• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian ekonomi wisata alam di daerah penyangga cagar alam pegunungan arfak kabupaten Manokwari provinsi Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penilaian ekonomi wisata alam di daerah penyangga cagar alam pegunungan arfak kabupaten Manokwari provinsi Papua Barat"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN EKONOMI WISATA ALAM DI

DAERAH PENYANGGA CAGAR ALAM PEGUNUNGAN ARFAK

KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT

ABDULLAH TUHAREA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Ekonomi Wisata Alam di Daerah Penyangga Cagar Alam Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

(4)
(5)

ABDULLAH TUHAREA. Penilaian Ekonomi Wisata Alam di Daerah Penyangga Cagar Alam Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Dibimbing oleh HARDJANTO dan YULIUS HERO.

Pemanfaatan sektor jasa lingkungan seperti wisata alam di wilayah Papua (Provinsi Papua dan papua Barat) belum menjadi prioritas dalam kegiatan pembangunan daerah. Padahal, potensi wisata alam di wilayah Papua sangat banyak mulai dari wisata bahari sampai di daerah pegunungan. Salah satunya adalah yang dimiliki Kabupaten Manokwari yaitu keunikan dan keindahan panorama alam pegunungan Cagar Alam Pegunungan Arfak (CAPA) yang dapat dinikmati dari daerah penyangganya.

Pengembangan kegiatan wisata alam di daerah penyangga (DP) CAPA telah dirintis oleh salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal sejak tahun 2009. Berdasarkan data LSM tersebut, kawasan DP CAPA telah menjadi destinasi bagi wisatawan mancanegara. Walaupun telah menjadi tujuan wisata alam bagi wisatawan mancanegara, baik pihak pengelola (pemerintah pusat) maupun pemerintah daerah belum menjadikan kawasan DP CAPA sebagai daerah tujuan wisata alam daerah dan nasional. Salah satu penyebab tidak tertariknya stakeholder terkait untuk mengembangkan potensi wisata alam di DP CAPA adalah belum terungkapnya nilai ekonomi dari kawasan tersebut.

Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi obyek wisata alam yang telah dikembangkan dan berpotensi untuk dikembangkan di DP CAPA; (2) mengetahui nilai ekonomi wisata alam di DP CAPA; (3) mengetahui pengaruh pengembangan wisata alam terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal. Penelitian yang secara umum dilakukan di DP CAPA ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan kawasan tersebut.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan analisis data secara kualitatif dan juga kuantitatif. Tahapan penelitian yang dilakukan berupa studi pustaka, observasi langsung di lapangan, dan selanjutnya melakukan wawancara untuk mendapatkan data yang diinginkan guna menjawab tujuan penelitian ini.

Berdasarkan hasil olahan data primer dan sekunder diketahui bahwa, obyek wisata alam utama di DP CAPA adalah bird watching dan tracking. Sedangkan potensi wisata alam yang dapat dikembangkan sesuai kondisi kawasan DP CAPA adalah wisata budaya, outbound, dan camping ground. Dengan menggunakan metode biaya perjalanan (travel cost method) berdasarkan asal pengunjung (sistem zonasi), terdapat 7 asal pengunjung/wisatawan yang berkunjung ke DP CAPA, yaitu Manokwari, Sorong, Jayapura, Ambon, Makasar, Jakarta, dan Denpasar. Tahapan perhitungan memperlihatkan bahwa, biaya perjalanan untuk berwisata alam sesuai dengan hukum ekonomi. Semakin besar biaya perjalanan yang dikeluarkan, maka akan semakin sedikit laju kunjungan wisata alam di suatu lokasi. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa, nilai ekonomi wisata alam di DP CAPA sebesar Rp3 138 386 278.50.

(6)

nilai sosial dalam masyarakat, hubungan sosial, sarana prasarana publik serta kesehatan masyarakat. Sedangkan untuk kondisi ekonomi masyarakat, pengaruh pengembangan wisata alam di Kampung Kwau faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dari sektor wisata alam adalah jenis kelamin dan jumlah jenis keterlibatan dalam kegiatan wisata alam. Secara umum keterlibatan masyarakat Kampung Kwau dalam kegiatan wisata alam adalah menyediakan bahan makanan (sayuran dan daging) bagi wisatawan. Sedangkan potensi keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata alam lainnya yang juga sebagai alternatif penghasilan mereka adalah sebagai guide, porter, jasa penginapan, dan juru masak.

(7)

ABDULLAH TUHAREA. Economic Valuation of Nature Tourism at Buffer Zone of Arfak Mountains Nature Reserve in Manokwari Regency West Papua Province. Supervised by HARDJANTO and YULIUS HERO.

The utilization of environmental services sectors such as nature tourism in Papua (Papua and West Papua Provinces) has not been a priority in local development activities. Meanwhile, Papua has many potential of nature, from marine until the mountains. One of them is the uniqueness and beauty of the Arfak Mountains Nature Reserve (CAPA) located in the Manokwari Regency.

The development of nature tourism activities in the buffer zone (BZ) of CAPA has been initiated by one of the local Non Governmental Organization (NGO) since 2009. Based on data from the NGO, BZ of CAPA has become a destination for foreign tourists. Although it has become a nature destination for foreign tourists, both of the managers, the central and the local government have not made the region a tourist destination. One of the reasons why stakeholders do not think of the importance of developing BZ of CAPA is the economic value of the region is still unknown.

This research is aimed to (1) identify the objects of nature tourist attractions (ODTWA) which have been developed and have the potential to be developed in the BZ of CAPA, (2) determine the economic value of nature tourism in the BZ of CAPA, (3) determine the effects of the development of nature tourism to the socio-economic conditions of the local communities. This research which was generally conducted in the BZ of CAPA is expected to become the consideration for the management in developing these areas.

The method used in this research is descriptive with analysis of qualitative and also quantitative data. Phases of the research are literature study, direct observation, and then interviews to obtain expected data to answer the purposes of this study.

Based on the results of primary and secondary data processed, it is known that the main natural tourisn object in BZ of CAPA is bird watching and tracking. While the potential of nature tourism which can be developed according to the conditions of BZ of CAPA region are cultural tourism, outbound, and camping ground. By using travel cost method with zoning system (based on the origin of visitors), there are 7 zones of visitors/tourists who visit in BZ of CAPA, they are Manokwari, Sorong, Jayapura, Ambon, Makassar, Jakarta, and Denpasar. Stages of the calculation shows that, travel costs for nature tourism is appropriate with the laws of economy. The larger travel costs occurred, the less rate of visits in a location. Calculation result shows that, the economic value of nature tourism in BZ of CAPA is Rp3 138 386 278.50.

(8)

are to provide food (vegetables and meat) for tourists. While the potential of community involvement in the activities of other nature attractions as well as an alternative to their earnings is as a guide, porter, services hostelry, and cooks.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

ABDULLAH TUHAREA

PENILAIAN EKONOMI WISATA ALAM DI

(12)
(13)

Penyangga Cagar Alam Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat

Nama : Abdullah Tuharea

NIM : E352100061

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS Ketua

Dr. Ir. Yulius Hero, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

Dr. Ir.Ricky Avenzora, MScF

Dekan

Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian:

15 Nopember 2013

(14)

Alhamdulillahpenulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis dengan judul “Penilaian Ekonomi Wisata Alam di Daerah Penyangga Cagar Alam Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan jenjang S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Hardjanto, MS. dan Dr. Ir.Yulius Hero, M.Sc. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, pertimbangan dan saran sejak pembuatan proposal sampai tersusunnya tesis ini. Terima kasih juga ditujukan kepada Kementerian Kehutanan c.q. Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kehutanan yang telah memberikan kesempatan beasiswa.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Meti Ekayani, S.Hut., M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan arahan untuk penyempurnaan tesis ini.

2. Ibu Prof. Dr. E.K.S Harini Muntasib, MS selaku ketua Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan periode 2007-2012 yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis.

3. Dr. Ir. Ricky Avenzora, M.Sc.F. selaku ketua Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

4. Ayahanda Rais Tuharea dan ibunda Sitti Raja Tuharea tercinta serta kakak dan adik-adik tersayang atas segala doa dan dukungan moril serta kasih sayangnya. 5. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari atas segala dukungan dan

bantuannya.

6. Bapak Hans Mandacan sekeluarga atas segala bantuan dan informasi yang diberikan selama penulis melakukan penelitian.

7. Dosen-dosen Pascasarjana Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan atas ilmu pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang diberikan. 8. Teman-teman seperjuangan MEJ 2010 (Ika, Lenny, Panca, Nanta, dan Wulan)

serta KVT 2010 atas kebersamaan, saling dukung, dan jalinan persaudaraannya. 9. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sampaikan satu per satu yang selama

ini memberikan dukungan baik moril dan meteri kepada penulis.

Ucapan terima kasih spesial penulis persembahkan kepada istri tercinta

Syamsuriani dan kedua buah hati terkasih kami Rahmaniar dan Imam Ma’arif atas segala kesabaran, ketabahan, doa restu, dan kasih sayangnya selama penulis pergi menuntut ilmu.

Insya Allah tesis ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengabdikan diri kepada Nusa Bangsa dan Masyarakat.

Bogor, Januari 2014

(15)

DAFTAR ISI i

Konsep Wisata Alam (Natural Tourism) Kawasan Suaka Alam

Daerah Penyangga Kawasan Konservasi

Konsep Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam

Travel Cost Method Sebagai Metode Penilaian Kegiatan Wisata Alam Surplus Konsumen

Pengaruh Sosial Ekonomi Wisata Alam Terhadap Masyarakat

6

Jenis Data dan Informasi yang Dibutuhkan

Teknik Pengumpulan Data dan Pengambilan Responden Metode Pengolahan dan Analisis Data

Identifikasi Obyek Daya Tarik Wisata Alam Analisis Biaya Perjalanan (Travel Cost Analysis)

Analisis Pengaruh Sosial Ekonomi Pengembangan Wisata Alam terhadap Masyarakat Lokal

Kondisi Sumber Daya Alam (Fisik dan Bio Fisik) Kondisi Umum Kampung Kwau

Kependudukan Kampung Kwau

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kampung Kwau

Pemilikan dan Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat Suku Arfak Sekilas Sejarah Pengembangan Wisata Alam di Kampung Kwau Aksesibilitas Berwisata Alam ke Daerah Penyangga CAPA

24

Identifikasi Obyek Wisata Alam di Daerah Penyangga CAPA Nilai Ekonomi Wisata Alam Daerah Penyangga CAPA

Analisis Persamaan Regresi Kunjungan Wisata Estimasi Kurva Permintaan Kunjungan Wisata Alam

(16)

Estimasi Surplus Konsumen dan Nilai Ekonomi Wisata Alam Pengaruh Pengembangan Wisata Alam di Kampung Kwau

Pengaruh Pengembangan Wisata Alam Terhadap Kondisi Sosial Nilai dan Norma Sosial Masyarakat

Proses Sosial

Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Wisata Alam Pengaruh Pengembangan Wisata Alam Terhadap Kondisi Ekonomi

Mata Pencaharian Masyarakat Pendapatan Masyarakat

Kondisi Rumah dan Aset Masyarakat Pengeluaran Masyarakat

49 50 51 52 54 55 58 58 59 62 63

6. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Saran

65 65 65

DAFTAR PUSTAKA 66

(17)

DAFTAR TABEL

1. Data dan informasi utama yang diambil dalam penelitian serta teknik pengumpulan datanya

2. Metode analisis data yang digunakan berdasarkan tujuan penelitian

3. Komposisi penduduk Kampung Kwau menurut umur dan jenis kelamin tahun 2011

4. Komposisi penduduk Kampung Kwau menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin tahun 2011

5. Data kunjungan wisata alam di daerah penyangga Cagar Alam Pegunungan Arfak berdasarkan zona asal pengunjung tahun 2011

6. Data olahan kunjungan wisata alam di DP CAPA tahun 2011 7. Hasil ANOVA permintaan wisata alam di DP CAPA

8. Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Manokwari 9. Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Sorong 10.Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Jayapura 11.Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Ambon 12.Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Makasar 13.Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Jakarta 14.Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Denpasar

15.Hasil pengggabungan jumlah kunjungan wisata alam dari semua zona pengunjung di DP CAPA

16.Hasil perhitungan surplus konsumen dan nilai ekonomi total pengembangan wisata alam di DP CAPA

17.Pengaruh pengembangan wisata alam terhadap keadaan sosial masyarakat Kampung Kwau

18.Pernyataan masyarakat tentang pengaruh kegiatan wisata alam terhadap nilai dan norma yang berlaku di Kampung Kwau

19.Persepsi masyarakat Kampung Kwau terhadap pengembangan kegiatan wisata alam

20.Persepsi masyarakat mengenai pengaruh pengembangan wisata alam terhadap pola hubungan sosial dan lingkungan hidup mereka

21.Persepsi masyarakat Kampung Kwau terhadap terbukanya peluang usaha dengan adanya kegiatan wisata alam

22.Pendapatan masyarakat per bulan berdasarkan jenis keterlibatan dalam kegiatan wisata alam di Kampung Kwau tahun 2011

23.Hasil ANOVA pendapatan masyarakat Kampung Kwau dalam kegiatan wisata alam

24.Jenis pengeluaran masyarakat Kampung Kwau per bulan

(18)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran penelitian

2. Tipologi nilai ekonomi total (Total Economic Value) 3. Klasifikasi penilaian ekonomi non-market

4. Grafik surplus konsumen

5. Lokasi Kampung Kwau, Distrik Minyambouw, Kabupaten Manokwari 6. Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak

7. Kondisi Kampung Kwau, Distrik Minyambouw, Kabupaten Manokwari 8. Atraksi menari oleh burung Parotia Arfak (Parotia sefilata) untuk

menarik perhatian pasangannya

9. Atraksi burung Belah Rotan untuk menarik perhatian pasangan betinanya

10.Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona Manokwari

11.Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona Sorong 12.Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona

Jayapura

13.Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona Ambon

14.Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona Makasar

15.Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona Jakarta 16.Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona

Denpasar

17.Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA 18.Tipe-tipe rumah yang terdapat di Kampung Kwau

5 12 13 15 16 24 26

36

37

41 42

43

45

46 47

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

MacKinnon et al. (1993) menyebutkan bahwa suatu daerah atau kawasan yang ditetapkan dan dikelola untuk tujuan konservasi, dimaksudkan untuk melestarikan sumber daya alam di muka bumi tidak saja untuk generasi saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. Namun penetapan kawasan konservasi tersebut terkadang dirasakan seperti menutup aspek pemanfaatan sumberdayanya. Pengelolaan kawasan konservasi yang bersifat konservatif tersebut telah berlangsung cukup lama dan terkadang justru menjadi biang konflik antara masyarakat dengan pengelola. Penetapan kawasan konservasi di Indonesia pada awalnya dianggap sebagai kehilangan sumber daya alam serta lingkungan terkait pembangunan ekonomi nasional (Rachmansyah dan Maryono 2011). Hal ini merupakan kesalahan konsep sejak awal dalam mengartikan kata konservasi, karena terkesan melarang masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut.

Bergulirnya era otonomi dan desentralisasi serta berubahnya paradigma pembangunan yang lebih terfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, berimbas pula dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan dan perundangan dalam pengelolaan kawasan hutan termasuk kawasan konservasi berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan pengelolaan kawasan konservasi sudah mulai dirancang dan dikelola secara tepat untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa melupakan aspek kelestariannya. Hanya saja secara umum pemanfaatan kawasan konservasi di Indonesia belum dilakukan secara baik.

Pengukuran manfaat ekonomi yang diperoleh dari ditetapkannya suatu kawasan konservasi selama ini dirasakan tidak banyak dinikmati oleh masyarakat setempat, pemerintah daerah, maupun negara. Padahal menilai manfaat ekonomi dari suatu kawasan konservasi tidak hanya dilihat dari nilai ekonomi secara langsung, tetapi juga nilai tidak langsungnya. Kurangnya pengungkapan manfaat ekonomi kawasan konservasi yang ada di berbagai daerah di Indonesia mengakibatkan pandangan miring terhadap kawasan ini semakin menjadi-jadi di tingkat daerah. Hal yang sama juga dipaparkan oleh Supriyadi (2009), bahwa kekurangan pemerintah dalam pemanfaatan sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan adalah karena terbatasnya informasi nilai manfaat ekonominya.

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk melihat nilai ekonomi kawasan hutan termasuk kawasan konservasi. Kajian yang dilakukan oleh Syah (2010) tentang nilai ekonomi sumber daya alam dan ekosistem dari Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) memperlihatkan nilai yang cukup besar, sebesar Rp665 334 792 000 per tahun. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kurniawan et al. (2009) terhadap kawasan Karst Maros-Pangkep. Nilai ekonomi total yang diperoleh berdasarkan penghitungan nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use value), serta nilai bukan guna (non use value) adalah sebesar Rp2 miliar per tahun.

(20)

kawasan tersebut. Hal ini juga dimaksudkan agar pengelola kawasan, pemerintah daerah setempat, maupun masyarakat sekitar hutan dapat tergugah untuk turut menjaga kelestarian sumber daya hayati dan ekosistemnya. Hasil kajian nilai ekonomi sumber daya air pada hutan lindung Baturaden yang dilakukan Purwanto et al. (2006) berlatar belakang bahwa, selama ini pengelolaan kawasan lindung masih dirasa kurang optimal. Dengan diperolehnya nilai ekonomi air dari hutan lindung Baturaden sebesar Rp23 963 500 per hektar per tahun akan menggugah pemerintah daerah untuk lebih optimal mengelola kawasan tersebut.

Berdasarkan peraturan serta perundangan tentang pengelolaan kawasan konservasi, pemanfaatan suatu kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diharapkan tidak merubah fungsi dari kawasan tersebut. Salah satu pemanfaatan yang diyakini dapat mencapai tujuan tersebut adalah pengembangan wisata alam (ekowisata). Pengembangan ekowisata di kawasan konservasi ini ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Peraturan ini selanjutnya diganti dengan PP Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Walaupun sudah ada landasan hukum untuk pemanfaatan kawasan konservasi untuk sektor pariwisata alam masih dirasa belum berjalan dengan baik. Kondisi yang sama juga terjadi di wilayah Papua secara keseluruhan.

Perumusan Masalah

Pengembangan kegiatan jasa lingkungan seperti wisata alam di sejumlah daerah di Indonesia mulai menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat. Hal yang berbeda terlihat di wilayah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) dimana pemanfaatan jasa lingkungan belum menjadi prioritas utama dalam kegiatan pembangunan Papua. Komoditas hasil hutan kayu (HHK) masih menjadi primadona utama bagi setiap daerah di wilayah Papua untuk memperoleh pendapatan asli daerah (PAD). Padahal komoditas kayu dari tahun ke tahun kapasitasnya semakin berkurang disebabkan eksploitasi yang berlebihan serta pengambilan kayu secara ilegal (illegal logging).

Kebutuhan lahan untuk kegiatan pembangunan, seperti pemekaran wilayah di sejumlah daerah di wilayah Papua, secara tidak langsung membutuhkan areal hutan yang cukup luas. Kondisi yang sama terlihat pada Kabupaten Manokwari yang dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yaitu : Kabupaten Manokwari, Teluk Wondama, dan Teluk Bintuni berdasarkan UU No. 26 Tahun 2002. Setelah mengalami pemekaran, PAD Kabupaten Manokwari dari bidang kehutanan sangat menurun, karena hanya mempunyai satu unit perusahaan kayu (IUPHHK-HA). Hal ini tentunya menjadi menjadi bahan pemikiran pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Manokwari untuk mencari alternatif pemasukan PAD. Salah satu sektor yang patut menjadi pertimbangan adalah sektor jasa. Sektor jasa yang dapat dipertimbangkan dari bidang kehutanan sebagai pengganti komoditas kayu adalah jasa wisata alam.

(21)

di Cagar Alam Pegunungan Arfak (CAPA) di samping potensi wisata alam lainnya. Sebagai salah satu kawasan konservasi suaka alam di Provinsi Papua Barat, daerah penyangga (DP) CAPA sangat potensial untuk dijadikan lokasi pengembangan wisata alam (natural tourism). Kawasan Suaka Alam (KSA) yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 783/Kpts-II/1992 ini, terletak di Kabupaten Manokwari ibukota Provinsi Papua Barat dengan status Cagar Alam. Seperti yang diketahui bahwa, suatu kawasan ditetapkan sebagai Cagar Alam, karena keadaan alam kawasan tersebut mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami, salah satunya adalah Pegunungan Arfak.

Berdasarkan keunikan dan keindahan panorama alam serta budaya yang dimiliki kawasan konservasi yang berada di kepala burung bumi Cenderawasih ini, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal telah mengembangkan DP kawasan tersebut sebagai daerah tujuan wisata alam. Berbagai program dan pembangunan sarana pendukung ekowisata telah dilakukan oleh LSM tersebut, sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik dan juga mancanegara. Berdasarkan laporan dari LSM lokal tersebut wisatawan yang banyak berkunjung ke DP CAPA adalah wisatawan mancanegara. Walaupun kawasan ini telah dikenal sampai ke mancanegara sebagai salah satu tujuan wisata alam di Papua Barat, namun pihak pemerintah daerah dan juga pengelola belum tertarik untuk turut serta dalam mengembangkan DP kawasan tersebut sebagai tujuan wisata khususnya wisata alam. Hal ini terlihat dari setiap buku laporan tahunan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Manokwari, yang menyebutkan bahwa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Manokwari tidak terdapat sektor pariwisata sebagai salah satu penyumbangnya. Berdasarkan buku laporan tahun 2011 terlihat sektor pariwisata merupakan bagian dari sektor pengangkutan dan komunikasi (BPS 2011). Hal yang sama terlihat juga pada laporan tahunan BPS Provinsi Papua Barat 2010 tentang PDRB Provinsi Papua Barat juga tidak terdapat sektor pariwisata sebagai salah satu penyumbangnya (BPS 2010).

Pada umumnya ketertarikan stakeholder untuk terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi sangat kurang. Hal ini dikarenakan interpretasi terhadap manfaat kawasan konservasi (intangible benefit) di wilayah Indonesia masih lemah, dan juga data serta informasi tentang nilai ekonomi kawasan konservasi masih sangat terbatas. Sejumlah ahli menyatakan bahwa nilai ekonomi di suatu kawasan yang telah dikembangkan sebagai lokasi ekowisata perlu diketahui, selain untuk mengetahui nilai/manfaat ekonomi yang bisa dihasilkan juga sebagai pertimbangan pengambilan keputusan terkait pengembangan wisata alam maupun pengelolaan kawasan tersebut secara keseluruhan (Diniyati dan Achmad 2007; Sobari et al. 2006; dan Supriyadi 2009).

(22)

pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat dapat meningkat, selain itu keamanan kawasan CAPA dapat tetap terjaga. Oleh karena itu, penelitian penilaian ekonomi terhadap pengembangan wisata alam serta pengaruh sosial ekonominya di DP CAPA perlu dilakukan dengan harapan dapat mendorong pengelola kawasan dan juga pemerintah daerah turut serta dalam pengembangan wisata alam di DP kawasan tersebut.

Kerangka Pemikiran Penelitian

Kawasan konservasi menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 didefinisikan sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Berdasarkan fungi dan peranan kawasan konservasi yang semakin penting di masa mendatang, maka pengelolaannya perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Hal ini karena dikhawatirkan apabila terjadi kesalahan pengelolaan, maka dampak kerusakan yang terjadi akan sulit untuk dipulihkan. Basuni dan Koesmaryandi (2008) memaparkan bahwa pentingnya peranan kawasan konservasi karena diprediksi akan menjadi benteng terakhir bagi eksistensi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta berperan besar bagi sistem penyangga kehidupan yang dapat mendukung kesejahteraan hidup manusia.

Kawasan hutan Pegunungan Arfak yang ditetapkan sebagai Cagar Alam dengan segala keaneragaman hayati serta keunikan dan keindahan alamnya membutuhkan pengelolaan yang profesional. Darusman dan Widada (2004) menyatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dapat dikatakan berhasil apabila tiga sasaran konservasi dapat terwujud, sebagai berikut :

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia.

2. Pengawetan sumber plasma nutfah, sehingga mampu menunjang kegiatan pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia.

3. Pemanfaatan sumber daya alam hayati secara lestari.

Salah satu bentuk pengelolaan yang dirasa tepat untuk kawasan konservasi seperti halnya CAPA adalah pengembangan wisata alam di daerah penyangganya. Dengan pengelolaan dan pengembangan salah satu jasa lingkungan ini, diharapkan manfaat yang diperoleh tidak saja bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, tetapi juga kelestarian kawasan dapat terus terjaga. Hal ini sejalan dengan kandungan dari pengembangan sektor wisata alam, adalah pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

(23)

daerah-daerah di Indonesia termasuk Kabupaten Manokwari, maka dikhawatirkan potensi wisata alam yang dimiliki oleh Pegunungan Arfak akan menjadi rusak. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian ilmiah yang mengungkap nilai ekonomi potensi wisata alam di DP CAPA, agar menjadi perhatian serius dalam pengelolaan kawasan tersebut, baik oleh pengelola maupun pemerintah daerah serta masyarakat setempat. Alur pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pemaparan pada subbab Latar Belakang dan Perumusan Masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi obyek wisata alam yang dimiliki DP CAPA, baik yang telah dimanfaatkan maupun yang berpotensi untuk dikembangkan.

2. Mengetahui nilai ekonomi pengembangan wisata alam di DP CAPA.

3. Mengetahui pengaruh sosial ekonomi dari pengembangan wisata alam di Kampung Kwau terhadap masyarakat lokal.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam perencanaan pengelolaan DP CAPA, khususnya pengembangan sektor wisata alam dalam rangka mendukung peningkatan sosial ekonomi masyarakat lokal dan pelestarian kawasan CAPA.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Kawasan Cagar Alam

Pegunungan Arfak

Potensi Wisata Alam di Daerah Penyangga

Rekomendasi Strategis Pengelolaan Potensi

Wisata Alam DP CAPA Nilai Ekonomi Pengembangan Wisata Alam Identifikasi

Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam

Pengaruh Sosial Ekonomi Pengembangan

(24)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Wisata Alam (Natural Tourism)

Wisata alam dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2010 tentang pengusahaan pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, adalah seluruh atau sebagian kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan-kawasan tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan wisata alam adalah kegiatan rekreasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, kebudayaan, dan cinta alam. Semua kegiatan wisata ini dilakukan dalam obyek wisata yang ada.

Wisata alam atau yang lebih populer dengan sebutan ekowisata ini, telah menunjukkan perkembangan yang cepat dalam dunia pariwisata. Hal ini didorong oleh berubahnya pola kehidupan khususnya masyarakat perkotaan untuk bepergian melihat kehidupan dan memperkaya pengalaman di alam serta belajar tentang alam. Berbeda dengan wisata konvensional, wisata alam merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai suatu perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES 2000 dalam Damanik dan Weber 2006).

Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Ceballos-Lascurain yang mendefinisikannya sebagai kunjungan ke daerah-daerah yang masih bersifat alami yang relatif masih belum terganggu dan terpolusi dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dengan tumbuhan satwa liar serta budaya (baik masa lalu maupun sekarang) yang ada di tempat tersebut. Setelah itu muncul berbagai defenisi tentang ekowisata oleh sejumlah pakar dengan latar belakang sudut pandang yang berbeda. Berikut ini beberapa defenisi tentang ekowisata oleh para pakar yang dikutip oleh Avenzora (2008) untuk mengevaluasi konsep-konsep tersebut :

1. The Ecotourism Association of Australia (1996), yaitu sebagai turisme atau kepariwisataan yang secara ekologis berkelanjutan (lestari) dan mendorong berkembangnya pemahaman (understanding), apresiasi atau penghargaan (appreciation), serta tindakan konservasi lingkungan dan kebudayaan.

2. PT. Indecon (1996), yaitu sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah-kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

3. Fandelli (2000), yaitu merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Atau dengan kata lain merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian areal, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat.

(25)

pembenaran ekonomi dalam perlindungan kawasan konservasi, sebagai alternatif mata pencaharian masyarakat lokal untuk mengurangi pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, sebagai pilihan dalam mempromosikan konservasi, sebagai dorongan dalam upaya konservasi yang khusus.

5. Western (1995), yaitu hal tentang menciptakan dan memuaskan sesuatu keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan serta mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan, dan keindahan.

6. Hadinoto (1996), yaitu bagian dari wisata alam yang dapat dilakukan di kawasan yang dilindungi seperti Taman Nasional, Taman Wisata Alam, atau di kawasan yang tidak dilindungi, seperti daerah pertanian dan desa wisata. Atau dengan kata lain merupakan suatu perjalanan ke kawasan atau tempat yang masih alami untuk merasakan ketenangan dan kenyamanan.

7. Eplerwood (1996), yaitu perjalanan yang bertanggung jawab ke areal yang masih alami untuk mengkonservasi lingkungan serta menjamin kesejahteraan masyarakat lokal.

Berdasarkan definisi dan batasan tersebut, Avenzora (2008) menyimpulkan bahwa pola pendefinisian ekowisata berorientasi pada beberapa aspek sebagai berikut :

1) Tujuan yang ingin dicapai dari konsep yang ditawarkan. 2) Sumber daya wisata yang digunakan.

3) Bentuk-bentuk kegiatan wisata yang diselenggarakan.

Menurut The Ecotourism Society (Eplerwood 1999 dalam Zainun 2009), menyebutkan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata yaitu : 1) Mencegah dan menanggulangi dari aktivitas wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan budaya, 2) Pendidikan konservasi lingkungan, 3) Pendapatan langsung untuk kawasan, 4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, 5) Meningkatkan penghasilan masyarakat, 6) Menjaga keharmonisan dengan alam, 7) Menjaga daya dukung lingkungan, dan 8) Meningkatkan devisa buat pemerintah. Kusler (1991) dalam Zainun (2009) menyatakan bahwa, untuk pengembangan ekowisata perlu didukung oleh peningkatan sarana dan prasarana seperti jalan, penginapan, transportasi kerjasama pemerintah dengan pihak swasta serta promosi dan publikasi oleh berbagai instansi terkait.

(26)

Kawasan Suaka Alam

Bergulirnya era baru dalam kegiatan pembangunan di segala sektor termasuk bidang Kehutanan di Indonesia, pengelolaan kawasan hutan dilakukan berlandaskan aspek kelestarian. Berbagai upaya pembenahan pengelolaan terus dilakukan, hanya saja menurut Suhendang (2002) untuk kawasan hutan produksi yang secara ekonomi dan lingkungan sudah tidak layak menghasilkan komoditas kayu maka, fokus pengelolaan dan pemanfaatannya dapat dialihkan untuk komoditas HHBK atau jasa lingkungan, salah satunya adalah wisata alam (natural tourism). Pengelolaan kawasan hutan (forest management) menurut Suhendang (2002) adalah praktik penerapan prinsip-prinsip dalam bidang biologi, fisika, kimia, manajemen, ekonomi, sosial, dan analisis kebijakan dalam rangkaian kegiatan membangun atau meregenerasikan, membina, memanfaatkan, dan mengonservasikan hutan untuk mendapatkan tujuan/tujuan-tujuan dan sasaran/ sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan tetap mempertahankan produktivitas dan kualitas hutan.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dijabarkan bahwa, kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan tersebut terdiri dari : a) Kawasan Cagar Alam (KCA) dan b) Kawasan Suaka Margasatwa (KSM). Pengelolaan KSA seperti halnya KPA bertujuan untuk mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa dalam rangka mencegah kepunahan spesies, melindungi sistem penyangga kehidupan, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari. Kedua kategori kawasan tersebut dilindungi secara ketat, sehingga tidak boleh ada sedikitpun campur tangan manusia dalam proses-proses alami yang terjadi di dalam kawasan tersebut. Kawasan ini hanya diperuntukkan bagi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Penataan KSA berdasarkan aturan yang berlaku dilakukan dalam bentuk blok-blok pengelolaan, yaitu blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok lainnya. Untuk upaya perlindungan KSA dilakukan melalui kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies infasif, hama, dan penyakit serta melakukan pengamanan kawasan secara efektif. Perlindungan KSA tersebut mencakup 4 tujuan, yaitu : 1. Terjaminnya proses ekologis yang menunjang kelangsungan hidup dari flora,

fauna, dan ekosistemnya;

2. Menjaga, mencegah, dan membatasi kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan potensi dan kawasan serta perubahan fungsi kawasan, baik yang disebabkan oleh manusia, ternak, kebakaran, alam, spesies infasif, hama, dan penyakit;

3. Menjaga hak negara, masyarakat, dan perorangan atas potensi, kawasan, ekosistem, investasi, dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan KSA dan KPA;

(27)

Kawasan Cagar Alam

Cagar alam adalah KSA yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya yang memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian agar keberadaan dan perkembangannya dapat berlangsung secara alami. Berdasarkan Buku Statistik Kemenhut 2011, saat ini terdapat 239 unit cagar alam darat dengan total luas 4 330 619.96 hektar, dan 6 unit cagar alam perairan dengan luas sekitar 154 610.10 hektar.

Untuk dapat diusulkan sebagai kawasan cagar alam, suatu kawasan harus memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem;

2. Mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik masih asli dan belum terganggu;

3. Terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaaannya terancam punah;

4. Memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;

5. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; dan/atau

6. Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.

Terkait apa saja hal-hal yang dapat dilakukan di dalam kawasan, maka cagar alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang berupa :

1. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

2. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; 3. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan

4. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

Suaka Margasatwa

Suaka Margasatwa adalah KSA yang mempunyai kekhasan/keunikan jenis satwa liar dan/atau keanekaragaman satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya memerlukan upaya perlindungan dan pembinaan terhadap populasi dan habitatnya. Data Statistik Kemenhut 2011 menunjukkan bahwa saat ini terdapat Suaka Margasatwa darat sebanyak 71 unit dengan luas 5 024 138.29 hektar serta 4 unit Suaka Margasatwa perairan dengan luas sekitar 5 588.00 hektar. Untuk dapat diusulkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa, suatu kawasan harus memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau beberapa jenis satwa langka dan/atau hampir punah;

2. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;

3. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu; dan/atau 4. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.

Suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan: 1. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

2. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;

(28)

4. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

Daerah Penyangga Kawasan Konservasi

Kegiatan pembangunan yang terus meningkat, perubahan politik, dan sosial budaya telah berpengaruh terhadap kondisi ekologis. Tekanan dan ancaman terhadap kawasan konservasi terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Pada saat ini setidaknya terdapat 3 500 desa di sekitar kawasan konservasi yang dihuni oleh sekitar enam juta penduduk dengan kondisi ekonomi umumnya tertinggal atau prasejahtera. Aktivitas mereka tidak jarang menimbukan ancaman bagi keutuhan dan kelestarian kawasan konservasi, antara lain perambahan dan perladangan liar, perburuan dan penangkapan satwa, serta pemboman ikan dan pengambilan terumbu karang di kawasan perairan. Penanganan dengan menggunakan konsep perlindungan kawasan konservasi dengan pola lama yang sebagian besar didasarkan pada kegiatan patroli kawasan dengan penegakkan hukum dirasakan tidak efektif. Tekanan yang makin meningkat juga berkaitan dengan cepatnya pertambahan penduduk dan kebutuhan lahan, dan jika dihadapkan pada usaha penegakan hukum yang kaku dan tidak tepat sasaran, hanya akan meningkatkan terjadinya konflik antara masyarakat setempat, pemerintah daerah dengan otoritas pengelola kawasan. Pendekatan pengelolaan dan pengembangan daerah penyangga (DP) dilihat sebagai salah satu cara untuk mengatasi dari kelemahan ini.Oleh karena itu, pengelolaan DP kawasan konservasi diharapkan dapat menjadi salah satu solusi penanganan perambahan, khususnya dengan pendekatan non represif.

Pengelolaan dan pemanfaatan DP sangat penting bagi kelestarian KSA maupun KPA terutama dalam mengurangi tekanan dari penduduk atau masyarakat sekitar. Hal ini terutama dilakukan terhadap kawasan hutan yang tingkat interaksi masyarakat dengan kawasan sangat tinggi, sehingga dapat memadukan kepentingan konservasi dan perekonomian masyarakat sekitar. Fungsi DP ini dapat diwujudkan secara optimal dengan pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan, nilai ekonomi dan konservasi lahan masyarakat, melalui rehabilitasi lahan kritis dalam sistem hutan kemasyarakatan, hutan rakyat atau agroforestry.

(29)

pendukung kawasan konservasi dan merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian biodiversitas dan ekosistem taman nasional, baik sebagai asset wisata alam, penyangga kawasan konservasi, kawasan budidaya, sumber penghasil pangan, kayu bakar dan obat-obatan (Bismark dan Sawitri 2006).

Pemanfaatan kawasan untuk pengembangan wisata alam di KSA hanya berlaku untuk KSM, sedangkan untuk KCA belum terakomodir. Kenyataannya KCA juga memiliki sejumlah keunikan sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi termasuk dari aspek wisata. Salah satu jalan keluar agar potensi wisata tersebut dapat dimanfaatkan adalah menetapkan DP dari KCA tersebut. Hal ini sejalan dengan isi pasal 44 PP nomor 28 tahun 2011 yang menyatakan bahwa, untuk menjaga keutuhan dari KSA dan KPA diharuskan menetapkan daerah penyangga yang berbatasan dengan wilayah kedua kawasan tersebut. Daerah penyangga merupakan daerah yang mengelilingi kawasan lindung yang berfungsi membatasi aktifitas manusia di dalam kawasan lindung agar tidak merusak ekosistem di dalam kawasan hutan. Selanjutnya dijelaskan pula berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, wilayah yang berbatasan dengan kawasan suaka alam ditetapkan sebagai daerah penyangga.

Penetapan dan pengelolaan DP kawasan konservasi harus didasarkan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat, sehingga DP memiliki nilai ekonomi yang mampu meningkatkan taraf hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi. Oleh karena itu pembangunan kawasan konservasi, DP, dan ekonomi masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang dapat menguntungkan. Dengan demikian, pembangunan DP merupakan pembangunan terpadu yang mencakup berbagai bidang berdasarkan karakteristik permasalahan dan kebutuhan obyektif dari masing-masing wilayah yang dibangun. Sejalan dengan itu maka rencana pembangunan DP dan kawasan konservasi dalam perencanaan terpadu harus terkait erat dengan rencana pembangunan wilayah atau daerah, sehingga setiap usaha berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Konsep Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam

(30)

alam dan lingkungan. Nilai tersebut dibedakan atas nilai penggunaan yang diekstraktif, non-ekstraktif, jasa lingkungan, jasa biologis, dan jasa sosial.

Nilai ekonomi total (NET) suatu kawasan konservasi secara konseptual terdiri dari nilai penggunaan (use value) dan nilai non-penggunaan (non use value). Secara matematis konsep NET tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Pearce dan Moran 1994 dalam Setiawan 2000) :

Keterangan :

NET = Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) NP = Nilai Penggunaan (Use Value)

NNP = Nilai Non-Penggunaan (Non Use Value)

NPL = Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value)

NPTL = Nilai Penggunaan Tidak Langsung (Indirect Use Value) NP = Nilai Pilihan Masa Pilihan Masa Depan (Option Value) NA = Nilai Keberadaan (Existence Value)

NW = Nilai Warisan (Bequest Value)

Adrianto (2006) menyatakan bahwa, terminologi nilai ekonomi total (NET) yang dilakukan oleh para ahli menggunakan tipologi nilai ekonomi yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan konteks ini, NET merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan/penggunaan (Use Value) dengan nilai ekonomi berbasis bukan pemanfaatan/penggunaan (Non-Use Value). Nilai penggunaan terdiri dari nilai penggunaan langsung (Direct Use Value), nilai penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value), dan nilai pilihan (Option Value). Sedangkan nilai non penggunaan terdiri dari nilai warisan (Bequest Value) dan Nilai Eksistensi (Existention Value).

Sumber : Adrianto (2006)

Gambar 2. Tipologi nilai ekonomi total (Total Economic Value)

(31)

non-pertama adalah teknik penilaian yang mengandalkan harga implisit di mana kesediaan untuk membayar (willingness to pay (WTP)) terungkap melalui model yang dikembangkan. Kelompok kedua adalah teknik penilaian yang didasarkan pada survei untuk mengetahui secara langsung keinginan membayar dari responden, baik secara lisan maupun tertulis. Fauzi (2006) menggambarkan sistematika teknik penilaian ekonomi non-market seperti yang terlihat pada Gambar. 3.

Sumber : Fauzi (2006)

Gambar 3. Klasifikasi penilaian ekonomi non-market

Hal yang sama juga dipaparkan oleh Darusman dan Widada (2004) bahwa ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur nilai manfaat ekonomi sumber daya di kawasan konservasi, yaitu : berdasarkan harga pasar (market price) dan WTP yang merupakan konsep dasar teknik penilaian ekonomi. Apabila kondisi pasar stabil, maka nilai WTP akan sama dengan harga pasar. Namun apabila mekanisme pasar tidak berjalan sempurna, maka harga pasar tidak dapat memberikan perkiraan yang akurat mengenai WTP.

Travel Cost Method Sebagai Metode Penilaian Kegiatan Wisata Alam

Travel Cost Method (TCM) merupakan metode yang tertua untuk mengukur nilai ekonomi sebuah komoditi non-market dan pada umumnya digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap wisata alam (outdoor recreation), antara lain memancing, berburu, hiking, dan sebagainya (Fauzi 2006 ; Adrianto 2006). Hal yang sama juga dinyatakan Darusman dan Widada (2004) bahwa metode TCM digunakan untuk menentukan nilai rekreasi suatu kawasan konservasi berdasarkan jumlah uang yang dikeluarkan wisatawan untuk merealisasikan kegiatan rekreasinya. Besarnya biaya yang dikeluarkan wisatawan selama melakukan perjalanan ke obyek wisata alam menunjukkan kesediaan mereka untuk membayar (WTP).

Metode TCM ini didasarkan pada asumsi bahwa konsumen menilai tempat rekreasi hutan berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk dapat sampai ke tempat tujuan (wisata hutan), termasuk biaya perjalanan sebagai biaya oportunitas dari waktu yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan ke tempat wisata hutan. Tiga tahapan dasar dalam metode TCM, yaitu : 1) Melaksanakan survei terhadap

Tidak Langsung (Revealed WTP)

Langsung (Survei) (Expressed WTP) Penilaian Non-Market

Travel Cost

Hedonic Pricing

Randon Utility Model

Contingent Valuation

Contingent Choice

(32)

beberapa pengunjung sebagai contoh, untuk mengetahui biaya perjalanan yang dikeluarkan untuk sampai ke tempat wisata. Biaya perjalanan ini termasuk waktu perjalanan, berbagai pengeluaran (cash) selama perjalanan menuju ke tempat wisata hutan sampai dengan kembali ke tempat asal termasuk tiket masuk, biaya parkir, dan lain-lain. Tambahan informasi yang dibutuhkan adalah asal pengunjung, faktor sosial ekonomi pengunjung seperti pendidikan dan pendapatan, 2) Mengolah data yang diperoleh untuk menyusun persamaan matematis permintaan pengunjung atas tempat wisata hutan, dan 3) Menghitung nilai tempat wisata bila terdapat perubahan atas kondisi lingkungan. Dalam perkembangannya, survei untuk metode biaya perjalanan ini dapat dikombinasikan dengan survei untuk metode penilaian kontingensi sebagai estimasi untuk melakukan penilaian atas nilai pilihan dan nilai bukan guna hutan.

Travel cost method secara prinsip melakukan kajian terhadap biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat rekreasi yang diinginkan atau dengan kata lain nilai (value) yang diberikan konsumen terhadap sumber daya alam dan lingkungan dengan mengetahui pola expenditure konsumen tersebut. Fauzi (2006) menyatakan bahwa metode TCM dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya sebagai akibat dari : 1) Perubahan biaya akses (tiket masuk) di suatu tempat rekreasi, 2) Penambahan tempat rekreasi baru, 3) Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi, dan 4) Penutupan suatu tempat rekreasi. Sedangkan tujuan dari metode ini adalah untuk mengetahui nilai kegunaan (use value) dari sumber daya alam melalui pendekatan proxy. Artinya biaya yang dikeluarkan untuk menikmati jasa sumber daya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumber daya tersebut.

Haab dan McConnel (2002) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa dalam melakukan penilaian dengan metode TCM, ada dua tahap kritis yag harus dilakukan, sebagai berikut :

1. Menentukan perilaku model itu sendiri yang menyangkut TCM yang dibangun harus ditentukan dulu fungsi preferensinya secara hipotesis, kemudian membangun model perilakunya (behavioural model) atau langsung membangun model perilakunya.

2. Menentukan pilihan lokasi yang menyangkut apakah kita harus melakukan pemodelan untuk semua atau beberapa tempat saja sebagai suatu model.

Penentuan fungsi permintaan untuk berkunjungan ke tempat wisata, pendekatan individual TCM menggunakan teknik ekonometrik. Hipotesis yang dibangun adalah bahwa, kunjungan ke tempat wisata akan sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan (travel cost) dan diasumsikan berkorelasi negatif, sehingga diperoleh kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif. Secara sederhana fungsi permintaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut :

Keterangan :

Y = Jumlah kunjungan oleh individu ke tempat wisata X1 = Jarak asal pengunjung dengan lokasi wisata

X2 = Biaya perjalanan untuk mencapai lokasi wisata

X3 = Pendapatan pengunjung/wisatawan

(33)

X4 = Umur/usia pengunjung/wisatawan

X5 = Lamanya kunjungan di lokasi wisata

X6 = Tingkat pendidikan pengunjung/wisatawan

Apabila fungsi permintaan tersebut dibuat dalam bentuk linier, maka dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut :

Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan agar penilaian terhadap sumber daya alam dengan menggunakan TCM tidak bias adalah, fungsi permintaan harus dibangun dengan asumsi dasar sebagai berikut (Haab dan McConnel (2002) dalam Fauzi (2006)) :

1. Biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga dari rekreasi.

2. Waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas.

3. Perjalanan merupakan perjalanan tunggal bukan multitrips.

Surplus Konsumen

Surplus konsumen adalah keinginan konsumen untuk membayar terhadap jumlah yang dibayarkan dan juga proxy dari nilai WTP terhadap lokasi rekreasi (Adrianto (2006); Fauzi (2006)). Nicholson (2002) dalam Sihombing (2011) menyatakan bahwa surplus konsumen adalah ukuran nilai yang diterima oleh konsumen dari suatu barang melebihi dari yang mereka bayarkan. Secara grafik, surplus konsumen dapat dihitung dengan mencari luas daerah di bawah kurva permintaan dan di atas harga (Gambar 4.)

Sumber : Djijono (2002) dalam Sihombing (2011)

Gambar 4. Grafik surplus konsumen

Surplus konsumen yang terkait dengan penilaian ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan cenderung underestimated, sehingga surplus konsumen harus selalu ditambahkan pada nilai pasar barang-barang dan jasa-jasa yang dikonsumsikan untuk memperoleh estimasi yang sebenarnya. Untuk menduga surplus konsumen individual, menurut Adrianto (2006) dapat dilakukan dengan

Y= α0 + α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + α5X5 + α6X6

Surplus Konsumen

Garis Harga

(34)

pendekatan ekonometrik melalui identifikasi hubungan antara jumlah kunjungan dengan biaya perjalanan dan faktor-faktor penunjang lainnya.

Berdasarkan persamaan fungsi permintaan yang dilog-linierkan, maka nilai surplus konsumen rata-rata dapat diestimasi dengan menggunakan formula :

Dimana N merupakan jumlah kunjungan yang dilakukan oleh individu ke-i, sedangkan α adalah koefisien dari biaya perjalanan (Fauzi, 2006).

Selanjutnya setelah diperoleh nilai surplus konsumen, nilai ekonomi (total benefit) lokasi wisata dapat diketahui dengan mengalikan surplus konsumen dengan jumlah pengunjung riil pada tahun tertentu (Yt), dengan persamaan

sebagai berikut :

= ×

Keterangan :

TB = Total benefit (nilai ekonomi lokasi wisata) CS = Surplus konsumen

Yt = Jumlah pengunjung pada tahun tertentu

Pengaruh Sosial Ekonomi Wisata Alam Terhadap Masyarakat

Fandeli (2002) memaparkan bahwa pariwisata (termasuk wisata alam) mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Upaya pengembangannya diharapkan mampu memberikan pengaruh atau dampak ekonomi, baik di tingkat nasonal maupun daerah. Bahkan dalam era reformasi ini peranannya dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal. Selanjutnya dikatakan bahwa bentuk pariwisata yang banyak berhubungan dengan masyarakat lokal adalah pariwisata yang berbasis alam, ekologis, dan masyarakat setempat (wisata alam/ekowisata).

Kegiatan wisata alam adalah suatu kegiatan wisata yang memanfaatkan keberadaan sumberdaya alam sebagai atraksi utamanya, sehingga pelaksanaannya lebih tertuju pada kawasan konservasi. Sejumlah pakar menyatakan bahwa, usaha pengembangan wisata (termasuk wisata alam) tidak dapat dipungkiri mempunyai pengaruh yang tidak dapat dihindari sebagai akibat datangnya wisatawan. Pengaruh atau dampak kegiatan ini secara langsung akan menyentuh dan melibatkan lingkungan maupun masyarakat lokal. Dampaknya akan menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat dan yang sering mendapat perhatian adalah dampak ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya. Dampak ekonomi dapat dilihat dari berbagai hal seperti pendapatan, kesempatan kerja, kepemilikan dan kontrol, pembangunan serta pendapatan pemerintah. Dampak sosial budaya (dilihat dari perubahan perilaku masyarakat lokal), terjadinya demonstration effect yang rentan pada kalangan muda, komoditisasi, perbaikan peluang kepada kalangan wanita lebih independent secara social ekonomi, migrasi penduduk dan

(35)

lain sebagainya (Pitana dan Gayatri 2005). Dampak terhadap lingkungan dapat dilihat dari perubahan komposisi flora dan fauna, polusi, erosi, sampah, degradasi sumberdaya alam dan polusi visual (Cooper et al 1998).

Secara makro, kegiatan wisata dapat mempengaruhi perekonomian suatu Negara (nasional). Sebagaimana disebutkan oleh Wahab (1992) bahwa kegiatan wisata berdampak secara langsung bagi perekonomian nasional, meliputi : 1) Neraca pembayaran, 2) Kesempatan kerja, dan 3) Mendistribusikan pendapatan. Dampak tidak langsung meliputi : 1) Hasil ganda (multiplier), 2) Memasarkan produk tertentu, 3) Penerimaan pajak Negara, dan 4) Hasil “tiruan” yang mempengaruhi masyarakat.

Kegiatan wisata alam merupakan salah satu kegiatan wisata yang perkembangannya menurut data WTO (1998) cukup besar, sekitar 20% dari total perjalanan internasional, sehingga peluang untuk mendapatkan devisa sangat besar (Muntasib dan Rachmawati 2009). Hal inilah yag menjadi latar belakang Pemerintah Indonesia mengembangkan kegiatan wisata alam yang umumnya berlokasi di kawasan konservasi. Diharapkan pengembangan wisata alam tersebut dapat memberikan pengaruh nyata dalam menciptakan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan dan devisa negara, selain juga untuk melaksanakan upaya konservasi.

Dampak sosial ekonomi dari kegiatan wisata alam merupakan perubahan mendasar yang ditimbulkan terhadap kondisi masyarakat lokal, antara lain : peningkatan atau juga penurunan pendapatan masyarakat, perluasan pekerjaan dan perilaku masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya, diversifikasi kesempatan berusaha, peningkatan pendidikan dan kesehatan masyarakat, perhubungan dan komunikasi, perubahan orientasi nilai budaya, dan yang penting juga adalah persepsi masyarakat terhadap kawasan konservasi.

3

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

(36)

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah panduan wawancara dan kuisioner. Sedangkan alat yang digunakan yaitu : alat perekam untuk wawancara, alat tulis, kamera untuk dokumentasi, dan peta lokasi penelitian.

Metode Penelitian

Jenis Data dan Informasi yang Dibutuhkan

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung dari pelaksanaan penelitian ini, meliputi : masyarakat yang ada di lokasi penelitian dan instansi pemerintah (pusat dan daerah), dan lembaga terkait. Data primer ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, berdasarkan daftar pertanyaan atau kuesioner yang telah dipersiapkan serta pengamatan langsung (observation) terhadap kegiatan wisata. Sedangkan data sekunder berupa data-data yang dibutuhkan untuk menunjang penelitian yang diperoleh dari dokumen tertulis yang dipublikasikan pihak terkait berupa buku hasil penelitian/laporan lainnya. Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka kebutuhan data dan informasi, sumber, dan teknik pengumpulannya ditunjukkan pada Tabel 1.

(37)

Tabel 1. Data dan informasi utama yang diambil dalam penelitian serta teknik pengumpulan data berdasarkan tujuan penelitian

No. Tujuan Penelitian Variabel Sumber Data Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data dan Pengambilan Responden

Teknik pengumpulan data didapat dari studi pustaka, wawancara, serta pengamatan langsung lapangan, sebagai berikut :

1. Studi pustaka

Studi pustaka merupakan kegiatan pengumpulan data pustaka yang berhubungan dengan penelitian yang diperoleh dari literatur. Sumber studi pustaka, yaitu : pengelola CAPA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat), instansi Pemerintah Daerah terkait (Dinas Pariwisata Provinsi Papua Barat dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Manokwari), LSM, dan literatur lain yang menunjang penelitian ini.

2. Pengamatan lapangan (Observation)

Pengamatan langsung di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode survei, kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan lapang dilakukan untuk melihat dan mengetahui kondisi lokasi penelitian. Pengamatan lapang dimaksudkan sebagai verifikasi data dengan data yang diperoleh melalui studi pustaka.

3. Wawancara

(38)

menjawab tujuan penelitian yang ketiga wawancara dilakukan terhadap masyarakat yang berdomisili di Kampung Kwau yang secara umum diasumsikan terlibat dalam kegiatan wisata alam di kampung tersebut. Dengan memperhatikan kondisi yang ada di lapangan serta kaidah ilmiah, maka jumlah responden yang diambil sebanyak 30 KK dari 59 KK yang mendiami Kampung Kwau.

Ada dua tipe wawancara yang akan dilakukan dalam penelitian, yaitu : 1) Wawancara berstruktur (structure interview), metode ini dilakukan dengan cara menyusun daftar pertanyaan (kuesioner) yang bersifat tertutup dan terbuka, 2) Wawancara secara mendalam (in-depth interview), metode ini diterapkan dengan penggunaan alat bantu berupa daftar pertanyaan yang dibuat dan disusun sebagai interview guide yang sifatnya fleksibel.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode pengolahan data meliputi metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mengolah data yang diperoleh melalui kuesioner, sedangkan metode kualitatif berupa penyajian data dengan cara mengintepretasikan dan mendeskripsikan data kuantitatif. Analisis data merupakan proses penyederhanaan data yang telah dikumpulkan oleh peneliti ke dalam bentuk yang lebih sederhana. Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel dan program (software) pengolahan data sosial yaitu Minitab 14. Metode analisis data yang digunakan berdasarkan tujuan dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Metode analisis data yang digunakan berdasarkan tujuan penelitian

No. Tujuan Penelitian Analisis Data

1. Mengidentifikasi obyek wisata alam di DP CAPA

Travel Cost Method dan surplus

konsumen dengan menggunakan

(39)

Analisis Biaya Perjalanan (Travel Cost Analysis)

Metode penilaian untuk mengukur nilai ekonomi wisata alam di DP CAPA adalah Travel Cost Method (TCM). Metode ini paling banyak digunakan untuk menduga nilai ekonomi kawasan wisata berdasarkan penilaian yang diberikan masing-masing individu atau masyarakat terhadap kenikmatan yang tidak ternilai (dalam rupiah) dari biaya yang dikeluarkan untuk berkunjung ke sebuah objek wisata, baik itu opportunity cost maupun biaya langsung yang dikeluarkan seperti biaya transportasi, konsumsi makanan, minuman, hotel, tiket masuk dan sebagainya. Yulianda et. al (2010) menyatakan bahwa, tujuan melakukan TCM adalah untuk menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata melalui estimasi rata-rata permintaan terhadap kunjungan wisata di suatu lokasi. Oleh karena itu, perlu diestimasi fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata. Fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata menurut Garrod dan Willis (1999) dalam Yulianda et.al. (2010) ; Clawson dan Knetsch (1966) dalam Hero (1993), sebagai berikut :

= ( ) Keterangan :

V = Jumlah kunjungan

TC = Biaya perjalanan pada suatu lokasi wisata

Berdasarkan hal tersebut, maka model yang dibangun untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi permintaan wisata (biaya perjalanan) ke DP CAPA yang dibentuk dengan model regresi linear sederhana (Ordinery Least Square (OLS)) dengan bentuk persamaan sebagai berikut (Clawson dan Knetsch (1966) dalam Hero (1993)):

= + +

Keterangan :

Y = Jumlah kunjungan ke DP CAPA dalam satu tahun terakhir (frekuensi kunjungan per tahun)

X1 = Biaya perjalanan ke DP CAPA

α0 = Konstanta

α1 = Koefisien regresi

ɛ = Error/galat

Berdasarkan formula di atas, maka kunjungan ke tempat wisata akan sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan (diasumsikan berkorelasi negatif), sehingga diperoleh kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif.

Selanjutnya setelah diketahui fungsi permintaan, surplus konsumen dapat ditentukan dengan mengestimasi menggunakan persamaan yang merupakan proxy dari nilai WTP terhadap lokasi wisata (Clawson dan Knetsch (1966) dalam Hero (1993)):

= ∆ × ∆

Keterangan :

CSi = Surplus konsumen pada perubahan TP ke i

∆ = Perubahan harga tiket

(40)

Perubahan harga tiket dan perubahan jumlah kunjungan diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut:

∆ = ∑!!"# dan = ∑!!"#$%

Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) dapat diestimasi dengan menggandakan nilai surplus konsumen pada setiap perubahan harga tiket dengan persamaan sebagai berikut :

= & Keterangan :

TCS = Total surplus konsumen pengunjung CSi = Surplus konsumen

Analisis Pengaruh Sosial Ekonomi Pengembangan Wisata Alam terhadap Masyarakat Lokal

Pengaruh Sosial

Untuk mengetahui pengaruh sosial yang terjadi terhadap masyarakat lokal dengan pengembangan kegiatan wisata alam di DP CAPA dijelaskan secara deskriptif kualitatif sesuai hasil wawancara dan pengamatan di lapangan. Untuk mempermudah analisis terlebih dahulu data sosial yang diperoleh dibuat dalam bentuk tabulasi. Skala Likert (Method Likert’s of Summated Rating) dipilih sebagai alat untuk menilai pengaruh sosial yang terjadi dengan pembobotan penilaian angka 1 untuk jawaban “sangat tidak setuju” dan angka 5 untuk jawaban “sangat setuju” terhadap pernyataan yang positif. Atau pemberian angka 1 untuk jawaban “sangat setuju” dan angka 5 untuk jawaban “sangat tidak setuju” untuk pernyataan yang negatif (Slamet 2008). Pembobotan Skala Likert tersebut sebagai berikut : (1) Sangat tidak setuju, (2) Tidak setuju, (3) Netral, (4) Setuju, dan (5) Sangat setuju.

Hasil data pengaruh sosial dengan menggunakan skala Likert ini selanjutnya dianalisis dengan menggunakan rumus standart Likert t-test. Dan dengan program excel, digunakan untuk mengukur persepsi masyarakat terhadap dampak sosial yang mereka rasakan. Adapun nilai skala Likert dan skor dari setiap pernyataan (n= jumlah responden yang menjawab) sebagai berikut:

(5) Sangat Setuju = 5 x n (4) Setuju = 4 x n

(3) Netral (tidak pasti) = 3 x n (2) Tidak setuju = 2 x n

(1) Sangat Tidak Setuju. = 1 x n…………misalnya total (1-5) mendapat nilai Y Kemudian dibuat selang nilainya yaitu karena ada 30 responden dan skor dari pernyataan 1-5, maka selang nilainya dari 30-150. Kemudian untuk tingkat favorable dihitung dengan rumus:

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Gambar. 3.
Gambar 4.  Grafik surplus konsumen
Gambar 5.  Lokasi Kampung Kwau, Distrik Minyambouw, Kabupaten
+7

Referensi

Dokumen terkait

dasarnya prosedur penelitian pengembangan terdiri dari dua tujuan utama, yaitu: 1) mengembangkan produk dan, 2) menguji keefektifan produk untuk mencapai tujuan.

Kebanyakan penulis dan manajer yang sukses menyarankan bahwa budaya organisasi yang kuat sangat penting bagi bisnis karena memiliki tiga faktor penting (Shahzad et al,

Kecenderungan orang-orang dalam suatu masyarakat multikultural membentuk kelompok- kelompok sosial, ekonomi, atau politik berdasarkan sukubangsa, agama, ras, atau

Menurut data yang diperoleh dari 30 pasien BPH dengan gejala LUTS dengan menggunakan International prostate symptoms score (IPSS) didapatkan 53,3% mengalami gejala LUTS dengan

Penelitian dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang persepsi konsumen meliputi kemampuan konsumen dalam mengenali apoteker, peran apoteker sebagai sumber informasi obat,

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penelitian ini membahas kondisi daerah antarmuka yang terbentuk sebagai bagian dari pengembangan komposit matriks aluminium

Dengan keberadaan Kecamatan Denpasar Timur sesuai dengan Peraturan Walikota Denpasar Nomor 45 Tahun 2016 Tentang Kedudukan, susunan organisasi, tugas dan fungsi serta tata

Selanjutnya dari legenda tersebut menginspirasi serta merangsang hasrat penyaji untuk dijadikan sebagai ide dalam bentuk komposisi musik yakni kisah kasih antara sangkuriang