D AF TAR P US TAKA
3. Kearsipan Sebagai Ilmu
Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun yang selama ini terbatas pada obyek empiris, dan pengetahuan itu diperoleh dengan menggunakan metode keilmuan adalah sah untuk disebut sebagai keilmuan. Ilmu bersifat terbuka, demokratis dan menjunjung tinggi kebenaran di atas segala-galanya.14
Sekalipun Francis Bacon mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, namun ilmu sesungguhnya bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik dan buruk, si pemiliki, pengetahuanlah yang memiliki sifat baik dan buruk. Netralitas ilmu terletak pada dasar epistemologinya : jika hitam katakan hitam, jika ternyata putih katakan putih, tanpa berpihak kepada siapapun juga kecuali kepada kebenaran.15
Berbagai pengujian kembali terhadap teori kearsipan dimulai pada premise bahwa dibelakang fisik arsip adalah “sangat tetap dan dalam” adalah sebuah simbolisasi. Di belakang arsip yang aktual adalah ‘fungsi atau aktivitas’ yang membimbing ke arah penciptaan arsip. Pandangan itu diambil dari seri artikel Hugh Taylor’s yang terbaru, yang memulai dengan perubahan dari arsip secara aktual menuju konsepsi konteks ketika diciptakan, dari artefak fisik ke dalam tujuan intelektual yang ada dibaliknya, dari benda ke pikiran.16
Arsip merupakan rekaman informasi yang memiliki konteks, isi, dan struktur. Rekaman informasi (recorded information) merupakan informasi tentang organisasi atau individu, yang untuk selanjutnya diolah dan disajikan sebagai archives informatics. Dalam konteks ini inti permasalahannya berkisar pada informasi apa yang harus direkam dan apa yang tidak perlu direkam. Jadi masalahnya bukan bagaimana cara merekam informasi, karena masalah ini bukan merupakan fungsi
14 Jujun S. Suriasumantri, 2009, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat, Jakarta : Ilmu, yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 9.
15 Ibid., hlm. 10
16Terry Cook, 1992, “Mind Over Matter: Towards a New Theory of Achival Appraisal”, dalam Barbara L.
Craig (ed.), The Archival Imagination, essay in honour of Hugh Taylor, hlm. 38 – 70
manajemen, tetapi masalah yang berkaitan dengan kebenaran, yaitu apakah informasi yang dibuat itu benar, dan benar-benar merepresentasikan organisasi atau individu yang direkam. Dengan demikian, ilmu kearsipan memerlukan teori kebenaran dan teori representasi dalam mengatasi masalah yang dihadapi.
Teori kebenaran diperlukan untuk menentukan sahih tidaknya sebuah pengetahuan, yang dalam konteks ini benar tidaknya arsip yang direkam dan diselamatkan. Beberapa teori kebenaran yang kita kenal seperti koherensi/konsitensi, korespondensi, pragmatis, dan korelasi sekiranya dapat dipakai untuk melakukan pengujian terhadap kebenaran di bidang kearsipan.17
Di samping teori kebenaran tersebut, terdapat pula teori representasi yang biasanya digunakan dalam ilmu arkeologi dapat digunakan untuk memberi landasan kebenaran tentang pelaksanaan kegiatan kearsipan.18
Teori koherensi atau konsistensi jika diterapkan dalam arsip berhubungan dengan struktur, isi dan konteks arsip yang harus menyatu. Ketiganya harus bersama-sama ada, bertautan secara konsisten dan logis. Jika seseorang menerima pesan lisan belum cukup disebut sebagai arsip, sekalipun didalamnya sudah memuat isi dan konteks. Di pihak lain jika kita memegang kertas dengan logo garuda atau memegang foto dengan obyek yang tidak kita pahami, juga belum tentu disebut sebagai arsip, sekalipun ia memiliki struktur dan konteks. Contoh lain, jika kita menerima SMS yang salah alamat, yang berarti tidak memiliki kaitan apapun atau diperkirakan tidak akan ada kaitan dengan kita, maka SMS itu pun tidak akan menjadi arsip kita, karena bagi kita tidak bermakna. Teori yang kedua adalah teori korespondensi yang menganggap bahwa sesuatu dianggap benar bila bisa ditunjukan bukti-bukti yang mendukungnya atau dengan cara mencocokan dengan fakta lain.
17 Mulyono, 2008, Pengantar Filsafat Sistematik, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang. Hlm.
35-36.
Kebenaran suatu arsip hanya dapat dipahami dengan cara menghubungan dan mencocokan dengan arsip lain, karena sifat dasar arsip sebagai informasi. Teori pragmatis yang menganggap pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang mendatangkan kegunaan praktis bagi kehidupan. Dari fungsinya sebagai bukti, memori kolektif dan pembentuk hak serta kewajiban, jelaslah bahwa arsip mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Teori korelasi yaitu menghubungkan antara dua atau lebih, jika diterapkan pada arsip berkorelasi dengan teori representasi, yang dapat dipahami dalam uraian di bawah ini. Mempermasalahkan kebenaran berarti kita memasuki ranah filsafat. Hegel (1770-1831) mengatakan Das wahre ist das ganze yang benar adalah yang menyeluruh. Filsafat Hegel memiliki banyak interpretasi oleh beberapa ahli. Sir Bertrand Russell (1872-1970) menjabarkan pengertian das Ganze yang diterjemahkan menjadi the whole (yang menyeluruh) itu pada hakekatnya bersifat fragmentaris, terpisah-pisah. Fragmen-fragmen itu tidak bermakna tanpa dilengkapi bagian “dunia” lain. Berdasarkan penalaran Hegel, dari setiap potongan realitas (fragmen) dapat terlihat bagaimana seluruh realitas sebenarnya paling tidak dalam bentuk garis besarnya. Setiap bagian dari realitas terkait dengan potongan realitas lainnya, pada gilirannya potongan yang lain terkait dengan potongan yang lain lagi dan seterusnya sehingga akhirnya realitas yang utuh dapat direkonstruksikan secara menyeluruh. Untuk memperjelas teori representasi dalam Arkeologi, Noerhadi Magetsari memberikan contoh tentang seorang Arkeolog yang menemukan sepotong tulang. Sepotong tulang itu sudah dapat diidentifikasi sebagai tulang kaki anjing, maka Arkeolog melakukan rekonstruksi, untuk menentukan seberapa besar dan tinggi anjing tersebut. Sepotong tulang itu merupakan representasi dari seekor anjing, bukan kambing. Sedangkan untuk menentukan jenis kelamin, warna bulu, dan umur misalnya, Arkeolog harus mengembangkan penyelidikan lebih dalam lagi, sehingga informasi tentang anjing tersebut menjadi semakin lengkap dan merepresentasikan secara lebih spesifik. Prinsip das ganze atau the whole dalam kearsipan
dapat dipakai dalam salah satu prinsip dasar kearsipan yaitu “hubungan antar arsip” yang sudah dijelaskan di bagian depan. Prinsip ini dikembangkan atas dasar hakekat arsip yang merupakan “produk” yang tercipta karena adanya suatu peristiwa atau sebuah proses kehidupan.19
Pengujian terhadap kebenaran tentang obyek empiris, dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumanteri yang menyatakan bahwa sebuah pengetahuan dianggap benar selama kita dapat menerima asumsi yang dikemukakan20 memiliki tiga asumsi mengenai objek empiris, yaitu:
1. Menganggap objek-objek tertentu memiliki keserupaan satu sama lain. Berdasarkan hal ini kita melakukan klasifikasi, komparasi dan kuantitasi.
2. Suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, kelestarian relatif ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
3. Determinasi, bahwa setiap gejala bukanlah suatu yang kebetulan. Setiap gejala memiliki pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut- urutan kejadian yang sama. Namun juga memiliki konotasi yang bersifat peluang/ probabilistik.
Arsip dan kearsipan sebagai objek empiris dari ilmu kearsipan dapat pula diuji dengan tiga asumsi di atas, sehingga dapat memperkuat fondasi keilmuan dari kearsipan.
Setelah ilmu kearsipan memiliki landasan teori kebenaran, hal yang sangat penting lainnya adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi pegangan untuk melandasi teori dan metodologi yang dikembangkan. Arsip harus dikelola dengan memperhatikan tiga prinsip dasar yaitu: menjaga keaslian, menjaga hubungan antar arsip dan menjaga konteks arsip. Membicarakan tentang keaslian arsip mau tidak mau harus kembali pada hakekat arsip yang merupakan rekaman informasi dari aktivitas yang pernah dilakukan. Dalam kenyataannya seseorang “tidak sengaja”
19Ibid.
membuat arsip, arsip tercipta dengan otomatis, begitu transaksi dilaksanakan. Hal ini disebabkan sifat arsip yang imparsiality.21 Sifat
penciptaan arsip yang tidak disengaja itu berarti pula menjamin tidak adanya “rekayasa” terhadap penciptaan arsip.22 Sifat ini membedakan
arsip dengan buku, yang diciptakan secara sengaja dan didasarkan suatu skenario atau misi tertentu. Penciptaan arsip tidak disertai dengan skenario dan misi, tetapi dimaksudkan sebagai bentuk komunikasi antara beberapa pihak yang memiliki konteks yang saling berkait.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa arsip memiliki fungsi hakiki sebagai bukti atau eviden. Fungsi hakiki ini hanya dapat bermakna jika keberadaan arsip memiliki kebenaran formal maupun kebenaran material yang harus tetap dijaga sepanjang umur arsip.23
Selanjutnya sebagai rekaman informasi arsip pada hakekatnya adalah informasi itu sendiri. Untuk memperjelas topik ini kiranya perlu kita bahas terlebih dahulu tentang informasi itu. David Kroenke, 1992, menggunakan definisi informasi dalam tiga sudut pandang, yang pertama informasi merupakan pengetahuan yang berasal dari data. Data itu merupakan rekaman dari fakta atau gambaran, yang harus ditempatkan dalam suatu konteks.24 Dalam ajaran positivistik, data merupakan fakta
selektif yang relevan dengan penelitian.25 Kedua, David mengambil
definisi yang dikembangkan Shanon26 yang memiliki sudut pandang
matematik, informasi didefinisikan sebagai sejumlah ketidaktentuan yang berkurang setiap kali pesan diterima. Ketiga, dari sudut ilmu sosial,
21 T.R. Schellenberg, op.cit., dalam bukunya Schellenberg mengatakan bahwa Sir Hilary Jenkinson sebagai bapak kearsipan Inggrislah yang mengetengahkan tentang sifat arsip yang imparsiality. 23 Dalam Ilmu Hukum dikenal adanya kebenaran formal yang berhubungan dengan autentisitas arsip yang meliputi keaslian fisik (tulisan, tanda tangan, kertas dll) dan kebenaran material yang berhubungan dengan reliabilitas arsip yang meliputi kebenaran informasi, validitas data, penandatangan/author dll. Dalam Ilmu Sejarah juga dikenal metode pengujian ekstern dan intern yang memiliki pengertian sejenis. 24 David Kroenke, 1992, Management Information Systems,second Edition, McGraw-Hill, Inc, Watsonville, California, hlm. 18.
25 Prof. Dr.H. Noeng Muhadjir, 1998, “Metode Keilmuan Kuantitatif”, dalam Internship Filasafat Ilmu Dosen Filsafat Ilmu se Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
hlm. 7.
26 Shannon, Claude E dan Warren Weaver, The Mathematical Theory of Communication, Urbana, University of Illinois Press, 1949 dalam David Kroenke, 1992, Management Information Systems,second Edition, McGraw-Hill, Inc, Watsonville, California, hlm. 18.
informasi adalah sebuah perbedaan yang membuat perbedaan. Hal ini merefleksikan apa yang dimaksud manusia ketika mereka bicara mereka merasa memiliki informasi. Mengapa organisasi menyusun anggaran dan mereka menjaga arus pengeluaran dan diperbandingkan dengan anggaran yang ada ? Jawabannya adalah karena mereka ingin melihat perbedaan pengeluaran yang ada dan diperbandingkan dengan unit atau organisasi lain.27 Selanjutnya David Kroenke mengatakan bahwa karakter informasi yang baik adalah pertinent (terkait dengan urusan yang ditangani dan penting bagi orang yang membutuhkan), timely (dapat ditemukan dengan cepat), akurat (tepat), mengurangi ketidakpastian, dan memiliki unsur kejutan/surprise.28
Prinsip menjaga hubungan informasi bermula dari hakekat informasi yang sudah dijelaskan di atas. Arsip dihasilkan dari aktivitas pelaksanaan fungsi-fungsi yang berkaitan satu sama lain. Sehingga gambaran informasi yang lengkap tentang suatu fungsi hanya dapat dilaksanakan bila kita menghubungkan informasi yang satu dengan lain yang memiliki hubungan itu. Hal ini juga kembali pada keberadaan arsip yang tidak tercipta sebagai satu kesatuan sebagaimana halnya buku. Arsip tercipta setiap kali terjadi transaksi baik yang berlangsung secara sekuel atau acak, di tempat yang sama atau yang berlainan. Apabila arsip-arsip tersebut memiliki keterkaitan informasi maka secara prinsip di antara arsip-arsip tersebut haruslah dihubungkan, sehingga menjadi sebuah informasi yang lengkap.
Prinsip selanjutnya adalah menjaga konteks arsip. Dalam pandangan Ketelaar dan Oldo Bucci, arsip diciptakan dalam dinamika sosial yang melingkunginya, sehingga secara alamiah arsip harus dikelola dengan tetap mempertautkan dengan konteks apa, siapa, mengapa, bagaimana, di mana dan kapan arsip itu diciptakan. Keberhasilan mempertautkan arsip dengan konteksnya menjadikan arsip lebih bermakna dan memiliki
27 Gregory Bateson, 1978, “Step To An Ecology of Mind, New York: Ballantine“, dalam David Kroenke, 1992, Management Information Systems,second Edition, McGraw-Hill, Inc, Watsonville, California, hlm. 271.
jiwa. Nilai utama dari arsip adalah bahwa mereka merekam tidak hanya pencapaian-pencapaian tetapi juga proses hingga kepada penyelesaiannya.29
Dalam objek yang sama Sir Hillary Jenkinson mengembangkan
empat karakter arsip yang harus dijaga oleh penggiat arsip. 30
Keempat karakter tersebut adalah pertama, naturalness atau
kealamiahan arsip. Penggiat arsip harus memiliki metode yang tepat untuk memelihara kealamiahan arsip atau suatu kondisi apa adanya, sesuai dengan apa yang terjadi sesungguhnya, dari zaman ke zaman. Kedua, interrealtedness atau keterhubungan yang digunakan untuk menjaga kelengkapan dan integritas arsip. Penggiat arsip perlu memiliki metode pendeskripsian arsip yang baik dan standar.31 Ketiga adalah karakter impartiality yang memerlukan metode yang berhubungan dengan perencanaan seleksi dan penilaian arsip. Keempat, authenticity yang memerlukan metode yang tepat untuk menjaga identitas dan keutuhan arsip.
Permasalahan metodologi di bidang kearsipan menurut pandangan Luciana Duranti terkait dengan filsafat aliran positivisme yang dikembangkan Auguste Comte seorang filsuf Perancis. Aliran positivisme
bersandar pada metode science (metode ilmu pengetahuan alam) yang pada awalnya ditujukan untuk melandasi dan menjembatani berbagai perbedaan di berbagai negara, bahasa, tradisi dan budaya kearsipan masing-masing, dan usaha ini ibarat mendirikan menara babel, yang artinya mustahil, karena mengabaikan perbedaan tradisi dan budaya kearsipan di masing-masing negara. Oleh karena itu, pengembangan
29 T.R. Schellenberg, 1980, o.cit., hal ii 30 T.R. Schellenberg, 1980, o.cit., hal ii
31 Luciana Duranti, “ The Power of Archives” dalam Inter PARES 2 Project, mengunakan pendapat Sir Hilary Jenkinson tentang empat karakter arsip.
Dalam hal deskripsi arsip secara internasional telah ditetapkan ISAD (international standard for archival description) oleh International Council on Archives. Standar deskripsi ini memuat 26 unsur data yang bersifat multilevel, yang dapat menghubungkan atau menyatukan informasi dalam hal ini arsip dari seluruh unit di satu organisasi, atau bahkan dapat dikaitan secara universal dengan arsip-arsip yang berada di negara lain. Dampak dari implementasi standar ini akan menjadikan informasi arsip menjadi satu koleksi level dunia global.
kearsipan sebagai ilmu cenderung untuk lebih memahami dan menerima berbagai perbedaan sebagai kenyataan yang tidak mungkin diingkari. Oldo Bucci mempertajam pengertian ilmu kearsipan. Ia membedakan antara ilmu (science) dengan pengetahuan (knowledge) tentang kearsipan. Pengetahuan tentang kearsipan merupakan intisari dari pelaksanaan pengelolaan arsip sehari-hari dalam berbagai aspeknya. Sedangkan ilmu kearsipan merupakan konstruksi pengetahuan secara konseptual dan sistematik sehingga menjadi sebuah disiplin ilmu yang terintegrasi32. Pengetahuan kearsipan membuka jalan bagi terciptanya ilmu kearsipan. Kemudian ilmu kearsipan dilaksanakan untuk membangun struktur, mengatur secara sistematis dan menegakan aturan dalam pengetahuan kearsipan. Pengetahuan kearsipan perlu mengubah diri menjadi ilmu kearsipan, demikian pula ilmu kearsipan perlu senantiasa mengembangkan pengetahuan kearsipan pada dirinya.
Bucci menekankan pemahaman terhadap arsip yang dikembangkan sebagai ilmu kearsipan adalah adanya penekanan pada penciptaan dan penyimpanan arsip yang didasarkan atas konteks sosial, pengorganisasian dan fungsionalisnya. Pemahaman arsip dapat diperoleh melalui konteksnya dan sebagai konsekuensinya pengelolaan arsip itu harus didasarkan pada konteknya pula.