BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
2. Keahlian Auditor
Auditor senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan formal yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman dan selanjutnya diperdalam selama praktik audit.
Literatur psikologi menunjukan bahwa pengetahuan spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan keahlian (Ashton, 1991; Chou dan Trothman, 1991; dan Tubs, 1992) dalam Murtini & Edi W (2003). Murtanto dan Gudono (1999) dalam
Darwito (2006). Mendefinisikan keahlian diukur dengan memasukan unsur kinerja, seperti kemampuan (ability), pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience).
Menurut Djuni Farhan dan Abdul Halim (2004) dalam Sucipto (2007) faktor yang berpengaruh pada pengalaman auditor adalah:
a. Lama bekerja b. Posisi akuntan c. Hirarki profesi d. Jenjang pendidikan e. Aktivitas profesi.
Murtanto dan Gudono (1999) dalam Sucipto (2007) telah mengidentifikasi 29 karateristik yang berperan dalam membentuk keahlian audit, lima karakteristik yang paling penting dalam membentuk suatu keahlian audit tersebut adalah:
a. Pengetahuan umum dan khusus b. Komunikatif
c. Tidak mudah putus asa dan percaya diri d. Bertanggungjawab
e. Berpengalaman
Dalam penelitiannya Darwito (2006) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi keahlian auditor yaitu pengetahuan kognitif, psikologi dan strategi dalam pengambilan keputusan.
Menurut Tan dan Libby (1997) dalam Sulistiyowati (2003), seorang auditor minimal harus memiliki keahlian audit yang secara garis besar dikelompokan menjadi dua yaitu:
a. Keahlian teknis
Keahlian teknis adalah kemampuan mendasar seorang auditor berupa pengetahuan prosedural dan kemampuan klerikal lainnya dalam lingkup akuntansi secara umum dan auditing.
Yang termasuk keahlian teknis adalah :
(1) Komponen pengetahuan dengan faktor-faktornya yang meliputi pengetahuan umum dan khusus berpengalaman, mendapat informasi yang cukup dan relevan, selalu berusaha untuk tahu, dan mempunyai visi.
(2) Analisis tugas yang mencakup ketelitian, tegas, profesional dalam tugas, keterampilan teknis. Menggunakan metode analisis, kecermatan, loyalitas dan idealisme.
b. Keahlian non teknis.
Keahlian non teknis merupakan kemampuan dalam diri seorang auditor yang baik, dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan pengalaman. Menurut Rasuli (2000) dalam Sulistiyowati (2003) keahlian non teknis meliputi:
(1) Ciri-ciri psikologis yang meliputi rasa percaya diri, tanggung jawab, ketekunan, ulet dan enerjik, cerdik dan kreatif, kemampuan beradaptasi, kejujuran, dan kecekatan.
(2) Kemampuan berpikir yang analitis dan logis, cerdas, tanggap dan berusaha menyelesaikan masalah, berpikir cepat dan terperinci.
(3) Strategi penentuan keputusan yang mencakup independen, objektif dan memiliki integritas.
Hasil penelitian Murtanto dan Gudono (1999) dalam Darwito (2006) menunjukan bahwa komponen keahlian untuk auditor di Indonesia terdiri atas:
a. Komponen Pengetahuan, yang merupakan komponen penting dalam suatu keahlian. Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur dan pengalaman.
b. Ciri-ciri psikologis, seperti kemampuan berkomunikasi, kreativitas, kemampuan bekerjasama dengan orang lain.
Menurut Abdolmuhammadi (1999) dalam penelitian Lehmann dan Norman (2006) dalam Sucipto (2007) terdapat tiga kelompok akuntan pemeriksa yang diklasifikasikan menurut tingkat pengalamannya:
Novice Group : Meliputi Mahasiswa dan staf yang mempunyai pengalaman kurang dari 12 bulan.
Mid-Level Experiance Group : Meliputi staf senior yang mempunyai
pengalaman antara 12 bulan sampai
Experiance Group : Meliputi Partner dan Manager yang
mempunyai pengalaman lebih dari
72 bulan.
Menurut Raharjo (1998) dalam Sucipto (2007) Pengetahuan auditor yang berkaitan dengan pemeriksaan atau audit adalah:
a. Pengetahuan jenis-jenis dokumen dalam operasi dalam perusahaan dan alur dokumen dalam operasi perusahaan
b. Pengetahuan atas berbagai indikasi terjadinya kekeliruan dan kecurangan dan kemampuan auditor untuk mengetahui sisi psikologis.
Menurut Sri Sularso dan Ainun Na’im (1999) dalam Sucipto (2007) faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi perkembangan pengetahuan akuntan pemeriksa adalah:
a. Pengalaman Audit
b. Diskusi mengenai audit dengan rekan kerja
c. Pengawasan dan review oleh akuntan pemeriksa/pengawas d. Program pelatihan
e. Tindak lanjut perencanaan audit f. Penggunaan pedoman audit.
Disamping faktor-faktor tersebut menurut Libby dan Luft (1993) dalam penelitian Thomas, Davis dan Seaman (1998) dalam Sucipto (2007), partisipasi dalam continuing profesional education (CPE) atau pendidikan edukasi berkelanjutan (PPL) juga dapat meningkatkan
pengetahuan seorang auditor dalam menjalankan tugas pengauditannya. Dalam penelitian tersebut ternyata continuing profesional education (CPE) atau pendidikan edukasi berkelanjutan (PPL) terbukti dapat meningkatkan pengetahuan seorang auditor yang kemudian berdampak pada keahlian dan performance auditor tersebut.
Menurut Hartadi (2004) dalam Sucipto (2007), pengalaman yang dimiliki oleh akuntan pemeriksa yang mendukung kemampuannya untuk melakukan audit atau pemeriksaan adalah:
a. Pengalaman atas penanganan berbagai bentuk kecurangan dan kekeliruan secara menyeluruh. Hal tersebut membuka peluang semakin besar bahwa pihak auditor akan mudah mengidentifikasi berbagai bentuk kekeliruan dan kecurangan dalam laporan keuangan.
b. Pengalaman atas pengidentifikasian berbagai bentuk kekeliruan yang terjadi dalam laporan keuangan, dengan adanya pengalaman tersebut maka auditor akan tahu berbagai bentuk kecurangan yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan.
c. Pengalaman dalam melakukan analisa alur dokumen operasi perusahaan. Hal ini akan semakin memperlancar pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor dan mempercepat proses pemeriksaan laporan keuangan perusahaan.
Standar Profesional Akuntan Publik Tentang Keahlian Auditor
Kompetensi mengenai keahlian auditor, telah diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yaitu standar umum seksi 210 yang mengatur tentang Pelatihan dan Keahlian Auditor Independen. Seksi ini terdiri dari tiga bagian yaitu:
1. Standar Umum Pertama,
01 Standar umum pertama berbunyi:
”Audit harus dilakukan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor”
02 Standar umum pertama menegaskan bahwa betapapun tingginya kemampuan seseorang dalam bidang lain, termasuk dalam bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang dimaksudkan dalam standar auditing ini, jika ia tidak memiliki pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing.
2. Pelatihan dan Keahlian Auditor Independen 3. Tanggal Berlaku Efektif
Fraud Auditor
Auditor yang sudah terlatih dalam bidang audit mempunyai potensi untuk menjadi fraud auditor. Di Amerika Serikat, untuk menjadi seorang pemeriksa
fraud seseorang diharuskan menempuh pendidikan yang memenuhi syarat. Mereka mendapatkan pelatihan khusus di bidang pendeteksian, pengusutan/penyidikan, dan pencegahan terhadap fraud dan kejahatan kerah putih. Setiap anggota asosiasi, diharapkan dapat menjadi seorang Pemeriksa
Fraud Bersertifikat (Certified Fraud Examiners), yang memperoleh sertifikat setelah melalui proses aplikasi yang ekstensif (luas) dan lulus ujian CFE yang seragam.
Keanggotaan asosiasi CFE terbuka bagi semua orang yang bermoral tinggi dengan syarat profesional yang berkepentingan, berpendidikan, atau berpengalaman di bidang pemeriksaan fraud. Para CFE tersebut berasal dari berbagai profesi, termasuk auditor, Akuntan, penyidik fraud, spesialis pencegah kerugian, aparat penegak hukum, jasa/penuntut, manajer dan para eksekutif, pengacara, ahli kriminologi, akademisi dan pelajar, serta konsultan anti fraud. Lingkup kerja CFE meliputi perolehan/penggalian bukti, memeriksa rekening atau laporan keuangan, menyusun laporan, dan turut membantu proses penyelidikan dalam berbagai bentuk.
Menurut Regar (1998) dalam Sulistiyowati (2003), seorang fraud auditor
harus memiliki ciri-ciri khusus, antara lain sikap ingin tahu (curiosity), curiga pofesional (professional skepticism), ketangguhan (persistence), kreativitas
(creativity), kepercayaan (conpidence) dan pertimbangan profesional (professional judgement).
Menurut Tunggal dan Tunggal (2000) dalam Sulistiyowati (2003), seorang
fraud auditor yang efektif harus memiliki kemampuan dan pengetahuan pada tingkat tertentu, dan berbagai perspektif berikut:
• Manusia dan individu
• Organisasi, budaya, dan motivasi
• Ekonomi/kompetitif
• Sosial
• Peraturan, hukum, dan bukti (bagaimana cara melihat, mendeteksi dan mendokumentasikan kecurangan yang terjadi)
• Pengawasan akuntansi, audit dan internal (kapan, di mana, dan bagaimana kecurangan yang paling mungkin terjadi dalam akuntansi dan laporan keuangan)
Menurut Tunggal dan Tunggal (2000) dalam Sulistiyowati (2003), seorang fraud auditor yang efektif harus mampu secara kompeten:
• Melakukan suatu tinjauan pengendalian intern.
• Menilai kekuatan dan kelemahan pengendalian intern.
• Merencanakan sekenario kerugian kecurangaan yang mungkin terjadi berdasarkan kelemahan-kelemahan yang diidentifikasi dalam pengendalian itern.
• Mengenali keadaan-keadaan yang bisa di pertanyakan dan diperkecualikan dalam neraca akuntansi.
• Mengenali transaksi-transaksi yang bisa dipertanyakan dan diperkeculikan (terlalu tinggi, terlalau rendah, terlalau sering, terlalau jarang, terlalu banyak, terlalau kecil, waktu yang janggal, tempat yang janggal, orang yang janggal)
• Membedakan antara kesalahan manusia sederhana dan kelalaian dalam catatan yang curang.
• Mengikuti aliaran dana masuk dan keluar akuntansi dalam perusahaan.
• Mencari dokumen pendukung mendasar untuk transaksi-tranasaksi yang biasa dipertanyakan.
• Meninjau dokemen-dokumen tersebut dari segi keanehannya, misalnya jumlah yang dinaikkan, pemalsuan, penjiplakan, rekening palsu, pembuatan faktur klaim, penghancuran data, klasifikasi akuntansi yang tidak cocok, ketidakteraturan dalam rangkaian, kuantitas, penetapan harga, penambahan atau perluasan, serta penggantian salinan-salinan untuk dokumen asli.
• Mengumpulkan dan menyimpan bukti untuk memastikan kerugian asset, transaksi-transaksi curang, dan laporan-laporan keuangan.
• Mendokumentasikan dan melaporkan suatu kerugian karena klaim-klain kejahatan atau asuransi.
• Mengetahui kebijakan-kebijakan manajeman, administratif dan organisasi, prosedur dan praktik-praktik.
• Meninjau motifasi dan iklim etis organisasi.
3. Pemeriksaan Kecurangan (Fraud Auditing)