerah-daerah yang masih bersifat alami yang relatif masih belum terganggu dan terpolusi dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dengan tumbuhan satwa liar serta budaya (baik masa lalu maupun sekarang) yang ada di tempat tersebut. Setelah itu muncul berbagai defenisi tentang ekowisata oleh sejumlah pakar dengan latar belakang sudut pandang yang berbeda. Berikut ini beberapa defenisi tentang ekowisata oleh para pakar yang dikutip oleh Avenzora (2008) untuk mengevaluasi konsep-konsep tersebut :

1. The Ecotourism Association of Australia (1996), yaitu sebagai turisme atau kepariwisataan yang secara ekologis berkelanjutan (lestari) dan mendorong berkembangnya pemahaman (understanding), apresiasi atau penghargaan (appreciation), serta tindakan konservasi lingkungan dan kebudayaan.

2. PT. Indecon (1996), yaitu sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah-kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

3. Fandelli (2000), yaitu merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Atau dengan kata lain merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian areal, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat.

4. Brandon (1996), yaitu kegiatan pengusahaan wisata yang memberikan manfaat sebagai berikut : sebagai sumber pendanaan kawasan konservasi,

pembenaran ekonomi dalam perlindungan kawasan konservasi, sebagai alternatif mata pencaharian masyarakat lokal untuk mengurangi pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, sebagai pilihan dalam mempromosikan konservasi, sebagai dorongan dalam upaya konservasi yang khusus.

5. Western (1995), yaitu hal tentang menciptakan dan memuaskan sesuatu keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan serta mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan, dan keindahan.

6. Hadinoto (1996), yaitu bagian dari wisata alam yang dapat dilakukan di kawasan yang dilindungi seperti Taman Nasional, Taman Wisata Alam, atau di kawasan yang tidak dilindungi, seperti daerah pertanian dan desa wisata. Atau dengan kata lain merupakan suatu perjalanan ke kawasan atau tempat yang masih alami untuk merasakan ketenangan dan kenyamanan.

7. Eplerwood (1996), yaitu perjalanan yang bertanggung jawab ke areal yang masih alami untuk mengkonservasi lingkungan serta menjamin kesejahteraan masyarakat lokal.

Berdasarkan definisi dan batasan tersebut, Avenzora (2008) menyimpulkan bahwa pola pendefinisian ekowisata berorientasi pada beberapa aspek sebagai berikut :

1) Tujuan yang ingin dicapai dari konsep yang ditawarkan. 2) Sumber daya wisata yang digunakan.

3) Bentuk-bentuk kegiatan wisata yang diselenggarakan.

Menurut The Ecotourism Society (Eplerwood 1999 dalam Zainun 2009), menyebutkan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata yaitu : 1) Mencegah dan menanggulangi dari aktivitas wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan budaya, 2) Pendidikan konservasi lingkungan, 3) Pendapatan langsung untuk kawasan, 4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, 5) Meningkatkan penghasilan masyarakat, 6) Menjaga keharmonisan dengan alam, 7) Menjaga daya dukung lingkungan, dan 8) Meningkatkan devisa buat pemerintah. Kusler (1991) dalam Zainun (2009) menyatakan bahwa, untuk pengembangan ekowisata perlu didukung oleh peningkatan sarana dan prasarana seperti jalan, penginapan, transportasi kerjasama pemerintah dengan pihak swasta serta promosi dan publikasi oleh berbagai instansi terkait.

Konteks perumusan rencana strategis pengembangan ekowisata nasional dengan merujuk pada prinsip-prinsip yang berlaku universal, rekomendasi-rekomendasi yang terangkat dalam berbagai forum diskusi dan hasil-hasil kajian dan tuntutan obyektif di lapangan, batasan ekowisata nasional dirumuskan sebagai suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung kawasan terbuka, kawasan alam binaan serta kawasan budaya. Hal yang sama juga disampaikan dalam siaran pers Kementerian Kehutanan tanggal 23 Juni 2008, yaitu pengembangkan industri wisata alam, pelaku usaha wajib berpegang teguh pada prinsip dasar pengembangan pariwisata alam, yaitu berbasis pada alam, berkelanjutan, bermanfaat untuk masyarakat lokal, mengutamakan kepuasan wisatawan, dan memiliki unsur pendidikan lingkungan.

Kawasan Suaka Alam

Bergulirnya era baru dalam kegiatan pembangunan di segala sektor termasuk bidang Kehutanan di Indonesia, pengelolaan kawasan hutan dilakukan berlandaskan aspek kelestarian. Berbagai upaya pembenahan pengelolaan terus dilakukan, hanya saja menurut Suhendang (2002) untuk kawasan hutan produksi yang secara ekonomi dan lingkungan sudah tidak layak menghasilkan komoditas kayu maka, fokus pengelolaan dan pemanfaatannya dapat dialihkan untuk komoditas HHBK atau jasa lingkungan, salah satunya adalah wisata alam (natural tourism). Pengelolaan kawasan hutan (forest management) menurut Suhendang (2002) adalah praktik penerapan prinsip-prinsip dalam bidang biologi, fisika, kimia, manajemen, ekonomi, sosial, dan analisis kebijakan dalam rangkaian kegiatan membangun atau meregenerasikan, membina, memanfaatkan, dan mengonservasikan hutan untuk mendapatkan tujuan/tujuan-tujuan dan sasaran/ sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan tetap mempertahankan produktivitas dan kualitas hutan.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dijabarkan bahwa, kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan tersebut terdiri dari : a) Kawasan Cagar Alam (KCA) dan b) Kawasan Suaka Margasatwa (KSM). Pengelolaan KSA seperti halnya KPA bertujuan untuk mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa dalam rangka mencegah kepunahan spesies, melindungi sistem penyangga kehidupan, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari. Kedua kategori kawasan tersebut dilindungi secara ketat, sehingga tidak boleh ada sedikitpun campur tangan manusia dalam proses-proses alami yang terjadi di dalam kawasan tersebut. Kawasan ini hanya diperuntukkan bagi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Penataan KSA berdasarkan aturan yang berlaku dilakukan dalam bentuk blok-blok pengelolaan, yaitu blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok lainnya. Untuk upaya perlindungan KSA dilakukan melalui kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies infasif, hama, dan penyakit serta melakukan pengamanan kawasan secara efektif. Perlindungan KSA tersebut mencakup 4 tujuan, yaitu : 1. Terjaminnya proses ekologis yang menunjang kelangsungan hidup dari flora,

fauna, dan ekosistemnya;

2. Menjaga, mencegah, dan membatasi kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan potensi dan kawasan serta perubahan fungsi kawasan, baik yang disebabkan oleh manusia, ternak, kebakaran, alam, spesies infasif, hama, dan penyakit;

3. Menjaga hak negara, masyarakat, dan perorangan atas potensi, kawasan, ekosistem, investasi, dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan KSA dan KPA;

Kawasan Cagar Alam

Cagar alam adalah KSA yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya yang memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian agar keberadaan dan perkembangannya dapat berlangsung secara alami. Berdasarkan Buku Statistik Kemenhut 2011, saat ini terdapat 239 unit cagar alam darat dengan total luas 4 330 619.96 hektar, dan 6 unit cagar alam perairan dengan luas sekitar 154 610.10 hektar.

Untuk dapat diusulkan sebagai kawasan cagar alam, suatu kawasan harus memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem;

2. Mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik masih asli dan belum terganggu;

3. Terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaaannya terancam punah;

4. Memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;

5. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; dan/atau

6. Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.

Terkait apa saja hal-hal yang dapat dilakukan di dalam kawasan, maka cagar alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang berupa :

1. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

2. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; 3. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan

4. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

Suaka Margasatwa

Suaka Margasatwa adalah KSA yang mempunyai kekhasan/keunikan jenis satwa liar dan/atau keanekaragaman satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya memerlukan upaya perlindungan dan pembinaan terhadap populasi dan habitatnya. Data Statistik Kemenhut 2011 menunjukkan bahwa saat ini terdapat Suaka Margasatwa darat sebanyak 71 unit dengan luas 5 024 138.29 hektar serta 4 unit Suaka Margasatwa perairan dengan luas sekitar 5 588.00 hektar. Untuk dapat diusulkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa, suatu kawasan harus memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau beberapa jenis satwa langka dan/atau hampir punah;

2. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;

3. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu; dan/atau 4. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.

Suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan: 1. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

2. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;

3. Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam terbatas; dan

4. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

Daerah Penyangga Kawasan Konservasi

Kegiatan pembangunan yang terus meningkat, perubahan politik, dan sosial budaya telah berpengaruh terhadap kondisi ekologis. Tekanan dan ancaman terhadap kawasan konservasi terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Pada saat ini setidaknya terdapat 3 500 desa di sekitar kawasan konservasi yang dihuni oleh sekitar enam juta penduduk dengan kondisi ekonomi umumnya tertinggal atau prasejahtera. Aktivitas mereka tidak jarang menimbukan ancaman bagi keutuhan dan kelestarian kawasan konservasi, antara lain perambahan dan perladangan liar, perburuan dan penangkapan satwa, serta pemboman ikan dan pengambilan terumbu karang di kawasan perairan. Penanganan dengan menggunakan konsep perlindungan kawasan konservasi dengan pola lama yang sebagian besar didasarkan pada kegiatan patroli kawasan dengan penegakkan hukum dirasakan tidak efektif. Tekanan yang makin meningkat juga berkaitan dengan cepatnya pertambahan penduduk dan kebutuhan lahan, dan jika dihadapkan pada usaha penegakan hukum yang kaku dan tidak tepat sasaran, hanya akan meningkatkan terjadinya konflik antara masyarakat setempat, pemerintah daerah dengan otoritas pengelola kawasan. Pendekatan pengelolaan dan pengembangan daerah penyangga (DP) dilihat sebagai salah satu cara untuk mengatasi dari kelemahan ini.Oleh karena itu, pengelolaan DP kawasan konservasi diharapkan dapat menjadi salah satu solusi penanganan perambahan, khususnya dengan pendekatan non represif.

Pengelolaan dan pemanfaatan DP sangat penting bagi kelestarian KSA maupun KPA terutama dalam mengurangi tekanan dari penduduk atau masyarakat sekitar. Hal ini terutama dilakukan terhadap kawasan hutan yang tingkat interaksi masyarakat dengan kawasan sangat tinggi, sehingga dapat memadukan kepentingan konservasi dan perekonomian masyarakat sekitar. Fungsi DP ini dapat diwujudkan secara optimal dengan pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan, nilai ekonomi dan konservasi lahan masyarakat, melalui rehabilitasi lahan kritis dalam sistem hutan kemasyarakatan, hutan rakyat atau agroforestry.

Kerusakan hutan di Indonesia sampai saat ini sudah sangat memprihatikan, sehingga fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan menjadi terganggu. Bavana (2010) menyatakan bahwa, kebijakan pemerintah yang telah digariskan di bidang Konservasi Sumber Daya Alam dimaksudkan untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, agar dapat berfungsi secara optimal dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui pembinaan dan pengembangan DP diharapkan ketergantungan masyarakat terhadap potensi sumber daya alam yang ada di kawasan konservasi sesuai dengan kondisi dan permasalahannya secara bertahap dapat ditanggulangi. Pembinaan dan pengembangan DP merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat terutama dalam rangka menciptakan dan menggali sumber penghidupan yang baru bagi masyarakat yang berada di kawasan tersebut sebagai pengganti sumber penghidupan yang semula berasal dari kawasan konservasi. Oleh karena itu, dikatakan juga bahwa DP merupakan kawasan penting sebagai

pendukung kawasan konservasi dan merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian biodiversitas dan ekosistem taman nasional, baik sebagai asset wisata alam, penyangga kawasan konservasi, kawasan budidaya, sumber penghasil pangan, kayu bakar dan obat-obatan (Bismark dan Sawitri 2006).

Pemanfaatan kawasan untuk pengembangan wisata alam di KSA hanya berlaku untuk KSM, sedangkan untuk KCA belum terakomodir. Kenyataannya KCA juga memiliki sejumlah keunikan sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi termasuk dari aspek wisata. Salah satu jalan keluar agar potensi wisata tersebut dapat dimanfaatkan adalah menetapkan DP dari KCA tersebut. Hal ini sejalan dengan isi pasal 44 PP nomor 28 tahun 2011 yang menyatakan bahwa, untuk menjaga keutuhan dari KSA dan KPA diharuskan menetapkan daerah penyangga yang berbatasan dengan wilayah kedua kawasan tersebut. Daerah penyangga merupakan daerah yang mengelilingi kawasan lindung yang berfungsi membatasi aktifitas manusia di dalam kawasan lindung agar tidak merusak ekosistem di dalam kawasan hutan. Selanjutnya dijelaskan pula berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, wilayah yang berbatasan dengan kawasan suaka alam ditetapkan sebagai daerah penyangga.

Penetapan dan pengelolaan DP kawasan konservasi harus didasarkan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat, sehingga DP memiliki nilai ekonomi yang mampu meningkatkan taraf hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi. Oleh karena itu pembangunan kawasan konservasi, DP, dan ekonomi masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang dapat menguntungkan. Dengan demikian, pembangunan DP merupakan pembangunan terpadu yang mencakup berbagai bidang berdasarkan karakteristik permasalahan dan kebutuhan obyektif dari masing-masing wilayah yang dibangun. Sejalan dengan itu maka rencana pembangunan DP dan kawasan konservasi dalam perencanaan terpadu harus terkait erat dengan rencana pembangunan wilayah atau daerah, sehingga setiap usaha berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Konsep Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam

Penilaian ekonomi atau dapat juga dikatakan sebagai kegiatan memberi nilai secara moneter (nilai uang), menurut Darusman dan Widada (2004) merupakan aktivitas mengukur besarnya nilai manfaat ekonomi dari suatu kawasan hutan terhadap semua manfaatnya yang terdiri dari nilai kegunaan, nilai pilihan dan nilai keberadaan kawasan hutan tersebut. Penjumlahan atas nilai-nilai tersebut merupakan nilai keseluruhan manfaat ekonomi kawasan yang disebut juga nilai ekonomi total (total economic value (TEV)). Nilai merupakan persepsi seseorang, yaitu harga yang diberikan terhadap sesuatu pada waktu dan tempat tertentu. Ukuran harga dapat ditentukan oleh waktu, barang, dan uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki, menggunakan, dan mengkonsumsi suatu barang atau jasa yang diinginkannya. Suparmoko (2006) menyatakan bahwa konsep nilai beragam karena berhubungan dengan berbagai macam sumber daya

alam dan lingkungan. Nilai tersebut dibedakan atas nilai penggunaan yang diekstraktif, non-ekstraktif, jasa lingkungan, jasa biologis, dan jasa sosial.

Nilai ekonomi total (NET) suatu kawasan konservasi secara konseptual terdiri dari nilai penggunaan (use value) dan nilai non-penggunaan (non use value). Secara matematis konsep NET tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Pearce dan Moran 1994 dalam Setiawan 2000) :

Keterangan :

NET = Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) NP = Nilai Penggunaan (Use Value)

NNP = Nilai Non-Penggunaan (Non Use Value)

NPL = Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value)

NPTL = Nilai Penggunaan Tidak Langsung (Indirect Use Value) NP = Nilai Pilihan Masa Pilihan Masa Depan (Option Value) NA = Nilai Keberadaan (Existence Value)

NW = Nilai Warisan (Bequest Value)

Adrianto (2006) menyatakan bahwa, terminologi nilai ekonomi total (NET) yang dilakukan oleh para ahli menggunakan tipologi nilai ekonomi yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan konteks ini, NET merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan/penggunaan (Use Value) dengan nilai ekonomi berbasis bukan pemanfaatan/penggunaan (Non-Use Value). Nilai penggunaan terdiri dari nilai penggunaan langsung (Direct Use Value), nilai penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value), dan nilai pilihan (Option Value). Sedangkan nilai non penggunaan terdiri dari nilai warisan (Bequest Value) dan Nilai Eksistensi (Existention Value).

Sumber : Adrianto (2006)

Gambar 2. Tipologi nilai ekonomi total (Total Economic Value)

Secara umum, teknik penilaian ekonomi menurut Fauzi (2006) digunakan untuk sumber daya alam dan lingkungan yang belum memiliki nilai pasar ( non-market valuation) dan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok

NET = NP + NNP = (NPL + NPTL + NP) + (NA + NW)

NILAI EKONOMI TOTAL (Total Economic Value)

NILAI PENGGUNAAN (Use Value)

NILAI NON-PENGGUNAAN (Non Use Value)

Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value)

Nilai Penggunaan Tidak Langsung

(Indirect Use Value)

Nilai Pilihan (Option Value) Nilai Warisan (Bequest Value) Nilai Eksistensi (Existance Value)

pertama adalah teknik penilaian yang mengandalkan harga implisit di mana kesediaan untuk membayar (willingness to pay (WTP)) terungkap melalui model yang dikembangkan. Kelompok kedua adalah teknik penilaian yang didasarkan pada survei untuk mengetahui secara langsung keinginan membayar dari responden, baik secara lisan maupun tertulis. Fauzi (2006) menggambarkan sistematika teknik penilaian ekonomi non-market seperti yang terlihat pada Gambar. 3.

Sumber : Fauzi (2006)

Gambar 3. Klasifikasi penilaian ekonomi non-market

Hal yang sama juga dipaparkan oleh Darusman dan Widada (2004) bahwa ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur nilai manfaat ekonomi sumber daya di kawasan konservasi, yaitu : berdasarkan harga pasar (market price) dan WTP yang merupakan konsep dasar teknik penilaian ekonomi. Apabila kondisi pasar stabil, maka nilai WTP akan sama dengan harga pasar. Namun apabila mekanisme pasar tidak berjalan sempurna, maka harga pasar tidak dapat memberikan perkiraan yang akurat mengenai WTP.

Travel Cost Method Sebagai Metode Penilaian Kegiatan Wisata Alam

Travel Cost Method (TCM) merupakan metode yang tertua untuk mengukur nilai ekonomi sebuah komoditi non-market dan pada umumnya digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap wisata alam (outdoor recreation), antara lain memancing, berburu, hiking, dan sebagainya (Fauzi 2006 ; Adrianto 2006). Hal yang sama juga dinyatakan Darusman dan Widada (2004) bahwa metode TCM digunakan untuk menentukan nilai rekreasi suatu kawasan konservasi berdasarkan jumlah uang yang dikeluarkan wisatawan untuk merealisasikan kegiatan rekreasinya. Besarnya biaya yang dikeluarkan wisatawan selama melakukan perjalanan ke obyek wisata alam menunjukkan kesediaan mereka untuk membayar (WTP).

Metode TCM ini didasarkan pada asumsi bahwa konsumen menilai tempat rekreasi hutan berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk dapat sampai ke tempat tujuan (wisata hutan), termasuk biaya perjalanan sebagai biaya oportunitas dari waktu yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan ke tempat wisata hutan. Tiga tahapan dasar dalam metode TCM, yaitu : 1) Melaksanakan survei terhadap

Tidak Langsung (Revealed WTP) Langsung (Survei) (Expressed WTP) Penilaian Non-Market Travel CostHedonic Pricing

Randon Utility Model

Contingent Valuation

Contingent Choice

beberapa pengunjung sebagai contoh, untuk mengetahui biaya perjalanan yang dikeluarkan untuk sampai ke tempat wisata. Biaya perjalanan ini termasuk waktu perjalanan, berbagai pengeluaran (cash) selama perjalanan menuju ke tempat wisata hutan sampai dengan kembali ke tempat asal termasuk tiket masuk, biaya parkir, dan lain-lain. Tambahan informasi yang dibutuhkan adalah asal pengunjung, faktor sosial ekonomi pengunjung seperti pendidikan dan pendapatan, 2) Mengolah data yang diperoleh untuk menyusun persamaan matematis permintaan pengunjung atas tempat wisata hutan, dan 3) Menghitung nilai tempat wisata bila terdapat perubahan atas kondisi lingkungan. Dalam perkembangannya, survei untuk metode biaya perjalanan ini dapat dikombinasikan dengan survei untuk metode penilaian kontingensi sebagai estimasi untuk melakukan penilaian atas nilai pilihan dan nilai bukan guna hutan.

Travel cost method secara prinsip melakukan kajian terhadap biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat rekreasi yang diinginkan atau dengan kata lain nilai (value) yang diberikan konsumen terhadap sumber daya alam dan lingkungan dengan mengetahui pola expenditure konsumen tersebut. Fauzi (2006) menyatakan bahwa metode TCM dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya sebagai akibat dari : 1) Perubahan biaya akses (tiket masuk) di suatu tempat rekreasi, 2) Penambahan tempat rekreasi baru, 3) Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi, dan 4) Penutupan suatu tempat rekreasi. Sedangkan tujuan dari metode ini adalah untuk mengetahui nilai kegunaan (use value) dari sumber daya alam melalui pendekatan proxy. Artinya biaya yang dikeluarkan untuk menikmati jasa sumber daya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumber daya tersebut.

Haab dan McConnel (2002) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa dalam melakukan penilaian dengan metode TCM, ada dua tahap kritis yag harus

Dokumen terkait