• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

5.3. Keadaan Sarana dan Prasarana Kecamatan Panai Hilir

Sarana dan Prasarana yang terdapat di Kecamatan Panai Hilir tidak jauh berbeda dengan kecamatan wilayah pantai lainnya yang masih serba terbatas bila dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang terdapat di wilayah pedalaman. Kebutuhan air bersih untuk kecamatan Panai Hilir sangat terbatas melihat wilayah ini setiap harinya pasang surut. Masyarakat yang tidak memiliki sumur bor hanya

mengandalkan air hujan sebagai kebutuhan memasak . Sementara pada musim kemarau mereka harus menambah pengeluaran dengan membeli air untuk mendapatkan air bersih. Sebagian rumah tangga nelayan yang tidak mampu hanya pasrah menggunakan air sungai untuk kebutuhan hidup sehari-hari baik mandi, mencuci dan memasak. Agar air yang diperoleh masih bisa dimanfaatkan , pengambilan air sungai dilakukan pada waktu air mulai pasang besar.

Proyek pembangunan air bersih yang diberikan pemerintah tidak menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini tidak lepas dari peran masyarakat yang ketika berjalannya proyek kuran g dilibatkan sehingga masyarakat merasa kurang memiliki proyek pembangunan tersebut. Disamping itu adanya unsur ekonomi pasar yang berlaku terhadap kebutuhan air bersih sehingga masyarakat yang memiliki kekuasaan dan modal menguasai kelas bawah yang tidak memiliki modal. Kondisi ini ditemukan di lokasi penelitian, dimana kebutuhan terhadap air minum merupakan bisnis yang memberi keuntungan besar. Sehingga kelas atas akan semakin kuat dengan adanya ketergantungan kelas bawah. Sementara kelas bawah akan semakin tertekan dan sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.

Sarana prasarana untuk pendidikan khususnya Sekolah Dasar kurang memadai. Beberapa gedung Sekolah Dasar sudah kurang layak untuk digunakan. Dapat ditemukan di lokasi penelitian yang berada di desa Sei Baru terdapat Sekolah Dasar Negeri yang sudah tidak layak huni. Secara rinci sarana prasarana yang terdapat di Kecamatan Panai Hilir dapat di lihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sarana prasarana Kecamatan Panai Hilir

No. Sarana Prasarana Jumlah

1 Sekolah Dasar 22 2 SD Swasta 10 3 SMPN 1 4 SMP Swasta 7 5 SMUN 1 6 SMU Swasta 2 7 Puskesmas 1 8 Puskesmas Pembantu 3 9 Posyandu 34 10 Praktek Dokter 1 11 Pasar 1

12 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) 1

13 Tangkahan Umum 1

Jumlah 85

Sarana dan Prasarana perikanan laut Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tidak berfungsi sama sekali. Proyek pembangunan TPI yang sudah memakan biaya besar tersebut hanya menjadi tempat bermain anak-anak dan tempat nelayan memperbaiki jaring mereka. Nelayan menjual hasil tangkapan mereka di tengah laut dan bila waktu mendarat mereka malam, hasil laut dijual pada pemborong ikan. Pemborong-pemborong ikan biasanya berada di tangkahan -tangkahan.

Sarana telekomunikasi kecamatan Panai Hilir berupa telepon hanya terdapat di ibukota kecamatan yaitu Sei Berombang sedangkan desa lain belum bisa memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa telepon. Sementara untuk sarana jalan raya masih kurang memadai. Jalan raya yang menghubungkan kecamatan Panai Hilir ke Ajamu masih berupa jalan tanah. Apabila musim hujan jalan tersebut tidak bisa dilewati dan tidak jarang pedagang -pedagang ikan mengalami kerugian besar.

Fasilitas penerangan dari Pembangkit Listrik Nasional (PLN) telah terdapat di Kecamatan Panai Hilir. Tersedianya sarana penerangan PLN mendorong berkembangnya perekonomian Kecamatan dari sektor jasa seperti; wartel, mesin cuci cetak photo, photo copy, salon dan sebagainya. Tetapi, tidak semua masyarakat Kecamatan Panai Hilir telah menikmati sarana penerangan yang diberikan oleh Pembangkit Listrik Nasional (PLN) tersebut. Desa Sei Tawar merupakan desa yang belum bisa menikmati jasa PLN, sehingga untuk penerangan desa digunakan mesin diesel yang dikelola oleh masyarakat secara swasta. Demikian pula untuk masyarakat yang masih berada pada garis kemiskinan, meskipun bertempat tinggal di desa yang telah difasilitasi oleh PLN, tidak mampu menikmati fasilitas tersebut. Masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan masih menggunakan bahan bakar minyak tan ah untuk penerangan rumah mereka.

VI. SUMBERDAYA PERIKANAN LAUT

6.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Laut

Sumberdaya perikanan dan laut kecamatan Panai Hilir masih dimanfaatkan hanya untuk satu aktivitas yaitu perikanan tangkap. Aktivitas perikanan tangkap yang dilakukan masyarakat merupakan warisan keluarg a nelayan secara turun-temurun baik pada masyarakat pribumi maupun masyarakat keturunan Tionghoa. Adapun golongan nelayan dengan kepemilikan modal dalam jumlah besar di dominasi oleh keturunan Tionghoa dengan menguasai tangkahan yang merupakan pusat pemasaran ikan hasil tangkapan. Dengan adanya sistem kelembagaan tangkahan, keberadaan TPI di kecamatan Panai Hilir tidak difungsikan. Studi PKSPL (2004) juga menunjukkan bahwa pada wilayah pantai timur dan barat Sumatera kelembagaan tangkahan sudah berkembang dengan baik. Hal ini karena kelembagaan tersebut memiliki kelebihan yaitu; 1) memberikan modal kepada nelayan sebelum beroperasi, 2) informasi dan teknologi penangkapan yang ditawarkan lebih maju, 3) adanya dukungan (backing) aparat keamanan dan 4) jaringan pemasarannya sudah sistematik. Adapun jaringan pemasaran perikanan tangkahan digambarkan pada gambar 3.

Gambar 3 Rantai pemasaran ikan dalam sistem tangkahan Pengecer Ekspor TPI Tangkahan Pedagang lokal Pengecer Konsume n Pedagang besar Rumah makan Pedagang lokal/agen

Sistem kelebagaan tangkahan Panai Hilir yang dikelola oleh pemilik modal dan nelayan besar tidak jauh berbeda dengan apa yang diilustrasikan pada gambar 3. Apabila pemasaran ikan langsung di lakukan ketika aktivitas melaut berlangsung, para pemilik tangkahan mendatangi nelayan ke laut. Dengan adanya penguasaan pasar oleh pemilik modal dan pemilik tangkahan maka surplus ekonomi tetap menguntungkan mereka dengan pihak yang terlibat sementara eksploitasi yang mereka lakukan pada gilirannya meniadakan hak -hak nelayan kecil dan tradisional untuk mengakses sumber daya perikanan Panai Hilir.

Kemudahan pinjaman dengan pengembalian yang sulit oleh tangkahan tersebut di satu sisi merupakan penunjang semakin tingginya tingkat eksploitasi sumber daya perikanan di wilayah tangkap Panai Hilir padahal wilayah tangkap tersebut telah mengalami overfishing . Adapun sektor pengolahan rumahtangga nelayan semakin berkurang, karena nelayan yang memiliki utang terpaksa harus menjual hasil tangkapan segarnya pada pemilik modal atau nelayan besar. Akibatnya pendapatan keluarga mengalami penurunan sementara bila mereka tidak terlilit utang, ikan dapat diolah oleh perempuan dan harga jualnya akan memiliki nilai tambah.

Sektor pariwisata dan budidaya belum terdapat di wilayah pesisir dan laut Panai Hilir. Pemanfaatan wilayah pesisir dan laut Panai Hilir untuk sektor pariwisata perlu di pertimbangkan karena wilayah tersebut memiliki potensi pariwisata untuk dikembangkan. Hal ini terkait dengan wilayah perairan Panai Hilir yang cukup strategis. Namun perlu dilakukan pengkajian dengan ketersediaan potensi sumber daya lainnya. Sementara untuk sektor budidaya, melihat kondisi laut yang sudah oferfishing dan menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (2005) wilayah perairan Selat Malaka merupakan wilayah yang kurang baik untuk dilakukan pengelolaan sektor budidaya.

Penggunaan alat tangkap nelayan Panai Hilir bervariasi mulai dari alat tangkap tradisional sampai alat tangkap yang modern. Secara umum alat tangkap yang digunakan nelayan Panai Hilir dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Jenis dan jumlah alat tangkap nelayan Kecamatan Panai Hilir

No. Jenis alat tangkap Jumlah %

1 Payang (payang) 55 14.3

2 Dogol (Danish Seine) 40 10.4

3 Pukat Cincin (Purse Seine) 10 2.6

4 Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net) 60 15.6 5 Jaring angkat lainnya (Other Lift Net) 60 15.6 6 Pancing lainnya (Other Pole and Line) 119 31 7 Alat pengumpul kerang (Shell Collection Equipment) 40 10.4

Jumlah 384 100

Kabupaten Labuhanbatu dalam Angka 2002

Tabel 8 menunjukkan bahwa 15,6% alat tangkap nelayan menggunakan Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net) dan Jaring angkat lainnya (Other Lift Net). Sementara 31% masih menggunakan pancing lainnya (Other Pole and Line). Selanjutnya Jumlah perahu dan kekuatan mesin yang digunakan nelayan pada Kecamatan Panai Hilir dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah perahu dan kekuatan mesin

No. Uraian Jumlah (%)

Perahu dengan motor

< 5 GT 270 55

5 - 9 GT 145 29

1.

10 - 19 GT 21 4.2

2. Perahu tanpa motor 59 12

Jumlah 495 100

Kabupaten Labuhanbatu dalam Angka 2002

Dari Tabel 9 diketahui bahwa perahu nelayan sebagian besar menggunakan mesin dengan kekuatan lebih kecil dari 5 GT yaitu sebanyak 270 nelayan (55%). Sementara itu masih ditemukan nelayan dengan perahu tanpa motor sebanyak 59 nelayan (12%). Dengan demikian dapat dik atakan bahwa dominan nelayan Kecamatan Panai Hilir telah memiliki armada tangkap perahu dengan motor. Semakin besar kekuatan mesin yang digunakan maka kecepatan perahu akan tinggi dan jarak tangkap bisa lebih jauh. Tetapi di satu sisi dengan semakin jauhnya jarak tangkap maka input yang digunakan akan semakin besar baik modal maupun kapital per trip melaut.

Wilayah tangkap nelayan kecil dengan armada tangkap sampan tanpa motor berada di daerah muara-muara sungai yang terdapat di Panai Hilir dan

sekitar pantai sementara nelayan besar berada di sekitar perairan pantai yang dinamakan Tanjung Bangsih hingga ke perbatasan perairan Malaysia. Jarak dari Tanjung Bangsih ke daratan Malaysia apabila mengendarai perahu bot nelayan hanya menggunakan waktu 6 jam dan dengan speak boat cukup 4 jam. Tetapi dalam aktivitasnya nelayan besar banyak melanggar ketentuan su rat keputusan menteri pertanian No. 392.Kpts.IK.120/4/1999 tentang jalur-jalur penangkapan ikan. Hal ini juga disebabkan karena tidak adanya kejelasan wilayah tangkap yang mengatur zona tangkapan nelayan kecil dengan nelayan besar di Kecamatan Panai Hilir. Sementara masyarakat nelayan secara tidak tertulis dalam aktivitasnya berpedoman pada keputusan tersebut. Adapun pengaturannya adalah (PKSPL, 2004):

Pertama:

a. Jalur-jalur penangkapan I adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yang diukur dari titik terendah pada waktu air surut.

b. Jalur-jalur penangkapan II adalah perairan selebar 4 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan I.

c. Jalur-jalur penangkapan III adalah perairan selebar 5 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan II.

d. Jalur-jalur penangkapan IV adalah perairan di luar jalur penangkapan III. Kedua;

Penggunaan kapal dan alat tangkap pada masing-masing jalur diatur sebagai berikut:

a. Jalur penangkapan I tertutup bagi:

Kapal penangkap ikan bermesin dalam (inboard) berukuran diatas 5 GT atau berkekuatan di atas 10 DK; semua jenis jaring trawl, jaring pukat (purse seine), jaring lingkar (gill net) dan jaring (pukat) di atas 120 meter panjang rentangan (seine nets longer).

b. Jalur penangkapan II tertutup bagi:

Kapal penangkap ikan (inboard) berukuran diatas 25 GT atau berkekuatan diatas 50 DK; jaring trawl dasar berpanel (otter board) yang panjang tali ris atas/bawahnya diatas 12 meter, jaring trawl melayang (pelagic trawl),

jaring trawl yang ditarik 2 kapal (pair trawl) dan pukat cincin yang panjangnya diatas 300 meter.

c. Jalur penangkapan III tertutup bagi;

Kapal penangkap ikan inboard berukuran diatas 100 GT atau berkekuatan diatas 200 DK; jaring trawl dasar dan melayang berpanel (otter board) yang panjang tali ris atas/bawahnya diatas 20 meter, pair trawl dan pukat cincin yang panjangnya diatas 600 meter.

d. Jalur penangkapan IV tertutup bagi; Pair trawl di perairan Samudera Hindia.

Pada tahun 2004 Departemen Kelautan dan Perikanan mengeluarkan kebijakan untuk memperbolehkan nelayan menggunakan alat tangkap jaring trawl, konflikpun tidak terelakkan antara nelayan besar dengan nelayan kecil. Kebijakan tersebut tentunya bertentangan dengan Kepres No. 39 Tahun 1980 yang menyatakan penghapusan jaring trawl. Kebijakan DKP tersebut o leh nelayan besar, merupakan angin segar. Sehingga mereka lebih berkuasa untuk mengeksploitasi perikanan laut dengan menggunakan jenis alat tangkap trawl dan pengoperasiannya pun dilakukan pada wilayah tangkap yang seharusnya hanya dimiliki nelayan kecil. Aktivitas tersebut dilakukan agar jarak tangkap mereka berkurang sehingga biaya yang digunakan juga berkurang. Sementara stok ikan pada wilayah diatas 3 mil sudah berkurang sehingga penghasilan melaut yang diperoleh tidak sebanding dengan pengeluaran nelayan besar. Sementara nelayan kecil dengan keterbatasan alat tangkapnya akan memperoleh hasil tangkapan yang semakin sedikit dengan semakin banyaknya jumlah perahu yang mengekstraksi perikanan laut.

Aktivitas tangkap nelayan dalam memanfaatkan perikanan laut umumnya dilakukan dengan waktu kerja per trip melaut satu hari tetapi untuk nelayan besar, waktu kerja melaut per trip dua hari bahkan ada juga yang sampai satu minggu. Nelayan besar dengan waktu kerja satu minggu per trip memiliki wilayah tangkap yang sudah lebih jauh. Adapun dalam aktivitas tangkap nelayan, tidak ada aturan - aturan tertentu yang membatasi waktu kerja melaut mereka. Tetapi dominan nelayan dalam sebulan hanya menggunakan waktu kerja dua minggu. Hal ini

terkait dengan pasang dan surutnya air laut. Adapun siklus pasang dan surutnya air laut merujuk pada penanggalan arab (Tahun Hijriyah) dimana pasang besar terjadi setiap tanggal 15 dan 30 dapat dilihat pada Tabel 10..

Tabel 10 Siklus pasang surut air laut

No. Tanggal Keterangan

1 16 - 30 air pasang menurun

2 24 - 30 air pasang menaik

3 30 - 7 air pasang menurun

4 8 - 15 air pasang menaik

Sumber: Data Primer 2005

Waktu kerja aktivitas tangkap nelayan Panai Hilir dalam sebulan hanya dilakukan ketika musim air pasang. Apabila aktivitas tangkap dilakukan ketika air pasang mati (air pasang menurun) maka hasil tangkapan yang di peroleh jauh lebih rendah. Karena pada musim tersebut ikan sulit di peroleh. Adapun waktu pasang dan surutnya air laut setiap hari ditentukan oleh saat pasang misalnya pada hari Senin air laut pasang jam 04.00 WIB maka pasang sorenya juga jam 16.00 WIB selanjutnya untuk mulai pasang hari Selasa dimulai jam 05.00 WIB.

Kelembagaan masyarakat nelayan secara adat sejak dahulu tidak ada, baik dalam hal pembagian hasil maupun upaya-upaya perlindungan terhadap kelestarian produksi perikanana seperti pelarangan secara tegas waktu kerja melaut pada hari-hari tertentu. Sehingga tidak ada aturan-aturan yang bisa menjaga perikanan laut terlepas dari eksternalitas Tetapi pada desa Sei Baru terdapat organisasi non formal Pilar Perjuangan Nelayan yang berdiri pada tahun 2001, merupakan wadah komunikasi dan pemersatu nelayan kecil yang berupaya untuk meminimalisir pemakaian alat tangkap trawl.

6.2. Karakteristik Rumahtangga Nelayan Sampel

Hasil pengumpulan data primer dari 96 rumahtangga yang dijadikan sampel dapat dikelompokkan berdasarkan jenis usaha terdiri dari nelayan buruh, nelayan pengolah dan nelayan tidak pengolah. Secara rinci proporsi dari tiap status usaha perikanan rumah tangga nelayan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Status usaha perikanan nelayan

No. Keterangan Jumlah Rumahtangga Persentase (%)

1 Nelayan buruh 13 14

2 Nelayan pengolah 28 29

3 Nelayan tidak pengolah 55 57

4 Rumahtangga khusus pengolah 0 0

Jumlah 96 100

Sumber: Data Primer 2005

Nelayan buruh adalah nelayan yang tidak memiliki sarana dan prasarana produksi, memiliki hak-hak yang sangat terbatas dengan bermodal tenaga. Nelayan buruh berjumlah 13 rumah tangga (14%) yang bekerja pada nelayan pemilik pribumi dan keturunan Tionghoa. Nelayan buruh yang bekerja pada pemilik modal pribumi dan pemilik modal keturunan Tionghoa memiliki perbedaan baik dalam sistem pembagian upah dan kerja melaut. Adapun sistem upah pada nelayan buruh yang bekerja pada pemilik modal pribumi ditentukan oleh perolehan hasil tangkapan tiap trip melaut, apabila jumlah hasil tangkapan banyak maka upah melaut akan besar dan sebaliknya sementara resiko melaut seperti jaring yang rusak, perahu yang bocor sama-sama diperbaiki oleh pemilik dan buruh. Sedangkan pada nelayan buruh yang bekerja pada pemilik modal keturunan Tionghoa, upah yang diterima tidak tergantung pada perolahan hasil tangkapan tetapi telah di tentukan Rp. 30.000 – 50.000 dan buruh juga tidak memiliki tambahan kerja apabila terdapat kerusakan pada alat alat tangkap dan armada tangkap.

Nelayan pengolah adalah nelayan yang tidak menjual hasil tangkapannya dalam bentuk segar tetapi dalam bentuk hasil olahan seperti ikan asin, udang kering, remis dan sebagainya. Nelayan pengolah terdiri dari 28 rumah tangga (29%) yang berdomisili di desa Sei Berombang dan Sei Sakat. Nelayan pengolah yang berdomisili di desa Sei Berombang umumnya mengolah udang kering dan

ikan asin sementara nelayan pengolah yang berdomisili di desa Sei Sakat umumnya mengolah remis. Hasil tangkapan segar seperti udang di rebus di laut ketika aktivitas melaut berlangsung karena perebusan udang yang masih segar akan menghasilkan rasa udang kering yang lebih enak. Sedangkan remis perebusannya dilakukan setelah di darat karena waktu perebusan remis lebih lama dari udang dan juga terdapat perbedaan perlakuan dalam pengolahannya.

Nelayan yang tidak melakukan pengolahan terdiri dari 55 rumah tangga (57%). Hasil tangkapan nelayan yang tidak melakukan pengolahan ikan langsung di pasarkan dalam bentuk segar. Pemasaran ikan hasil tangkapan dilakukan di tengah laut dimana pemborong-pemborong langsung mendatangi perahu -perahu nelayan seiring berlangsungnya aktivitas menangkap ikan.

Kepemilikan armada tangkap rumahtangga nelayan, terdiri dari 3 jenis yaitu; perahu motor, sampan motor dan sampan dayung. Secara rinci kepemilikan armada tangkap nelayan dapat di lihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Kepemilikan armada tangkap

No. Keterangan Jumlah

1. Nelayan pemilik perahu motor 22

2. Nelayan pemilik sampan motor 32

3. Nelayan pemilik sampan dayung 10

Jumlah 64

Sumber: Data Primer 2005

Hasil tangkapan yang semakin berkuran g memotivasi nelayan untuk berusaha memiliki armada tangkap meskipun dengan sampan dayung. Hal ini terkait dengan sistem bagi hasil setiap melaut sangat ditentukan oleh hasil tangkapan yang diperoleh. Sehingga apabila hasil tangkapan yang diperoleh sedikit, baik nelayan pemilik maupun nelayan buruh akan memperoleh pendapatan yang kecil. Selanjutnya terdapat 19 rumah tangga nelayan tidak memiliki armada tangkap tetapi melakukan aktivitas melaut sebagai mata pencaharian pokok mereka. Adapun 19 nelayan tersebut menyewa armada tangkap yang mengantar nelayan ke lokasi penangkapan ikan, sedangkan alat tangkap disediakan oleh masing-masing nelayan. Biasanya dalam satu perahu motor terdapat 6 – 8 nelayan dan alat tangkap yang mereka gunakan juga sama yaitu Dupi. Alat tangkap tersebut sangat sederhana dan biasanya digunakan di daerah penangkapan yang di sebut Boting.

6.2.1. Tingkat Pendidikan

Pendidikan khususnya pendidikan formal, merupakan modal yang sangat berperan untuk mendapatkan kehidupan ekonomi lebih baik. Pendidikan juga sangat mempengaruhi pola kehidupan pada setiap individu, baik cara berfikir dan bersikap. Dalam penelitian ini perlu melihat sebaran tingkat pendidikan dari pasangan suami istri dan seluruh anggota rumah tangga. Adapun anggota rumah tangga yang di nilai adalah laki-laki dan perempuan yang merupakan tenaga kerja produktif pada rumah tangga nelayan yaitu memiliki umur di atas 17 tahun.

Tabel 13 Tingkat pendidikan pasangan suami istri

No. Tingkat pendidikan Kepala rumah tangga (suami) % Ibu rumah tangga (istri) % 1 Tidak bersekolah 16 17 22 23 2 SD 68 71 60 62 3 SMP 10 10 12 13 4 SMA 2 2 2 2 Jumlah 96 100 96 100

Sumber: Data Primer 2005

Tingkat pendidikan yang dimiliki pasangan suami istri berv ariasi mulai dari tidak tamat SD sampai tingkat tamat SMA atau sederajat. Pada Tabel 13 diketahui bahwa masih ada responden yang tidak bersekolah dimana untuk kepala rumah tangga terdapat 16 orang (17%) dan ibu rumah tangga 22 orang (23%). Adapun sebagian besar tingkat pendidikan pasangan suami istri dalam rumah tangga nelayan adalah Sekolah Dasar (SD). Sementara untuk tingkat pendidikan SMA hanya dimiliki masing-masing 2 orang. Dengan demikian dapat dikatakan tingkat pendidikan rumah tangga nelayan dilihat dari aspek pendidikan pasangan suami istri masih rendah. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 1.

Tabel 14 Sebaran tingkat pendidikan anggota rumah tangga nelayan yang berumur di atas 17 tahun.

No. Tingkat pendidikan Laki-laki (%) Perempuan (%)

1 Tidak bersekolah 14 10 19 17

2 SD 100 68 71 63

3 SMP/Sederajat 23 16 16 14

4 SMA/Sederajat 9 6 7 7

Jumlah 146 100 113 100

Sumber: Data Primer 2005

Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar anggota rumah tangga yang berumur di atas 17 tahun baik laki-laki dan perempuan dominan memiliki tingkat

pendidikan Sekolah Dasar (SD). Adapun jumlah laki-laki berpendidikan SD 100 orang (68%) dan perempuan 71 orang (63%). Tingkat pendidikan formal yang rendah, secara umum disebabkan faktor ekonomi rumahtangga nelayan yang lemah dan lingkungan tempat tinggal yang kurang mendukung. Fenomena kehidupan nelayan yang sangat bergantung dengan alam, secara tidak langsung mempengaruhi pendidikan anak-anak nelayan. Ketika musim ikan, anak -anak laki-laki lebih memilih ikut melaut daripada berangkat sekolah dan ketika musim ikan habis anak tidak mau lagi meneruskan sekolah . Sementara orang tua tidak terlalu memperdulikan dampak akhir keterlibatan anak melaut karena tekanan ekonomi keluarga. Ironisnya, budaya menabung ketikan musim ikan tidak menjadi bagian hidup mereka. Sehingga ketika musim paceklik ikan banyak anak yang putus sekolah.

Pada anak perempuan, tekanan ekonomi keluarga menyebabkan mereka banyak yang berhenti sekolah dan waktu mereka digunakan untuk membantu orang tua di rumah. Adapula yang bekerja sebagai tukang cuci, pembantu rumahtangga, kerja gudang dan mencari siput ke hutan bakau. Selanjutnya, tekanan ekonomi juga berdampak pada lingkungan setempat yang kurang memperhatikan pergaulan anak-anak muda. Sehingga berdampak pada berkurangnya motivasi dan minat anak -anak nelayan untuk berusaha memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.

6.2.2 Jumlah Anggota Rumahtangga

Rata-rata jumlah anggota sampel rumahtangga Kecamatan Panai Hilir 5,8 orang atau dikatakan 6 orang per rumahtangga dengan kisaran 2 sampai 11 orang dalam 1 keluarga (Lampiran 1). Jumlah anggota rumah tangga yang berv ariasi tersebut dapat dikategorikan sebagaimana yang terdapat pada Tabel 15.

Tabel 15 Kategori tingkat jumlah anggota rumahtangga nelayan

Uraian Jumlah %

Jumlah anggota rumahtangga Besar > 7 orang Sedang 5 - 6 orang Kecil < 4 orang 32 38 26 33 40 27

Berdasarkan Tabel 15 diketahui rumahtangga nelayan yang tergolong pada keluarga besar adalah 32 sampel (33%), sedang 38 sampel (40%) dan selebihnya kecil 26 sampel (27%). Dengan demikian dominan rumahtangga nelayan sampel memiliki 5 – 11 orang anggora. Jumlah anggota rumahtangga tentunya akan berimplikasi dengan jumlah pengeluaran keluarga dimana setiap rumahtangga nelayan akan berusaha untuk mendapat perolehan hasil tangkapan banyak agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Di satu sisi, jumlah anggota rumahtangga yang besar merupakan potensi bagi rumahtangga nelayan untuk bisa memperoleh pendapatan dengan pola pencarian nafkah yang berbeda-beda.

Adapun rumahtangga nelayan yang tergolong pada keluarga kecil

Dokumen terkait