• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

3. Pemeriksaan Kecurangan ( Fraud Auditing )

Pengertian kecurangan (fraud) menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Tuanakota (2006) yaitu:

a. Pasal 362: Pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”)

b. Pasal 368: Pemerasan dan Pengancaman (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun penghapusan piutang.

c. Pasal 372: Penggelapan (definisi KUHP: “dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan”)

dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang”);

e. Pasal 396: Merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit.

f. Pasal 406: Menghancurkan atau merusakkan barang (definisi KUHP: “dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan, merusakan, membuat tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain”).

Tindakan yang Temasuk Kategori Kecurangan (Fraud) menurut Simon (1995) dalam Prasetyawati (2003) dalam Darwito (2006), mengemukakan beberapa hal yang termasuk kedalam kategori kecurangan (fraud), yaitu:

a. Suap (bribery) adalah memberi, menerima, menawarkan atau meminta “sesuatu” untuk mempengaruhi pegawai pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, atau agar melalaikan pelaksanaan tugas-tugasnya yang sah secara hukum. Mempengaruhi atau meminta suatu jabatan atau berkolusi untuk melakukan suatu jenis kecurangan. Suap dalam bisnis (commercial bribery) adalah memberi, menerima, menawarkan atau meminta ”sesuatu” untuk mempengaruhi sesuatu b. Konflik kepentingan (conflict of interest) terjadi ketika seseorang

dan memiliki atau kepentingan pribadi dalam tindakan yang dilakukannya.

c. Kecurangan karena laporan dan klaim palsu, terjadi ketika seseorang dengan sadar dan sengaja mengubah fakta yang material atau membuat penyajian yang palsu atau fiktif.

d. Penggelapan (embezzlement) adalah kecurangan dalam pertukaran pemilikan pribadi dengan orang lain, dimana kepemilikan tersebut diperoleh berdasarkan hubungan kepercayaan. Penggelapan ditandai oleh penyalahgunaan uang atau harta dan pemalsuan catatan keuangan sehingga sulit untuk dideteksi.

Dalam kamus Inggris Indonesia (Echols dan Shadly, 2007) fraud

berarti penipuan, seorang penipu atau gadungan, kecurangan, penggelapan.

Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecurangan merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran yang dilakukan dengan sengaja, dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang bukan merupakan hak pelakunya.

Beberapa aktivitas yang mendorong terjadinya kecurangan (fraud) antara lain adalah:

a. Aktivitas yang berhubungan dengan pengeluaran, yang meliputi: klaim terhadap keuntungan dan bantuan, pembayaran kontrak, saham dan persediaan yang bernilai, penyewaan karyawan, mobil, bonus dan pembayaran lembur, biaya tempat tinggal, pasien rumah sakit,

biaya kas kecil, dana tidak resmi untuk persaudaraan atau kelompok, serta karyawan yang dibayar berdasarkan jam kerja.

b. Aktivitas yang berhubungan dengan pendapatan, meliputi kas yang diperoleh dan penyewaan, parkir mobil, biaya risensi, hadiah untuk trevel, pembayaran pinjaman hipotik, pinjaman pengembangan industri, cek yang menggunakan inisial, penimbunan iklan dan sebagainya.

Ada juga istilah lain yang seringkali dipergunakan untuk menggambarkan suatu jenis fraud, yakni kejahatan kerah putih atau white collar crime. Kejahatan kerah putih yang dikenal dalam bahasa inggris

white-collar crime. Istilah ini dikenalkan oleh Edwin H. Sutherland (1939) dalam Tuanakota (2006), kemudian Edwin H. Sutherland menerbitkan monograf berjudul White-Collar Crime yang catatan kakinya ia menjelaskan makna istilah white-collar crime sebagai:

Crime in the upper, white-collar class, which is composed of respectable, or at least resfected, business, and professional men”.

(Kejahatan kelas atas, kelas manusia berkerah putih yang terdiri atas orang-orang bisnis dan professional terhormat atau dihormati.

Belum ada kesepakatan definisi dari white collar crime. Ada suatu definisi yang diusulkan Albert J. Reiss, Jr. dan Albert Biderman dalam Tuanakota (2006):

“White-collar crime violations are those are those violations of law to which penalities are attached that involve use, of a violator’s position of economic power, influence or trust in the legitimate economic or political institutional order for the purpose of illegal gain, or to commit illegal act for personal or organitational gain.”

Pelanggaran kerah putih adalah pelanggaran terhadap hukum yang terkena sanksi tertentu dan yang meliputi pemanfaatan kedudukan pelakunya yang mempunyai kekuasaan ekonomi, pengaruh, atau kepercayaan dalam lembaga-lembaga yang sebenarnya mempunyai legitimasi ekonomi dan politik namun disalahgunakan untuk keuntungan ilegal atau untuk melakukan kegiatan ilegal untuk keuntungan pribadi atau golongan.

Fraud Triangle

Donald R. Cressey dalam penelitiannya dalam Tuanakota (2006) membuat hipotesa yang lebih dikenal dengan fraud triangle atau segitiga

fraud, seperti terlihat dalam gambar di bawah ini:

PERCEIVED OPORTUNITY RATIONALIZATION PRESSURE Gambar 2.1 Fraud Triangle Sumber: Tuanakota (2006)

Sisi pertama dari segitiga fraud diberi judul Pressure yang merupakan perceived non-shareable financial need. Sisi keduanya,

Perseived Oportunity. Sisi ketiga, Rationalization.

Ada 3 kondisi muncul pada saat kecurangan muncul yaitu:

1. Pressure/Incentive, merupakan tekanan/dorongan yang menghasilkan adanya alasan untuk melakukan kecurangan,

2. Oportunity, merupakan kesempatan yang menyebabkan kecurangan timbul, seperti kurangnya pengendalian atau pengendalian yang tidak efektif dan ketidakmampuan manajemen untuk melakukan pengawasan,

3. Attitude/Rationalization, setiap pelaku kecurangan umumnya memiliki sikap-sikap yang membuat mereka merasionalkan tindakan kecurangan. (Yuniarti dan Eti, 2008).

Bentuk-bentuk kecurangan

Tergantung pada siapa pelakunya, kecurangan dapat diklasifikasikan dalam dua katogori besar yaitu :

a. Kecurangan yang merugikan perusahaan

Perusahaan merupakan korban kecurangan yang biasanya dilakukan oleh karyawan jenjang menengah kebawah. Bentuk kecurangan dalam katagori ini misalnya : Lapping, Chaech, Qitting, maupun pencurian harta kekayaan perusahaan.

Biasanya dilakukan oleh karyawan jenjang atas atau manajemen puncak. Kecurangan ini dilakukan untuk mengelabui pemegang saham, kreditur maupaun fiskus. Bentuk kecurangan dalam katagori ini misalnya: Smoothing profits melalui praktek pencatatan penjualan, laba dan aktiva yang lebih besar, mencatat biaya-biaya yang lebih kecil, tidak mencatat retur penjualan, dan lain lain. Kecurangan yang dilakukan untuk mengelabui fiskus misalnya dalam bentuk ”under in voicing” dan memperbesar biaya yang dapat diperhitungkan untuk laporan fiskal.

Pengertian Pemeriksaan Kecurangan (Fraud Auditing)

Definisi fraud auditing menurut Association of Certified Fraud Examiner (1993) dalam Prasetyawati (2003) dalam Darwito (2006) adalah:

An initial approach (proactive) to ditecting financial frauds, using accaunting records and informations, analytical relationship and awardness of fraud perpetrations and concealments efforts”.

Audit Umum dan Pemeriksaa Kecurangan

Perbedaan antara audit umum (general audit atau opinion audit) dan pemeriksaan atas fraud dapat dilihat dalam kolom berikut:

Tabel 2.1

Auditing vs. Fraud Examination/Fraud Auditing

Issue Auditing Fraud Examination

Timing Recurring

Audit dilakukan secara teratur, berkala, dan berulang kembali

Non Recurring

Pemeriksaan fraud tidak berulang kembali, dilakukan setelah ada cukup indikasi.

Scope Objective Relationship Methodology Presumption General

Lingkup audit adalah pemeriksaan umum atas data keuangan

Opinion

Tujuan ajaran audit

adalah untuk memberikan pendapat

atas laporan keuangean

Non Adversarial

Sifat pekerjaan audit

adalah tidak bermusuhan. Audit Techniques Audit dilakukan terutama dengan pemeriksaan data keuangan. Professional Skepticism Auditor melaksanakan tugasnya dengan professional skepticism Specific

Pemeriksaan fraud diarahkan pada dugaan, tuduhan atau sangkaan yang spesifik.

Affix Blame

Tujuan pemeriksaan fraud

adalah untuk memastikan apakah fraud memang terjadi, dan untuk menentukan siapa yang bertanggungjawab.

Adversarial

Karena pada akhirnya pemeriksa harus menentukan siapa yang bersalah, sifat pemeriksaan fraud adalah bermusuhan.

Fraud Examination

Pemeriksaan fraud dilakukan dengan memeriksa dokumen, telaah data ekstern, dan wawancara.

Proof

Pemeriksa fraud berupaya mengumpulkan bukti untuk mendukung atau membantah dugaan, tuduhan atau sangkaan terjadinya fraud

Sumber: Tuanakota, 2006

Fraud selalu tersembunyi

Berbeda dengan kejahatan lain, sifat perbuatan fraud adalah tersembunyi atau mengandung tipuan (yang terlihat di permukaan bukanlah yang sebenarnya terjadi atau berlangsung).

Pembuktian ada atau telaah terjadinya fraud meliputi upaya untuk membuktikan fraud itu tidak terjadi. Dan sebaliknya, untuk membuktikan

fraud tidak terjadi, kita harus berupaya membuktikan fraud itu terjadi. Harus ada upaya pembuktian timbal balik atau reverse proof. Kedua sisi

fraud (terjadi dan tidak terjadi) harus diperiksa.

Peranan Pengendalian Internal Dalam Pemeriksaan Kecurangan (Fraud Auditing)

Auditor akan membuat prosedur pemeriksaan sesuai dengan keadaan khusus yang diteliti, namun, garis pedoman umum berikut ini dapat dipakai sebagai pedoman Internal control dalam suatu bidang dimana fraud diperkirakan terjadi haruslah diselidiki secara mendalam,

internal control yang sehat akan sangat membantu membatasi kemungkinan fraud atau penggelapan. Godaan untuk melakukan fraud

terutama timbul bila seorang pegawai menemukan kelemahan tertentu dalam suatu sistem disuatu perusahaan. Karena itu, bila internal control

disusun baik dan diterapkan sebagaimana mestinya, kemungkinan terjadinya fraud (kecurangan) amatlah sangat kecil. Namun demikian adanya internal control tidaklah menjamin bahwa suatu fraud itu dalam setiap keadaan tidak mungkin terjadi.

Bologna dan Linquist (1995) dalam Prasetyawati (2003) dalam Darwito (2006) mengemukakan tiga belas prinsip fraud auditing sebagai berikut:

c. Fraud auditing tidak seperti financial auditing. Fraud auditing lebih merupakan serangkaian pemikiran (mind set) daripada sebuah metodologi.

d. Fraud auditor tidak seperti financial auditor, fraud auditor lebih memfokuskan pada hal yang tidak lazim (exception), keanehan (oddities), accounting irregulirities dan pola tingkah laku bukan pada kesalahan (errors) dan penghilangan (ommisiions).

e. Fraud auditing dipelajari terutama melalui pengalaman bukan dari buku-buku teks audit maupun kertas kerja tahun lalu. Belajar menjadi seorang fraud auditor berarti belajar untuk berfikir seperti pencuri “dimanakah letak kerangka terlemah dari rantai pengendalian intern”.

f. Dari perspektif financial audit, kecurangan (fraud) adalah salah saji yang disengaja atas fakta-fakta keuangan dalam jumlah yang material. Dari perspektif fraud auditing, kecurangan adalah salah saji yang disengaja atas fakta-fakta keuangan.

g. Kecurangan (fraud) dilakukan dengan alasan ekonomi, egosentris dan psikotik (psychotic).

h. Kecurangan (fraud) cenderung mencakup suatu teori yang terstruktur tentang motif, kesempatan, dan keuntungan (benefit).

i. Kecurangan (fraud) dalam tingkat akuntansi yang terkomputerisasi dapat terjadi pada saat proses input , troughput atau output.

j. Pola kecurangan yang umum pada pegawai level bawah meliputi masalah-masalah yang berkaitan dengan pengeluaran (hutang, gaji, dan klaim atas keuntungan serta biaya).

Pendeteksian Kecurangan Berdasarkan Statement Auditing Standard (SAS) No. 99 oleh American Institute Of Certified Publik Accountant (AICPA)

SAS No. 99 dalam Yuniarti dan Eti (2006) merupakan standar pendeteksian kecurangan yang dikeluarkan oleh AICPA sebagai tanggapan atas maraknya kasus akuntansi, terutama yang melibatkan auditor dan memberikan pemahaman tentang definisi fraud dan karakteristiknya, pengumpulan, identifikasi, analisa, evaluasi serta pengkomunikasian kecurangan.

Ramos (2003) dalam Yuniarti dan Eti (2006) menyatakan bahwa SAS No. 99 menjelaskan proses dimana auditor perlu melakukan:

a. Pengumpulan informasi yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi risiko atas pelaporan keuangan yang salah yang mengarah pada kecurangan.

b. Memeriksa dan menguji risiko-risiko tersebut setelah mengevaluasi program dan sistem pengendalian.

SAS No. 99 mengharuskan auditor untuk mengumpulkan dan mempertimbangkan informasi yang lebih banyak dibanding standar sebelumnya yakni, SAS No. 82.

a. Sesi Brainstorming

SAS No. 99 mengharuskan adanya sesi brainstorming

untuk mendiskusikan bagian mana laporan keuangan perusahaan mungkin mengandung unsur kecurangan.

b. Pengumpulan Informasi

yang diperlukan untuk mengidentifikasi risiko dari salah saji material yang timbul sebagai akibat dari suatu kecurangan dengan cara sebagai berikut:

a. Melakukan wawancara dengan pihak manajemen dan pihak terkait lainnya dalam entitas yang bersangkutan. b. Memepertimbangkan hasil prosedur analitikal yang

dilakukan pada tahap perencanaan audit.

c. Memperkirakan dan mempertimbangkan faktor-faktor risiko.

d. Mempertimbangkan informasi-informasi terkait lainnya. c. Identifikasi Risiko

SAS No. 99 mengharuskan auditor untuk menggunakan informasi yang telah dikumpulkan untuk mengidentifikasi risiko yang muncul sebagai salah saji yang material. Auditor harus dapat

mengidentifikasi risiko dan mensistensikan bagaimana risiko tersebut dapat menunjuk kearah salah saji yang material sebagai akibat dari kecurangan.

d. Evaluasi atas Program dan Sistem Pengendalian Klien

SAS No. 99 mengharuskan auditor untuk mengevaluasi program dan sistem pengendalian dalam suatu perusahaan yang mengarahkan pada pengidentifikasian risiko atas salah saji yang material yang diakibatkan oleh kecurangan. Auditor harus mempertimbangkan sistem pengendalian yang mana yang dapat mengurangi risiko- risiko kecurangan yang teridentifikasi.

e. Respon atas Hasil Pemeriksaan (audit)

Respon yang diberikan auditor sebagai hasil proses audit yang dilakukan dapat berupa:

1) Tanggapan menyeluruh atas bagaimana audit

dilaksanakan,

2) Tanggapan atas akun-akun tertentu atau tingkat transaksi tertentu.

3) SAS No. 99 menyediakan panduan umum untuk

memodifikasi bentuk, penetapan waktu dan perluasan prosedur audit yang dapat dilakukan untuk mengarahkan risiko teridentifikasi sebagai kecurangan.

4) Tanggapan atas adanya pengendalian yang berlebihan oleh manajemen (management override of internal control).

f. Komunikasi atas Hasil Pemeriksaan

SAS No. 99 menyatakan bahwa: Standar ini mengharuskan bahwa setiap bukti-bukti yang menunjukan adanya kecurangan harus dikomunikasikan kepada pihak manajemen dan pihak terkait lainnya, termasuk komite audit dan dewan direksi perusahaan. g. Pendeteksian Kecurangan dengan Akuntansi Forensik

Akuntansi forensik merupakan praktek yang memanfaatkan kemampuan akuntansi, auditing, dan kemampuan investigasi untuk membantu penyidik untuk membuat terang perkara pidana khusus yang sedang dihadapi penyidik, serta mengumpulkan bukti-bukti dokumenter/surat untuk mendukung dakwaan jaksa.

Dokumen terkait