• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PAJAK PENGHASILAN

C. Keadilan Dalam Perpajakan

Semua sistem perpajakan pada hakikatnya tidak terlepas dari sasaran pemungutan pajak itu sendiri, yaitu pengalihan penguasaan sumber dana dari sektor swasta ke pemerintah sepanjang tidak membahayakan dan malahan harus mampu memberikan kemudahan untuk mencapai sasaran-sasaran ekonomi lainnya.

Dalam masyarakat yang modern, perpajakan bersama dengan instrumen kebijakan pemerintah lainnya, juga merupakan sarana untuk mencapai suatu standar ekonomi seperti stabilitas harga, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Untuk itu maka suatu sistem perpajakan hendaknya berlandaskan kepada prinsip-prinsip dasar atau asas-asas yang sudah mapan.

Prinsip perpajakan yang harus ditegakkan dalam membangun sistem perpajakan menurut Adam Smith dalam bukunyaWealth of Nationsterdiri dari empat prinsip yang disebut denganThe Four Cannons of Taxation (four maxims)yaitu :

a. Equality(persamaan)

Bahwa setiap warga Negara atau Wajib Pajak (WP) tiap Negara harus memberikan sumbangannya kepada Negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, sesuai dengan keuntungan dan perlindungan yang mereka terima dari Negara. Negara tidak boleh mengadakan diskriminasi di antara Wajib Pajak (WP).

b. Certainty(kepastian)

Wajib Pajak (WP) harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah dan cara pembayaran pajak. Kepastian hukum disini dengan dipentingkan terutama mengenai subjek dan objek pajak.

c. Convenience of payment(menyenangkan)

Pajak seharusnya dipungut pada waktunya dengan cara yang paling menyenangkan bagi para Wajib Pajak (WP). Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak,yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.

d. Low cost of collections.

Biaya pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat mungkin,jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri, karena tidak ada artinya pemungutan

pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.111

Sebagaimana tujuan hukum pada umumnya, hukum pajak bertujuan untuk mendorong adanya keadilan dalam pemungutan pajak yang dilakukan secara umum dan merata. Prinsip tersebut mengawali setiap proses penyusunan perangkat perundang-undangan perpajakan maupun dalam implementasinya. Prinsip umum dan merata ini merupakan parameter dari aspek keadilan dalam pemungutan pajak.112

Keadilan (equity) merupakan salah satu asas yang sering kali menjadi pertimbangan penting dalam memilih policy option yang ada dalam membangun sistem perpajakan. Suatu sistem perpajakan dapat berhasil apabila masyarakatnya merasa yakin bahwa pajak-pajak dipungut pemerintah telah dikenakan secara adil dan setiap orang membayar sesuai dengan bagiannya.113

Asas equity (keadilan) mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari Negara. Namun, meskipun diakui bahwa prinsip keadilan merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan, namun terdapat berbagai pendapat dalam upaya mengimplementasikannya.

111Nuruddin Mhd.Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal,(Jakarta:PT.

RajaGrafindo Persada,2006),hal.98-99.

112

Widi Widodo dan Dedy Djefris,Tax Payer’s Rights, Apa yang Perlu Kita Ketahui Tentang Hak-Hak Wajib Pajak, (Bandung:Alfabeta,2008), hal.15.

113 Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan dan

Permasalahan tersebut timbul karena dalam mengimplementasikan asas equity, terdapat dua pendekatan, yaitu Benefit Received Principles dan The Ability To Pay Principle.Karena adanya keterbatasan dalam penerapan Benefit Received Principles, maka konsep The Ability To Pay Principle menjadi alternatif yang terus menerus dikembangkan.

Konsep The Ability To Pay Principle itu sendiri masih mempunyai tiga alternatif dalam penerapannya yaitu :

a. Kemampuan yang dimiliki pada suatu saat yang disebut kekayaan, apabila alternatif ini yang dipilih maka pajak yang dipungut disebut Pajak Kekayaan atau Nett Wealth Tax.

b. Tambahan kemampuan yang didapat orang tersebut selama jangka waktu tertentu, misalnya selama satu tahun, apabila alternatif ini yang dipilih maka disebut Pajak Penghasilan atau Income Tax. c. Kemampuan yang benar-benar dipakai untuk membeli barang dan

jasa untuk pemenuhan hidupnya; apabila alternatif ini yang dipakai, pajak itu disebut Pajak Konsumsi Pribadi atau Personal Consumption Tax.114

Terdapat beberapa konsep dasar pemajakan yaitu : a. Adil dan wajar

Di dalam pemungutan Pajak Penghasilan, dikenal dua jenis keadilan dalam prinsip persamaan perlakuan (equity) yang terdiri dari :

a.1.Horizontal Equity

Suatu pemungutan pajak dikatakan memenuhi keadilan horizontal apabila wajib pajak yang berada dalam “kondisi” yang sama diperlakukan sama (equal treatment for the equals). Atau dengan kata lain bahwa semua orang yang mempunyai kemampuan ekonomi atau mendapatkan tambahan kemampuan ekonomi yang sama harus dikenakan pajak yang sama.

a.2.Vertical Equity

Asas keadilan vertikal terpenuhi apabila Wajib Pajak yang mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda diperlakukan tidak sama. Atau dengan kata lain semakin besar kemampuan untuk membayar pajak maka harus semakin besar tarif pajak yang dikenakan.115

Dalam pengertian tersebut di atas maka keadilan horizontal menyangkut cakupan pengertian penghasilan sedangkan keadilan vertikal berkenaan dengan struktur tarif pajak.

Didalam Undang-Undang Dasar 1945116 mengatur bahwa segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan Undang-Undang. Pengaturan ini bertujuan

115

Ibid., hal.161-162.

bahwa adanya jaminan hukum untuk Negara dan Wajib Pajak dalam penyelenggaraan pemungutan pajak.

b. Pasti dan sederhana

Prinsip keadilan sangat penting dalam suatu perpajakan, karena akan memberikan jaminan kepada setiap orang untuk tidak ragu-ragu dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pemungutan pajak, maka sistem perpajakan harus diatur dengan perangkat perundang-undangan. Sementara kesederhanaan dalam administrasi perpajakan dibutuhkan karena Wajib Pajak akan cenderung mamatuhi ketentuan pajak yang mudah diikuti dan dipahami.

c. Efisien

Administrasi perpajakan dapat dikatakan efisien apabila pencapaian penerimaan pajak dilakukan dengan pengorbanan yang optimal. Agar hal tersebut dapat dicapai, diantara perlu :

1. Sarana dan prasarana, termasuk teknologi yang memadai 2. Dana atau anggaran yang tersedia cukup

3. Sumber daya manusia yang dapat diandalkan 4. Dukungan politis dari pemerintah dan legislatif 5. Motivasi serta komitmen semua pihak

d. Netral

Perlakuan pajak yang sifatnya netral, menurut International Tax Glossary adalah pemajakan yang tidak akan berpengaruh atas lokasi sumber-sumber.117

Didalam melaksanakan keadilan dalam pajak, khususnya pada Pajak Penghasilan. Salah satu pelaksanaannya dapat dilihat bahwa bukan hanya zakat saja yang dikecualikan sebagai objek pajak tetapi sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia. Hal ini dapat dilihat didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa yang dikecualikan dari objek pajak adalah bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.118 Juga terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009, tentang Bantuan atau Sumbangan Termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak

117Widi Widodo dan Dedy Djefris,Op. Cit., hal.36-39.

118Pasal 4 ayat(3) huruf a angka 1, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak

Penghasilan Pasal 1 menyatakan bahwa bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak- pihak yang bersangkutan. Pada pasal 3 menyatakan bahwa sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan penerima sumbangan yang berhak.

Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indoesia, juga diposisikan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak pada Pajak Penghasilan yang terdapat dalam SPT Tahunan Wajib Pajak perorangan maupun badan. Hal ini diatur di dalam Pasal 1 ayat(1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, adalah :

“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi :

a. Zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah , atau

b. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

Mengenai tata cara pelaksaan pembayaran dan pembuatan bukti pembayaran sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak pada Pajak Penghasilan diatur pada peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2011 pasal 1 huruf b yaitu zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah. Serta tentang kriteria bukti pembayaran tersebut diatur pada ayat(2), dan pada Pasal 3 menyebutkan bahwa zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila ;

a. Tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat, lembaga amil zakat atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau

b. Bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat(2).

Mengenai badan/lembaga yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah yang ditetapkan sebagai penerima sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 yaitu :

1. Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Nomor DJ.III/KEP/HK.00.5/290/2011 tanggal 15 Juli 2011.

2. Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Nomor 43 Tahun 2011 tanggal 15 Maret 2012.

D. Aspek Keadilan Pada Zakat Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan.

Dokumen terkait