• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori dan Metodologi Kearsipan

Dalam dokumen jurnal vol 5 tahun 2010 (Halaman 55-59)

D AF TAR P US TAKA

4. Teori dan Metodologi Kearsipan

Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan

pengetahuan.33 Pengetahuan tentang cara mengelompokkan dan

menyimpan arsip yang memiliki sejar ah panjang. Jika ditarik benang merah ke belakang, sejak 7000 tahun lalu, bangsa Sumeria telah menghasilkan “sistem” pencatatan pertama kali berupa catatan tentang pajak, pinjaman dan inventaris barang.

32 Eric Ketelaar, 1997, “The Diference Best Postponed? Cultures and Comparative Science”, dalam Archivaria 44, hlm. 142-148.

Pada tahun 562 SM, kearsipan menjadi salah satu fungsi pemerintahan yang penting di kerajaan Mesir Kuno dan Babilonia.34 Hingga abad pertengahan di Eropa, kearsipan menjadi kegiatan tersendiri, walaupun dalam pengklasifikasiannya masih dilakukan sama dengan perpustakaan. Dimulai dari Perancis, saat terjadi revolusi Perancis, pengetahuan kearsipan mulai menemukan prinsip-prinsip keilmuan, yaitu dengan diterapkannya prinsip pengaturan arsip respect des fonds pada tahun 1841, bahwa arsip harus diatur berdasarkan unit atau lembaga penciptanya. Di Prussia, prinsip pengaturan arsip ini disebut dengan provenienzprinsip

atau principle of provenance (prinsip asal-usul), dikembangkan oleh sejarawan Heinrich von Sybel dalam tulisannya Regulative fur die Ordnungsarbeiten im Geheime Staatsarchiv (aturan untuk penataan arsip negara yang rahasia) tahun 1881. Pada saat yang sama juga dikembangkan satu prinsip baru yang disebut registratur prinsip yang pada perkembangan selanjutnya disebut prinsip aturan asli (original order), yaitu bahwa penataan arsip harus memperhatikan tatanan asli ketika arsip digunakan oleh lembaga penciptanya.35

Di Belanda prinsip-prinsip tersebut diaplikasikan dan pada tahun 1898. Muller, Feith, dan Fruin menyusun buku pedoman yang sangat

popular disebut Dutch Manual yang sudah diterjemahkan dalam

berbagai bahasa. Arsiparis Belanda membandingkan kegiatan penataan arsip seperti ahli paleontologist yang menangani tulang-tulang binatang bersejarah. Di Inggris, prinsip-prinsip di atas juga diaplikasikan, sebagaimana tertuang dalam tulisan Sir Hilary Jenkinson yang berjudul

Manual of Archive Administration tahun 1922. Demikian pula perkembangan kearsipan di Amerika, juga menggunakan prinsip-prinsip dasar di atas. Dr. Waldo G. Leland dalam kertas kerjanya American Archival Problems, 1909, menyatakan bahwa pada umumnya prinsip yang dianut oleh kebanyakan lembaga arsip di Eropa, “herkomst beginsel”,

34 Blasius Sudarsono,”Records Management, Mengenal Standar Nasional Indonesia 19-6962.1- 2003” Makalah Sarasehan Kearsipan di LIPI, 2001.

“respect des fonds”, atau “principe de la provenance” harus diikuti di Amerika, supaya dapat mencerminkan proses yang menyebabkan mereka ada.

Diskusi di atas menunjukan bahwa dalam bidang kearsipan telah ditemukan suatu hukum dasar untuk menata arsip yang berlaku umum, berulang-ulang dan telah diuji bertahun-tahun.

Setelah perang dunia kedua, tercipta banyak sekali arsip akibat proses modernisasi di berbagai sektor kehidupan. Ahli sejarah masa depan mulai merasa khawatir jika ingin meneliti zaman kita, sejarawan akan tenggelam dalam banjir bukti-bukti tertulis,36 Kecuali timbul permasalahan yang berhubungan dengan jumlah arsip yang sangat banyak dan berbagai macam jenisnya, permasalahan yang paling krusial adalah menentukan arsip apa yang harus disimpan. Penentuan arsip apa yang disimpan berhubungan dengan masalah representasi arsip yang mampu merefleksikan benda atau peristiwa secara tepat dan lengkap, sehingga kebutuhan sumber penelitian dapat dipenuhi. Hal ini kemudian mendorong munculnya teori penilaian arsip baru yang semula menggunakan pendekatan tradisional dan berubah ke pendekatan modern. Perkembangan prinsip pengaturan dan prinsip penilaian arsip menunjukan adanya proses dinamisasi sebuah ilmu yang sedang mencari bentuk. Selain konsep dan teori yang berhubungan dengan penataan dan penilaian arsip, berkembang pula ideologi kearsipan yang dapat disebut semacam aliran, yaitu pandangan atau ide tentang life cycle of archives

(daur hidup arsip) dan ide continuum. Ide ini muncul ketika bahwa pengelolaan arsip merupakan proses yang terpadu. Semula pengelolaan arsip masih terbatas pada satu aspek saja, yaitu ilmu tentang penataan dan penyimpanan arsip yang kemudian berkembang suatu pemikiran bahwa penataan dan penyimpanan arsip dipengaruhi secara langsung oleh proses sebelum dan sesudahnya.

36 T.R. Schellenberg, 1956, The Apprisal of Modern Public Records, National Archives Bulletin No.8 Oktober 1956, Terjemahan Ismail Marahimin, 1980, Jakarta : Arsip Nasional RI.

Pandangan kearsipan yang mulai berkembang di Eropa pada awal abad 20 menganggap bahwa arsip hidup dalam dua fase besar, yaitu kehidupan dinamis (current) dan kehidupan statis (non current). Dalam fase kehidupan dinamis, arsip diibaratkan seperti kehidupan manusia yang melalui siklus diciptakan, digunakan dan dipelihara, serta disusutkan (lahir-hidup-mati). Sedangkan fase kehidupan statis, dimulai dari penilaian, penyimpanan dan pelestarian, serta penggunaan dan pelayanan arsip. Fase dinamis dialami ketika arsip masih berada di dalam lembaga penciptanya. Fase statis dialami ketika arsip sudah berada di lembaga kearsipan, seperti Arsip Nasional atau Arsip Daerah. Fase dinamis dan statis dipisahkan secara ekstrim oleh kewenangan kelembagaan. Faham daur hidup ini berkembang hampir diseluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.

Menjelang akhir abad 20 berkembang aliran continuum yang dimulai dari Kanada dan kemudian berkembang secara subur di Australia. Faham ini memandang arsip sebagai satu kesatuan yang koheren, tidak memisahkan antara fase dinamis dan statis. Entitas arsip sebagai informasi secara serentak mengalami perkembangan fungsi dari yang bersifat esklusif menjadi inklusif, dari yang bersifat administratif organisatoris menjadi berdimensi sosiokultural. Saat arsip diciptakan maka pada saat itu pula terpikir proses layanan arsip kepada masyarakat. Faham continuum diduga muncul akibat difusi teknologi informasi dan komunikasi dalam praktik administrasi dan kearsipan. Munculnya arsip elektronik yang tidak dapat diraba secara fisik mengakibatkan tahap-tahap kearsipan tidak dapat dipisah-pisahkan dalam waktu yang berbeda-beda. Pada saat membuat surat elektronik, sekali tekan enter

maka beberapa proses telah terjadi secara bersamaan, yaitu membuat naskah/ surat, mengirim, menyimpan, menentukan lokasi simpan, menentukan status akses, bahkan status penyusutannya. Dalam pandangan daur hidup proses-proses itu berlangsung secara berurut dalam waktu yang berbeda.

Pandangan continuum, belum sepenuhnya digunakan dalam praktek. Sebagai sebuah konsep, faham ini banyak diterima para ahli arsip, namun dalam prakteknya belum dapat diimplementasikan secara menyeluruh. Bahkan dalam beberapa segi sering menimbulkan pertentangan. Seorang ahli filsafat ilmu kearsipan dari Hongaria mengingatkan bahwa adaptasi kearsipan akibat perkembangan jaman dan TIK, tidak akan menjadi masalah jika kita tetap setia berpegang pada tugas pokok kearsipan yaitu: menyeleksi, memproses arsip agar dapat diakses dan mempreservasi arsip sesuai dengan jangka simpannya.

Penyesuaian/adaptasi/perubahan metode pengelolaan arsip diharapkan tidak membimbing kita untuk melakukan kompromi yang buruk dan merendahkan diri sendiri, sehingga kearsipan dikerjakan tanpa membutuhkan ilmu pengetahuan. Nilai dasar kearsipan seperti profesionalisme dan kebanggaan pada bidang ini tetap harus dijaga sebagai suatu yang paling berharga.

Dalam dokumen jurnal vol 5 tahun 2010 (Halaman 55-59)

Dokumen terkait