• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rute Pemberian

5.8 Keadaan Pasien saat Keluar Rumah Sakit (KRS)

Dari ke-19 data pasien, untuk keadaan saat keluar rumah sakit dapat dilihat pada tabel 5.8

Tabel 5.8 Keadaan Pasien Saat KRS di Instalasi Rawat Inap SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode Januari sampai dengan Desember 2015.

Keadaan KRS Jumlah pasien Presentase Meninggal dunia 2 11% Pulang paksa 3 16% Membaik 14 74% Total 19 100%

Dari tabel 5.8 dapat dilihat bahwa keadaan pasien saat keluar rumah sakit yang paling banyak adalah membaik sebanyak 14 pasien. Sedangkan 3 orang pulang paksa dan 2 pasien meninggal dunia.

BAB VI PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui studi penggunaan nimodipin pada pasien stroke perdarahan subarakhnoid non traumatik berdasarkan gambaran angiografi. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan mengambil data dari Dokumen Medik Kesehatan (DMK) pasien pada periode Januari 2015 sampai dengan Desember 2015 di Ruang Rekam Medik Pusat, dimana DMK merupakan DMK dari Instalasi Rawat Inap Ilmu Penyakit Saraf RSUD. DR. Soetomo Surabaya. Sampel yang diperoleh yaitu sebanyak 59 pasien dimana yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 19 pasien yang telah diagnosa akhir stroke perdarahan subarakhnoid dengan hasil CT Scan/ CT Angiografi dan yang telah mengambil nimodipin selama perawatan di Instalasi Rawat Inap Ilmu Penyakit Saraf RSUD. DR. Soetomo Surabaya.

Berdasarkan pada tabel dan gambar 5.1, pasien PSA didominasi oleh jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 14 pasien (74%) dan laki-laki sebanyak 5 pasien (26%). Menurut Stroke

Association 2013, prevalensi stroke PSA tahun 2010 pada

perempuan lebih tinggi yaitu 80% dibanding 20% laki-laki. Hal ini karena faktor genetik dan juga faktor resiko penggunaan oral kontrasepsi pada jangka waktu yang lama pada kelamin perempuan, namun dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut. (Gijn et al, 2001).

Usia pasien PSA yang tercatat sebagai sampel dalam penelitian juga sangat bervariasi dengan rentang 31-73 tahun. Dari tabel 5.2, dapat diketahui usia pasien paling banyak terdapat pada

kelompok usia 40-60 tahun yaitu 11 pasien (58%). Diantara 19 pasien, terdapat 2 pasien (11%) pada kelompok <40 tahun, 11 pasien (58%) pada kelompok usia 40-60 tahun dan 6 pasien (32%) dengan usia ≥ 60 tahun. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa mayoritas terjadi aneurisma pada pasien PSA adalah kelompok usia 30 ke atas (Connolly et al,2012).

Dari tabel 5.3 dapat dilihat bahwa lama perawatan pasien paling banyak adalah ≥21 hari sebanyak 11 pasien (58%). Sebanyak 5 pasien mendapat perawatan selama 10-21 hari (26%) dan 3 pasien (16%) <10 hari. Lama perawatan pasien stroke PSA ditentukan berdasarkan tingkat kesadaran pasien (GCS), komplikasi penyakit lain yang diderita pasien, dan faktor resiko yang ada pada pasien (Zubir, 2006).

Pada hasil penelitian, diketahui bahwa riwayat penyakit pasien yang tertera pada tabel 5.4 yang paling banyak adalah hipertensi sebanyak 11 pasien (58,%) dari total 19 pasien. Hipertensi sendiri merupakan faktor resiko paling besar yang menyebabkan terjadinya stroke PSA (Llyod-Jones and Donnel, 2004), dimana peningkatan tekanan darah dapat melemahkan arteri-arteri kecil di kranial dan mengakibatkan arteri tersebut kehilangan elastisitasnya dan rentan terjadi cracking dan rapuh (Smith et al., 2005).

Resiko stroke meningkat 1,6 kali setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah sisitolik dan sekitar 50% kejadian stroke dapat dicegah dengan pengendalian tekanan darah (Indiana Stroke Prevention Task Force January, 2006). Riwayat penyakit terdahulu pada 6 pasien (32%) tidak dapat diketahui dan keadan ini sesuai

dengan literatur yang menyatakan faktor genetik dan riwayat aneurisma pada lebih dari 2 ahli keluarga (Thompson et al, 2015).

Penyakit penyerta dan diagnosa penyakit lain saat perawatan di rumah sakit pada pasien stroke PSA yang paling banyak adalah hipertensi yaitu sebanyak 10 diantara 19 pasien yang memiliki penyakit hipertensi, 5 diantara 19 pasien memiliki penyakit penyerta aneurisma, 2 pasien dengan dislipidemia, 2 pasien dengan hipokalemia, 1 pasien memiliki pneumonia, 1 pasien memiliki lower respiratory tract infection, 1 pasien memiliki hidrocephalus dan 2 pasien tidak ada penyakit penyerta.

Pada tabel 5.5 menunjukkan tindakan operasi yang telah dilakukan pada pasien PSA. Dari hasil penelitian menunjukkan dari total 19 pasien, 12 pasien telah melakukan tindakan operasi yaitu 9 pasien (47%) telah melakukan operasi coiling, 2 pasien (11%) melakukan operasi VP Shunt dan 1 pasien (5%) dengan operasi clipping. Operasi coiling secara umum direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk penanganan aneurisma otak karena dianggap lebih aman dan nyaman untuk pasien (Bederson et al, 2009). Menurut penelitian Ismail 2012, risiko terjadinya epilepsi lebih rendah pada pasien yang menjalani coiling.

Kondisi pasien saat keluar rumah sakit (KRS) antara lain dipulangkan sebanyak 14 pasien (74%), pulang paksa 3 pasien (16%) dan meninggal 2 pasien (11%). Pasien dipulangkan berarti keadaan pasien mulai membaik, sedangkan pulang paksa menunjukkan kondisi belum membaik tetapi memutuskan untuk KRS. Pasien meninggal dunia karena komplikasi dari penyakit yang memburuk seperti peningkatan tekanan intracranial yang seterusnya

menyebabkan herniasi, hidrocephalus dan kasus yang tidak dapat diidentifikasi.

Dari hasil penelitian di Instalasi Rawat Inap Dr. Soetomo, didapati pasien yang telah didiagnosa dengan stroke PSA dimulai dengan terapi nimodipin pada awal diagnosa untuk mengurangi resiko komplikasi iskemik dan sebagai profilaksis vasospasme serebral. Nimodipin memiliki mekanisme kerja menghambat perpindahan ion kalsium ke dalam sel-sel dan dengan demikian menghambat kontraksi dari otot polos pembuluh darah (Harsono, 2009). Efek dari penghambatan kontraksi otot polos dapat mengurangi outcome yang buruk dan delayed serebral iskemik disebabkan oleh vasospasme (Herzfeld, 2014).

Regimen dosis nimodipin yang diberikan pada pasien per harinya adalah 60mg setiap 6 jam per oral atau dosis 1-2mg/jam secara intravena selama 21 hari (Perdossi, 2011). Berdasarkan literatur dosis optimum nimodipin untuk pasien PSA adalah 3600mg per hari selama tiga minggu (Heffren et al, 2015). Dalam sehari nimodipin dapat diberikan enam kali sehari. Pemberiannya sehari 6 kali diperlukan karena nimodipin memiliki waktu paruh yang pendek, yaitu 2 jam sehingga dibutuhkan penambahan dosis setiap 4 jam (Harsono, 2009).

Pada Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa dosis nimodipin per hari yang diterima pasien di RSUD Dr. Soetomo adalah 4x60mg sebanyak 2 pasien (10%), 1 pasien 5x60mg dan 3 pasien (16%) telah mengambil dosis 6x60mg. Didapati sebanyak 70% dari pasien PSA telah mendapatkan terapi nimodipin dengan rute oral. Pada Guideline Stroke Perdossi 2011 menyatakan nimodipin harus

dimulai dengan dosis 1-2mg/jam IV pada hari 3 atau secara oral 60mg setiap 6 jam selama 21 hari. Sedangkan pada penelitian Heffren 2015 disarankan pemberian nimodipin harus dimulai dengan dosis 6x60mg selama 3 minggu. Dari data rekam medik kesehatan, peneliti masih belum dapat melihat signifikansi atau pengaruh pemberian dosis yang kecil maupun yang besar terhadap outcome pada pasien stroke PSA, oleh karena itu masih perlu penelitian lebih lanjut

Pola penggunaan nimodipin selain terjadi perubahan rute juga terjadi perubahan dosis dari dosis awal masuk rumah sakit yang disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya kondisi neurologis. Peningkatan dosis terjadi apabila kondisi neurologis pasien tidak mengalami perkembangan dengan pemberian dosis awal, oleh karena itu, klinisi akan meningkatkan dosis nimodipin atau mengubah rute pemberian agar tercapai kondisi neurologis pasien yang membaik.

Pada Tabel 5.6.1 dapat dilihat terdapat data pasien dari 10 pasien yang diberikan nimodipin, 8 pasien diubah rute pemberian, 1 pasien pada perubahan dosis, 1 pasien yang diakhir dengan pemberian dosis awal dan telah mengalami peubahan rute atau dosis selama perawatan. Pada pasien no DMK 12388xxx, dosis nimodipin diubah rute dari iv ke oral pada hari ke 3 selama 3 hari dan dikurangi dosis ke 6x60mg pada hari 5, 4x60mg pada hari 8 dan 3x60mg pada hari 13 dan hari ke 19 dosis ahir adalah 2x60mg. Pada pasien no DMK 12390xxx, dosis nimodipin dikurangi dari 6x60mg ke 4x60mg apabila keadaan pasien semakin membaik. Pada pasien no DMK 12392xxx, diubah rute dari oral ke iv pada hari ke 19 apabila GSC

pasien semakin memburuk. Empat pasien diubah rute dari iv ke oral setelah terjadi peningkatan pada kondisi GSC. Tidak ada literatur yang menyatakan bahwa dosis nimodipin dapat dilakukan tapering off dan didapati dari data rekam medik terdapat 1 pasien yang dilakukan tapering off yang tidak mengikut guideline.

Pada penelitian ini, pemeriksaan angiografi dilakukan untuk mengetahui adanya vasospasme serebral dan tindakan operasi dilakukan untuk penanganan aneurisma yang ruptur unruk mencegah terjadinya vasospasme. Gambaran profil vasospasme yang terjadi dilihat dengan menggunakan serebral DSA untuk mengetahui morfologi dan lokasi aneurisma. Vasospasme serebral merupakan komplikasi yang mayor yang berlanjut sehingga terjadi kematian dan kecacatan dalam PSA. Vasospasme terjadi pada hari ke 3 hingga 4 setelah hemoragik, puncak setelah satu mimggu dan umunnya sembuh setelah 2 atau 3 minggu (Archavlis et al, 2013 ). Pada tabel 5,7 diketahui bahwa sebanyak 11 pasien menunjukkan vasospasme positif dan 8 pasien menunjukkan vasospasme negative. Dari total 11 pasien yang menunjukkan vasospasme positif, didapati 8 pasien telah membaik, 1 pasien meninggal karena komplikasi dan 2 pasien telah pulang paksa. Dari 8 pasien yang membaik menunjukkan 2 pasien telah mendapatkan terapi nimodipin selama 15 hari dan 6 pasien telah mendapatkan terapi ≥ 21 hari serta telah mengalami perbaikan. Menurut referensi terapi nimodipin dimulai pada awal PSA dan dilanjutkan sehingga 21 hari sehingga dapat mencegah terjadinya vasospasme dan delayed serebral iskemik (Harsono, 2009).

Penilaian terhadap capaian target tekanan darah pasien stroke PSA non traumatik dengan terapi nimodipin memberikan evaluasi

pada penelitian ini. Rekomendasi target tekanan darah berdasarkan JNC 8 tahun 2014 untuk pasien PSA adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg atau tekanan diastolik <90 mmHg. Pada penelitian ini, tekanan darah pasien diukur pada setiap hari untuk mengetahui pencapaian target tekanan darah dari penggunaan nimodipin. Melalui hasil uji Paired t Test untuk melihat perbedaan terapi nimodipin yang diberikan terhadap tekanan darah sistole pasien dapat diketahui bahwa nilai p yang dihasilkan sebesar 0,068 lebih besar dibandingkan α sebesar 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaaan signifikan pada tekanan darah sistole pasien KRS dan MRS pada terapi nimodipin.

Glasgow Coma Scale (GSC) adalah skala yang digunakan secara klinis bersifat semikuantitatif dari tingkat kesadaran berdasarkan keadaan buka mata, respon verbal dan motorik penderita (Mayer dan Rowland, 2000). Pada pasien stroke PSA yang mendapatkan terapi nimodipin, pemantauan GSC sangatlah perlu, untuk mengetahui perubahan GSC setelah mendapatkan terapi nimodipin dan terapi lainnya. pemeriksaan GSC sangat diperlukan untuk pemantauan perubahan TIK (Barker,2002). Dari data yang diperoleh dilakukan analisis efektivitas penggunaan nimodipin berdasarkan skala GCS MRS dan KRS.

Melalui hasil uji Wilkoxon untuk melihat perbedaan outcome terapi terhadap pasien PSA non traumatik dapat diketahui bahwa nilai p yang dihasilkan sebesar 0,307 lebih besar dibandingkan α sebesar 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dari terapi nimodipin. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan pada skala GCS MRS dan KRS terhadap outcome terapi

nimodipin. Terdapat beberapa keterbatasan pada penelitian ini karena pencatatan yang tidak lengkap pada rekam medik pasien seperti pencatatan data klinis pasien (tekanan darah dan GCS) dan lama pemberian terapi nimodipin. Hal ini menyebabkan monitoring efektivitas tekanan darah dan GSC pada pasien kurang optimal.

Efek samping yang ditimbulkan oleh nimodipin seperti penurunan tekanan darah (hipotensi), gangguan fungsi hati, edema, sakit kepala, keluhan saluran cerna, nyeri otot, diare, rash dan takikardia tidak ditemukan pada pasien berdasarkan data pencatatan rekam medik. Interaksi obat dapat terjadi pada penggunaan nimodipin bersama rifampicin, fenobarbital, fenitoin atau karbamazepin pada isoenzim sitokrom CYP3A4 yang menjejaskan clearance nimodipin (Katzung, 2011). Namun pada penelitian ini, tidak dilakukan kajian tentang drug related problem pada pasien.

BAB VII

Dokumen terkait