• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN NIMODIPIN PADA PASIEN STROKE PENDARAHAN SUBARAKHNOID NON TRAUMATIK BERDASARKAN GAMBARAN ANGIOGRAFI SEREBRAL (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Penyakit Saraf RSUD Dr.Soetomo Surabaya)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN NIMODIPIN PADA PASIEN STROKE PENDARAHAN SUBARAKHNOID NON TRAUMATIK BERDASARKAN GAMBARAN ANGIOGRAFI SEREBRAL (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Penyakit Saraf RSUD Dr.Soetomo Surabaya)"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

STUDI PENGGUNAAN NIMODIPIN PADA PASIEN STROKE PENDARAHAN SUBARAKHNOID NON TRAUMATIK BERDASARKAN GAMBARAN ANGIOGRAFI SEREBRAL (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Penyakit Saraf

RSUD Dr.Soetomo Surabaya)

SREE SHALINI GANESEN

DEPARTEMEN FARMASI KLINIS

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

SKRIPSI

STUDI PENGGUNAAN NIMODIPIN PADA PASIEN STROKE PENDARAHAN SUBARAKHNOID NON TRAUMATIK

BERDASARKAN GAMBARAN ANGIOGRAFI (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Penyakit Saraf

RSUD Dr. Soetomo Surabaya)

SREE SHALINI GANESEN NIM : 051211133100

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA DEPARTEMEN FARMASI KLINIS

(3)
(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas Tuhan, yang senantiasa mencurahkan rahmad sehingga skripsi yang berjudul Studi Penggunaan Nimodipin Pada Pasien Stroke Pendarahan Subarakhnoid Non Traumatik Berdasarkan Gambaran Angiografi Serebral ini dapat diselesaikan. Tidak dapat dipungkiri hambatan dan permasalahan sering terjadi seiring berjalannya waktu. Namun berkat adanya bantuan, dorongan serta doa yang diberikan secara tulus dan ikhlas oleh orang-orang terdekat, hingga akhirnya semua berjalan lancar. Dalam kesempatan ini, penyusun ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Junaidi Khotib, S.Si., Apt.,M.Kes., PhD selaku pembimbing utama atas semua bantuan, bimbingan, perhatian dan nasehat selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. A. Firdaus Sani, Sp.S.,FINS selaku pembimbing serta atas semua bantuan, bimbingan, perhatian, dan nasehat selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Suharjono, Apt., MS. dan Drs. Sumarno, Sp. FRS.,Apt selaku dosen penguji atas saran dan masukan yang telah diberikan.

4. Drs. Didik Hasmono, Apt. MS. selaku dosen wali, Samirah, SSi.,Sp. FRS., Apt dan Catur D. Setiawan, S.Farm., M.Kes., Apt atas bantuan, bimbingan, dan nasehat selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

(7)

v

Soetomo Surabaya yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian ini.

6. Karyawan Ruang Rekam Medik Pusat RSUD. Dr. Soetomo Surabaya, atas kerjasama dan bantuan waktu serta tenaga sehingga pencatatan data dapat terlaksana

7. Dosen-dosen pengajar di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

8. Yang saya hormati dan sayangi kedua orang tua Mr & Mrs. Ganesen dan adik beradik saya atas segala doa dan semangatnya.

9. Teman-teman seperjuangan skripsi, atas segala bantuan, semangat, dan kerjasamanya.

10. Sahabat-sahabatku atas segala bantuan, dan semangatnya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Dalam penyusunan skripsi ini penyusun menyadari adanya keterbatasan dan kekurangan, sehingga mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki diri di kemudian hari. Penyusun berharap semoga skripsi ini dapat dimanfaat, dipahami, dan dimengerti oleh pembaca.

Surabaya, Agustus 2016

(8)

RINGKASAN

STUDI PENGGUNAAN NIMODIPIN PADA PASIEN STROKE PENDARAHAN SUBARAKHNOID NON TRAUMATIK BERDASARKAN GAMBARAN ANGIOGRAFI SEREBRAL

(Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya)

Sree Shalini Ganesen

Stroke pendarahan subarakhnoid adalah keadaan terdapatnya darah atau masuknya darah ke dalam ruang subarakhnoid. Perdarahan subarakhnoid terjadi sebagai akibat kebocoran non traumatik atau ruptur aneurisma kongenital pada circulus anterior cerebralis atau yang lebih jarang akibat arteriovenosa malformation. Vasospasme serebral merupakan komplikasi pendarahan subarakhnoid yang memberikan konstribusi signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas. Untuk mencegah terjadi vasospasme pada pasien pendarahan subarakhnoid maka diberikan terapi nimodipin.

Nimodipin satu-satunya obat antagonis kalsium yang disarankan pada penggunaan pendarahan subarakhnoid dan memiliki efek terbukti dalam mengurangi outcome yang buruk dan delayed serebral iskemik disebabkan oleh vasospasme. Nimodipin menghambat perpindahan ion kalsium ke dalam sel dan dengan menghambat kontraksi dari otot polos pembuluh darah.

(9)

vii

perubahan yang terjadi setelah pemberian nimodipin terhadap glasgow coma scale (GCS) dan tekanan darah pada pasien stroke pendarahan subarakhnoid di Instalasi Rawat Inap SMF Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian ini dilakukan dengan metode retrospektif dan data diperoleh dari dokumen rekam medik kesehatan pasien pada periode 01 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015. Penilaian outcome pada pasien stroke pasien pendarahan subarakhnoid non traumatik dinilai berdasarkan gambaran angiografi (vasospasme) dan dianalisis secara deskriptif.

(10)

A

BSTRACT

STUDY ON UTILIZATION OF NIMODIPIN IN NON TRAUMATIK SUBARACHNOID HEMORRHAGE PATIENT

BASED ON OVERVIEW OF ANGIOGRAFY (Research Performed in Neurology Department at Dr. Soetomo

General Hospital Surabaya)

Sree Shalini Ganesen

BACKGROUND : Subarachnoid hemorrhage (SAH) state of the presence of blood or an influx of blood into the subarachnoid space. Subarachnoid hemorrhage occurs as a result of leakage of non-traumatic or congenital aneurysm rupture in the anterior circulus cerebralis or more rarely due to cerebral arteriovenous malformation. Cerebral vasospasm is a complication of subarachnoid hemorrhage which contributes significantly to morbidity and mortality. Nimodipine was given to prevent vasospasm and delayed cerebral infraction.

OBJECTIVE : The aim of this study is to know the effectiveness of nimodipine towards vasospasm in SAH patients through improvements in blood pressure and GCS in patients.

(11)

ix

angiography data and been received nimodipine in the period of January –December 2015.

RESULTS : The results obtained from 19 patients shows that more than 70% patient received oral therapy at a dose of 60mg per day in divided doses four to six times a day for more than 21 days.

CONCLUSION : There are no significant changes in GCS and blood pressure between SAH patients who been given nimodipine therapy in statistical analysis . However, the changes in GCS and blood pressure patients been observed during the administration.

(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RINGKASAN ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Umum ... 7

1.3.2 Tujuan Khusus ... 7

(13)

xi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stroke ... 9

2.2 Klasifikasi Stroke ... 9

2.3 Stroke Pendarahan Subarakhnoid ... 11

2.3.1 Epidemiologi Stroke Pendarahan Subarakhnoid .... 12

2.3.2 Patofisiologi ... 13

2.3.3 Etiologi ... 14

2.3.4 Faktor Resiko ... 15

2.4 Gejala Klinis ... 15

2.5 Pemeriksaan Penunjang Dan Diagnosis ... 17

2.5.1 Pemeriksaan Neurologis ... 22

2.6 Komplikasi ... 26

2.6.1 Vasospasme Serebral ... 26

2.6.1.1 Patofisiologi Vasospasme Serebral ... 27

2.6.2 Hidrosefalus ... 28

2.6.3 Pendarahan Ulang ... 29

2.6.4 Delayed Cerebral Infraction ... 29

2.7 Terapi ... 29

2.7.1 Tatalaksana Umum PSA ... 30

(14)

2.7.3 Pencegahan dan Pengendalian Vasospasme ... 32

2.7.4 Penatalaksanaan Vasospasme ... 33

2.8 Nimodipin ... 34

2.8.1 Farmakokinetika ... 34

2.8.2 Farmakodinamika ... 35

2.8.3 Dosis ... 35

2.8.4 Kontraindikasi ... 36

2.8.5 Efek Samping ... 36

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA OPERASIONAL 3.1 Uraian Kerangka Konseptual... 37

3.1.1 Skema Kerangka Konseptual ... 39

3.2 Skema Kerangka Operasional... 40

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 41

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

4.3 Subjek penelitian ... 41

4.3.1 Kriteria Inklusi ... 42

4.3.2 Kriteria Eksklusi ... 42

4.3.3 Jumlah Subjek Penelitian ... 42

(15)

xiii

4.5 Instrumen Penelitian ... 42

4.6 Definisi Operasional ... 43

4.7 Prosedur Pengambilan Data dan Analisis Data ... 44

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 5.1 Data Demografi Pasien ... 46

5.2 Lama Perawatan ... 47

5.3 Riwayat Penyakit Terdahulu... 48

5.4 Penyakit Penyerta ... 48

5.5 Tindakan Operasi Terhadap Pasien ... 49

5.6 Profil Penggunaan Nimodipin ... 50

5.6.1 Data Angiografi Pasien Kelompok Vasospasme Positif dan Vasospasme Negatif ... 53

5.6.2 Hubungan antara Tekanan Darah dengan Terapi Nimodipin Pada Pasien ... 55

5.6.3 Efektivitas Penggunaan Obat Nimodipin Berdasarkan Skala GCS MRS dan KRS pada Pasien ... 56

5.8 Keadaan Pasien Saat Keluar Rumah Sakit ... 57

(16)

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.2 Jenis stroke ... 10

Gambar 2.3 Pendarahan Subarakhnoid... 12

Gambar 2.5 Hasil Ct Scan Kepala ... 17

Gambar 2.5b Hasil Angiografi Serebral DSA ... 20

Gambar 2.6.1 Vasospasme Serebral ... 27

Gambar 2.5.1.1 Patofisiologi ... 28

Gambar 2.7 Terapi Bedah yang meliputi Clipping dan Endovascular Coiling ... 32

Gambar 2.8 Nimodipin ... 34

Gambar 3.2 Skema Kerangka Konseptual ... 39

Gambar 3.3 Skema Kerangka Operasional ... 40

Gambar 5.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta ... 49

Gambar 5.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Rute Pemberian ... 50

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.5a Skor Fisher Grading ... 18 Tabel 2.5b Skala Grading Skales ... 19 Tabel 2.5.1a Glasgow Coma Scale ... 22 Tabel 2.5.1b National Institute of Health Stroke

Scale ... 23 Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Pasien ... 46 Tabel 5.2 Distribusi Jenis Usia Pasien ... 47 Tabel 5.3 Distribusi Lama Perawatan Pasien ... 47 Tabel 5.4 Riwayat Penyakit Terdahulu ... 48 Tabel 5.5 Tindakan Operasi Pasien ... 49 Tabel 5.6 Regimen Dosis Nimodipin ... 51 Tabel 5.6.1 Perubahan Rute dan Dosis

(19)

xvii

LAMPIRAN

Halaman

(20)

DAFTAR SINGKATAN

CCB : Calsium Channel Blocker CPP : Cerebral Perfusion Pressure

CSF : Cerebrospinal Fluid

CT : Computed Tomography

CVT : Central Vein Thrombosis

DCI : Delayed Cerebral Infaction DMK : Dokumen Medik Kesehatan DSA : Digital Subtraction Angiography

GCS : Glasgow Coma Scale

ICH : Intracerebral Hemorrhage

IVH : Intraventicular Hemorrhage

KRS : Keluar Rumah Sakit KSR : Kalium Klorida

MAV : Malformasi Arterivenosus MRA : Magnetic Resonance Angiography

MRI : Magnetic Resonance Imaging

MRS : Masuk Rumah Sakit

(21)

xix

NSAID : Non Steroid Anti Inflammatory Drug

NO : Nitric Oxide

RM : Rekam Medik

(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau langsung menimbulkan kematian disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (WHO, 2010). Stroke terjadi akibat berkurangnya suplai darah ke otak yang disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah ke otak (Ginsberg, 2008).

Menurut American Stroke Association stroke memiliki tingkat mortalitas yang ketiga di dunia setelah penyakit jantung dan kanker dengan angka prevalensi mencatat 2,980,000 orang dan morbiditas pada 50,000 ribu orang per tahun. Setiap tahun, hampir 795.000 orang di Amerika mengalami stroke dengan angka kematian lebih dari 134.000 (Goldstein et. al. 2008). Empat juta orang Amerika mengalami defisit neurologi akibat stroke,dua pertiga dari defisit ini bersifat sedang sampai parah (Irdelia, 2014). Berdasarkan penelitian yulianto pada tahun 2011 tercatat hampir setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan setiap 4 detik terjadi kematian akibat stroke. Selain itu, stroke juga memiliki tingkat morbiditas yang tinggi dalam menyebabkan kecacatan.

(23)

terdiagnosis memiliki gejala stroke. Prevalensi stroke tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara (10,8%) dan terendah di Provinsi Papua (2,3%), sedangkan Provinsi Jawa Tengah sebesar 7,7% (Kemenkes, 2013). Menurut Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2012), stroke dibedakan menjadi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Prevalensi stroke hemoragik di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%). Prevalensi tertinggi tahun 2012 adalah Kabupaten Kudus sebesar 1,84%. Prevalensi stroke non hemoragik pada tahun 2012 sebesar 0,07% lebih rendah dibanding tahun 2011 (0,09%).

Ditaksirkan bahwa sebesar 87% penderita stroke mengalami stroke iskemik dan 13% stroke pendarahan. Pada stroke pendarahan 10-20% merupakan pendarahan intraserebral dan 3% merupakan pendarahan subarakhnoid (Gofir, 2009). Perdarahan subarakhnoid (PSA) relatif kecil jumlahnya (<0,01% dari populasi di USA) sedangkan di ASEAN 4% dan di Indonesia 4,2%. Meskipun demikian angka mortalitas dan morbiditas sangat tinggi hingga 80% ( Jusuf, 2011).

(24)

dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular (Berry), dan malformasi arterivenosus (MAV) (Ganong, 2008).

Perdarahan subarakhnoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subarakhnoid (Setyopranoto, 2012). Pada kasus non traumatik, 80% adalah disebabkan karena pecahnya aneurisma sakuler. Aneurisma sakuler ini merupakan proses degenerasi vaskuler yang didapat (acquired) akibat proses hemodinamika pada bifurkatio pembuluh arteri otak, terutama di daerah “Circle of Willisi" yang sering di arteri komunikans anterior, arteri serebri media, arteri serebri anterior, dan arteri komunikans posterior.

Vasospasme serebral merupakan suatu penyempitan pembuluh arteri serebral yang berkepanjanganan, kadang berat, namun bersifat reversibel, yang terjadi beberapa hari setelah PSA. Resiko vasospasme tergantung pada tebalnya darah di ruang subarakhnoid dan ventrikel disebabkan oleh ruptur aneurisma sakular, malformasi vaskular atau tumor otak yang mengalami perdarahan signifikan pada ruang subarakhnoid di basis cerebri (Yu et al, 2014).

(25)

resiko pendarahan ulang yaitu operasi clipping atau endovascular coiling setelah ruptur aneurisma pada PSA (Connolly et al, 2012).

Pengobatan PSA yang disarankan adalah terapi managemen neurointensive dan pencegahan terjadinya komplikasi terutama pada pasien yang mengalami penyakit kritis seperti epilepsi, infeksi, pendarahan semula dan delayed cerebral ishemic (Dipiro, 2011). Terapi untuk pencegahan stroke PSA pada delayed cerebral ischemia adalah nimodipin. Nimodipin merupakan obat kelas calcium channel bloker yang dapat mengurangi keparahan fungsi neurologi karena vasospasme (Setyopranoto, 2012). Penggunaan nimodipin telah disetujui oleh FDA untuk pencegahan dan pengobatan vasospasme serebral (Keyrouz, 2007). Menurut guidelines stroke tahun 2011, pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan aneurisma yang ruptur, dengan mempertahankan volume darah sirkulasi yang normal (euvolemia) dan menghindari terjadinya hipovolemia.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efektivitas obat nimodipin pada pasien PSA. Dari penelitian Harsono 2009, nimodipin merupakan obat yang dapat melewati blood brain barrier dan menghambat ion kalsium masuk ke dalam sel dengan mengurangi keadaan kontraktil otot polos pada saat depolarisasi dan menyebabkan terjadi vasokontriksi. Penggunaan nimodipin pada pasien vasospasme setelah aneurisma PSA terbukti meningkatkan pemulihan neurologis dan mengurangi serebral infrak.

(26)

plasebo, untuk mengetahui efektivitas penggunaan nimodipin oral dalam mengurangi serebral infrak dan outcome terapi setelah pendarahan subarakhnoid. Nimodipin diberikan setiap 4 jam dalam waktu 96 jam dari aneurisma PSA dan diberikan selama 21 hari pada 278 pasien dan 276 pasien menerima plasebo. Pada akhir 21 hari, jumlah pasien yang telah benar-benar pulih dari iskemik defisit neurologis adalah 33% pada kelompok nimodipin dan 22% pada kelompok plasebo. Defisit neurologis parah pada pasien PSA cerebral vasospasme arteri secara signifikan lebih umum pada kelompok plasebo (Hardjono, 2008).

Menurut American Nimodipine Study Group of Patients penggunaan nimodipin dalam waktu 18 jam setelah onset stroke di Amerika telah menunjukkan peningkatan positif pada outcome terapi. Pada pengobatan dengan penggunaan nimodipin antara 12 sampai 24 jam tidak menunjukkan efek sedangkan penggunaan pada 24 jam setelah PSA menunjukkan outcome yang buruk (Horn et. al. 2001).

(27)

Pada kondisi uji klinik yang lain, terapi pemberian nimodipin secara intra arterial dilakukan pada 29 pasien yang didiagnosa serebral vasospasme dari PSA di Jepang antara tahun 2009 dan 2011, menunjukkan secara statistik peningkatan yang signifikan terhadap diameter pembuluh darah dan gejala klinis pada profil angiografi serebral. Hasil persentase peningkatan diameter pembuluh darah adalah lebih 40% pada 8 pasien, 30-40% pada 1 pasien, 20-30% pada 8 pasien, 10-20% pada 8 pasien dan kurang dari 10% pada empat pasien (Kim et al, 2012). Hasil dari penelitian retrospektif yang dilakukan di rumah sakit University Aga Khan untuk mengetahui terjadinya vasospasme, lokasi aneurisma intrakranial dan ukuran aneurisma yaitu dengan melihat gambaran angiografi pasien PSA menggunakan Digital Substraction Angiography (DSA).

Pada pasien stroke PSA nimodipin oral sering digunakan di Indonesia untuk memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme (Perdossi, 2011). Dari studi uji klinis diketahui bahwa nimodipin dapat meningkatkan perbaikan fungsi neurologis danmencegah terjadi vasospasme serebral pada pasien stroke PSA (Gijn, 2001). Kajian lain menyebutkan bahwa nimodipin pada pasien stroke PSA aman digunakan namun hasil studi berdasarkan outcome klinis perlu dilakukan lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik secara keseluruhan pada pasien stroke PSA non traumatik (Heffren, 2015).

(28)

serebral pasien yang meliputi dosis pemberian obat, frekuensi pemberian, lama terapi dan efek samping obat (ESO). Penelitian dilakukan dengan cara rektospektif dan difokuskan pada efektivitas dari penggunaan nimodipin dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana profil klinis dan angiografi pada pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik yang menggunakan Nimodipin di Bagian Neurologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya? 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan nimodipin terhadap pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik berdasarkan gambaran angiografi serebral di Bagian Neurologis RSUD Dr.Soetomo Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis dosis, rute pemberian, frekuensi pemberian, dan lama penggunaan nimodipin.

2. Mengetahui efek nimodipin pada pendarahan subarakhnoid non traumatik, baik profil klinis maupun gambaran angiografi serebral.

(29)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah data kajian

tentang peran nimodipin pada stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik.

2. Data yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan farmasis dan klinisi dalam penggunaan terapi nimodipin pada pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik dalam memberikan terapi yang optimal dan meningkatkan kualitas hidup pasien. 3. Hasil penelitian dapat menjadi bekal pengalaman serta

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stroke

Stroke didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau langsung menimbulkan kematian disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (WHO, 2010). Stroke hemoragik atau pendarahan adalah stroke yang terjadi karena pembuluh darah diotak pecah sehingga terjadi hematoma yang menyebabkan tekanan tinggi intrakranial dan keadaan in memicu terjadinya pendarahan intrakranial (Sacco, 2013). Pada stroke hemoragik, darah arteri dari sistem pembuluh darah dapat masuk ke dalam rongga subarakhnoid sekunder. Bila sumber perdarahan berasal dari rongga subarakhnoid maka disebut perdarahan subarakhnoid sekunder (Junaidi 2011). 2.2 Klasifikasi Stroke

(31)

hemoragik adalah disebabkan oleh perdarahan pada suatu arteri serebralis. Stroke hemoragik dibagi kepada tiga macam yaitu pendarahan intraserebral, pendarahan subarakhnoid dan subdural hematoma. Pendarahan intraserebral merupakan suatu kondisi patologis dimana pembuluh darah pada paremkim otak pecah dan membentuk hematoma yang menyebabkan kerusakan jaringan di sekitarnya melalui efek mekanis yang ditimbulkan (mass effect) dan neurotoksisitas dari komponen darah dan produk degradasinya. Perdarahan subarakhnoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subarakhnoid (Setyopranoto, 2012). Subdural hematoma merujuk kepada pengumpulan darah di bawa dura (meliputi otak) dan disebabkan oleh trauma (Fagan & Hess, 2008)

(32)

2.3 Stroke Pendarahan Subarakhnoid

(33)

Gambar 2.3 Pendarahan Stroke Subarakhnoid (Medicinenet, 2011)

2.3.1 Epidemiologi Stroke Pendarahan Subarakhnoid

Dari data Stroke Statistik (2013) diperkirakan ada 152.000 penderita stroke di Amerika Serikat setiap tahun yaitu lebih dari 1 kasus setiap 5 menit. Stroke menduduki peringkat utama penyebab mortalitas dan morbilitas. Insidens stroke diperkirakan 25% lebih tinggi pada laki-laki dibandingakan dengan perempuan. Diperkirakan 85% kasus stroke disebabkan oleh stroke iskemik dan 15 % disebabkan oleh stroke hemoragik dengan 10% disebabkan perdarahan intraserebral dan 5% disebabkan perdarahan subarakhnoid. PSA relatif kecil jumlahnya (<0,01% dari populasi di USA) sedangkan di ASEAN 4% dan di Indonesia 4,2%.

(34)

terdapat di Provinsi Sulawesi Utara (10,8%) dan terendah di Provinsi Papua (2,3%), sedangkan Provinsi Jawa Tengah sebesar 7,7% (Kemenkes, 2013). Menurut Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2012), stroke dibedakan menjadi stroke hemoragik dan stroke hemoragik. Prevalensi stroke hemoragik di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%). Prevalensi tertinggi tahun 2012 adalah Kabupaten Kudus sebesar 1,84%. Prevalensi stroke non hemoragik pada tahun 2012 sebesar 0,07% lebih rendah dibanding tahun 2011 (0,09%).

2.3.2 Patofisiologi

Perdarahan subarakhnoid diklasifikasikan menjadi dua kategori:  Pendarahan Subarakhnoid Traumatik

Perdarahan subarakhnoid traumatik terjadi hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai stroke. Perdarahan subarakhnoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari faktor-faktor eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh (Vergouwen et al, 2006).

 Pendarahan Spontan Non Traumatik

(35)

subarakhnoid hemoragik disebabkan oleh karena ruptur aneurisma atau abnormalitas pembuluh darah pada otak (Dalbjerg et al, 2013). Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subarakhnoid dari pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran,tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke arteri yang memasuk otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang. arteri kemudian dapat melemah dan pecah (Harsono, 2009).

2.3.3 Etiologi

(36)

ensefalitis, diseksi arteri vertebral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis terdiri dari salah satu penyebab terjadi PSA (Warlow, 2007).

2.3.4 Faktor Resiko

Faktor resiko stroke adalah kondisi atau penyakit atau kelainan yang terdapat pada seseorang yang memiliki potensi untuk memudahkan orang mengalami serangan stroke pada suatu saat. Fartor resiko PSA secara umum dibagi menjadi dua jenis, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan atau dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dikendalikan (Setyopranoto, 2012). Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan adalah riwayat keluarga pendarahan subrarakhnoid atau aneurisma, riwayat pernah menderita perdarahan subarakhnoid, penderita atau riwayat keluarga menderita polikistik renal atau penyakit jaringan ikat (sindrom Ehlers Danlos, sindrom Marfan dan Pseudoxanthoma Elasticum). Sedangkan faktor resiko yang dapat dikendalikan adalah hipertensi, konsumsi alkohol, perokok (masih atau riwayat), body mass index rendah, bekerja keras terlalu ekstrim pada 2 jam sebelum onset ,konsumsi kokain dan narkoba jenis lainnya (Warlow, 2007).

2.4 Gejala klinis

(37)

35% nuchal rigidty. Dua pertiga pasien saat masuk rumah sakit dengan penurunan kesadaran, dan setengah dari mereka dalam keadaan koma. Lokasi utama kesakitan pada kepala terletak di regio nuchal-occipital dan intensitas parah tergantung pada kecepatan mencapai intensitas maksimum dan extravasasi pendarahan (Wijdicks et al, 2005). Nuchal rigidty yaitu peningkatan resistensi terhadap fleksi atau ekstensi pasif leher, adalah tanda klinis iritasi meningeal akibat ekstravasasi darah di ruang subarakhnoidal. Tanda-tanda lain dari iritasi meningeal termasuk Tanda-tanda Lasegue positif atau tanda-tanda Kernig dan Brudziski. Tanda-tanda meningeal akan muncul dalam 3-12 jam dan kadangkala tanda-tanda ini tidak muncul dalam kasus koma atau ketika ekstravasasi darah minimal. Dengan demikian, tidak adanya gejala nuchal rigidty tidak dapat dikecualikan dari diagnosa pendarahan subarakhnoid (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

(38)

2.5 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis

a. Computed Tomography (CT) dan CT Angiography Scan.

Pemeriksaan ini dapat menunjukkan lokasi pendarahan yang terekstravasasi di ruang subarakhnoid dengan sensitivitas yang tergantung pada jumlah perdarahan serta waktu interval setelah munculnya gejala (Wijdicks, 2005). CT scan dikatakan positif dalam 98-100% kasus jika dilakukan dalam waktu 12 jam, persentase ini menurun menjadi 93% pada 24 jam dan 50% satu minggu setelah onset gejala. Pola khas pada darah yang tersebar dapat memberikan petunjuk awal lokasi aneurisma pecah dan prediksi jumlah darah untuk delayed infraksi. Terdapat beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi outcome dapat dijadikan panduan intervensi atau menjelaskan prognosis delayed cerebral infraction (DCI) (Vergouwen et al, 2010). Misalnya skala Fisher dan skala Hess & Hunt digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan subarakhnoid berdasarkan munculnya pendarahan di kepala pada pemeriksaan CT scan. Selain itu, CT scan dapat membuktikan pendarahan intaparenkimal atau pendarahan intraventrikular yang lama, hidrosefalus, edema serebral atau lesi iskemik akibat vasospasme (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

(39)

Table 2.5a Skor Fisher Grading dan modifikasi skor Fisher grading dan resiko DCI (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

(40)
(41)

b. Digital Subtraction Angiography (DSA)

Merupakan gold standard untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CTA lebih sering digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifisitasnya lebih tinggi. Metode ini dapat memberikan informasi tentang fitur morfologi aneurisma dan hubungannya dengan arteri lainnya sehingga memungkinkan rencana pengobatan yang lebih baik (Setyopranoto, 2012). Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multipel. Foto radiologik yang negatif harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama (Hamid et al, 2010). Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma,

Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus dilakukan untuk melihat

kemungkinan adanya malformasi vaskular di otak maupun batang otak (Wijdicks, 2005).

(42)

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Magnetic

Resonance Angiografy (MRA)

MRI dapat memperbolehkan evaluasi pembuluh darah serebral tanpa media kontras. MRA digunakan untuk mengetahui etiologi dari hemoragik dan untuk mendeteksi DCI dengan difusi dan perfusion weighted imaging (Gijn, 2001). Penggunaan MRI /MRA dalam mendeteksi PSA semakin berkembang tetapi sering terbatas karena ketersediaan alat, logistik, membutuhkan kerjasama pasien, kebutuhan waktu dan biaya (Hamid, 2010).

d.Lumbar Puncture

(43)

2.5.1 Pemeriksaan Neurologis

a. Glasgow Coma Scale (GCS) untuk menentukan tingkat

kesadaran penderita

Tabel 2.5.1a Glasgow Coma Scale (Junaidi, 2011)

Respon membuka mata Nilai

- Spontan 4

- Terhadap rangsangan bicara 3 - Terhadap rangsangan nyeri 2

- Tidak ada tangapan 1

Tanggapan verbal Nilai

- Sesuai/ berorentasi 5

- Bingung/ kacau 4

- Kata-kata yang tidak berhubungan 3 - Suara tidak dapat dimengerti 2

- Tidak ada 1

Tanggapan motorik Nilai

- Sesuai perintah 6

- Gerakan setempat 5

- Tanggapan motorik fleksor 4

- Fleksi abnormal 3

- Tanggapan motorik ekstensor 2

(44)

b. National Institute of HealthStroke Scale (NIHSS) Tabel 2.5.1b National Institute of Health Stroke Scale (Perdossi, 2009) berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria mata, kepal dan buka tangan pada sisi yang sehat)

1 = Gerakan abnormal hanya pada satu mata

2 = Deviasi konyugat yang kuat atau paresis konyugat total pada kedua mata

(45)

Lanjutan tabel 2.5.1b National Institute of Health Stroke

2 = Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3 = Tidak dapat melawan gravitasi 4 = Tiadak ada gerakan

X = amputasi/ tidak dapat diperiksa 6. Motorik kaki 0 = Tidak ada simpangan bila pasien

disuruh mengangkat kedua kakinya selama 5 detik

1 = Kaki menyimpang ke bawah sebelum 5 detik

2 = Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3 = Tidak dapat melawan gravitasi, kaki jatuh ke katil dengan cepatnya

4 = Tidak ada gerakan

X = Amputasi/ tidak dapat diperiksa 7.Motorik

tungkai kanan 0 = tidak ada simpangan bila pasien disuruh mengangkat kedua tungkai secara bergantian selama 10 detik 1 = tungkai menyimpang ke bawah sebelum 10 detik

2 = tungkai terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3 = tidak dapat melawan gravitasi 4 = tidak ada gerakan

(46)

Lanjutan tabel 2.5.1b National Institute of Health Stroke Scale

Item Definisi Skala

8.Motorik

tungkai kiri 0 = tidak ada simpangan bila pasien disuruh mengangkat kedua tungkai secara bergantian selama 10 detik 1 = tungkai menyimpang ke bawah sebelum 10 detik

2 = tungkai terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh

3 = tidak dapat melawan gravitasi 4 = tidak ada gerakan

X = tidak dapat diperiksa 9.Ataksia anggota

badan 0 = Tidak ada 1 = Pada satu ekstremitas

2 = Pada dua atau lebih ekstremitas X = Amputasi/tidak dapat diperiksa 10.Sensorik 0 = Normal

1 = Defisit parsial yaitu merasa tetapi berkurang

2 = Defisit berat yaitu jika pasien tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral.

11.Bahasa

Terbaik 0 = Tidak ada afasia 1 = Afasia ringan-sedang 2 = Afasia berat

3 = Tidak dapat bicara (bisu)/ global afasia/ koma

12. Disartria 0 = Artikulasi normal 1 = Disartria ringan-sedang 2 = Disartria berat

X = Tidak dapat diperiksa 13.Neglect/ Tidak

(47)

c. Tanda-tanda dan gangguan neurologis yang perlu diobservasi (Junaidi, 2011)

Gangguan kesadaran, yaitu bila penurunan respon verbal, gerakan volunteer, dan gangguan membuka mata.

Timbulnya atau adanya perburukan defisit neurologis, bila terjadi hemiparesis, dilatasi pupil.

Perubahan sistemik, terjadi penurunan denyut nadi dan frekuensi pernapasan serta peningkatan tekanan darah.

2.6 Komplikasi

2.6.1 Vasospasme serebral

Vasospasme serebral merupakan suatu penyempitan pembuluh arteri serebral yang berkepanjanganan, kadang berat, namun bersifat reversible, yang terjadi beberapa hari setelah PSA. Vasospasme serebral merupakan komplikasi yang mayor yang berlanjut sehingga terjadi kematian dan kecacatan dalam PSA. Vasospasme terjadi pada hari ke 3 hingga 4 setelah hemoragik, puncak setelah satu mimggu dan umunnya sembuh setelah 2 atau 3 minggu (Archavlis et al, 2013 ). Terdapat dua jenis vasospasme yaitu vasospasme angiografi dan vasospasme klinis. Vasospasme angiografi merupakan penyempitan arteri yang pada imaging vascular yang mulai terjadi beberapa hari setelah PSA dan mencapai puncak keparahan setelah 1 minggu. Vasospasme klinis merupakan iskemi serebral beserta tanda dan gejala yang disebabkan oleh penyempitan arteri dan disebut sebagai “delayed ischemic neurological deficits” (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

(48)

Gambar 2.6 Vasospasme serebral (Zuccarello et al, 2013) 2.6.1.1 Patofisiologi vasospasme serebral

a. Kontraksi otot polos

Vasospasme merupakan konstriksi otot polos arteri yang berkepanjangan. Pada PSA eritrosit diruang subarakhnoid akan mengalami lisis dan melepaskan oxyhemoglobin serta by product dari sel darah merah.Ini akan memicu pelepasan dan kemasukan kalsium ke otot polos serta mengubah fungsi miosit yang menyebabkan kontraksi berpanjangan pada otot polos. Vasokonstriksi ini tidak hanya dihubungkan dengan gangguan pada fungsi pembuluh darah, namun pada kerusakan ultrastuktur dinding pembuluh darah, termasuk vakuolisasi sel endothel, dan kerusakan lamina elastika interna dan tunika medika (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

b. Kerusakan endotel : Nitric oxide dan Endothelin -1

(49)

endotel dan otot polos (Archavlis et al, 2013). Kerusakan endotel diduga sebagai kunci terjadinya vasospasme, melalui hilangnya sintesis nitric acid (NO) yang merupakan vasodilator atau melalui overproduksi endothelin yang merupakan vasokonstriktor kuat (Suhardja, 2004).

Gambar 2.5.1.1 Patofisiologi vasospasme serebral (Suhardja, 2004) 2.6.2 Hidrosefalus

(50)

2.6.3 Pendarahan ulang

Merupakan komplikasi yang serius tetapi dapat dirawat dan dicegah pada pasien PSA. Pendarahan ulang terjadi dalam waktu 24 jam pertama pada sekitar 15%, 13,6% 2 jam setelah ictus dari pasien PSA dengan risiko kumulatif 40% pada bulan pertama dan kejadian 3% per tahun setelah enam bulan. Pendarahan ulang terkait dengan prognosis yang buruk yaitu mortalitas dan kecacatan dapat mencapai sehingga 80% (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

2.6.4 Delayed Cerebral Infraction (DCI)

Salah satu komplikasi yang paling ditakuti adalah DCI yang terjadi pada 30% pasien initial hemoragik dan sebagian besar terjadi antara hari 4 dan 10. Gambaran klinis DCI terdiri dari tanda-tanda neurologis fokal, seperti aphasia dan hemiparesis, atau penurunan tingkat kesadaran secara bertahap dan berfluktuasi. Tanda-tanda DCI kadang kala reversibel namun dapat berkembang menjadi infark serebral yang dapat menyebabkan kecacatan berat atau mengakibatkan kematian (Harsono, 2009).

2.7 Terapi

(51)

tindakan intravaskuler lain. Manajemen yang kedua adalah mengatasi komplikasi yang terjadi dari PSA (Setyopranoto, 2012). Sebelum pengobatan awal PSA dimulai, kondisi pasien harus dipastikan stabil, jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasif terhadap central venous pressure dan/atau pulmonary artery pressure dan juga terhadap tekanan darah arteri harus terus dilakukan. Jika pasien memiliki aspirasi, edema paru neurogenic, GSC rendah perlu intubasi dan ventilasi mekanis disisipkan dirawat

di Intensive Care Unit (ICU) untuk pemantauan kondisi

hemodinamik (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

2.7.1 Tatalaksana umum PSA menurut Guidelines Perdossi, 2011

a) Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H) adalah sebagai berikut :

Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin

Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30° dan nyaman, bila perlu berikan oksigen 2-3 L/menit

Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat kesadaran).

Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor ketat system kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul.

b) Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H, perawatan harus lebih intensif

(52)

Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif

Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial

Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan menyulitkan penilaian status neurologi Manajemen seterusnya adalah mengatasi komplikasi dari PSA yaitu pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya.

2.7.2 Pencegahan perdarahan ulang

(53)

Hunt dan Hess. Tindakan ini merupakan bentuk terapi terpenting untuk mencegah perdarahan ulang (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

Selain itu, bentuk terapi yang lebih tidak invasif adalah mengisi aneurisma dengan metal coils (“coiling”, suatu prosedur yang menjadi bidang neuroradiologi intervensional). Coil dihantarkan dari ujung kateter angiografik khusus, yang dimasukkan secara transfemoral dan didorong hingga mencapai aneurisma. Coiling menghindari perlunya kraniotomi,tetapi mungkin tidak sereliabel obliterasi aneurisma secara permanen. Tindakan endovacular coiling lebih bermanfaat (Perdossi, 2011).

Gambar 2.7 Terapi bedah yang meliputi operasi clipping dan endovascular coiling (Freeman, 2012).

2.7.3 Pencegahan dan pengendalian vasospasme

(54)

meningkatkan volume, mengurangi viskositas sehingga peningkatkan oksigen yang sampai ke jaringan, namun hematokrit harus di atas 30 dan konsentrasi Hb harus dipertahankan di atas 9 gr/dl. Pemberian cairan intravaskular lebih lanjut menjadi tidak berguna bila CVP telah mencapai 8 – 10 mmhg atau tekanan kapiler pulmonal antara 14 – 16 mmHg. Dengan demikian, angka kejadian iskemik serebral akibat vasospasme dapat dikurangi hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping. Pada pasien yang gagal dengan terapi konvensional, angioplasti transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme (Keyrouz, 2007).

2.7.4 Cara lain untuk penatalaksanaan vasospasme mengikut Perdossi 2011

a. Pencegahan vasospasme

i. Nimodipin 60 mg peroral 4 kali sehari

ii. NaCl 3% intravena 50 ml 3 kali sehari (hati-hati terhadap timbulnya komplikasi berupa Central Pontine Myelinolisis (CPM)

iii. Jaga keseimbangan elektrolit

b. Delayed vasospasme

i. Hentikan nimodipin, antihipertensi dan diuretika ii. Berikan 5% albumin 250 ml intravena

iii. Bila memungkinkan lakukan pemasangan Swangans dan usahakan wedge pressure 12-14 mmHg

(55)

2.8 Nimodipin

Gambar 2.8 Struktur kimia nimodipin (Sweetman, 2009)

Nimodipin adalah 1,4-dihydropyridine L-type kalsium channel antagonis yang merupakan lipofilik yang dapat melewati blood brain barrier dan mencegah kemasukan ekstraselluler kalsium ke dalam sel (Nayot et al, 2013). Nimodipin satu-satunya obat antagonis kalsium yang disarankan pada penggunaan PSA dan memiliki efek terbukti dalam mengurangi outcome yang buruk dan delayed serebral iskemic disebabkan oleh vasospasme (Herzfeld, 2014). Nimodipin juga menunjukkan hasil positif sebagai neuroprotektan dalam penelitian uji acak, double-blind dan keberhasilan dengan tingkat keamanan yang serupa dengan plasebo dalam penanganan vasospasme (Yu et al, 2014).

2.8.1 Farmakokinetika

(56)

Nimodipin dieliminasi menjadi bentuk metabolit dan kurang dari 1% ditemukan di urin dalam bentuk utuh (Hardjono, 2008).

2.8.2 Farmakodinamika

Nimodipin milik kelas dari agen farmakologis yang dikenal sebagai calcium channel blockers. Nimodipin diindikasikan untuk perbaikan hasil neurologis dengan mengurangi insiden dan keparahan defisit iskemik pada pasien dengan perdarahan subarakhnoid dari aneurisma pecah yang di baik kondisi neurologis pasca-tekanan ritmik (misalnya, Hunt dan Hess Kelas I-III). Proses kontraktil sel otot polos tergantung pada ion kalsium, yang masuk sel-sel ini selama depolarisasi lambat arus transmembran ionik. Nimodipin menghambat perpindahan ion kalsium ke dalam sel-sel ini dan dengan demikian menghambat kontraksi dari otot polos pembuluh darah. Pada hewan percobaan, nimodipin memiliki efek lebih besar pada arteri serebral dari pada arteri di tempat lain di tubuh karena lipofilitasnya tinggi pada cerebral,yang memungkinkan untuk melintasi penghalang darah otak (Harsono, 2009).

2.8.3 Dosis

(57)

2.8.4 Kontraindikasi

Penggunaan nimodipin bersama rifampicin, fenobarbital, fenitoin atau karbamazepin memberi kesan pada isoenzim sitokrom CYP3A4 yang menjejaskan clearance nimodipin (Katzung, 2011). 2.8.5 Efek Samping

(58)

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Uraian Kerangka Konseptual

Perdarahan subarakhnoid (PSA) merupakan perdarahan arteri di ruang antara dua meningen yaitu piameter dan arakhnoidea. Stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik adalah stroke yang terjadi akibat pecahnya suatu aneurisma pembuluh darah atau malformasi arterio-venosa (MAV) yang ruptur.

Pendarahan di rongga subarakhnoid yang secara berterusan akan menyebabkan sel endotel mengalami apoptosis dan pelepasan

oxyhemoglobin serta mediator-mediator inflamasi (ET-1,

Tromboxane A2 dan Serotonin). Et-1 adalah vasokontriktor yang utama dalam menginduksi terjadinya vasospasme serebral pada pasien PSA. Kematian sel endotel menyebabkan sintesis nitric oxide berkurang dan mempengaruhi keseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator yang bekerja pada dinding pembuluh darah.

Vasospasme serebral merupakan suatu penyempitan pembuluh arteri serebral yang berkepanjanganan, kadang berat, namun bersifat reversible, yang terjadi beberapa hari setelah PSA. Vasospasme serebral merupakan komplikasi yang mayor yang berlanjut sehingga terjadi kematian dan kecacatan dalam PSA. Vasospasme terjadi pada hari ke 3 hingga 4 setelah hemoragik, puncak setelah satu minggu dan umunnya sembuh setelah 2 atau 3 minggu setelah mendapatkan terapi.

(59)

penyempitan arteri yang pada imaging vascular yang mulai terjadi beberapa hari setelah PSA dan mencapai puncak keparahan setelah 1 minggu. Gambaran profil vasospasme yang terjadi dilihat dengan menggunakan serebral DSA untuk mengetahui terjadi vasospasme pada arteri serebral.

Vasospasme klinis merupakan iskemi serebral beserta tanda dan gejala yang disebabkan oleh penyempitan arteri dan disebut sebagai “delayed ischemic neurological deficits”.

(60)
(61)
(62)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian retrospektif dimana pada penelitian ini tidak diberikan perlakuan kepada subjek penelitian dan data yang diamati adalah data perkembangan pasien di masa lampau. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk mendeksripsikan pola penggunaan nimodipin pada pasien dengan pendarahan subarakhnoid non traumatik di Instalasi Rawat Inap SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat Penelitian : Instalasi Rawat Inap Penyakit SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Waktu Penelitian : Mei 2016- Juli 2016 4.3 Subjek Penelitian

(63)

4.3.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien rawat inap dengan hasil pemeriksaan CT scan kepala, CT angiografi / Angiografi serebral dan diagnosis stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik.

2. Pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik yang diberi terapi nimodipin.

4.3.2 Kriteria Ekslusi

1. Pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik yang mendapatkan terapi nimodipin selama satu hari.

2. Pasien rawat inap yang tidak melakukan pemeriksaan CT scan kepala, CT angiografi / Angiografi serebral atau data angiografinya tidak lengkap.

4.3.3 Jumlah Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan adalah seluruh subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi yaitu antara bulan Januari 2015- Desember 2015.

4.4 Variabel penelitian

Variabel bebas : Pemberian nimodipin

Variabel tergantung : Vital sign (blood pressure), status neurologis (Glasgow Coma

Scale) 4.5 Instrumen Penelitian

(64)

4.6 Definisi Operasional

Pasien stroke pendarahan subarakhnoid non taumatik adalah pasien yang mengalami pendarahan di rongga subarakhnoid akibat pecahnya suatu aneurisma pembuluh darah atau malformasi arterio-venosa atau penyebab lain.

Obat yang disebutkan dalam penelitian ini adalah nimodipin untuk terapi pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik selama 21 hari.

Data klinis adalah data yang berhubungan dengan vital sign yang ditunjukkan pasien meliputi blood pressure danstatus neurologis (Glasgow Coma Scale).

Data laboratorium adalah hasil analisis pemeriksaan laboratorium pasien selama di rumah sakit yang meliputi CT scan kepala, gambaran angiografi (CT angiograpfi / Angiografi serebral) yang menghasilkan gambaran x-ray dari bagian dalam pembuluh darah di serebral.

Rute pemberian adalah jalur pemberian nimodipin ke dalam tubuh.

Dosis obat adalah dosis nimodipin yang digunakan dalam pengobatan PSA non traumatik.

Frekuensi pemberian adalah jumlah pengulangan penggunaan obat nimodipin dalam pengobatan PSA non traumatik dalam sehari.

(65)

4.7 Prosedur Pengambilan Data dan Analisis Data

Metode pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap: i. Menelusuri Dokumen Medis Kesehatan (DMK) pada

setiap pasien stroke pendarahan subarakhnoid yang masuk dalam ruang rawat inap SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr.Soetomo.

ii. Dilakukan pemisahan antara data sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

iii. Dari beberapa sampel pasien yang terpilih, dilakukan pemindahan data dari DMK ke lembar pengumpulan data.

iv. Dilakukan rekapitulasi dari data yang didapat berdasarkan:

- Demografi pasien (nama, alamat, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, pekerjaan) - Diagnosa, data laboratorium, dan data klinis pada

hari pasien MRS dan KRS setelah terapi standar. - Terapi nimodipin (dosis, frekuensi pemberian, rute

pemberian, waktu pemberian).

(66)

v. Data yang telah terkumpul diolah dengan uji statistik yang sesuai. Analisis data meliputi:

- Distribusi data dianalisis dengan uji Kolmogorov Smirnov (untuk sampel besar > 50). Normal jika nilai p uji lebih besar dari 0,05. Selanjutnya dilakukan analisis statistik yang sesuai.

(67)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Dr. Soetomo Surabaya dengan mengambil data dari Dokumen Medik Kesehatan Pasien pada periode Januari 2015 sampai dengan Desember 2015 diperoleh subyek penelitian sebanyak 59 pasien. Jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 19 pasien. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan data retrospektif. Hasil pengolahan data dari 19 pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik di RSUD Dr. Soetomo Surabaya disajikan sebagai berikut :

5.1 Data Demografi Pasien

Prevalensi terjadinya stroke PSA non traumatik RSUD Dr. Soetomo Surabaya berdasarkan jenis kelamin diperoleh bahwa persentase pasien perempuan yaitu sejumlah 14 pasien (74%) dan pasien laki – laki sejumlah 5 pasien (26%). Diagram prevalensi terjadinya PSA non traumatik dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut: Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Pasien yang Memenuhi Kriteria

Inklusi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode Januari 2015 - Desember 2015.

(68)

Distribusi usia pada pasien PSA yang berkunjung di Instalasi Rawat Inap SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya bervariasi dengan rentang usia 31-73 tahun. Dari 19 pasien yang memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini jumlah pasien terbanyak adalah pada rentang usia 40-60 tahun yaitu 11 pasien (58%). Distribusi usia sampel pasien penelitian dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut:

Tabel 5.2 Distribusi Usia Pasien yang Memenuhi Kriteria Inklusi di Instalasi Rawat Inap SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode Januari - Desember 2015

Usia (Tahun) Jumlah Presentase

<40 2 11%

40-60 11 58%

≥60 6 32%

Total 19 100%

5.2 Lama Perawatan

Lama perawatan pasien berkisar antara 3 hari sampai dengan 34 hari, data dapat dilihat pada tabel 5.3

Tabel 5.3 Data Pasien berdasarkan lama perawatan di Instalasi Rawat Inap Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo periode Januari sampai dengan Desember 2015 Lama perawatan

(hari) Jumlah pasien Presentase

<10 3 16%

10-21 5 26%

≥21 11 58%

(69)

5.3 Riwayat penyakit terdahulu

Riwayat penyakit sebelumnya yang pernah dialami oleh pasien dalam penelitian adalah diabetes mellitus, hipertensi tidak terkontrol, stroke dan riwayat penyakitnya tidak ada. Berikut adalah data yang diperoleh pasien yang memiliki riwayat penyakit yang disajikan dalam bentuk tabel.

Tabel 5.4 Riwayat Penyakit Pasien Mendapat Terapi Nimodipin

5.4 Penyakit Penyerta

Dari hasil pencatatan diperoleh penyakit penyerta pada pasien PSA non traumatik yang terbesar adalah hipertensi sebanyak 10 pasien diantara 19 pasien, 6 pasien diantara 19 pasien disebabkan oleh aneurisma, 4 diantara 19 pasien memiliki penyakit dislipidemia dan hipokalemia, 2 diantara 19 pasien memiliki penyakit pneumonia, dan 1 diantara 19 pasien memiliki penyakit stroke dan hidrocephalus.

Riwayat Penyakit Jumlah Pasien Persentase Diabetes Mellitus 2 11% Hipertensi 11 58% Stroke 1 5% Tidak Ada 6 32% Total 19 100% Keterangan :

- Pasien dapat mengalami lebih dari 1 macam riwayat penyakit

(70)

Gambar 5.1 Penyakit Penyerta yang terjadi di Instalasi Rawat Inap Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo periode Januari sampai dengan Desember 2015

5.5 Tindakan Operasi Terhadap Pasien

Tindakan operasi yang telah dilakukan pada pasien adalah operasi clipping, coiling, VP Shunt dan sejumlah pasien tidak dilakukan operasi. Diagram prevalensi pasien yang melakukan operasi dapat dilihat ditabel 5.5

Tabel 5.5 Tindakan Operasi yang Telah Dilakukan Pada Pasien PSA Tindakan Operasi Jumlah Pasien Percentage Clipping 1 5%

Coiling 9 47%

VP Shunt 2 11%

Tidak dilakukan operasi 7 37%

Total 19 100%

0 5 10

Ju

m

lah

Pasi

e

n

(71)

5.6 Profil Penggunaan Nimodipin

Pada pasien pendarahan subarakhnoid non traumatik, nimodipin diberikan sepanjang perawatan di rumah sakit dan diberikan melalui rute intervena, dan per oral, namun terdapat pasien yang mendapat penggantian rute pemberian intervena ke per oral atau per oral ke intervena.

Gambar 5.2 Rute Pemberian Nimodipin di Instalasi Rawat Inap SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Periode Januari sampai Desember 2015

0 5 10

3 6

10

Rute Pemberian

IV

Oral

(72)

Regimen dosis nimodipin yang diberikan pada pasien PSA per harinya adalah 60mg dan 50ml.

Tabel 5.6 Regimen Dosis Nimodipin pada Sampel Penelitian

Keterangan:

- Persentase dihitung berdasarkan jumlah total pasien yaitu 19

Pada penelitian ini ditemukan perubahan rute pemberian dan dosis nimodipin pada pasien dan dapat dilihat pada Tabel 5.6.1

Obat Frekuensi Jumlah pasien Presentase (%)

(73)

Tabel 5.6.1 Perubahan Rute dan Dosis Nimodipin Pada Pasien

No DMK Dosis Awal Dosis

Lanjutan

Keterangan

12388xxx 50ml/hari 2x60mg Kondisi px membaik

12390xxx 6x60mg 4x60mg Kondisi px membaik

sehingga dosis

dikurangi

12392xxx 4x60mg 50ml/hari Kondisi px semakin

memburuk sehingga

diganti rute

12398xxx 60ml/hari 4x60mg Kondisi px membaik

12404xxx 4x60mg 60ml/hari

12422xxx 6x60mg 50ml/hari Kondisi akut

10933xxx

(74)

Keterangan :

- Keadaan pasien membaik menunjukkan GCS pasien ke nilai normal

- Kondisi akut menunjukan keadaan pasien semakin memburuk

5.6.1 Data Angiografi Pasien Kelompok Vasospasme Positif dan Kelompok Vasospasme Negatif

Pada pasien stroke PSA non traumatik dilakukan angiografi serebal untuk mengidentifikasi vasospasme. Dari total 59 pasien PSA ditemui 19 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Berikut adalah data yang diperoleh dari sampel yang disajikan dalam bentuk tabel.

(75)

Lanjutan dari tabel 5.7 No Lama Terapi

Nimodipin (Hari)

Gambaran Angiografi (Vasospasme)

Status

12 9 Positif Membaik 13 2 Positif Pulang Paksa 14 9 Negatif Membaik 15 5 Negatif Membaik 16 18 Positif Membaik 17 24 Positif Membaik 18 15 Positif Membaik 19 28 Negatif Membaik Keterangan :

- Vasospasme positif menunjukan terdapat penyempitan pada pembuluh darah serebral

- Vasospasme negative menunjukkan tidak terdapat penyempitan pada pembuluh darah serebral

(76)

Gambar 5.3 Gambaran angiografi yang menunjukan jumlah pasien vasospasme di Instalasi Rawat Inap SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Periode Januari sampai Desember 2015

Pada penelitian ini, outcome terapi penggunaan nimodipin diamati berdasarkan kondisi neurologis (GCS) dan tekanan darah yang terkontrol. Secara umum kondisi neurologis sampel yang mendapatkan terapi nimodipin mengalami perbaikan , namun setelah dianalisis secara statistik, didapati tidak terdapat perbedaan pada outcomenya

5.6.2 Hubungan antara Tekanan Darah Sistole dengan Terapi Nimodipin pada Sampel Penelitian.

Pada hasil uji normalitas pada tekanan darah sistole pasien MRS dan KRS dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov dapat diketahui bahwa nilai signifikan sebesar 0,934 dan 0,367 ( lampiran 3 ) lebih besar dibandingkan α sebesar 0,05 sehingga menujukkan bahwa data pada penelitian ini

58% 42%

Gambaran Angiografi

(77)

berdistribusi normal dan menggunakan analisa statistik yang bersifat parametrik. Maka digunakan analisa parametrik, yaitu Paired t Test.Melalui hasil uji Paired t Test untuk melihat apakah terdapat perbedaan terapi nimodipin yang diberikan terhadap tekanan darah sistole pasien dapat diketahui bahwa nilai p yang dihasilkan sebesar 0,068 lebih besar dibandingkan α sebesar 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaaan signifikan pada tekanan darah sistole pasien KRS dan MRS pada terapi nimodipin.

5.6.3 Efektivitas penggunaan obat nimodipin berdasarkan skala GCS MRS dan KRS pada sampel penelitian

(78)

5.8 Keadaan Pasien saat Keluar Rumah Sakit (KRS)

Dari ke-19 data pasien, untuk keadaan saat keluar rumah sakit dapat dilihat pada tabel 5.8

Tabel 5.8 Keadaan Pasien Saat KRS di Instalasi Rawat Inap SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode Januari sampai dengan Desember 2015.

Keadaan KRS Jumlah

pasien Presentase

Meninggal dunia 2 11%

Pulang paksa 3 16%

Membaik 14 74%

Total 19 100%

(79)

BAB VI PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui studi penggunaan nimodipin pada pasien stroke perdarahan subarakhnoid non traumatik berdasarkan gambaran angiografi. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan mengambil data dari Dokumen Medik Kesehatan (DMK) pasien pada periode Januari 2015 sampai dengan Desember 2015 di Ruang Rekam Medik Pusat, dimana DMK merupakan DMK dari Instalasi Rawat Inap Ilmu Penyakit Saraf RSUD. DR. Soetomo Surabaya. Sampel yang diperoleh yaitu sebanyak 59 pasien dimana yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 19 pasien yang telah diagnosa akhir stroke perdarahan subarakhnoid dengan hasil CT Scan/ CT Angiografi dan yang telah mengambil nimodipin selama perawatan di Instalasi Rawat Inap Ilmu Penyakit Saraf RSUD. DR. Soetomo Surabaya.

Berdasarkan pada tabel dan gambar 5.1, pasien PSA didominasi oleh jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 14 pasien (74%) dan laki-laki sebanyak 5 pasien (26%). Menurut Stroke

Association 2013, prevalensi stroke PSA tahun 2010 pada

perempuan lebih tinggi yaitu 80% dibanding 20% laki-laki. Hal ini karena faktor genetik dan juga faktor resiko penggunaan oral kontrasepsi pada jangka waktu yang lama pada kelamin perempuan, namun dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut. (Gijn et al, 2001).

(80)

kelompok usia 40-60 tahun yaitu 11 pasien (58%). Diantara 19 pasien, terdapat 2 pasien (11%) pada kelompok <40 tahun, 11 pasien (58%) pada kelompok usia 40-60 tahun dan 6 pasien (32%) dengan usia ≥ 60 tahun. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa mayoritas terjadi aneurisma pada pasien PSA adalah kelompok usia 30 ke atas (Connolly et al,2012).

Dari tabel 5.3 dapat dilihat bahwa lama perawatan pasien paling banyak adalah ≥21 hari sebanyak 11 pasien (58%). Sebanyak 5 pasien mendapat perawatan selama 10-21 hari (26%) dan 3 pasien (16%) <10 hari. Lama perawatan pasien stroke PSA ditentukan berdasarkan tingkat kesadaran pasien (GCS), komplikasi penyakit lain yang diderita pasien, dan faktor resiko yang ada pada pasien (Zubir, 2006).

Pada hasil penelitian, diketahui bahwa riwayat penyakit pasien yang tertera pada tabel 5.4 yang paling banyak adalah hipertensi sebanyak 11 pasien (58,%) dari total 19 pasien. Hipertensi sendiri merupakan faktor resiko paling besar yang menyebabkan terjadinya stroke PSA (Llyod-Jones and Donnel, 2004), dimana peningkatan tekanan darah dapat melemahkan arteri-arteri kecil di kranial dan mengakibatkan arteri tersebut kehilangan elastisitasnya dan rentan terjadi cracking dan rapuh (Smith et al., 2005).

(81)

dengan literatur yang menyatakan faktor genetik dan riwayat aneurisma pada lebih dari 2 ahli keluarga (Thompson et al, 2015).

Penyakit penyerta dan diagnosa penyakit lain saat perawatan di rumah sakit pada pasien stroke PSA yang paling banyak adalah hipertensi yaitu sebanyak 10 diantara 19 pasien yang memiliki penyakit hipertensi, 5 diantara 19 pasien memiliki penyakit penyerta aneurisma, 2 pasien dengan dislipidemia, 2 pasien dengan hipokalemia, 1 pasien memiliki pneumonia, 1 pasien memiliki lower respiratory tract infection, 1 pasien memiliki hidrocephalus dan 2 pasien tidak ada penyakit penyerta.

Pada tabel 5.5 menunjukkan tindakan operasi yang telah dilakukan pada pasien PSA. Dari hasil penelitian menunjukkan dari total 19 pasien, 12 pasien telah melakukan tindakan operasi yaitu 9 pasien (47%) telah melakukan operasi coiling, 2 pasien (11%) melakukan operasi VP Shunt dan 1 pasien (5%) dengan operasi clipping. Operasi coiling secara umum direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk penanganan aneurisma otak karena dianggap lebih aman dan nyaman untuk pasien (Bederson et al, 2009). Menurut penelitian Ismail 2012, risiko terjadinya epilepsi lebih rendah pada pasien yang menjalani coiling.

(82)

menyebabkan herniasi, hidrocephalus dan kasus yang tidak dapat diidentifikasi.

Dari hasil penelitian di Instalasi Rawat Inap Dr. Soetomo, didapati pasien yang telah didiagnosa dengan stroke PSA dimulai dengan terapi nimodipin pada awal diagnosa untuk mengurangi resiko komplikasi iskemik dan sebagai profilaksis vasospasme serebral. Nimodipin memiliki mekanisme kerja menghambat perpindahan ion kalsium ke dalam sel-sel dan dengan demikian menghambat kontraksi dari otot polos pembuluh darah (Harsono, 2009). Efek dari penghambatan kontraksi otot polos dapat mengurangi outcome yang buruk dan delayed serebral iskemik disebabkan oleh vasospasme (Herzfeld, 2014).

Regimen dosis nimodipin yang diberikan pada pasien per harinya adalah 60mg setiap 6 jam per oral atau dosis 1-2mg/jam secara intravena selama 21 hari (Perdossi, 2011). Berdasarkan literatur dosis optimum nimodipin untuk pasien PSA adalah 3600mg per hari selama tiga minggu (Heffren et al, 2015). Dalam sehari nimodipin dapat diberikan enam kali sehari. Pemberiannya sehari 6 kali diperlukan karena nimodipin memiliki waktu paruh yang pendek, yaitu 2 jam sehingga dibutuhkan penambahan dosis setiap 4 jam (Harsono, 2009).

(83)

dimulai dengan dosis 1-2mg/jam IV pada hari 3 atau secara oral 60mg setiap 6 jam selama 21 hari. Sedangkan pada penelitian Heffren 2015 disarankan pemberian nimodipin harus dimulai dengan dosis 6x60mg selama 3 minggu. Dari data rekam medik kesehatan, peneliti masih belum dapat melihat signifikansi atau pengaruh pemberian dosis yang kecil maupun yang besar terhadap outcome pada pasien stroke PSA, oleh karena itu masih perlu penelitian lebih lanjut

Pola penggunaan nimodipin selain terjadi perubahan rute juga terjadi perubahan dosis dari dosis awal masuk rumah sakit yang disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya kondisi neurologis. Peningkatan dosis terjadi apabila kondisi neurologis pasien tidak mengalami perkembangan dengan pemberian dosis awal, oleh karena itu, klinisi akan meningkatkan dosis nimodipin atau mengubah rute pemberian agar tercapai kondisi neurologis pasien yang membaik.

Gambar

Gambar 2.2 Jenis Stroke (Ritter, 2015)
Gambar 2.3  Pendarahan Stroke Subarakhnoid (Medicinenet, 2011)
Gambar 2.5 Hasil Ct scan kepala menunjukkan PSA(Wijdicks, 2005)
Table 2.5a Skor Fisher Grading dan modifikasi skor Fisher grading
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Samsudin (2009: 33) menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode demonstrasi dalam pembelajaran menggambar geometri menjadi bentuk gambar, dapat meningkatkan

Aktivnost ili zadatak je radni paket koji predstavlja temeljni blok i najniţu razinu WBS-a pri izradi plana ili mreţe zadataka. Cash Flow Analysis, krat. CFA) je postupak

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Optimasi Formula Self Nano-Emulsifying

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam anova 5 % terdapat interaksi antara dosis pupuk nitrogen urea (N) dan jarak tanam (J) tidak berpengaruh nyata terhadap

APBN yang diserahkan diserahkan kepada daerah dalam rangka kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. pelaksanaan otonomi daerah

AKTIFITAS PUBLIC RELATIONS PADA KOMUNIKASI PEMASARAN PT PLN ( PERSERO) YOGYAKARTA DALAM MEMBERIKAN INFORMASI KEPADAB. PELANGGAN MELALUI

Berkaca dengan melihat kondisi keunggulan daya saing industri roti unyil merek venus tersebut, maka untuk meningkatkan daya saing produk terhadap tingkat

Kajian Sosiologi Sastra ” bertujuan untuk mendeskripsikan kritik sosial dalam lirik lagu band Efek Rumah Kaca, dan juga mendeskripsikan relasi kritik sosial yang