• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis Burung pada Beberapa Tipe Habitat di Pulau Ternate

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil

5.2.1 Keanekaragaman Jenis Burung pada Beberapa Tipe Habitat di Pulau Ternate

Terdapat 11 jenis burung yang tidak ditemukan serta 22 jenis baru jika dibandingkan dengan hasil Widodo (2011). Hasil penelitian Widodo pada periode 26 Juli-12 Agustus 2009 di Pulau Ternate berhasil ditemukan 34 jenis dari 24

suku dengan jumlah pencatatan 474 individu. Sedangkan pada penelitian ini berhasil ditemukan 51 jenis burung dari 17 suku dengan jumlah pencatatan sebanyak 1674 individu. Jumlah jenis ini 70% lebih banyak jika dibandingkan dengan hasil Widodo. Tingginya jumlah jenis yang ditemukan diduga karena lamanya perbedaan waktu pengamatan. Penelitian oleh Widodo bersama pihak LIPI dilaksanakan selama 18 hari di enam lokasi yang mewakili tipe habitat kebun campuran tua, pantai dan danau. Pengamatan dilakukan pada pagi (07.00-10.00), siang (11.00-14.00), dan sore hari (15.00-18.00). Penelitian ini dilaksanakan selama 39 hari di 15 lokasi penelitian yang mewakili lima tipe habitat yaitu kebun campuran tua, pantai, danau, permukiman, dan RTH. Pengamatan dilakukan pada pagi (06.15-09.15) dan sore hari (16.00-18.00). Adanya perbedaan lama waktu pengamatan di lokasi membuktikan bahwa semakin lama waktu yang digunakan untuk melakukan pengamatan burung maka peluang untuk ditemukannya jenis baru semakin besar. Selain itu, kondisi angin yang kencang dan temperatur lingkungan yang rendah pada saat itu membuat burung-burung lebih banyak beristirahat dan diam.

Data lain yaitu pemantauan burung secara berkala oleh Burung Indonesia (BI) periode Januari 2011 – Februari 2012. Tercatat 28 jenis burung yang tidak ditemukan dalam penelitian ini dan empat jenis diantaranya merupakan jenis baru. Kekayaan jenis burung di Pulau Ternate berdasarkan penelitian ini yaitu sekitar 80% dari total jenis burung hasil pantauan BI selama periode Januari 2011- Februari 2012 (393 hari). Waktu pengamatan burung oleh BI dilakukan secara berkala di hampir seluruh lokasi Pulau Ternate termasuk habitat hutan primer dan mangrove yang tidak menjadi spot/lokasi pengamatan burung pada penelitian ini. Hal ini karena luasan habitat mangrove yang semakin berkurang seiring meningkatnya pengembangan wilayah reklamasi pantai dan habitat primer yang masih sangat mengkhawatirkan untuk dijadikan lokasi penelitian pasca erupsi Gunung Gamalama. Waktu pengamatan yang lebih lama dan cakupan habitat yang lebih bervariasi menyebabkan perbedaan data yang diperoleh dan kemungkinan peluang ditemukannya jenis baru lebih besar. Metode yang digunakan oleh BI yaitu metode present-absent. Metode ini hanya digunakan untuk mengecek jenis burung apa saja yang ada di Pulau Ternate tanpa melakukan

penghitungan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan jenis burung. Sedangkan metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu pencatatan terhadap jumlah dan jenis burung yang nantinya akan diketahui nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis burung di Pulau Ternate.

Pada habitat kebun campuran tua ditemukan 13 jenis burung dari 10 suku. Jumlah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan Syafrudin (2011) yang menemukan jenis burung pada habitat perkebunan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Lampung sebanyak 62 jenis dari 28 suku. Jenis tanaman yang terdapat di TNBBS yaitu tanaman kopi (Coffea robusta) dan cokelat (Theobroma cacao). Adanya perbedaan jumlah jenis burung yang signifikan diduga karena kondisi habitat kebun campuran tua yang terletak di sekitar kaki gunung Gamalama sebagian besar didominasi dengan tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum) dan pala (Myristica fragrans). Kedua jenis tanaman ini tumbuh di sekitar kaki Gunung Gamalama cukup meluas (±200 - 800 mdpl) dan intensitas perawatan maupun pemanenan cukup teratur sehingga aktivitas manusia dimungkinkan kurang aman bagi burung. Struktur percabangan pala dan cengkeh bersifat homogen (cabang-cabang pohon menerus pada batang) sehingga terbatas bagi burung-burung yang memanfaatkannya. Selain itu, habitat kebun campuran tua memiliki kesamaan dengan hutan tanaman yaitu memiliki tutupan tajuk atau kanopi yang tidak variatif (tajuk berlapis - lapis) karena usia tanaman yang sama. Hal ini menyebabkan jenis burung yang memanfaatkan tajuk tersebut terbatas. Berdasarkan wawancara pribadi dengan guide, jenis vegetasi yaitu jenis akasia (Acacia mangium) yang biasanya dimanfaatkan sebagai pakan burung kakatua putih (Cacatua alba) pada saat penelitian sedang tidak berbuah. Terjadinya erupsi Gunung Gamalama pada tanggal 5 Desember 2011 hingga awal bulan Januari 2012 juga diduga menjadi penyebab rendahnya jumlah jenis burung yang ditemukan pada habitat ini. Pada saat penelitian di habitat kebun campuran tua yang berlangsung tanggal 14 - 16 Februari 2012 jumlah jenis burung yang ditemukan sangat rendah. Hal ini dikarenakan dua hari sebelum penelitian Gunung Gamalama sempat mengeluarkan debu vulkanik kembali dan terbawa angin ke arah utara kota sehingga menyelimuti lokasi penelitian. Debu vulkanik yang terbawa angin jatuh sebagai polutan di lokasi penelitian. Konsentrasi H2S

dan SO2 di udara dapat mengubah pola cuaca setempat dan membahayakan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya seperti burung. Dampak letusan juga dapat mempengaruhi kemampuan terbang, bertengger, aktivitas makan, dan migrasi burung.

Jenis burung dengan individu terbanyak yang ditemukan di habitat hutan pantai yaitu Fregata ariel. Jenis ini banyak ditemukan ketika sedang melintas di atas habitat hutan pantai. Selain itu, adapun jenis burung Nycticorax caledonicus yang ditemukan di sekitar area berlumpur hutan pantai. Jenis burung ini merupakan jenis yang tidak umum, sering mengunjungi pulau-pulau kecil lepas pantai, daerah rawa, dan mangrove. Beberapa jenis burung migran lainnya yang ditemukan pada habitat ini yaitu Sterna anaethetus, Heteroscelus brevipes, Numenius minutus, Numenius madagascariensis, dan Cacomantis variolosus. Burung-burung migran di Pulau Ternate tercatat lebih dari 23 jenis, diantaranya terbanyak adalah suku Charadridae dan Scolopacidae. Namun selama penelitian pada habitat hutan pantai, jenis-jenis yang ditemukan hanya beberapa saja. Hal ini dimungkinkan karena masih belumnya burung-burung migran datang ke Pulau Ternate ataupun karena sebagian kawasan pantai tidak lagi memiliki area berlumpur yang menjadi tempat mencari pakan burung-burung migran. Salah satu lokasi dari habitat hutan pantai yaitu di Desa Tobololo sedang mengalami rehabilitasi kawasan yaitu penanaman mangrove oleh Dinas Perikanan Kota Ternate yang bekerjasama dengan masyarakat sekitar untuk mengurangi dampak abrasi dan gelombang pasang.

Habitat danau merupakan lokasi dengan jumlah penemuan jenis burung tertinggi jika dibandingkan dengan empat tipe habitat lainnya. Habitat danau terletak di sekitar kaki gunung gamalama, berbatasan dengan kebun milik masyarakat, dan dekat dengan pantai (Lampiran 20). Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa habitat danau merupakan daerah peralihan (edge) atau daerah lalu lalang burung sehingga jenis burung yang ditemukan lebih banyak jika dibandingkan dengan habitat lainnya. Menurut Yoza (2006), daerah peralihan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya sehingga jenis burung yang menempati daerah ini merupakan jenis burung yang menyukai daerah terbuka maupun tertutup. Di perairan danau terdapat

tumbuhan air seperti teratai yang dimanfaatkan oleh burung Tachybaptus ruficollis sebagai bahan sarang pada saat musim berbiaknya. Selain itu ditemukan jenis burung migran non wader yaitu Merops ornatus. Jenis ini merupakan burung migran dari Australia yang ditemukan berkelompok. Jenis burung lain yang khas di habitat danau yaitu Rhipidura leucophrys, Aplonis metallica, Haliastur indus, dan Egretta garzetta. Sedangkan jenis Eclectus roratus merupakan jenis paruh bengkok yang dilepasliarkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Konservasi Alam Maluku Utara (LSM KAMU) di sekitar danau setelah program rehabilitasi.

Total jenis burung yang ditemukan di habitat permukiman yaitu 9 jenis burung dari 8 suku. Jumlah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan penelitian Asmoro (2012) di perumahan Sentul City yang menemukan 42 jenis burung dari 24 suku. Rendahnya jumlah jenis burung yang ditemukan diduga karena luasan lokasi penelitian yang lebih sempit. Sentul City merupakan perumahan kelas atas dengan luasan mencapai 3000 ha, sedangkan luasan ketiga lokasi penelitian yang merupakan perumahan kelas menengah kebawah yaitu perumahan Griya Majang Asri (Desa Ngade=5 ha) dan perumahan Green Garden (Desa Ngade=11 ha dan Desa Jambula=8 ha). Selain itu, adanya perbedaan struktur dan komposisi vegetasi. Jenis vegetasi yang berada di Sentul City masih tergolong rimbun yaitu terdapat jenis vegetasi peneduh seperti trembesi, Pinus merkusi, dan sengon, sedangkan jenis-jenis vegetasi yang terdapat disekitar perumahan pada lokasi penelitian ini masih sangat minim dan didominasi oleh alang-alang. Hal ini dikarenakan lokasi penelitian merupakan perumahan baru sehingga belum ada penghijauan pada beberapa taman disekitar perumahan. Pada beberapa sudut perumahan juga masih terdapat areal kosong yang ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Berkurangnya luasan vegetasi tentunya akan berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati di habitat tersebut. Hal ini menyebabkan jenis vegetasi yang ada hanya akan mampu mendukung kehidupan jenis-jenis satwa tertentu. Hal ini dibuktikan dengan melimpahnya jenis Passer montanus di daerah permukiman. Alang-alang dan semak belukar yang terdapat di lokasi penelitian membuat jenis ini tertarik untuk singgah. Alang-alang dan semak belukar yang rapat merupakan tempat berlindung yang baik bagi jenis burung yang bertubuh

kecil dari serangan angin kencang, udara dingin, dan predator yang lebih besar (Rusmendro et al. 2009).

Data lain dari hasil penelitian Ontario et al. (1991) di permukiman kota Jakarta (dengan cover tumbuhan < 20%) dan kota Bogor (permukiman kota) juga menunjukkan bahwa masing-masing lokasi memiliki jumlah jenis burung yang lebih banyak yaitu 28 dan 25 jenis jika dibandingkan dengan penelitian ini. Rendahnya jumlah jenis yang ditemukan pada habitat ini diduga karena luasan lokasi penelitian dan lamanya waktu pengamatan yang berbeda. Pada penelitian Ontario, 6 - 12 lokasi penelitian bisa mewakili satu tipe habitat sedangkan pada penelitian ini, satu tipe habitat hanya diwakili oleh tiga lokasi penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Ontario juga dilaksanakan selama enam bulan. Sedangkan penelitian ini hanya dilaksanakan selama dua bulan. Semakin luas plot lokasi dan lama waktu pengamatan, peluang untuk ditemukannya jenis baru juga semakin besar. Selain itu, komposisi jenis dan struktur vegetasi merupakan faktor penting yang berkaitan dengan kehadiran burung. Jenis vegetasi yang terdapat di pinggir jalan wilayah Bogor dan Jakarta cukup variatif seperti Pterocarpus indicus, Cannarium commune, Switenia macrophylla, Acacia auriculiformis, Samanea saman dan lain sebagainya, sedangkan jenis vegetasi yang terdapat di sekitar lokasi penelitian ini hanya berupa tumbuhan hias dan obat serta banyak di dominasi oleh alang-alang dan semak belukar. Hal menarik dari habitat ini yaitu ditemukannya jenis Padda oryzivora yang sebenarnya berdasarkan buku panduan lapang Sumatera, Jawa, dan Bali, jenis burung ini hanya ditemukan di Pulau Jawa. Hal ini diduga karena adanya kegiatan introduksi oleh masyarakat di Pulau Ternate. Introduksi merupakan usaha sadar atau tidak sadar memasukkan jenis hewan atau tumbuhan ke dalam suatu habitat yang baru. Masuknya jenis tersebut karena adanya hobi beberapa orang membawa jenis-jenis baru atau sengaja dibiakkan karena alasan seperti penanganan hama penyakit dan sebagainya.

Habitat RTH merupakan habitat dengan jumlah jenis burung terendah jika dibandingkan dengan keempat habitat lainnya. Jenis vegetasi yang ada di habitat RTH yaitu jenis-jenis tumbuhan khas tepi pantai, pelindung, dan hias. Rendahnya jumlah jenis di habitat RTH diduga karena tidak terpenuhinya peranan vegetasi bagi burung diantaranya sebagai tempat mencari pakan karena jenis tumbuhan

yang ditanam bukan merupakan jenis tumbuhan penghasil buah namun lebih didominasi oleh jenis tumbuhan hias. Selain itu tidak terpenuhinya jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai tempat berlindung, bersarang, dan berkembang biak. Faktor lain yang diduga menyebabkan rendahnya jumlah jenis di habitat ini yaitu lokasi penelitian yang tepat berada di pusat kota sehingga banyak gangguan oleh manusia. Widodo (2009) menyatakan bahwa habitat yang kondisinya baik dan jauh dari gangguan manusia serta didalamnya mengandung bermacam-macam sumber pakan, memungkinkan memiliki jenis burung yang banyak. Jenis-jenis burung yang ditemukan disekitar habitat RTH yaitu jenis-jenis burung perkotaan seperti Passer montanus dan Hirundo tahitica. Jenis-jenis yang ditemukan di perkotaan merupakan jenis-jenis burung yang bisa beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan.

Beberapa jenis burung seperti Hirundo tahitica, Rhipidura leucophrys, Collocalia esculenta, dan Cinnyris jugularis adalah jenis burung yang ditemukan pada semua tipe habitat. Hal ini dikarenakan jenis-jenis burung tersebut memiliki mobilitas yang tinggi serta preferensi pakan yang bervariasi (alternatif pakan yang beragam). Ketersediaan alternatif pakan yang berlimpah pada tiap habitat menyebabkan interaksi dari segi kompetisi dan predasi antar jenis menjadi kecil sehingga beberapa jenis burung dapat tersebar dengan luas.

Dokumen terkait