BAB I PENDAHULUAN
D. Keaslian Penulisan
Judul skripsi ini adalah “Implementasi Fungsi Pewakilan Diplomatik Dalam Perlindungan Warga Negara.” Skripsi ini ditulis berdasarkan ide, gagasan serta pemikiran Penulis dengan menggunakan berbagai referensi. Sehingga, bukan hasil dari penggandaan karya tulis, skripsi, thesis bahkan disertasi orang lain dan oleh karena itu keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan. Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data dari buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan pendapat dan kutipan, hal itu semata-mata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis perlukan demi penyempurnaan penulisan skripsi ini. Demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, mirip bahkan persis, demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan
berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 15 januari 2015.
E. Tinjauan Pustaka 1. Hubungan Diplomatik
Diplomatik berasal dari bahasa latin diploma, atau bahasa inggris diplomacy yaitu piagam. Dalam arti luas diplomatik diartikan sebagai sarana-sarana yang sah dan legal yang digunakan suatu Negara dalam melaksanakan politik luar negerinya. Untuk menjalin hubungan diantara negara-negara itu, biasanya negara tersebut saling menempatkan perwakilannya (Kedutaan atau Konsuler).
Hubungan diplomatik sering dilakukan secara terbuka artinya hubungan antar bangsa yang rakyatnya diberi informasi tentang isi perjanjian antar Negara-negara peserta. Namun hubungan diplomatik juga dapat dilakukan secara tertutup artinya hubungan antar negara-negara peserta saja. Tujuan hubungan diplomasi adalah untuk mengusahakan agar pihak-pihak yang mengadakan hubungan dengan suatu Negara mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kedua belah pihak. Penempatan perwakilan di Negara lain dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Perwakilan diplomatik dan Perwakilan konsuler7
2. Perwakilan Diplomatik .
Perwakilan diplomatik adalah perwakilan yang kegiatannya mewakili negaranya dalam melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau suatu organisasi internasional. Atau dengan kata lain, perwakilan yang kegiatannya melaksanakan kepentingan negaranya di luar negeri. Seseorang yang diberi tugas sebagai perwakilan diplomatik suatu negara biasanya disebut sebagai diplomat. Untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, suatu negara biasanya saling menempatkan perwakilan diplomatik dengan negara mitranya.
Proses pembukaan dan pengangkatan perwakilan diplomatik di antara kedua negara yang menjalin hubungan diplomatik, secara garis besar dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Kedua belah pihak/negara melakukan kegiatan pendahuluan yang diawali dengan tukar-menukar informasi tentang kemungkinan dibukanya perwakilan diplomatik. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh kepala negara atau departemen luar negeri masing-masing.
b. Masing-masing pihak kemudian mengajukan permohonan persetujuan (agreement) untuk menempatkan diplomat (duta besar/duta) yang dicalonkan oleh masing-masing pihak/negara. Setiap diplomat yang dicalonkan tersebut belum tentu diterima, tergantung pada penilaian negara yang akan menerimanya. Apabila seorang calon dianggap persona non-grata oleh negara penerima, berarti calon tersebut ditolak. Dengan demikian, harus diajukan calon lain sampai mendapatkan persetujuan.
c. Setelah ada persetujuan kedua belah pihak untuk saling menempatkan diplomat, maka diplomat tersebut menerima surat kepercayaan (letter of
credence) dari departemen luar negeri masing-masing yang telah ditandatangani oleh kepala negara. Surat kepercayaan tersebut menerangkan kebenaran identitas calon diplomat tersebut.
d. Para penerima surat kepercayaan (diplomat) harus menemui direktur protokol departemen luar negeri untuk memperoleh keterangan mengenai ketentuan yang harus mereka laksanakan saat bertugas.
e. Penyerahan surat kepercayaan oleh diplomat kepada pihak/negara yang akan menerima. Surat kepercayaan tersebut kemudian diserahkan langsung kepada kepala negara penerima. Adapun, surat kepercayaan kuasa usaha, diberikan kepada menteri luar negeri negara penerima. Dalam upacara penyerahan surat kepercayaan tersebut, seorang diplomat menyampaikan pidato di hadapan kepala negara penerima. Isi pidato tersebut harus sudah diketahui oleh menteri luar negeri negara penerima.8
3. Fungsi Perwakilan Diplomatik
Secara tradisional, fungsi perwakilan diplomatik atau agen diplomatik yang dikirimkan ke negara asing merupakan penyambung lidah pemerintahnya dan sebagai jalur komunikasi resmi antar negara pengirimnya dengan negara dimana diplomat tersebut di tempatkan. Selain itu, diplomat tersebut memberikan laporan-laporan kepada pemeritahnya mengenai kondisi dan perkembangan situasi yang terjadi di negara penerima, melindungi bangsanya yang berdiam di Negara penerima serta meningkatkan hubungan persahabatanantara Negaranya dengan
Negara penerima. Selanjutnya diplomat tersebut bertugas memupuk kerjasama dalam bidang ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Berikut ini beberapa fungsi perwakilan diplomatik, seperti yang tercantum dalam Konvensi Wina 1961:
a. Sebagai Perwakilan Negara.
b. Negosiasi Dengan Negara Penerima.
c. Mengajukan Protes.
d. Melakukan Interprestasi dan Usaha Untuk Memperoleh Dukungan Terhadap Pandangan Pemerintahnya.
e. Melindungi Kepentingan Negara Pengirim dan Warga Negaranya.
f. Meningkatkan Hubungan Persahabatan.
g. Mengetahui secara pasti dan Sah Kondisi dan Perkembangan di Negara Penerima dan Memberikan laporan.
4. Perlindungan Warga Negara
Negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya.
Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai negara hukum yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 yang berbunyi : Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Dengan sendirinya perlindungan hukum menjadi unsur esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum. Negara wajib menjamin hak-hak
hukum warga negaranya. Perlindungan hukum merupakan pengakuan terhadap harkat dan martabat warga negaranya sebagai manusia9
D. Metode Penelitian
.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.10 Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sifat penelitian adalah deskriptif analitis yakni menggambarkan dan menguraikan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perlindungan warga Negara.11 Metode penelitian yuridis normatif disebut juga penelitian doctrinal research yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di pengadilan12
9 http://fitrihidayat-ub.blogspot.co.id/2013/07/perlindungan-hukum-unsur-esensial-dalam.html
10 Bambang Sunggono. 2009, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 38.
11 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 12.
12
. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yang merupakan prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam penelitian ini pendekatan yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma hukum yang mengatur tentang perlindungan warga Negara oleh perwakilan diplomatik.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu metode penulisan yang menggambarkan semua data yang kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berangsung dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya.
2. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dalam penulisan karya tulis ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang telah jadi, dikumpulkan dan diolah menjadi data yang siap pakai13
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian, yakni berupa Undang-undang, Perjanjian Internasional, Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik.
. Data sekunder dalam penulisan ini terdiri dari :
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, thesis, disertasi, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, artikel, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain baik di bidang hukum maupun di luar bidang hukum yang digunakan untuk melengkapi data penelitian ini.
13 Zainuddin Ali. Op.Cit., hlm. 22.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan di dalam pengumpulan data adalah library research atau studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisis data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, langsung maupun tidak langsung (internet). Dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan yang lebih terarah dari pokok bahasan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Analisis Data
Data pada skripsi ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukan pola, hubungan-hubungan, dan memaparkan
temuan–temuan dalam bentuk deskripsi naratif yang bisa dimengerti dan dipahami oleh orang lain. Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah14
E. Sistematika Penulisan
. Metode ini menggunakan data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
Untuk memudahkan pemahaman dalam upaya mendapatkan jawaban atas rumusan masalah, maka pembahasan akan diuraikan secara garis besar melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemikiran dalam menguraikan lebih lanjut mengenai inti permasalahan yang akan dicari jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan garis besar dari 5 (lima) bab yang terdapat dalam skripsi. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap bab. Sistematikanya adalah sebagai berikut:
BAB I : Membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sebagai bagian awal dari penelitian ini, maka diuraikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian ini dan permasalahan serta urgensi dilakukannya penelitian dalam fungsi perlindungan warganegara oleh perwakilan diplomatik.
14 Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung, hlm.13.
BAB II : Membahas tentang perkembangan, pengertian, ruang lingkup dan pengaturan hukum tentang hubungan diplomatik yang berlaku di Indonesia dan menurut konvensi wina 1961.
BAB III : Membahas tentang pembukan hubungan, klasifikasi, kewajiban dan fungsi perwakilan diplomatik.
BAB IV : Membahas tentang perwakilan diplomatik secara spesifik dimulai dengan menguraikan pembukaan, perananan, dan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Negara penerima serta implementasi fungsi perlindungan warga Negara oleh perwakilan diplomatik Indonesia di Negara penerima.
BAB V : Membahas tentang kesimpulan dan saran dari penelitian ini. Sebagai bagian akhir dari skripsi, maka dalam bab ini dirangkum intisari, serta memberikan saran terhadap perwakilan diplomatik untuk pengeoptimalan fungsi perlindungan warganegara yang mungkin dapat bermanfaat dan dapat diaplikasikan.
BAB II
PENGATURAN HUKUM DIPLOMATIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Perkembangan Hubungan Diplomatik
Pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini, telah memacu semakin intensif nya interaksi antarnegara dan antarbangsa di dunia. Meningkatnya intensitas interaksi tersebut telah mempengaruhi potensi kegiatan ekonomi,politik, sosial, dan budaya kita dengan pihak luar, baik itu dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah), organisasi non-pemerintah (ornop dalam negeri dan NGO’s luar negeri), swasta (perusahaan-perusahaan multinasional), dan perorangan sebagai aktor baru dalam hubungan luar negeri. Kenyataan ini menuntut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut selain ditujukan untuk melindungi kepentingan Negara dan warga negaranya, serta pada gilirannya memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.15
Sejarah telah mencatat dan membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa di dunia mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatik, misi diplomatik secara tetap seperti yang ada dewasa ini, di zaman India kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar raja ataupun kerajaan, di mana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah
15Syahmin, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, Penerbit:
PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 13.
sudah dikenal dan dipraktikkan oleh Indonesia, dan negara-negara Asia serta Arab sebelum negara-negara Barat mengenalnya.16
1) Duta-duta Besar dan para Utusan ( Ambassador and Legats )
Pada abad ke-16 di benua eropa, masalah pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan, tetapi hukum kebiasaan internasional menyangkut masalah itu menjadi jelas pada abad ke-19, di mana pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan pada Kongres Wina 1815, yang diubah dan disempurnakan oleh Protocol Aix-la-Chapelle 1818.
Kongres Wina tersebut pada hakikatnya merupakan tonggak sejarah diplomasi modern karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip secara sistematis, termasuk klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik dan mekanisme hubungan diplomatik.
Dengan demikian, sampai dengan 1815 ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hubungan diplomatik sebagian bersumber dari hukum kebiasaan. Pada kongres wina 1815, raja-raja yang ikut dalam konferensi itu sepakat untuk mengodifikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah di capai, dan mereka hanya menghasilkan satu naskah,yaitu hierarki diplomat (klasifikasi jabatan kepala perwkilan diplomatik). Adapun klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik tersebut adalah sebagai berikut:
2) Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Luar Biasa ( Minister Plenipotentiary and Envoys Extraordinary )
3) Kuasa Usaha ( charge d’Affaires )
Yang kemudian dilengkapi pula dengan Protokol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November 1818.17
a) Ambassador and legates;
Yaitu penggolongan tersebut ditambahkan lagi dengan Minister Resident sebagai golongan ketiga. Dengan demikian, telah disusun suatu penggolongan baru dalam kongres Aix-la-Chapelle 1818 tersebut sebagai berikut:
Golongan pertama ini merupakan penggolongan pertama dalam wakil-wakil diplomatik dan mereka ini adalah para wakil dari negara-negara yang sepenuhnya berdaulat. Mereka di angkat sebagai Duta Besar dari negara masing-masing,sedangkan wakil yang diangkat oleh pope disebut legates.
b) Minister plenipotentiary and Envoys Extaraordinary;
Keduanya merupakan wakil diplomatik tingkat dua dan jika dibandingkan dengan golongan pertama, mereka menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang agak berkurang.
c) Minister Resident;
Golongan ketiga ini yang ditambahkan dalam Kongres Aix-La-Chapelle 1818 dan dalam Konvensi Wina 1961 golongan ini tidak lagi di masukkan.
d) Charge d’Affaires;
Wakil dalam golongan ini tidaklah diangkat oleh kepala Negara melainkan oleh Menteri Luar Negeri dari negaranya18
17 Ibid,. hlm. 14
18 S.K. Kapoor, International law, Fifth Edition, Central Law Agency, India, 1982, hlm.
373-374
.
Kemudian pada tahun 1927 Liga Bangsa-Bangsa membentuk suatu Komite Ahli yang bertugas untuk membahahas kodifikasi kemjuan hukum internasional termasuk hukum diplomatik. Kemudian Komite Ahli telah melaporkan kepada dewan Liga Bangsa-Bangsa tentang perlunya masalah yang berkaitan dengan hukum diplomatik yang meliputi berbagai aspek dalam pergaulan diplomatik antar-negara diatur secara internasional. Namun kemudian, Dewan tidak dapat menerima rekomendasi yang diajukan oleh Komite Ahli tersebut dan karena itu diputuskan untuk tidak memasukkan masalah yang sama dalam agenda Konferensi Den Haag yang diadakan pada tahun 1930 untuk membahas kodifikasi hukum internasional. Di lain pihak, konferensi Keenam Negara-negara Amerika yang diadakan di Havana tahun 1928 justru telah membahas masalah yang berkaitan dengan hukum diplomatik sebagai masalah penting. Konvensi Havana kemudian telah mnyetujui dua konvensi, pertama,
“Convention on Diplomatic Officer”dan yang kedua “Convention on Consular Agents”. Konvensi pertama kemudian telah diratifikasi oleh 14 negara Amerika, sedangkan Amerika Serikat walaupun telah menandatangani tetapi tidak meratifikasinya, karena tidak dapat menyetujui dengan dimasukkannya ketentuan-ketentuan tentang pemeberian suaka diplomatik. Dengan demikian, Konferensi Havana itu dianggap bukan saja telah ikut merintis tetapi juga telah berhasil dalam mengadakan usaha-usaha pendahuluan yang sangat penting dalam rangka kodifikasi hukum diplomatik19.
Kemudian setelah PBB didirikan dalam tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi Hukum Internasional untuk mendorong perkembangan kemajuan hukum internasional termasuk hukum diplomatik beserta kodifikasinya.
Selama tiga puluh tahun (1949-1979) Komisi telah menangani 27 topik dan sub-topik hukum internasional, 7 di antaranya adalah menyangkut hukum diplomatik yaitu:
a. Pergaulan dan Kekebalan Diplomatik;
b. Pergaulan dan Kekebalan Konsuler;
c. Misi-misi khusus;
d. Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional (Bagian I);
e. Masalah Perlindungan dan tidak diganggu gugatnya para pejabat diplomatik dan orang-orang lainnya yang berhak memperoleh perlindungan khusus menurut Hukum Internasional.
f. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang tidak diikutsertakan pada kurir diplomatik;
g. Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional (Bagian II).
Dengan kegiatan Komisi Hukum Internasional20
20 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hlm. 21.
selama ini, khususnya dalam rangka kodifikasi hukum diplomatik telah banyak permasalahan yang menyangkut hukum diplomatik antara lain adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur pembentukan misi-misi diplomatik, konsuler, misi-misi khusus pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang-orang yang secara
internasional perlu dilindungi termasuk para pejabat diplomatik dan lain sebagainya.
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Diplomatik Sebagai Dasar Hubungan Diplomatik.
Berbicara mengenai pengertian hukum diplomatik, ternyata hingga saat ini belum terdapat keseragaman pendapat di antara para ahli hukum internasional.
Umumnya para pakar tampaknya belum berusaha secara maksimal untuk memformulasikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan hubungan diplomatik itu. Barangkali hal itu dilatarbelakangi oleh suatu pemikiran bahwa pada hakikatnya hukum diplomatik ini tidak lebih hanya merupakan bagian dari hukum internasional publik, dan mempunyai sebagian sumber yang sama, seperti kebiasaan-kebiasaan internasional, dan konvensi-konvensi internasional (baik multilateral maupun bilateral) yang ada. 21
Jan Osmanczyk mengartikan hukum diplomatik sebagai cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas politik
Eileen Denza dalam tulisannya mengenai Diplomatic Law pada hakikatnya hanya menyangkut komentar terhadap konvensi wina 1961 mengenai hubungan diplomatik.
22
21 Syahmin, Op.Cit., hlm., 6.
22
.
Dengan demikian pada hakikatnya Hukum Diplomatik merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar Negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prisip tersebut dituangkan di dalam instrument-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional.
Hukum diplomatik bisa juga disebut sebagai “Hukum Diplomatik dan Konsuler” karena hal itu bukan saja menyangkut norma-norma yang megatur perwakilan diplomatik tetapi juga perwakilan konsuler. Hukum diplomatik ini sangat berhubungan dengan pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi para pejabat diplomatik dan konsuler beserta keluarganya termasuk rumah kediaman mereka. Kekebalan dan keistimewaan semacam itu juga diberikan kepada perwakilan diplomatik dan konsuler agar mereka dapat melaksanakan tugas misi yang di emban dari negara masing-masing secara lancar tanpa adanya gangguan apapun.
Berdasarkan pengertian tersebut,dapat dipahami bahwa ruang lingkup hukum diplomatik terdiri atas tiga bidang,yaitu sebagai berikut.
a. Hubungan diplomatik antarnegara;
b. Hubungan konsuler antarnegara;
c. Keterwakilan negara-negara pada organiasi-organisasi internasional.
Ketiga jenis pembidangan dalam hubungan diplomatik tersebut berbeda dengan pendapat konvensional yang menyatakan bahwa ruang lingkup hukum diplomatik hanya menyangkut ketentuan tentang hubungan diplomatik
antarnegara. Akan tetapi seiring meluasnya urusan antarnegara maka ruang lingkup hukum diplomatik juga bertambah luas sehingga mencakup hubugan konsuler dan hubungan Negara dengan organisasi internasional23
C. Hukum Diplomatik yang Berlaku di Indonesia Sebagai Dasar Hubungan Diplomatik.
.
a. Sebelum di Lakukan Ratifikasi Konvensi Wina 1961, tentang Hubungan Diplomatik.
Pada mulanya pengaturan dan pelaksanaan hukum diplomatik khususnya terhadap pelaksanaan serta pengakuan pemberian kekebalan-kekebalan diplomatik dan keistimewaan diplomatik di Indonesia berdasarkan kebiasaan internasional yang sudah baku, yang berlaku dalam praktek antar Negara dalam mengadakan pertukaran wakil diplomatik24
23Widodo Op.Cit., hlm 12
24
.
Di dalam perkembangan pergaulan internasional selanjutnya dirasakan perlu untuk membuat suatu konvensi internasional yang merupakan dasar hukum tertulis yang umum dapat dipergunkan oleh semua Negara secara timbal balik.
Kecenderungan ini akhirnya menghasilkan konvensi wina tentang hubungan diplomatik (Vienna Convention on Diplomatik Relations) 1961, yang merupakan pengakuan Hukum Internasional akan adanya pemberian kekebalan-kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Indonesia sebelum meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, maka pemberian kekebalan-kekebalan dan keistimewaan diplomatik secara yuridis adalah tetap berdasar pada hukum kebiasaan internasional25
a) Pedoman Tertib Diplomatik dan Tertib Protokol
. Dalam masa-masa permulaan pemerintah Indonesia di dalam melakukan hubungan internasionalnya baik yang bersifat diplomatik, konsuler, baik bilateral maupun multilateral, telah berpegang pada suatu pengaturan yaitu :
b) Pedoman Konsul Republik Indonesia dan pengaturan lain tentang tugas dan fungsi pejabat diplomatik dan konsuler.
Walaupun pengaturan itu bersifat intern, namun pada hakekatnya ketentuan yang dipakai adalah sesuai dengan prisip-prinsip kebiasaan internasional maupun konvensi wina 1815 yang mengatu tentang hubungan diplomatik.
Konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang hubungan bilateral maupun multilateral telah diikuti dengan seksama oleh Pemerintah
Konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang hubungan bilateral maupun multilateral telah diikuti dengan seksama oleh Pemerintah