IMPLEMENTASI FUNGSI PERWAKILAN DIPLOMATIK DALAM PERLINDUNGAN WARGA NEGARA
SKRIPSI
DiajukanUntukMelengkapiTugasAkhirdanMemenuhiSyarat- SyaratUntukMemperolehGelarSarjanaHukum
OLEH:
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016
FAISAL ANSHARI DWANA NIM: 120200022
IMPLEMENTASI FUNGSI PERWAKILAN DIPLOMATIK DALAM PERLINDUNGAN WARGA NEGARA
SKRIPSI
DiajukanUntukMelengkapiTugasAkhirdanMemenuhiSyarat- SyaratUntukMemperolehGelarSarjanaHukum
OLEH:
FAISAL ANSHARI DWANA NIM: 120200022
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui/DiketehuiOleh:
KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Dr. ChairulBariah, S.H., M.Hum NIP. 195612101986012001
DosenPembimbing I DosenPembimbing II
Dr. ChairulBariah, S.H., M.Hum Arif, S.H., M.Hum NIP :195612101986012001 NIP : 196403301993031002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016
LEMBAR PERNYATAAN
Denganinisayayang bertandatangandibawahini:
Nama : FAISAL ANSHARI DWANA NIM : 120200022
Judul : IMPLEMENTASI FUNGSI PERWAKILAN DIPLOMATIK DALAM PERLINDUNGAN WARGA NEGARA
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah benar hasil akrya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas maka saya bersedia mempertanggungjawabkan nya sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Medan, 2016
FAISAL ANSHARI DWANA NIM: 120200022
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahnya Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini serta teriring Shalawat dan Salam Penulis haturkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia keluar dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu dan islam. Penulisan skripsi ini berjudul “IMPLEMENTASI FUNGSI PERWAKILAN DIPLOMATIK DALAM PERLINDUNGAN WARGA NEGARA”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua saya, Sersan Mayor Muhammad dan Rosmawati Harahap,Amd. yang telah mendoakan serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, bantuan dan pengorbanan yang tak ternilai sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan formal hingga Strata Satu (S1).
Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H,M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak OK Saidin S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H, M. Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Ibu Aflah S.H., M.H.selaku Dosen Pembimbing Akademik;
7. Bapak Arif, S.H., M.H selaku Ketua Departemen Hukum Internasional sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II. Terimakasih atas bimbingan, saran, nasihat, dan ilmu yang ibu berikan selama ini dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai;
8. Ibu Dr. Chairul Bariah S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I.
Terimakasih atas waktu, saran dan bimbingan yang Bapak berikan selama ini hingga saya menyelesaikan skripsi ini;
9. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
10. Abang tersayang M Ihsan An Auwali, S.H dan adik tercinta Iin Septy Rosma Dewina dan agam Zumarna yang tak henti memberikan dukungan dan semangat agar skripsi ini selesai;
11. Teman-teman presidium BTM Aladdinsyah, S.H (kabinet Gurie-Guri Nyoi) Stambuk 012 Lutfi, Umam, Aref, Swandana, Taufiq, Rini, Aci, Suci, Bela, Dinda, Nurliza, Raihan, Indah dan terkhusus Chairunnisa Fitri Siregar yang
telah banyak membantu saya selama masa perkuliahan dan selalu memotivasi saya untuk menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas dukungan semangatnya dan semoga kita tetap terus menjalin ukhuwah islamiyah.
12. Adik-adik presidium dan pengurus BTM Aladdinsyah, S.H baik stambuk 013, 014 dan 015 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu dan seluruh keluarga besar BTM Aladdinsyah, S.H yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
13. Organisasi BTM Aladdinsyah, S.H yang telah menjadi wadah saya dalam menuntut ilmu diluar perkuliahan, khususnya ilmu Agama dan lainnya, yang banyak menyimpan kenangan baik suka ataupun duka dan semoga kita selalu tetap dijalan dakwah dan selalu memakmurkan mushalla atau masjid sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT.
14. Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FH USU baik stambuk 012, 013 dan 014 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu dan seluruh keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FH USU yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
15. Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam yang telah menjadi wadah saya dalam menuntut ilmu diluar perkuliahan, menambah pengalaman, yang banyak menyimpan kenangan baik suka ataupun duka dan semoga kita selalu tetap selalu memperbaiki diri menjadi lebih baik dan selalu menjaga nama baik organisasi dengan menunjukkan kwalitas kita sebagai anggota Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam yang berkompeten dalam hal keislaman,
akademis, dan sukses berorganisasi. Semoga ilmu yang saya dapatkan di HMI bisa saya aplikasikan dikehidupan sehari-hari dan dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak.
16. Dara-Dara ku Nazla Adilla, Oppie Chairani Lubis, Sabrina,dan Sherly Siregar.
17. Kakak-kakak saya kak kiki, kak nida, kak dedek dan kak dian.
18. Sobat-sobat saya, Rocky Priambudi, Auzy Arifin, Nazhifi Wilar, Iqbal Fuzan, Ray Bachtiar, Tantra, Juangga, Hadyan cholidin, Anggara, Raka, Adrina, Evi, Tya, Rafika, Fira dan seluruh stambuk 2012, adik-adik stambuk 013, 014 dan 015 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelasaikan skripsi ini.
19. Semua pihak yang membantu penulis dalam tahap perencanaan dan sampai selesainya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya. Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Medan, 19 Maret 2016
NIM: 120200022 Faisal Anshari Dwana
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAKSI ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………... 1
B. Rumusan Masalah ………... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………... 4
D. Keaslian Penulisan ………..…...……… 5
E. Tinjauan Kepustakaan ………..…... 6
F. Metode Penulisan ………..…...………. 10
G. Sistematika Penulisan ………..…...…… 14
BAB II PELAKSANAAN PERKEMBANGAN HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA-NEGARA A. Perkembangan Hubungan Diplomatik ... 16
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Diplomatik Sebagai Dasar Hubungan Diplomatik ... 21
C. Hukum Diplomatik yang Berlaku di Indonesia Sebagai Dasar Hubungan Diplomatik ... 23
D. Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik ... 28
BAB III PERLINDUNGAN WARGA NEGARA SEBAGAI FUNGSI DARI PERWAKILAN DIPLOMATIK
A. Pembukaan Hubungan dan Perwakilan Diplomatik ... 30
B. Klasifikasi Perwakilan Diplomatik ... 42
C. Kewajiban Perwakilan Diplomatik ... 48
D. Fungsi Perwakilan Diplomatik ... 52
BAB IV IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN WARGA NEGARA OLEH PERWAKILAN DIPLOMATIK A. Pembukaan Hubungan Diplomatik Indonesia Di Negara Penerima .... 62
B. Peranan Perwakilan Diplomatik Indonesia Di Negara Penerima ... 64
C. Hubungan Diplomatik Antara Indoneisa Dengan Negara Penerima ... 69
D. Implementasi Fungsi Perlindungan Warga Negara Oleh Perwakilan Diplomatik ... 71
BAB V KESIMPULAN & SARAN A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
ABSTRAKSI Arif S.H., M.Hum.*
Dr. Chairul Bariah S.H., M.Hum.**
Faisal Anshari Dwana***
Hubungan diplomatik sebagai salah satu instrument luar negeri merupakan kebutuhan bagi setiap negara. Perkembangan yang terjadi di tingkat nasional dan di tingkat internasional dapat memberikan peluang dan tantangan yang lebih besar bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri melalui pelaksanaan politik luar negeri. Berdasarkan hal ini maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana pelaksanaan perkembangan hubungan diplomatik Negara-negara ? Bagaimana pelindungan warga Negara sebagai fungsi dari perwakilan diplomatik
? Bagaimana implementasi perlindungan warga Negara oleh perwakilan diplomatik
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif disebut juga penelitian doctrinal research yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di pengadilan. Metode penelitian yuridis normatif merupakan prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya dan sifat penelitian adalah deskriptif analitis yakni menggambarkan dan menguraikan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hubungan diplomaatik antar negara.
Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa Sejak awal fungsi seorang duta besar ataupun para pejabat diplomatik adalah mewakili kepentingan negara pengirim di negara penerima (akreditasi) dan sebagai penghubung antar pemerintahan kedua negara. Di negara penerima, mereka mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi serta melaporkannya kepada negara pengirim. Mereka juga bertugas melindungi warga negara dan berbagai kepentingan negaranya di negara pengirim. Fungsi-fungsi tersebut telah di atur dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961
Kata Kunci: Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Warga Negara.
* Dosen Pembimbing I
** Dosen Pembimbing II
*** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Semenjak lahirnya negara-negara di dunia maka berkembang prinsip- prinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomasi. Dalam hubungannya satu sama lain negara-negara mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan negara lain dalam rangka memperjuangkan dan mengamankan kepetingannya masing-masing disamping mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama. Cara-cara dan bentuk yang dilakukan dalam pendekatan dan berunding dengan negara lain untuk mengembangkan hubungan tersebut dinamakan diplomasi yang dilaksanakan oleh diplomat. Selanjutnya pembukaan dan pemeliharaan hubungan diplomatik dengan negara lain, atas dasar kesamaan hak, merupakan manifestasi nyata dari kedaulatan negara. Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibu kota negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa.1
Hubungan diplomatik sebagai salah satu instrument luar negeri merupakan kebutuhan bagi setiap negara. Perkembangan yang terjadi di tingkat nasional dan di tingkat internasional dapat memberikan peluang dan tantangan yang lebih besar bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri melalui pelaksanaan politik luar negeri. Hal ini di dasarkan pertimbangan bahwa sejak dahulu sampai saat ini tidak
1DR. Mauna, Broer. 2005. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Gobal. Bandung: PT. Alumni. Hlm. 510.
ada satu pun Negara yang dapat berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional.2
Saat ini perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interpedensi antar Negara. Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin meningkat pula kerjasama internasional. Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler, serta Konvensi New York Tahun 1969 tentang Utusan Khusus menjadi pedoman pokok hubungan antarnegara dan antarorganisasi internasional. Dalam membina hubungan antarnegara tersebut, hukum diplomatik menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami.3
Hubungan diplomatik memang di perlukan untuk memperkuat tali persahabatan dan kerja sama antar bangsa, tetapi juga dapat menjadi alat Negara- negara kuat untuk menekan negara-negara kecil. Selanjutnya keanekaragaman subjek hukum internasional meningkatkan lagi kompleksitas masalah-masalah yang di timbulkan oleh hubungan diplomatik. Sebagai contoh Negara tuan rumah organisasi internasional bukan saja harus mentolerir keberadaan perwakilan negara-negara lain yang di akreditasikan kepada organisasi internasional tersebut,tetapi juga gerakan-gerakan pembebasan nasional atau organisasi- organisasi internasional lainnya. Akan timbul permasalahan bila Negara tuan rumah tidak mengakui Negara atau gerakan yang membuka misi-misi tetap itu.
Demikian juga hubungan gerakan-gerakan pembebasan nasional dengan Negara-
2Widodo. 2009. Hukum Kekebalan Diplomatik. Malang: CV. Aswaja Pressiondo. Hlm. 1.
negara setempat bergantung sepenuh nya dari kemauan baik negara yang bersangkutan4
Salah satu fungsi dari hubungan diplomatik adalah perlindungan terhadap kepentingan negara pengirim dan warga negara nya di negara penerima dalam batas-batas yang di perbolehkan oleh hukum internasional.5
Konvensi Wina menegaskan bahwa perwakilan diplomatik itu berfungsi melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim serta warga negaranya didalam wilayah dimana ia diakreditasikan dalam batas-batas yang dipebolehkan oleh hukum internasional. Perlindungan itu harus pula diberikan oleh negara penerima kepada para pejabat diplomatik di negaranya. Bahkan negara ketiga pun harus memberikan fasilitas dan perlindungan diplomatik kepada para pejabat diplomatik yang sedang intransit dinegara ketiga yang bersangkutan.
Di mana sudah semestinya warga negara Indonesia di luar negeri mendapatkan perlindungan oleh perwakilan diplomatik.
6
Dengan demikian, masyarakat internasional menganggap perlu diadakan usaha-usaha untuk melengkapi ketentuan-ketentuan internasional yang ada agar dapat menjamin perlindungan,keselamatan, dan pengamanan bagi wakil-wakil negara, khususnya usaha yang dianggap penting untuk memusatkan perhatian kepada tanggung jawab internasional bagi negara-negara pelanggarnya.
4 Boer Mauna, Hukum Internasional,Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,alumni, bandung, 2005, hlm. 512.
5 Suryokusumo sumaryo, Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I, Tatanusa, Jakarta, 2013, hlm 72.
6 Pasal 40 Konvensi Wina 1961
Berdasarkan uraian diatas, maka dianggap penting untuk dilakukan peninjauan dan pengkajian yang mendalam tentang implementasi fungsi perwakilan diplomatik dalam perlindungan warga negara guna menjamin perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang di atas, adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pelaksanaan perkembangan hubungan diplomatik negara-negara ? 2. Bagaimana perlindungan warga negara sebagai fungsi dari perwakilan
diplomatik?
3. Bagaimana implementasi perlindungan warga negara oleh perwakilan diplomatik?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan perkembangan hubungan diplomatik negara- negara.
2. Untuk mengetahui perlindungan warga negara sebagai fungsi dari perwakilan diplomatik.
3. Untuk mengetahui implementasi perlindungan warga negara oleh perwakilan diplomatik.
Manfaat teoritis:
a. Memberikan tambahan literatur sebagai bahan pustaka Hukum Internasional tentang hukum diplomatik .
b. Memberikan dasar bagi penelitian selanjutnya dalam masalah perlindungan warga negara di negara penerima dan pengaturan lainnya.
Manfaat praktis:
a. Untuk Pemerintah Republik Indonesia, agar dapat memberikan masukan tentang arti penting perlindungan warga negara oleh perwakilan diplomatik.
b. Untuk masyarakat luas, agar dapat memberikan gambaran/uraian tentang arti penting perlindungan warga negara oleh perwakilan diplomatik.
D. Keaslian Penulisan
Judul skripsi ini adalah “Implementasi Fungsi Pewakilan Diplomatik Dalam Perlindungan Warga Negara.” Skripsi ini ditulis berdasarkan ide, gagasan serta pemikiran Penulis dengan menggunakan berbagai referensi. Sehingga, bukan hasil dari penggandaan karya tulis, skripsi, thesis bahkan disertasi orang lain dan oleh karena itu keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan. Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data dari buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan pendapat dan kutipan, hal itu semata-mata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis perlukan demi penyempurnaan penulisan skripsi ini. Demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, mirip bahkan persis, demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan
berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 15 januari 2015.
E. Tinjauan Pustaka 1. Hubungan Diplomatik
Diplomatik berasal dari bahasa latin diploma, atau bahasa inggris diplomacy yaitu piagam. Dalam arti luas diplomatik diartikan sebagai sarana- sarana yang sah dan legal yang digunakan suatu Negara dalam melaksanakan politik luar negerinya. Untuk menjalin hubungan diantara negara-negara itu, biasanya negara tersebut saling menempatkan perwakilannya (Kedutaan atau Konsuler).
Hubungan diplomatik sering dilakukan secara terbuka artinya hubungan antar bangsa yang rakyatnya diberi informasi tentang isi perjanjian antar Negara-negara peserta. Namun hubungan diplomatik juga dapat dilakukan secara tertutup artinya hubungan antar negara-negara peserta saja. Tujuan hubungan diplomasi adalah untuk mengusahakan agar pihak-pihak yang mengadakan hubungan dengan suatu Negara mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kedua belah pihak. Penempatan perwakilan di Negara lain dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Perwakilan diplomatik dan Perwakilan konsuler7
2. Perwakilan Diplomatik .
Perwakilan diplomatik adalah perwakilan yang kegiatannya mewakili negaranya dalam melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau suatu organisasi internasional. Atau dengan kata lain, perwakilan yang kegiatannya melaksanakan kepentingan negaranya di luar negeri. Seseorang yang diberi tugas sebagai perwakilan diplomatik suatu negara biasanya disebut sebagai diplomat. Untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, suatu negara biasanya saling menempatkan perwakilan diplomatik dengan negara mitranya.
Proses pembukaan dan pengangkatan perwakilan diplomatik di antara kedua negara yang menjalin hubungan diplomatik, secara garis besar dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Kedua belah pihak/negara melakukan kegiatan pendahuluan yang diawali dengan tukar-menukar informasi tentang kemungkinan dibukanya perwakilan diplomatik. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh kepala negara atau departemen luar negeri masing-masing.
b. Masing-masing pihak kemudian mengajukan permohonan persetujuan (agreement) untuk menempatkan diplomat (duta besar/duta) yang dicalonkan oleh masing-masing pihak/negara. Setiap diplomat yang dicalonkan tersebut belum tentu diterima, tergantung pada penilaian negara yang akan menerimanya. Apabila seorang calon dianggap persona non-grata oleh negara penerima, berarti calon tersebut ditolak. Dengan demikian, harus diajukan calon lain sampai mendapatkan persetujuan.
c. Setelah ada persetujuan kedua belah pihak untuk saling menempatkan diplomat, maka diplomat tersebut menerima surat kepercayaan (letter of
credence) dari departemen luar negeri masing-masing yang telah ditandatangani oleh kepala negara. Surat kepercayaan tersebut menerangkan kebenaran identitas calon diplomat tersebut.
d. Para penerima surat kepercayaan (diplomat) harus menemui direktur protokol departemen luar negeri untuk memperoleh keterangan mengenai ketentuan yang harus mereka laksanakan saat bertugas.
e. Penyerahan surat kepercayaan oleh diplomat kepada pihak/negara yang akan menerima. Surat kepercayaan tersebut kemudian diserahkan langsung kepada kepala negara penerima. Adapun, surat kepercayaan kuasa usaha, diberikan kepada menteri luar negeri negara penerima. Dalam upacara penyerahan surat kepercayaan tersebut, seorang diplomat menyampaikan pidato di hadapan kepala negara penerima. Isi pidato tersebut harus sudah diketahui oleh menteri luar negeri negara penerima.8
3. Fungsi Perwakilan Diplomatik
Secara tradisional, fungsi perwakilan diplomatik atau agen diplomatik yang dikirimkan ke negara asing merupakan penyambung lidah pemerintahnya dan sebagai jalur komunikasi resmi antar negara pengirimnya dengan negara dimana diplomat tersebut di tempatkan. Selain itu, diplomat tersebut memberikan laporan-laporan kepada pemeritahnya mengenai kondisi dan perkembangan situasi yang terjadi di negara penerima, melindungi bangsanya yang berdiam di Negara penerima serta meningkatkan hubungan persahabatanantara Negaranya dengan
Negara penerima. Selanjutnya diplomat tersebut bertugas memupuk kerjasama dalam bidang ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Berikut ini beberapa fungsi perwakilan diplomatik, seperti yang tercantum dalam Konvensi Wina 1961:
a. Sebagai Perwakilan Negara.
b. Negosiasi Dengan Negara Penerima.
c. Mengajukan Protes.
d. Melakukan Interprestasi dan Usaha Untuk Memperoleh Dukungan Terhadap Pandangan Pemerintahnya.
e. Melindungi Kepentingan Negara Pengirim dan Warga Negaranya.
f. Meningkatkan Hubungan Persahabatan.
g. Mengetahui secara pasti dan Sah Kondisi dan Perkembangan di Negara Penerima dan Memberikan laporan.
4. Perlindungan Warga Negara
Negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya.
Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai negara hukum yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 yang berbunyi : Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Dengan sendirinya perlindungan hukum menjadi unsur esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum. Negara wajib menjamin hak-hak
hukum warga negaranya. Perlindungan hukum merupakan pengakuan terhadap harkat dan martabat warga negaranya sebagai manusia9
D. Metode Penelitian
.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.10 Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sifat penelitian adalah deskriptif analitis yakni menggambarkan dan menguraikan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perlindungan warga Negara.11 Metode penelitian yuridis normatif disebut juga penelitian doctrinal research yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di pengadilan12
9http://fitrihidayat-ub.blogspot.co.id/2013/07/perlindungan-hukum-unsur-esensial- dalam.html
10 Bambang Sunggono. 2009, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 38.
11 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 12.
12
. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yang merupakan prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam penelitian ini pendekatan yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma hukum yang mengatur tentang perlindungan warga Negara oleh perwakilan diplomatik.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu metode penulisan yang menggambarkan semua data yang kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berangsung dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya.
2. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dalam penulisan karya tulis ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang telah jadi, dikumpulkan dan diolah menjadi data yang siap pakai13
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian, yakni berupa Undang-undang, Perjanjian Internasional, Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik.
. Data sekunder dalam penulisan ini terdiri dari :
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, thesis, disertasi, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, artikel, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain baik di bidang hukum maupun di luar bidang hukum yang digunakan untuk melengkapi data penelitian ini.
13 Zainuddin Ali. Op.Cit., hlm. 22.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan di dalam pengumpulan data adalah library research atau studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisis data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, langsung maupun tidak langsung (internet). Dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan yang lebih terarah dari pokok bahasan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Analisis Data
Data pada skripsi ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukan pola, hubungan-hubungan, dan memaparkan
temuan–temuan dalam bentuk deskripsi naratif yang bisa dimengerti dan dipahami oleh orang lain. Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah14
E. Sistematika Penulisan
. Metode ini menggunakan data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
Untuk memudahkan pemahaman dalam upaya mendapatkan jawaban atas rumusan masalah, maka pembahasan akan diuraikan secara garis besar melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemikiran dalam menguraikan lebih lanjut mengenai inti permasalahan yang akan dicari jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan garis besar dari 5 (lima) bab yang terdapat dalam skripsi. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap bab. Sistematikanya adalah sebagai berikut:
BAB I : Membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sebagai bagian awal dari penelitian ini, maka diuraikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian ini dan permasalahan serta urgensi dilakukannya penelitian dalam fungsi perlindungan warganegara oleh perwakilan diplomatik.
14 Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung, hlm.13.
BAB II : Membahas tentang perkembangan, pengertian, ruang lingkup dan pengaturan hukum tentang hubungan diplomatik yang berlaku di Indonesia dan menurut konvensi wina 1961.
BAB III : Membahas tentang pembukan hubungan, klasifikasi, kewajiban dan fungsi perwakilan diplomatik.
BAB IV : Membahas tentang perwakilan diplomatik secara spesifik dimulai dengan menguraikan pembukaan, perananan, dan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Negara penerima serta implementasi fungsi perlindungan warga Negara oleh perwakilan diplomatik Indonesia di Negara penerima.
BAB V : Membahas tentang kesimpulan dan saran dari penelitian ini. Sebagai bagian akhir dari skripsi, maka dalam bab ini dirangkum intisari, serta memberikan saran terhadap perwakilan diplomatik untuk pengeoptimalan fungsi perlindungan warganegara yang mungkin dapat bermanfaat dan dapat diaplikasikan.
BAB II
PENGATURAN HUKUM DIPLOMATIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Perkembangan Hubungan Diplomatik
Pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini, telah memacu semakin intensif nya interaksi antarnegara dan antarbangsa di dunia. Meningkatnya intensitas interaksi tersebut telah mempengaruhi potensi kegiatan ekonomi,politik, sosial, dan budaya kita dengan pihak luar, baik itu dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah), organisasi non-pemerintah (ornop dalam negeri dan NGO’s luar negeri), swasta (perusahaan-perusahaan multinasional), dan perorangan sebagai aktor baru dalam hubungan luar negeri. Kenyataan ini menuntut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut selain ditujukan untuk melindungi kepentingan Negara dan warga negaranya, serta pada gilirannya memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.15
Sejarah telah mencatat dan membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa- bangsa di dunia mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatik, misi diplomatik secara tetap seperti yang ada dewasa ini, di zaman India kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar raja ataupun kerajaan, di mana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah
15Syahmin, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, Penerbit:
PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 13.
sudah dikenal dan dipraktikkan oleh Indonesia, dan negara-negara Asia serta Arab sebelum negara-negara Barat mengenalnya.16
1) Duta-duta Besar dan para Utusan ( Ambassador and Legats )
Pada abad ke-16 di benua eropa, masalah pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan, tetapi hukum kebiasaan internasional menyangkut masalah itu menjadi jelas pada abad ke-19, di mana pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan pada Kongres Wina 1815, yang diubah dan disempurnakan oleh Protocol Aix-la-Chapelle 1818.
Kongres Wina tersebut pada hakikatnya merupakan tonggak sejarah diplomasi modern karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip secara sistematis, termasuk klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik dan mekanisme hubungan diplomatik.
Dengan demikian, sampai dengan 1815 ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hubungan diplomatik sebagian bersumber dari hukum kebiasaan. Pada kongres wina 1815, raja-raja yang ikut dalam konferensi itu sepakat untuk mengodifikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah di capai, dan mereka hanya menghasilkan satu naskah,yaitu hierarki diplomat (klasifikasi jabatan kepala perwkilan diplomatik). Adapun klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik tersebut adalah sebagai berikut:
2) Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Luar Biasa ( Minister Plenipotentiary and Envoys Extraordinary )
3) Kuasa Usaha ( charge d’Affaires )
Yang kemudian dilengkapi pula dengan Protokol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November 1818.17
a) Ambassador and legates;
Yaitu penggolongan tersebut ditambahkan lagi dengan Minister Resident sebagai golongan ketiga. Dengan demikian, telah disusun suatu penggolongan baru dalam kongres Aix-la-Chapelle 1818 tersebut sebagai berikut:
Golongan pertama ini merupakan penggolongan pertama dalam wakil-wakil diplomatik dan mereka ini adalah para wakil dari negara-negara yang sepenuhnya berdaulat. Mereka di angkat sebagai Duta Besar dari negara masing-masing,sedangkan wakil yang diangkat oleh pope disebut legates.
b) Minister plenipotentiary and Envoys Extaraordinary;
Keduanya merupakan wakil diplomatik tingkat dua dan jika dibandingkan dengan golongan pertama, mereka menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang agak berkurang.
c) Minister Resident;
Golongan ketiga ini yang ditambahkan dalam Kongres Aix-La-Chapelle 1818 dan dalam Konvensi Wina 1961 golongan ini tidak lagi di masukkan.
d) Charge d’Affaires;
Wakil dalam golongan ini tidaklah diangkat oleh kepala Negara melainkan oleh Menteri Luar Negeri dari negaranya18
17 Ibid,. hlm. 14
18 S.K. Kapoor, International law, Fifth Edition, Central Law Agency, India, 1982, hlm.
373-374
.
Kemudian pada tahun 1927 Liga Bangsa-Bangsa membentuk suatu Komite Ahli yang bertugas untuk membahahas kodifikasi kemjuan hukum internasional termasuk hukum diplomatik. Kemudian Komite Ahli telah melaporkan kepada dewan Liga Bangsa-Bangsa tentang perlunya masalah yang berkaitan dengan hukum diplomatik yang meliputi berbagai aspek dalam pergaulan diplomatik antar-negara diatur secara internasional. Namun kemudian, Dewan tidak dapat menerima rekomendasi yang diajukan oleh Komite Ahli tersebut dan karena itu diputuskan untuk tidak memasukkan masalah yang sama dalam agenda Konferensi Den Haag yang diadakan pada tahun 1930 untuk membahas kodifikasi hukum internasional. Di lain pihak, konferensi Keenam Negara-negara Amerika yang diadakan di Havana tahun 1928 justru telah membahas masalah yang berkaitan dengan hukum diplomatik sebagai masalah penting. Konvensi Havana kemudian telah mnyetujui dua konvensi, pertama,
“Convention on Diplomatic Officer”dan yang kedua “Convention on Consular Agents”. Konvensi pertama kemudian telah diratifikasi oleh 14 negara Amerika, sedangkan Amerika Serikat walaupun telah menandatangani tetapi tidak meratifikasinya, karena tidak dapat menyetujui dengan dimasukkannya ketentuan- ketentuan tentang pemeberian suaka diplomatik. Dengan demikian, Konferensi Havana itu dianggap bukan saja telah ikut merintis tetapi juga telah berhasil dalam mengadakan usaha-usaha pendahuluan yang sangat penting dalam rangka kodifikasi hukum diplomatik19.
Kemudian setelah PBB didirikan dalam tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi Hukum Internasional untuk mendorong perkembangan kemajuan hukum internasional termasuk hukum diplomatik beserta kodifikasinya.
Selama tiga puluh tahun (1949-1979) Komisi telah menangani 27 topik dan sub- topik hukum internasional, 7 di antaranya adalah menyangkut hukum diplomatik yaitu:
a. Pergaulan dan Kekebalan Diplomatik;
b. Pergaulan dan Kekebalan Konsuler;
c. Misi-misi khusus;
d. Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional (Bagian I);
e. Masalah Perlindungan dan tidak diganggu gugatnya para pejabat diplomatik dan orang-orang lainnya yang berhak memperoleh perlindungan khusus menurut Hukum Internasional.
f. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang tidak diikutsertakan pada kurir diplomatik;
g. Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional (Bagian II).
Dengan kegiatan Komisi Hukum Internasional20
20 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hlm. 21.
selama ini, khususnya dalam rangka kodifikasi hukum diplomatik telah banyak permasalahan yang menyangkut hukum diplomatik antara lain adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur pembentukan misi-misi diplomatik, konsuler, misi-misi khusus pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang-orang yang secara
internasional perlu dilindungi termasuk para pejabat diplomatik dan lain sebagainya.
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Diplomatik Sebagai Dasar Hubungan Diplomatik.
Berbicara mengenai pengertian hukum diplomatik, ternyata hingga saat ini belum terdapat keseragaman pendapat di antara para ahli hukum internasional.
Umumnya para pakar tampaknya belum berusaha secara maksimal untuk memformulasikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan hubungan diplomatik itu. Barangkali hal itu dilatarbelakangi oleh suatu pemikiran bahwa pada hakikatnya hukum diplomatik ini tidak lebih hanya merupakan bagian dari hukum internasional publik, dan mempunyai sebagian sumber yang sama, seperti kebiasaan-kebiasaan internasional, dan konvensi-konvensi internasional (baik multilateral maupun bilateral) yang ada. 21
Jan Osmanczyk mengartikan hukum diplomatik sebagai cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas politik
Eileen Denza dalam tulisannya mengenai Diplomatic Law pada hakikatnya hanya menyangkut komentar terhadap konvensi wina 1961 mengenai hubungan diplomatik.
22
21 Syahmin, Op.Cit., hlm., 6.
22
.
Dengan demikian pada hakikatnya Hukum Diplomatik merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar Negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prisip tersebut dituangkan di dalam instrument-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional.
Hukum diplomatik bisa juga disebut sebagai “Hukum Diplomatik dan Konsuler” karena hal itu bukan saja menyangkut norma-norma yang megatur perwakilan diplomatik tetapi juga perwakilan konsuler. Hukum diplomatik ini sangat berhubungan dengan pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi para pejabat diplomatik dan konsuler beserta keluarganya termasuk rumah kediaman mereka. Kekebalan dan keistimewaan semacam itu juga diberikan kepada perwakilan diplomatik dan konsuler agar mereka dapat melaksanakan tugas misi yang di emban dari negara masing-masing secara lancar tanpa adanya gangguan apapun.
Berdasarkan pengertian tersebut,dapat dipahami bahwa ruang lingkup hukum diplomatik terdiri atas tiga bidang,yaitu sebagai berikut.
a. Hubungan diplomatik antarnegara;
b. Hubungan konsuler antarnegara;
c. Keterwakilan negara-negara pada organiasi-organisasi internasional.
Ketiga jenis pembidangan dalam hubungan diplomatik tersebut berbeda dengan pendapat konvensional yang menyatakan bahwa ruang lingkup hukum diplomatik hanya menyangkut ketentuan tentang hubungan diplomatik
antarnegara. Akan tetapi seiring meluasnya urusan antarnegara maka ruang lingkup hukum diplomatik juga bertambah luas sehingga mencakup hubugan konsuler dan hubungan Negara dengan organisasi internasional23
C. Hukum Diplomatik yang Berlaku di Indonesia Sebagai Dasar Hubungan Diplomatik.
.
a. Sebelum di Lakukan Ratifikasi Konvensi Wina 1961, tentang Hubungan Diplomatik.
Pada mulanya pengaturan dan pelaksanaan hukum diplomatik khususnya terhadap pelaksanaan serta pengakuan pemberian kekebalan-kekebalan diplomatik dan keistimewaan diplomatik di Indonesia berdasarkan kebiasaan internasional yang sudah baku, yang berlaku dalam praktek antar Negara dalam mengadakan pertukaran wakil diplomatik24
23Widodo Op.Cit., hlm 12
24
.
Di dalam perkembangan pergaulan internasional selanjutnya dirasakan perlu untuk membuat suatu konvensi internasional yang merupakan dasar hukum tertulis yang umum dapat dipergunkan oleh semua Negara secara timbal balik.
Kecenderungan ini akhirnya menghasilkan konvensi wina tentang hubungan diplomatik (Vienna Convention on Diplomatik Relations) 1961, yang merupakan pengakuan Hukum Internasional akan adanya pemberian kekebalan-kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Indonesia sebelum meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, maka pemberian kekebalan-kekebalan dan keistimewaan diplomatik secara yuridis adalah tetap berdasar pada hukum kebiasaan internasional25
a) Pedoman Tertib Diplomatik dan Tertib Protokol
. Dalam masa-masa permulaan pemerintah Indonesia di dalam melakukan hubungan internasionalnya baik yang bersifat diplomatik, konsuler, baik bilateral maupun multilateral, telah berpegang pada suatu pengaturan yaitu :
b) Pedoman Konsul Republik Indonesia dan pengaturan lain tentang tugas dan fungsi pejabat diplomatik dan konsuler.
Walaupun pengaturan itu bersifat intern, namun pada hakekatnya ketentuan yang dipakai adalah sesuai dengan prisip-prinsip kebiasaan internasional maupun konvensi wina 1815 yang mengatu tentang hubungan diplomatik.
Konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang hubungan bilateral maupun multilateral telah diikuti dengan seksama oleh Pemerintah Indonesia dan dimuat di dalam “Pedoman Tertib Diplomatik dan Tertib Protokol “ antara lain mengenai organisi, tanggung jawab dan kewajiban pejabat diplomatik dan konsuler (PDK), termasuk juga peraturan keistimewaan-keistimewaan dan kekebalan-kekebalan diplomatik yang harus diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada para pejabat diplomatik.
25 Ibid,hlm 83
Untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan sering dikeluarkan surat-surat keputusan Menteri Luar Negeri yang menyangkut susunan dan organisasi Perwakilan-perwakilan di Luar Negeri.
Walaupun pada waktu itu Indonesia belum turut serta menjadi pihak dalam Konvensi Wina 1969 mengenai perjanjian-perjanjian namun Indonesia telah mengikuti pola-pola yang diatur dalam dalam Konvensi Wina tersebut, misalnya dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Negara tetangga, yaitu Perjanjian Ekstradisi RI-Malaysia tahun 1974.
Oleh sebab itu di samping terdapat pejanjian multilateral seperti Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik yang pada waktu itu Pemerintah Indonesia belum meratifikasinya, juga terdapat perjanjian-perjanjian bilateral yang merupakan dasar yuridis dari pelaksanaan dan pengakuan pemberian kekebalan-kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Sebelum Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi wina 1961, perjanjian-perjanjian lain tetap berdasarkan pada Kebiasaan Internasional yang telah baku, berlaku dalam praktek negara-negara26
b. Sesudah di Lakukan Ratifikasi Konvensi Wina 1961, tentang Hubungan Diplomatik.
.
Setelah Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik yang kemudian dituangkan kedalam Undang-Undang No.1 Tahun 1992 dan sekaligus meratifikasi Konvensi Wina 1969 tentang Misi Khusus
yang kemudian dituangkan kedalam Undang-Undang No.2 Tahun 1982. Pada tanggal 25 januari 1982 Pemerintah Indonesia mendefositkan suatu piagam suksesi yang ditandatangani Menteri Luar Negeri 17 Mei 1982 kepada sekertaris Jendral PBB yang isinya antara lain memuat bahwa Pemerintah Indonesia telah menyatakan ikut sebagai pihak dalam Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik, dan Konvensi Wina 1963 tentang hubungan konsuler, masing-masing dengan Protokol Opsionalnya mengenai memperoleh kewarganegaraan dan penyelesaian memaksa atas perselisihan.27
Kemudian dalam rangka meningkatkan hubungan persahabaatan antara Pemerintah RI dengan negara-negara sahabat lainnya, telah diadakan sejumlah perjanjian dan persetujuan. Dalam mengisi hubungan antar Negara khususnya mengenai hubungan diplomatik yang telah terjalin itu, telah diadakan kerjasama yang erat baik di bidang politik, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan, untuk Tindakan Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi WIna 1961 beserta protokolnya tersebut di atas merupakan langkah pertama di bidang perundang-undangan nasional kearah ratifikasi atau aksesi berikutnya terhadap instrument-instrumen internasional lainnya yang menyangkut bidang hukum diplomatik.
Dalam sistem kedinasan diplomatik dan konsuler dalam kaitnnya dengan pengembangan prinsip-prinsip hukum internasional termasuk hukum diplomatik, Departemen Luar Negeri RI telah membentuk suatu Direktorat Perjanjian Internasional yang menangani masalah tersebut.
27Ibid., hlm., 86.
kepentingan kedua belah pihak. Perjanjian dan persetujuan yang telah diadakan Pemerintah RI bukan hanya dengan negara-negara sahabat tetapi juga dengan organisasi internasional seperti PBB.28
Pengecualian ini karena Pemerintah Indonesia lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dan konsulatasi atau muyawarah antara negara-negara yang bersengketa. Protokol Opsional mengenai hal Memperoleh Kewarganegaraan mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan diplomatik yang bukan warganegara negara penerima dan keluarga tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima tersebut semata-mata karena berlakunya hukum negara penerima tersebut.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1982 dan Indonesia dapat menerima seluruh isi Konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal Memperoleh Kewarganegaraan, kecuali Protokol Opsional mengenai Penyelesaian Sengketa secara wajib.
29
D. Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik
Setelah berdirinya PBB dalam tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum inernasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan diplomatik telah digariskan secara rinci. Akhirya setelah melalui perjalanan yang panjang selama 12 tahun,
28Ibid., hlm., 87.
konferensi berkuasa penuh (Plenipotentiary Conference) telah diadakan di Wina, Austria pada tanggal 2 Maret – 14 April 1961 dan telah mengesahkan suatu konvensi dengan judul “Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik” (Vienna Convention on Diplomatic Relations) pada tanggal 18 April 1961.30
Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surta-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Duta Besar) Pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk pembebasan berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi anggota keluarga para diplomat dan staf pelayanan yang Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar-negara. Di samping itu, terdapat pula 2 protokol pilihan (optional Protokol) mengenai Perolehan Kewarganegaraan dan Keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8 dan 10 pasal. Konvensi Wina 1961 tersebut beserta kedua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964. Sampai dengan tanggal 31 Desember 1987, ada 151 negara yang telah menjadi pihak dalam Konvensi tersebut, 42 di antaranya adalah pihak dalam Protokol Pilihan mengenai Perolehan Kewaganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam Protokol pilihan mengenai keharusan untuk menyelesaikan sengketa.
30 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hlm. 24.
bekerja pada mereka. Akhirnya, pasal 48-53 berisi berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya konvensi tersebut.31
BAB III
PERLINDUNGAN WARGA NEGARA SEBAGAI FUNGSI DARI PERWAKILAN DIPLOMATIK
A. Pembukaan Hubungan dan Perwakilan Diplomatik 1. Pembukaan Hubungan Diplomatik
Setiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai right of legation.
Hak legasi ini ada yang aktif, yaitu hak suatu negara untuk menempatkan acreditation wakilnya ke negara penerima, dan hak legasi pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil negara asing. Hak legasi ini diterima dan dimuat dalam Pasal 1 Konvensi Havana 1928. Meskipun demikia, bila kita perhatikan praktik yang berkembang, hak legasi ini secara berangsur-angsur sudah di tinggalkan, seperti dikatakan ahli hukum internasional Prancis, Fauchille, “tidak suatu negara pun yang diharuskan menerima duta besar negara lain kerena hal itu merupakan persoalan hubungan baik dan bukan masalah hukum murni”. Oleh karena itu, hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti juga halnya tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik asing di suatu negara. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak meminta negara lain untuk menerima wakil- wakilnya.32
Dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1961 yang menggariskan: “The establishment of diplomatic relations between states, and of permanent diplomatic missions, take place by mutual concent.” (Pembukaan hubungan diplomatik
32 Syahmin, Op.Cit., hlm., 45.
antara negara-negara dan pembukaan perwakilan diplomatik tetap dilakukan atas dasar kesepakatan bersama secara timbal-balik).
Mengenai tata cara pembukaan hubungan diplomatik dan konsuler maupun pembukaan perwakilan diplomatik tetap atau konsuler seperti tertera dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961 junctis Pasal 2 Konvensi Wina 1963 tentang hubungan konsuler, ternyata telah ditegaskan pula dalam Pasal 9 UU No. 37 Tahun 1999 tentang hubungan Luar Negeri.33
Di Indonesia, sebagaimana telah di tentukan dalam Pasal 9 Ayat (2) UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan kantor perwakilan diplomatik ditetapkan dengan keputusan presiden. Dapat ditambahkan di sini bahwa prinsip kesepakatan bersama yang terdapat dalam konvensi merupakan hasil kompromi rasional yang
Mencermati lebih seksama kata kunci Pasal 2, dua buah Konveni Wina di atas adalah kesepakatan bersama mutual concent. Harus ada kesepakatan kedua belah pihak (negara pengirim dan negara penerima) untuk membuka hubungan diplomatik, selanjutnya kesepakatan untuk membuka perwakilan tetap.
Pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap bagi konvensi wina merupakan dua hal yang berbeda. Hal itu dapat di artikan bahwa suatu negara dapat saja membuka hubungan diplomatik tanpa diikuti pembukaan perwakilan tetap. Pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap secara hukum merupakan dua hal yang berbeda.
sepenuhnya sesuai dengan prinsip bahwa setiap pembatasan kedaulatan harus disetujui negara bersangkutan.
Pembukaan hubungan diplomatik oleh suatu negara dengan negara lainnya biasanya dilakukan dalam hal negara yang lain itu merupakan negara yang baru merdeka dan yang sudah diakuinya menurut hukum internasional (de jure recognition). Namun dalam hal-hal tertentu bisa saja negara yang lain itu sudah lama merdeka tetapi keinginan untuk mengadakan hubungan diplomatik negara tersebut tidak bisa dilakukan karena berbagai pertimbangan tertentu.
Pertimbangan-pertimbangan itu bisa saja didasarkan pada faktor-faktor politik misalnya seperti Israel yang sudah terbentuk sejak 1947 sebagai negara yeng merdeka dan berdaulat hingga kini masih banyak negara termasuk Indonesia yang tidak atau belum mengadakan hubungan diplomatik, karena negara-negara tersebut tidak atau belum mengakuinya.
Penerimaan suatu negara yang merdeka dan berdaulat sebagai negara anggota baru PBB pun tidak bisa menjamin bagi negara tersebut untuk meperoleh pengakuan dari negara-negara anggota PBB lainnya. Dengan demikian pengakuan merupakan persyaratan yang penting bagi pembukaan hubungan diplomatik dengan di antara suatu negara. Pengakuan dari suatu negara tersebut merupakan kondisi yang diperlukan dalam doktrin tradisional untuk pembukaan suatu misi diplomatik dan sesuai dengan norma hukum kebiasaan yang bersifat umum, maka pembukaan hubungan diplomatik itu secara implicit pengakuan terhadap negara itu memang diperlukan.34
34Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hlm. 49.
Walaupun setiap negara yang merdeka dan berdaulat memiliki hak keterwakilan (ius legations), pembukaan hubungan diplomatik antar negara bagaimanapun tergantung dari adanya persetujuan bersama (mutual conent) di antara negara-negara yang bersangkutan. Dengan demikian meskipun suatu negara merupakan negara yang sepenuhnya berdaulat dan diakui oleh negara- negara lainnya, suatu negara belum tentu harus membuka hubungan dan perwakilan diplomatik dengan negara tersebut.
Walaupun pengakuan dan pembukaan hubungan diplomatik dengan negara lain merupakan hak kedauatan suatu negara, tetapi dalam rangka membina perdamaian dan keamanan internasional, kerjasama internasional serta meningkatkan hubungan persahabatan di antara semua negara, dirasakan perlunya bagi semua negara sebagai anggota masyarakat internasional untuk membina hubungan antar negara melalui hubungan diplomatik yang dikehendaki. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan piagam PBB.
Dengan meningkatnya jumlah negara-negara yang baru merdeka sejak tahun enam puluhan yang semuanya merupakan negara berkembang dirasakan sangat perlu untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar negara untuk mencapai kerjasama internasional dalam rangka mengatasi masalah-masalah internasional yang dihadapinya disegala bidang baik ekonomi, soisial, budaya maupun bidang-bidang lainnya.35
Hubungnan dilomatik antar negara biasanya dilakukan bukan saja didasarkan pertimbangan-pertimbangan seperti kepentingan ekonomi,
perdagangan dan investasi, tetapi juga faktor-faktor politik, solidaritas regional, ideologi dan banyaknya warganegara negara tersebut di negara lain yang perlu dilindungi termasuk kepentingannya di negara lain. Jika suatu negara menginginkan untuk membuka hubungan diplomatik khususnya bagi negara- negara yang baru diterima sebagai anggota PBB, pertama-tama negara itu harus melakukan pendekatan dengan negara lainnya untuk memperoleh persetujuan.
Dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan sebagaimana tersebut di atas, maka negara tersebut haruslah melakukan penjajagan secara tidak resmi melalui suatu perantara misalnya diplomat dari negara lain. Disamping itu negara tersebut juga bisa melakukan pendekatan secara langsung untuk mendapatkan kesepakatan dari negara lain, yang mana hal ini dapat dilakukan dalam tingkat Kepala Negara atau Pemerintah termasuk jasa-jasa baik dari Kepala Pemerintah Negara sahabat. Jika pendekatan untuk membuka hubungan diplomatik itu sudah dilakukan, maka permintaan tersebut biasanya dipelajari oleh Kementrian Luar Negerinya.
Setelah ada kesepakatan bersama mengenai pembukaan hubungan diplomatik, maka kedua negara akan mengeluarkan suatu pernyataan bersama (Joint Commmunique) yang akan dikeluarkan pada waktu dan tempat yang sudah di setujui bersama (on an agreed date and venue). Setelah ada kesepakatan bersama untuk membuka hubungan diplomatik maka pembukaan perwakilan diplomatik kedua negara bisa dilaksanakan secara timbal balik (on reciprocal basis).36
36 Ibid., hlm 51.
Pengakuan suatu negara terhadap negara lainnya terutama negara yang baru merdeka bisa dilakukan dengan surat pernyataan resmi yang bisa dikirimkan oleh menteri Luar Negerinya kepada Menteri Luar Negeri negara yang akan diakuinya yang menyatakan bahwa atas nama Pemerintah dan rakyatnya mengakui negara baru tersebut sebagai negra yang berdaulat dan merdeka.
Pengakuan tersebut biasanya bisa diikuti dengan harapan untuk pembukaan hubungan diplomatik antara dua negara. Jelaslah bahwa masalah pengakuan tersebut sangat penting sebagai condition sine qua non untuk pembukaan hubungan diplomatik dan sekaligus secara ipso facto pembukaan perwakilan diplomatik yang sudah tentu didasarkan atas azas kesepakatan bersama (mutual concent).
2. Pembukaan Perwakilan Diplomatik
Jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik dengan negara lain melalui suatu instrument atas dasar timbal balik (principle of reciprocity) dan asas saling menyetujui (mutual consent), negara-negara tersebut sudah harus memikirkan pembukaan suatu perwakilan diplomatik dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut baik dalam tingkatannya maupun jumlah anggota staf perwakilan yang telah disetujui bersama atas dasar kewajaran dan kepantasan (reasonable and normal).
Dalam Konvensi Wina 1961 pembukaan hubungan diplomatik dilakukan atas dasar kesepakatan bersama (mutual concent). Setelah ada persetujuan bersama untuk membuka hubungan diplomatik, walaupun hal itu berarti
memungkinkan bagi kedua negara untuk pembukaan Perwakilan diplomatik satu sama lain, tetapi hal itu masih akan bergantung dari kesediaan masing-masing.
Oleh karena itu jika sudah ada hubungan diplomatik belum tentu hal itu akan diikuti dengan pembukaan perwakilan diplomatik. Kecuali seberapa besar kepentingan suatu negara di negara lain juga malah keuangan (financial constrain) menjadi faktor penting. Mengenai hal ini, apabila suatu negara yang tidak mempunyai perwakilan diplomatik di negara lain, negara tersebut dapat melakukan perangkapan Perwakilan Diplomatiknya di negara lain yang terdekat dengan negara tersebut, dengan pengertian bahwa perangkapan semacam itu harus memperoleh kesepakatan dari negara dimana ia telah diakreditasikan. Dalam tahap berikutnya setelah dicapai kesepakatan untuk membuka perwakilan diplomatik ada beberapa hal yang juga perlu diperoleh kesepakatan bersama seperti tingkat Kepala Perwakilan Diplomatik, jumlah staf perwakilan dan kemungkinan perangkapan akreditasi di negara ketiga dan Organisasi Internasional.37
a. Persetujuan (Agreement)
Adapun tahapan dalam pembukaan perwakilan diplomatik ialah sebagai berikut:
Sebelum kepaka perwakilan diplomatik, terutama duta besar, dari masing- masing negara dikirim ke negara penerima (terutama bagi calon duta besar) perlu adanya agreement dari masing-masing negara. Agreement/agreation berisi permintaan penjelasan secara informal kepada kepala negara penerima tentang
37 Ibid., hlm 54.
apakah calon yang diajukan negara pengirim dapat diterima sebagai wakil diplomatik atau tidak dan/atau pemberitahuan secara informal negara penerima kepada negara pengirim mengenai penerimaan calon duta besar (Ambassador- Designate) yang diajukan. Pemberitahuan mengenai penerimaan duta besar tersebut biasa disebut agreement.38
Ernest Satow memberi contoh tindakan pendekatan informal pencalonan duta besar, yaitu pada saat Paus Pope (penguasa tertinggi vatikan) akan mengangkat Nuncius (kepala perwakilan diplomatik setingkat duta besar) untuk ditempatkan pada pemerintah Spanyol dengan jalan mengusulkan daftar calon terlebih dahulu. Biasanya nama terletak pada urutan pertama dalam daftar calon meupakan calon yang disetujui oleh kepala negara penerima. Meskipun demikian, Agar penolakan kepala perwakilan (persona non grata) tidak tejadi, perlu adanya pendekatan-pendekatan informal dari negara pengirim terhadap kepala negara penerima dan sedapat mungkin memberitahukan mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang calon duta besar melalui curriculum vitea, kemudian kepala negara penerima dipersilahkan memilih calon kepala perwakilan yang disukai.
Apabila calon duta besar merupakan duta besar pengganti, maka pihak yang mengadakan pendekatan dan konsultasi dengan kepala negara penerima adalah duta besar yang akan di ganti. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak , karena dalam praktik Menteri Luar Negeri negara pengirim sering mengadakan pendekatan informal kepada kepala negara penerima.
pada tahun 1819, Dessoles (Menteri Luar Negeri Perancis) pernah menyampaikan daftar nama calon duta besar Prancis untuk Rusia, tetapi Raja Alexander dari rusia justu memilih La Ferronays, padahal La Ferronays ada pada nomor urut 2.39
Hal ini tidak bertentangan dengan hukum internasional karena Oppenheim mengemukakan bahwa berdasarkan ketentuan hukum internasional tidak menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dapat diangkat menjadi seorang duta atau konsul, semua persyaratan ditentukan sendiri oleh tiap- tiap negara.
Terkait dengan hal pengangkatan/penerimaan duta dari negara lain, di Indonesia memiliki ketentuan bahwa “Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”
(Pasal 13 ayat(3) UUD 1945 pasca perubahan pertama). Dengan demikian penerimaan duta di Indonesia bukan lagi menjadi hak prerogratif presiden.
Pengertian kata “memperhatikan pertimbangan” dalam ketentuan pasal 13 tersebut juga tidak jelas sehingga mungkin saja DPR memaksakan kehendak kepada presiden untuk mengikuti pertimbangannya sehingga presiden di-dekte oleh DPR.
40
b. Surat Kepercayaan (Letter of Credence)
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Perjanjian Internasional, Surat Kepercayaan (Credential) adalah surat yang dikeluarkan oleh perseiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili
39Ibid.,hlm.,72.
40Ibid.,hlm.,74.
pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional.
Setelah terjadi agreement, negara pengirim segera membuat surat kepercayaan (Letter of Credence) dengan ditandatangani oleh kepala negara/kepala pemerintahan negara pengirim. Secara prosedural, sebelum penandatanganan tersebut, menteri luar negeri negara pengirim harus membubuhkan paraf (contract sign) di atas surat kepercayaan, dalam kapasitas sebagai saksi.
Surat kepercayaan ditujukan kepada kepala negara/kepala pemerintahan negara penerima yang berisi tentang :
1) Pemberitahuan tentang penunujukan kepala pemerintahan kepada pemerintahan atau kepala negara atas seseorang (ditulis namanya) untuk menjabat kepala perwakilan di negara penerima dengan pangkat tertentu (misalnya duta besar);
2) Permohonan agar kepala perwakilan yang ditunjuk tersebut dipercayai oleh negara penerima baik perkataan maupun tindakannya, karena negara pengirim telah memberikan kepercayaan penuh kepadanya;
3) Pada surat kepercayaan kadang-kadang dicantumkan pula masa bhakti dari kepala perwakilan yang akan dikirimkan.
Dalam kondisi normal surat kepercayaan diserahkan oleh duta besar/duta pada awal pemangkuan jabatan, yaitu pada saat upacara penerimaan kepala perwakilan oleh kepala negara/kepala pemerintahan. Meskipun demikian, selain pada saat awal pemangkuan jabatan, mungkin kepala perwakilan dapat diwajibkan
menyerahkan surat kepercayaan kembali pada saat tengah menjalankan tugas (yaitu berupa surat kepercayaan pengganti). Penyerahan surat kepercayaan pengganti diperlukan jika:
1) Pangkat agen diplomatik di ubah, misalnya kantor perwakilan diplomatik tesebut setingkat kedutaan, kemudian karena alasan tertentu diubah menjadi setingkat kantor kedutaan besar;
2) Terjadi perubahan sistem politik atau sistem ketatanegaran yang sifatnya mendasar, baik di negara penerima maupun di negara pengirim;
3) Sebutan kepala negara yang mengangkat mengalami perubahan atau meninggal dunia.
Perubahan sebutan kepala negara berubah karena adanya prubahan bentuk negara, misalnya dari kerajaan ke republik.41
c. Penerimaan di Negara Penerima
Setelah kepala perwakilan sampai di pos kedinasan, harus segera memberitahukan kedatangannya kepada pihak kementerian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang di tunjuk, sekaligus mengkonfirmasikan mengenai saat rencana penerimaan secara resmi oleh negara penerima.
Penerimaan duta besar/duta di negara penerima dilakukan dalam upacara kenegaraan di ibu kota negara. Biasa nya dalam upacara tersebut antara wakil dari dua negara yang menjalin hubungan diplomatik saling menyampaikan pidato sambutan. Upacara tersebut dihadiri oleh para menteri negara penerima. Dalam
41 Ibid.,hlm.,75.
upacara tersebut kepala perwakilan yang diterima menyerahkan surat kepercayaan kepada kepala penerima.
Salinan (copy) surat kepercayaan yang secara yuridis mempunyai kekuatan hukum sama dengan aslinya, harus di serahkan kepada kementerian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang di tunjuk. Salinan surat kepercayaan tersebut tidak perlu ditandatangani oleh pejabat pembuatnya, tetapi kalimat dan bahasanya harus sama dengan surat kepercayaan yang asli. Salin surat kepercayaan tersebut dapat dibuat dari hasil foto copy, peng-karbon-an, pencetakan atau hanya berwujud tulis tangan.
Apabila duta besar yang dikirim berstatus sebagai duta besar pengganti, karena duta besar terdahulu habis masa jabatannya (bukan karena persona nongrata), duta besar pengganti yang baru tiba harus segera mengkonfirmasikan mengenai rencana penerimaan kepada kementerian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang ditunjuk sekaligus memastikan bahwa surat penarikan (letter of recall) atas duta besar yang diganti telah diterima oleh negara pnerima.
Surat penarikan (letter of recall) adalah surat yang ditandatangani oleh kepala negara dan di paraf atau ditandatangani oleh menteri luar negeri (sebagai saksi) untuk kepala negara penerima yang berisi penarikan kembali duta besar dari negara pengirim yang telah selesai melaksanakan tugas di negara penerima, atau karena sebab lain. Di Indonesia surat penarikan dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Kejelasan mengenai status surat penarikan ini sangat penting agar tidak terjadi penundaan penerimaan duta besar karena alsaan belum adanya surat
penarikan resmi atas duta besar yang diganti. Apabila surat penarikan (Ietter of recall) tersebut tenyata belum ada maka pada saat penrimaan tersebut duta besar pengganti dapat menyerahkan surat penarikan kepada kepala negara penerima.
Dengan jalan tersebut proses penerimaan duta besar tidak terhambat.
Stelah diterimanya secara resmi duta besar dalam upacara resmi, baisanya mengadakan anjangsana ke kantor-kantor kedutaan negara sahabat negara pengirim ada dinegara penerima. Tujuan anjangsana tersebut untuk meningkatkn persahabatan sekaligus memperkenalkan diri. Acara anjangsana tersebut bukan merupakan kewajiban, tetapi hanya dimotivasi oleh kebiasaan internasional belaka.42
B. Klasifikasi Perwakilan Diplomatik 1. Berdasarkan Kongres Wina 1815
Pada mulanya tedapat perbedaan mengenai klasifikasi pejabat perwakilan diplomatik, khususnya mengenai pengutamaan dan status para diplomat tersebut.
Duta besar yang diberi perwakilan sementara disebut extraordinary, yang dibedakan dari duta besar pada perwakilan tetap. Kemudian title “extraordinary”
diberikan kepada semua duta besar baik yang menduduki pimpinan perwakilan tetap maupun yang bersifat sementara (luar biasa), pada akhirnya title
“plenipotentiary” ditambahkan di depan namanya. Arti sebenarnya dari istilah
“plenipotentiary” ialah perwakilan yang diberi kekuasaan untuk mengadakan perundingan atas nama kepala negara. Selanjutnya, sebutan “Envoy
42Ibid., hlm., 78.