• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI

E. Kebakaran

1. Definisi Kebakaran

Terjadinya api yang tidak dikehendaki, tidak terkendali, dan merugikan dapat didefinisikan sebagai kebakaran. Dari adanya definisi tersebut, maka terjadinya kebakaran tidaklah selalu identik dengan muculnya suatu api yang besar. Kebakaran juga dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa munculnya suatu api oleh proses kimia yang menimbulkan kerugian baik berupa harta benda ataupun cidera yang berujung kematian. (Rijanto, B. Boedi. 2010)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

2. Fenomena Kebakaran

Fenomena kebakaran atau gejala pada setiap tahapan mulai awalterjadinya penyalaan

sampai kebakaran padam, dapat diamati beberapafase tertentu seperti source energy,

initiation, growth, flashover, full firedan bahaya-bahaya spesifik pada peristiwa kebakaran

seperti : back draft,penyebaran asap panas dan gas dll.

Tahapan - tahapan tersebut antara lain:

a. Tidak diketahui kapan dan dimana awal terjadinya api/kebakaran, tetapi yang pasti ada

sumber awal pencetusnya (source energy), yaitu adanya potensi energi yang tidak

terkendali.

b. Apabila energi yang tidak terkendali kontak dengan zat yang dapat terbakar, maka

akan terjadi penyalaan tahap awal (initiation) bermula dari sumber api/nyala yang relatif kecil

c. Apabila pada periode awal lebakaran tidak terdeteksi, maka nyala api akan

berkembang lebih besar sehingga api akan menjalar bila ada media disekelilingnya

d. Intensitas nyala api meningkat dan akan menyebarkan panas kesemua arah secara

konduksi, konveksi dan radiasi, hingga pada suatu saat kurang lebih sekitar setelah 3-10 menit atau setelah temperatur mencapai 300ºC akan terjadi penyalaan api serentak yang disebut Flashover, yang biasanya ditandai pecahnya kaca

e. Setelah flashover, nyala api akan membara yang disebut periode kebakaran mantap

(Steady/full development fire). Temperatur pada saat kebakaran penuh dapat mencapai 600-1000ºC. Bangunan dengan struktur konstruksi baja akan runtuh pada temperatur 700ºC. Bangunan dengan konstruksi beton bertulang setelah terbakar lebih dari 7 jam dianggap tidak layak lagi untuk digunakan

f. Setelah melampaui puncak pembakaran, intensitas nyala akan berkurang/surut

berangsur-angsur akan padam yang disebutperiode surut.

3. Klasifikasi Kebakaran

Terdapat beberapa klasifikasi kebakaran diantaranya aitu :

a. Klasifikasi kebakaran sebelum tahun 1970 (Eropa), sekarang diakui oleh Amerika

Utara, Australia, dan Afrika Selatan.

b. Klasifikasi kebakaran setelah tahun 1970 (Eropa), sekarang diakui oleh negara-negara

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

c. Klasifikasi kebakaran menurut NFPA (USA), dan

d. Klasifikasi kebakaran menurut U.S. Coast-Guard (USA)

Klasifikasi di Negara Indonesia menggunakan klasifikasi standar dari NFPA (Nation Protection Fire Association). Hal ini terlihat dari ditetapkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 04/MEN/1980 tentang syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat pemadam api ringan dengan klasifikasi sebagai berikut.

Tabel 1

Klasifikasi Kebakaran Menurut NFPA

Kelas Klasifikasi Kebakaran

Kelas A Kebakaran yang terjadi pada benda-benda padat, kecuali logam.

kebakaran ini paling sering terjadi dikarenakan benda padat yang mudah terbakar yang menimbulkanarang/karbon (contoh : Kayu,

kertas,karton/kardus, kain, kulit,plastik)

Kelas B Kebakaran pada benda cair dan gas yang mudah terbakar (contoh :Bahan

bakar, bensin, lilin, gemuk, minyak tanah, thinner)

Kelas C Kebakaran pada benda yang menghasilkan listrik atau yangmengandung

unsur listrik

Kelas D Kebakaran pada logam mudah terbakar (contoh : Sodium, lithium,

potassium, seng, titanium, radium, uranium)

Sumber : NFPA 10 Tahun 1998 dalam Rijanto, B. Boedi. 2010 4. Faktor Kebakaran

a. Pemicu Kebakaran

Prof. Dr. Ir. Suprapto, MSc. FPE. IPM dalam Konsep dan Pendekatan dalam Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran untuk Kabupaten/Kota di Indonesia. Pemicu kebakaran adalah suatu kecenderungan terjadinya kebakaran, dimana ketika terdapatnya suatu kecenderungan akan mengakibatkan munculnya suatu konsekuensi lanjutan berupa terjadinya bencana kebakaran.

Potensi atau pemicu terjadinya kebakaran ini dipengaruhi oleh faktor :

1) Pertumbuhan Kebakaran (fire history)

Pertumbuhan Kebakaran merupakan suatu fenomena atau kejadian kebakaran yang terdapat pada suatu wilayah berupa pertambahan atau peningkatan intensitas kejadian. Kejadian kebakaran yang terjadi pada suatu wilayah akan dapat dilihat kecenderungan akan kejadian kebakaran yang terjadi berdasarkan frekuensi kejadian kebakaran. Tidak terdapat teori atau standar yang menyebutkan secara pasti berapa frekuensi kejadian dikatakan rendah, sedang ataupun tinggi. Akan tetapi berdasarkan Indeks Rawan Bencana Indonesia dapat menggambarkan berapa frekuensi yang dapat dikatakan sebagai kejadian yang dikatakan rendah, sedang, maupun tinggi berdasarkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

pembagian kelasnya. Jadi dari intensitas atau frekuensi kejadian akan dapat menggambarkan suatu wilayah dalam kecenderungan terjadinya bencana kebakaran. Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 tahun 2012 tentang Pedoman Umum pengkajian risiko Bencana menetapkan klasifikasi kejadian kebakaran dalam 3 (tiga) kelas yaitu rendah (<2%), sedang (2-5%), tinggi (>5%).

2) Penggunaan Lahan (Land use)

Penggunaan Lahan merupakan faktor kedua dimana setiap adanya penggunaan lahan memiliki tingkat atau dapat menimbulkan adanya suatu bahaya terjadinya bencana kebakaran. Hal seperti ini terjadi dikarenakan setiap penggunaan lahan memiliki angka klasifikasi terhadap potensi terhadap resiko kebakaran yang ditimbulkan.

Penggunaan Lahan merupakan rancangan atau denah peruntukan lahan sebuah kota yang berbentuk dua dimensi, dimana ruang tiga dimensi (bangunan) akan dibangun di

tempat – tempat sesuai fungsi bangunan tersebut. sebagai contoh, sebuah penggunaan

lahan industri akan terdapat berbagai bangunan industri (pabrik) atau dalam penggunaan lahan perkantoran juga akan memiliki bangunan perkantoran. (Hafid Shirvani dalam fariable, 2011).

Berdasarkan definisi tersebut, penggunaan lahan didefinisikan sebagai sekumpulan bangunan dengan fungsi yang sama yang berada pada guna lahan dengan fungsi yang sama pula.

Klasifikasi Daerah Resiko Kebakaran Berdasarkan Penggunaan Lahan daerah rawan kebakaran dapat dikenali menurut penggunaan lahan berupa bangunannya, yaitu penggunaan lahan untuk industri, perdagangan, jasa, perkantoran dan permukiman. (Permen PU No. 20 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi

Kebakaran di Perkotaan). Adapun definisi masing – masing penggunaan lahan adalah

sebagai berikut.

 Kawasan industri adalah lahan yang dipetak – petak sedemikian rupa yang

diperuntukkan bagi industri yang dirancang secara menyeluruh, dilengkapi

dengan jalan, kemudahan – kemudahan umum dengan atau tanpa bangunan

pabrik. (Unido, 1978 dalam Martopo, Aris, 2003).

Kawasan Industri juga memiliki arti sebagai kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola.

Berdasarkan definisi penggunaan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kawasan Industri merupakan sekumpulan bangunan yang memiliki fungsi berupa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

bangunan Industri. Hal ini berarti penggunaan lahan kawasan Industri merupakan penggunaan lahan dengan bahaya kebakaran sangat tinggi, sehingga penggunaan lahan haruslah diperhatikan pada penggunaan lahan ini. (Peraturan Menteri PU No. 20 tahun 2009).

 Kawasan perdagangan memiliki definisi sebagai kawasan yang terdiri dari

berbagai aktivitas bisnis yang menyatu untuk melayani masyarakat sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.

Berdasarkan definisi penggunaan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Kawasan perdagangan adalah kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan perdagangan. Hal ini berarti penggunaan lahan kawasan perdagangan merupakan penggunaan lahan dengan resiko kebakaran tinggi. Angka klasifikasi ini termasuk hunian dengan fungsi sebagai perdagangan bisa berupa pertokoan dan pasar. (Peraturan Menteri PU No. 20 tahun 2009).

 Jasa adalah sesuatu yang diartikan sebagai hal yang dihasilkan berupa benda –

benda berwujud ataupun tidak yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan. (William J Stanton, 2004)

Berdasarkan definisi penggunaan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Kawasan Jasa adalah kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan perdagangan yang bersifat pelayanan. Hal ini berarti penggunaan lahan kawasan jasa memiliki resiko sedang, dikarenakan dalam penggunaan lahan jenis ini memiliki kuantitas atau bahan mudah terbakar sedang. Yang termasuk dalam klasifikasi ini bisa berupa warung makan, bengkel, dan pergudangan. (Peraturan Menteri PU No. 20 tahun 2009).

 Kantor adalah bangunan yang digunakan sebagai tempat bekerja yang berkenaan

dengan kegiatan atau urusan administrasi. ( Drs. Kamisa, 1997).

Dimana didalam bangunan perkatoran memiliki pekerjaan utama berupa kegiatan penanganan informasi dan kegiatan pembuatan maupun pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang telah terhimpun tersebut. (Erns Neufert, 1989). Dalam kata lain, perkantoran dapat didefinisikan sebagai bangunan yang digunakan untuk pekerjaan admnistrasi dan manajerial.

Berdasarkan definisi penggunaan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Kawasan perkantoran adalah kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan kantor, seperti pemerintahan, dan lain sebagainya. Hal ini berarti penggunaan lahan kawasan perkantoran memiliki resiko rendah dimana penggunaan lahan jenis ini

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

merupakan penggunaan lahan yang mirip untuk permukiman, yaitu perkantoran. (Peraturan Menteri PU No. 20 tahun 2009).

 Kawasan permukiman adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat

tinggal atau lingkungan hunian yang merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung. (UU No. 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman).

Berdasarkan definisi penggunaan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Kawasan permukiman adalah kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan bermukim / tempat tinggal beserta kelengkapan sarana dan prasarana. Hal ini berarti penggunaan lahan kawasan permukiman memiliki resiko kebakaran relatif rendah dimana penggunaan lahan jenis ini bisa merupakan permukiman, kesehatan, pendidikan, peribadatan. (Peraturan Menteri PU No. 20 tahun 2009).

3) Kepadatan Penduduk

Kepadatan Penduduk pada suatu wilayah membawa kecenderungan akan kerentanan kebakaran dan resiko dampak kebakaran. Semakin tinggi kepadatan penduduk dalam suatu wilayah akan membawa potensi terjadinya kebakaran pada suatu wilayah, begitu juga semakin rendah kepadatan penduduk suatu wilayah, semakin rendah pula potensi kebakaran yang dimiliki. Dalam SNI No. 3 tahun 2004 tentang perencanaan lingkungan di perkotaan terdapat standar kepadatan penduduk dalam suatu wilayah.

Tabel 2

Klasifikasi kepadatan penduduk

Klasifikasi Kawasan

Kepadatan penduduk rendah <150jiwa/ha

kepadatan penduduk sedang 151-200jiwa/ha

kepadatan penduduk tinggi >200jiwa/ha

Sumber : SNI nomor 3 tahun 2004tentang perencanaan lingkungan di perkotaan

4) Kepadatan Bangunan

Kepadatan bangunan akan membawa dampak lanjutan dari adanya kejadian kebakaran dalam suatu wilayah. Kepadatan Bangunan dapat dilihat berdasarkan Koefisien Dasar Bangunan pada suatu wilayah yang selanjutnya disebut sebagai KDB atau melihat luas terbangun.

Kepadatan bangunan merupakan faktor pemicu terjadinya kebakaran dikarenakan resiko kebakaran yang ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan dalam suatu wilayah yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

memiliki kepadatan bangunan yang tinggi atau KDB tinggi terjadi kebakaran, kejadian kebakaran ini akan lebih cepat menyebar karena kondisi akan kepadatan bangunan yang tinggi yang berdampak semakin meluasnya wilayah yang terkena dampak. Jadi, semakin rendah kepadatan bangunan potensi penyebaran atau resiko kebakaran juga akan semakin rendah.

PP Nomor 36 tahun 2005 tentang peraturan pelaksanan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan dalam pasal 20 ayat 2 menetapkan KDB dalaam tingkatan rendah (kurang dari 30%), sedang (30% sampai dengan 60%), dan tinggi (lebih dari 60%). Perhitungan mengenai kepadatan bangunan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui :

𝐾𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑥 100%𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛

5) Proteksi Terpasang

Proteksi terpasang merupakan suatu usaha atau potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah didalam upaya mencegah terjadinya suatu bencana kebakaran. Potensi yang dimiliki bisa berupa sarana ataupun prasarana pencegahan kebakaran. Dalam hal ini didasarkan pada sarana pencegahan kebakaran dimana dapat melihat proteksi yang terpasang pada suatu wilayah dalam mencegah terjadinya kebakaran. Sarana tersebut berupa hidran, pos pemadam kebakaran, dan jalur evakuasi.

a. Hydran

Salah satu unsur terpenting dalam pemadaman adalah tersedianya pasokan air dengan debit yang mencukupi. Pasokan air untuk keperluan pemadam kebakaran diperoleh dari sumber alam seperti kolam air, danau, sungai, jeram, sumur dalam dan saluran irigasi. Selain itu, pasokan air juga dapat diperoleh dari sumber buatan seperti tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur, reservoir, mobil

tangki serta yang lebih penting adalah Fire hydrant.

Berdasarkan NFPA®1141 Standar for Fire Protection Infrastructure for Land

Development in Suburban and Rural Areas, 2008:22 Dimana hydran memiliki jangkauan pelayanan 152 meter.

b. Pos Pemadam Kebakaran

Ketentuan berdasarkan Permen PU No 20 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan, terdapat ketentuan akan jangkauan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

wilayah layanan pos pemadam kebakaran. Yaitu setiap pos pemadam kebakaran memiliki jangkauan wilayah layanan dalam radius maksimal 2,5 km.

Jangkauan pos pemadam kebakaran ini menggambarkan seberapa cepat kejadian ditangani oleh pos pemadam kebakaran dilihat dari jarak terdekatnya. Semakin dekat dengan pos pemadam kebakaran, maka akan semakin cepat penanganannya. Jadi ketidakterjangkauan wilayah terhadap pos pemadam kebakaran akan menjadikan wilayah tersebut menjadi wilayah yang berpotensi terjadi kebakaran. sehingga jangkauan pos pemadam merupakan pemicu terjadinya kebakaran karena akan berpotensi terhadap resiko kebakaran yang besar pula.

c. Jalur Evakuasi

Jalur evakuasi merupakan prasarana proteksi yang ada didalam membantu masyarakat dalam mencapai lokasi yang aman terhadap kejadian bencana. Jalur evakuasi juga merupakan jalur yang digunakan oleh petugas didalam upaya pencapaian lokasi. Jalur ini dipilih dikarenakan jalur evakuasi merupakan jalur yang baik dan cepat serta merupakan jalur dengan jarak terdekat dalam menuju lokasi kejadian.

Jadi wilayah yang didalamnya terdapat jalur evakuasi dapat dikatakan sebagai wilayah yang memiliki proteksi terhadap bencana atau dapat dikatakan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh wilayah tersebut dalam mengurangi resiko bencana yang terjadi, begitu juga sebaliknya, sehingga ketiadaan jalur evakuasi akan menjadi pemicu kebakaran dan resiko kebakaran yang lebih besar.

Tidak terdapat ketentuan secara umum terhadap jalur evakuasi. Akan tetapi dapat didasarkan pada diberlakukannya jalur pada suatu daerah oleh peraturan terkait. (dalam dokumen tata ruang RTRW Kota Surakarta 2011-2031)

6) Kesiapan Masyarakat

Kesiapan Masyarakat adalah bagaimana suatu masyarakat pada suatu wilayah didalam upaya mencegah terjadinya kebakaran, mengatasi terjadinya kebakaran, serta tanggap terhadap situasi kebakaran. kesiapan masyarakat ini didasarkan pada fungsi

penyelamatan (rescue) pada suatu wilayah. Upaya ini merupakan upaya penyelamatan

guna memperkecil resiko bencana kebakaran dalam bentuk pelayanan atau pertolongan pertama terhadap kejadian kebakaran, serta sebagai upaya pencegahan dengan melakukan kerjasama terhadap instansi terkait.

Kesiapan Masyarakat dapat dilihat dari dari keberadaan SATLAKAR serta upaya pencegahan dari adanya program pencegahan kebakaran yang ada dalam suatu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

wilayah, dalam upaya menciptakan kemampuan dari adanya suatu pelatihan akan tanggap bencana. (Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana)

b. Resiko Kebakaran

Dalam konteks kebakaran, resiko diartikan sebagai suatu kecenderungan akan terjadinya kebakaran dari adanya konsekwensi atas potensi yang ditimbulkan dimana merupakan pemicu atas penyebab terjadinya kebakaran. Sehingga kecenderungan ini diartikan sebagai potensi terjadinya kebakaran atau kerawanan bencana.

Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana mengartikan rawan bencana adalah suatu kondisi atau keadaan atau karakteristik pada suatu wilayah baik berupa keadaan geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, dsb yang dalam jangka waktu tertentu dapat mengurangi kemampuan wilayah dalam menghadapi bahaya atau dampak buruk tertentu.

Resiko Bencana ini merupakan potensi kerugian yang akan terjadi yang ditimbulkan dari adanya suatu bencana, atau merupakan suatu akibat dari adanya bencana pada suatu wilayah. Dimana dalam kurun waktu tertentu jika tidak segera dilakukan upaya penanganan terhadap wilayah yang memiliki potensi resiko bencana dala kurun waktu tertentu dapat membawa akibat berupa luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, kerusakan, gangguan kegiatan masyarakat, serta kematian.

Suatu kerawanan pada suatu wilayah dapat dilihat dari tinggi atau rendahnya suatu bencana. Adanya kemampuan suatu wilayah dalam menghadapi resiko bencana akan diuji oleh adanya ancaman dan kerentanan bencana. Semakin besar suatu ancaman dan kerentanan wilayah terhadap suatu bencana tanpa diimbangi oleh kemampuan wilayah dalam menghadapi bencana, maka semakin tinggi resiko bencana pada wilayah tersebut, begitu juga sebaliknya.

Jadi dengan tidak terdapatnya suatu ancaman dan juga kerentanan bencana pada suatu daerah, maka resiko wilayah tersebut dapat dikatakan rendah. Sedangkan sebaliknya, jika suatu wilayah memiliki ancaman dan kerentanan yang tinggi tanpa danya kemampuan, maka wilayah tersebut merupakan wilayah yang memiliki resiko bencana tinggi.

𝑅𝑒𝑠𝑖𝑘𝑜 𝐵𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 (𝑅) =𝐴𝑛𝑐𝑎𝑚𝑎𝑛 (𝐴)𝑥 𝐾𝑒𝑟𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑎𝑛 (𝐾)𝐾𝑒𝑚𝑎𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛 (𝑀)

Sedangkan berdasarkan penyebab terjadinya bencana oleh Undang – Undang No. 24

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

a. Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain

gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dll selanjutnya disebut bencana alam.

b. Bencana yang diakibatkan oleh adanya suatu peristiwa berupa gagal nya suatu

teknologi, modernisasi, epidemic dan wabah penyakit selanjutnya disebut bencana non-alam.

c. Bencana yang diakibatkan oleh adanya suatu peristiwa yang diakibatkan oleh manusia

bisa meliputi konflik sosial, teror yang selanjutnya disebut bencana sosial.

5. Suatu Ancaman (hazard)

Secara umum, bahaya diartikan sebagai suatu peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan dampak buruk atau suatu kejadian yang dapat mengarah pada kehilangan

maupun kesakitan. Berdasarkan Undang – Undang nomor 24 tahun 2007 tentang

penanggulangan bencana, Ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang dapat memicu terjadinya bencana. Sedangkan dalam Peraturan Kepala BNPB nomor 4 tahun 2008 tentang pedoman penyusunan rencana penangulangan bencana, menjelaskan akan suatu ancaman dapat diartikan sebagai kejadian baik dari alam maupun ulah manusia yang dapat menimbulkan ancaman akan dampak yang merugikan.

Sumber ancaman (dalam Putra, 2011) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Bahaya yang disebabkan oleh kejadian alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung

meletus dan bencana lainnya disebut Natural Hazard.

b. Bahaya yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tak langsung

disebut Man-made hazard.

c. Bahaya yang disebabkan oleh reaksi rekayasa teknologi disebut Technology Hazard.

Dengan melihat definisi dan klasifikasi yang disebutkan sebelumnya, penelitian ini memiliki fokus pada bahaya yang disebabkan oleh ulah manusia baik secara langsung

maupun tidak langsung, yaitu dengan melihat fire history dan penggunaan lahan yang terdapat

pada tata ruang wilayah Kota Surakarta dilihat dari faktor pemicu kebakaran.

6. Kerentanan

Kerentanan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan atau kondisi yang dapat mengurangi kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi bahaya atau ancaman bencana. Kerentanan dapat berupa kerentanan fisik, lingkungan sosial, dan ekonomi. Beberapa hal yang dapat diartikan sebagai kerentanan diantaranya dapat berupa:

a. Ekonomi seperti penghasilan yang tidak mapan serta tidak ada fasilitas pinjaman atau

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

b. Alam seperti ketergantungan pada sumberdaya alam yang terbatas.

c. Bangunan seperti rancang bangun gedung-gedung, lokasi rumah penduduk di tanah

yang miring.

d. Individu seperti terbatasnya keterampilan atau pengetahuan, kurang mendapat

kesempatan karena masalah gender, lanjut usia atau masih terlalu muda.

e. Sosial seperti komunitas yang terorganisir, terbagi-bagi atau kepemimpinan yang

kurang baik.

Davidson (dalam Putra,2011) berpendapat bahwa kerentanan dapat meliputi:

a. Bangunan yang terbuat dari bahan yang mudah terbakar yang dapat dinyatakan dalam

persentase bangunan.

b. Kepadatan penduduk dimana akan menggambarkan tentang kemudahan tindakan

evakuasi.

c. Persentase penduduk berusia 0-4 dan 65+, penduduk sakit, cacat dan hamil.

Badan koordinasi nasional penanggulangan bencana dalam arahan kebijakan mitigasi bencana perkotaan di Indonesia tahun 2002 menyebutkan bahwa kerentanan bencana suatu wilayah dipengaruhi oleh :

a. Kerentanaan fisik suatu wilayah yang menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan

terhadap fisik dari adanya bahaya tertentu.

b. Kerentanan sosial suatu wilayah dengan melihat perkiraan kerentanan sosial yang

mnyengkut keselamatan jiwa penduduk terhadap bahaya.

c. Kerentanan ekonomi suatu wilayah untuk melihat besarnya kerugian atas rusaknya

kegiatan perekonomian dari adanya bahaya.

Badan Pusat Statistik dalam arahan pengelompokan usia rentan sebagai nilai

ketergantungan (Dependency Ratio). Dimana nilai ketergantungan memiliki arti bahwa setiap

jiwa produktif akan menanggung beban usia tidak produktif (0-14 dan 60+).Kemudian nilai tersebut terbagi dalam tiga tingkatan. Ketiga tingkatan tersebut yaitu :

a. Kelompok usia rentan (dependency ratio) rendah ≤50

b. Kelompok usia rentan (dependency ratio) sedang 51-69

c. Kelompok usia rentan (dependency ratio) tinggi ≥70

𝑑𝑒𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

Penelitian ini mengacu pada variabel yang ditentukan oleh suprapto seperti yang telah disampaikan sebelumnya, sehingga dengan melihat beberapa uraian diatas dan dibawa ke dalam faktor pemicu kebakaran penelitian memiliki fokus pada kepadatan pendudukan dan kepadatan bangunan. Kepadatan penduduk ini diukur dengan indikator yang telah ditetapkan oleh SNI nomor 3 tahun 2004, usia rentan dengan indikator yang diarahkan oleh Badan Pusat Statistik dan kepadatan bangunan dengan indikator sesuai PP Nomor 36 tahun 2005 tentang peraturan pelaksanan UU No. 28 Tahun 2002.

7. Kemampuan

Dalam Undang – Undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana

dikatakan bahwa kemampuan adalah serangkaian kegiatan yang dapat mengurangi atau menghilangkan suatu resiko terjadinya bencana dengan mengurangi adanya ancaman bencana maupun adanya kerentanan yang kemudian disebut sebagai pencegahan bencana.

Kemampuan yang terdapat pada suatu wilayah tidak terlepas dari keberadaan kekuatan yang dimiliki oleh pihak-pihak dan sarana yang ada didalamnya. Adanya suatu kemampuan yang dimiliki oleh suatu daerah dapat menjadi alat yang dapat mengurangi terjadinya suatu bencana. Dengan maksud bahwa suatu kemampuan merupakan potensi yang dimiliki suatu wilayah untuk mencegah terjadinya bencana.

Dalam penelitian ini, kemampuan suatu wilayah dilihat dari adanya proteksi terpasang yang dilihat berdasarkan indikator keberadaa hidran, pos pemadam kebakaran, jalur evakuasi, serta kesiapan masyarakat dengan melihat keberadaan satlakar serta program pencegahan yang terdapat pada suatu wilayah.

Dokumen terkait