commit to user 7 F. KERANGKA PIKIR Gambar 1 Kerangka Pikir Kota dan perkembangan Kota Kebakaran sebagai dampak negatif perkembangan Kota Perkembangan Kota Surakarta Fenomena Kebakaran di Kota Surakarta
Belum terdapatnya dokumen terkait yang mengacu pada Permen Pu no 20 tahun 2009
tentang pedoman teknis manajemen proteksi kebakaran di perkotaan
Bagaimana sebaran potensi dan resiko kebakaran di Kota Surakarta yang ditinjau dari pemicu terjadinya kebakaran?
Teori, standar, dan peraturan Identifikasi
Kejadian Kebakaran
Teridentifikasinya faktor – faktor pemicu yang berpotensi terjadinya bencana kebakaran di Kota
Surakarta
Teridentifikasinya kawasan berpotensi bencana kebakaran di Kota Surakarta
Terpetakannya kawasan resiko kebakaran di Kota Surakarta
Kesimpulan dan Rekomendasi Identifikasi Penggunan Lahan Identifikasi Kependuduk an Identifikasi Bangunan Identifikasi Proteksi Terpasang Identifikasi Kesiapan Masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.PEMETAAN 1. Pengertian
Suatu proses atau sebuah cara dalam membuat peta, juga dapat diartikan sebagai kegiatan pemotretan yang dilakukan melalui udara yang didalam kegiatan tersebut bertujuan dalam meningkatkan hasil pencitraan yang lebih baik tentang penggambaran suatu daerah. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Pemetaan juga memiliki pengertian lain yang mengartikan pemetaan adalah kegiatan dalam pengelompokan suatu letak atau wilayah yang berkaitan atau berhubungan dengan letak geografis wilayah yang meliputi dataran tinggi, pegunungan, sumber daya dan potensi penduduk yang berpengaruh terhadap sosial kultural dimana memilki ciri khas khusus dalam penggunaan skala yang tepat. (Soekidjo,1994).
2. Fungsi dan Jenis
Secara umum fungsi peta dapat dikaitkan dengan berbagai macam kepentingan antara lain: bidang pemerintahan, bidanghankam, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.Adapun beberapa maksud dari kepemetaan, antara lain:
a. Menunjukkan posisi atau lokasi relatif yang hubungannya dengan lokasi asli
dipermukaan bumi.
b. Memperlihatkan ukuran.
c. Menyajikan dan memperlihatkan bentuk.
d. Mengumpulkan dan menyeleksi data dari suatu daerah dan menyajikan diatas peta
dengan simbolisasi.
Sedangkan tujuan pembuatan peta yaitu:
a. Untuk komunikasi informasi ruang.
b. Media menyimpan informasi.
c. Membantu pekerjaan.
d. Membantu dalam desain.
e. Analisis data spatial
B.POTENSI
Potensi adalah bahan atau sumber yang akan dikelola baik melalui usaha yang dilakukan manusia. Usaha tersebut juga berkaitan dengan usaha manusia yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
melalui tenaga mesin dimana dalam pengerjaannya, suatu potensi dapat juga diartikan sebagai sumber daya yang ada disekeliling kita atau disekitar kita. (Kartasapoetra, 1987 : 56). Potensi dalam penelitian ini adalah kemampuan wilayah dalam menimbulkan bencana kebakaran sehingga diperlukan suatu antisipasi untuk pencegahan. Inilah yang merupakan potensi berdasarkan penulis dalam penelitian ini. Potensi yang ada tersebut akan diukur melalui kriteria mengenai kawasan rawan bencana.
C.KOTA
Kota secara umum dapat mengandung pengertian akan sifat fisik, sosial, ekonomi, budaya yang melekat sebagai perwuudan kehidupan modern dan menjadi wewenang pemerintah kota. Menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah mengartikan sebuah kota sebagai kawasan yang memiliki kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Kota juga dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan yang ditandai dengan kepadatan penduduk tinggi dan terdapatnya strata ekonomi yang heterogen. Sedangkan kota menurut Max Weber memiliki arti suatu tempat dimana penghuninya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhannya di pasar lokal. (radonkey)
Beberapa pengertian kota menurut para ahli dan peraturan yang ada tersebut, terdapat adanya kesamaan pernyataan tentang bagaimana suatu daerah tersebut dikatakan sebuah kota. Kesamaan tersebut dapat dilihat bahwa dari pembahasan pengertian kota pasti mencakup adanya suatu bentuk kehidupan manusia yang beragam dan berada pada suatu wilayah tertentu.
Dapat disimpulkan menurut pengertian para ahli dan ditambah dengan kenyataan yang tampak pada saat ini dalam sudut pandang geografi, kota merupakan suatu daerah yang memiliki wilayah batas administrasi dan bentang lahan luas, penduduk relatif banyak, adanya heterogenitas penduduk, sektor agraris sedikit atau bahkan tidak ada, dan adanya suatu sistem pemerintahan.
D.BENCANA
1. Pengertian
Menurut Undang – undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Sedangakan menurut Sekretariat Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana
atau International for Disaster Reduction (ISDR) Perserikatan Bangsa – Bangsa, bencana
adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. (Siregar, 2011)
Rawan bencana juga memiliki pengertian suatu kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pasa satu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, merendam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemapuan untuk mengagapi dampak buruk bahaya tertentu.
2. Jenis Bencana
Jika ditinjau dari prosesnya, menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 bencana dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempabumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor
b. Bencana non – alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
E.KEBAKARAN
1. Definisi Kebakaran
Terjadinya api yang tidak dikehendaki, tidak terkendali, dan merugikan dapat didefinisikan sebagai kebakaran. Dari adanya definisi tersebut, maka terjadinya kebakaran tidaklah selalu identik dengan muculnya suatu api yang besar. Kebakaran juga dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa munculnya suatu api oleh proses kimia yang menimbulkan kerugian baik berupa harta benda ataupun cidera yang berujung kematian. (Rijanto, B. Boedi. 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
2. Fenomena Kebakaran
Fenomena kebakaran atau gejala pada setiap tahapan mulai awalterjadinya penyalaan
sampai kebakaran padam, dapat diamati beberapafase tertentu seperti source energy,
initiation, growth, flashover, full firedan bahaya-bahaya spesifik pada peristiwa kebakaran
seperti : back draft,penyebaran asap panas dan gas dll.
Tahapan - tahapan tersebut antara lain:
a. Tidak diketahui kapan dan dimana awal terjadinya api/kebakaran, tetapi yang pasti ada
sumber awal pencetusnya (source energy), yaitu adanya potensi energi yang tidak
terkendali.
b. Apabila energi yang tidak terkendali kontak dengan zat yang dapat terbakar, maka
akan terjadi penyalaan tahap awal (initiation) bermula dari sumber api/nyala yang relatif kecil
c. Apabila pada periode awal lebakaran tidak terdeteksi, maka nyala api akan
berkembang lebih besar sehingga api akan menjalar bila ada media disekelilingnya
d. Intensitas nyala api meningkat dan akan menyebarkan panas kesemua arah secara
konduksi, konveksi dan radiasi, hingga pada suatu saat kurang lebih sekitar setelah 3-10 menit atau setelah temperatur mencapai 300ºC akan terjadi penyalaan api serentak yang disebut Flashover, yang biasanya ditandai pecahnya kaca
e. Setelah flashover, nyala api akan membara yang disebut periode kebakaran mantap
(Steady/full development fire). Temperatur pada saat kebakaran penuh dapat mencapai 600-1000ºC. Bangunan dengan struktur konstruksi baja akan runtuh pada temperatur 700ºC. Bangunan dengan konstruksi beton bertulang setelah terbakar lebih dari 7 jam dianggap tidak layak lagi untuk digunakan
f. Setelah melampaui puncak pembakaran, intensitas nyala akan berkurang/surut
berangsur-angsur akan padam yang disebutperiode surut.
3. Klasifikasi Kebakaran
Terdapat beberapa klasifikasi kebakaran diantaranya aitu :
a. Klasifikasi kebakaran sebelum tahun 1970 (Eropa), sekarang diakui oleh Amerika
Utara, Australia, dan Afrika Selatan.
b. Klasifikasi kebakaran setelah tahun 1970 (Eropa), sekarang diakui oleh negara-negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
c. Klasifikasi kebakaran menurut NFPA (USA), dan
d. Klasifikasi kebakaran menurut U.S. Coast-Guard (USA)
Klasifikasi di Negara Indonesia menggunakan klasifikasi standar dari NFPA (Nation Protection Fire Association). Hal ini terlihat dari ditetapkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 04/MEN/1980 tentang syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat pemadam api ringan dengan klasifikasi sebagai berikut.
Tabel 1
Klasifikasi Kebakaran Menurut NFPA
Kelas Klasifikasi Kebakaran
Kelas A Kebakaran yang terjadi pada benda-benda padat, kecuali logam.
kebakaran ini paling sering terjadi dikarenakan benda padat yang mudah terbakar yang menimbulkanarang/karbon (contoh : Kayu,
kertas,karton/kardus, kain, kulit,plastik)
Kelas B Kebakaran pada benda cair dan gas yang mudah terbakar (contoh :Bahan
bakar, bensin, lilin, gemuk, minyak tanah, thinner)
Kelas C Kebakaran pada benda yang menghasilkan listrik atau yangmengandung
unsur listrik
Kelas D Kebakaran pada logam mudah terbakar (contoh : Sodium, lithium,
potassium, seng, titanium, radium, uranium)
Sumber : NFPA 10 Tahun 1998 dalam Rijanto, B. Boedi. 2010 4. Faktor Kebakaran
a. Pemicu Kebakaran
Prof. Dr. Ir. Suprapto, MSc. FPE. IPM dalam Konsep dan Pendekatan dalam Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran untuk Kabupaten/Kota di Indonesia. Pemicu kebakaran adalah suatu kecenderungan terjadinya kebakaran, dimana ketika terdapatnya suatu kecenderungan akan mengakibatkan munculnya suatu konsekuensi lanjutan berupa terjadinya bencana kebakaran.
Potensi atau pemicu terjadinya kebakaran ini dipengaruhi oleh faktor :
1) Pertumbuhan Kebakaran (fire history)
Pertumbuhan Kebakaran merupakan suatu fenomena atau kejadian kebakaran yang terdapat pada suatu wilayah berupa pertambahan atau peningkatan intensitas kejadian. Kejadian kebakaran yang terjadi pada suatu wilayah akan dapat dilihat kecenderungan akan kejadian kebakaran yang terjadi berdasarkan frekuensi kejadian kebakaran. Tidak terdapat teori atau standar yang menyebutkan secara pasti berapa frekuensi kejadian dikatakan rendah, sedang ataupun tinggi. Akan tetapi berdasarkan Indeks Rawan Bencana Indonesia dapat menggambarkan berapa frekuensi yang dapat dikatakan sebagai kejadian yang dikatakan rendah, sedang, maupun tinggi berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
pembagian kelasnya. Jadi dari intensitas atau frekuensi kejadian akan dapat menggambarkan suatu wilayah dalam kecenderungan terjadinya bencana kebakaran. Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 tahun 2012 tentang Pedoman Umum pengkajian risiko Bencana menetapkan klasifikasi kejadian kebakaran dalam 3 (tiga) kelas yaitu rendah (<2%), sedang (2-5%), tinggi (>5%).
2) Penggunaan Lahan (Land use)
Penggunaan Lahan merupakan faktor kedua dimana setiap adanya penggunaan lahan memiliki tingkat atau dapat menimbulkan adanya suatu bahaya terjadinya bencana kebakaran. Hal seperti ini terjadi dikarenakan setiap penggunaan lahan memiliki angka klasifikasi terhadap potensi terhadap resiko kebakaran yang ditimbulkan.
Penggunaan Lahan merupakan rancangan atau denah peruntukan lahan sebuah kota yang berbentuk dua dimensi, dimana ruang tiga dimensi (bangunan) akan dibangun di
tempat – tempat sesuai fungsi bangunan tersebut. sebagai contoh, sebuah penggunaan
lahan industri akan terdapat berbagai bangunan industri (pabrik) atau dalam penggunaan lahan perkantoran juga akan memiliki bangunan perkantoran. (Hafid Shirvani dalam fariable, 2011).
Berdasarkan definisi tersebut, penggunaan lahan didefinisikan sebagai sekumpulan bangunan dengan fungsi yang sama yang berada pada guna lahan dengan fungsi yang sama pula.
Klasifikasi Daerah Resiko Kebakaran Berdasarkan Penggunaan Lahan daerah rawan kebakaran dapat dikenali menurut penggunaan lahan berupa bangunannya, yaitu penggunaan lahan untuk industri, perdagangan, jasa, perkantoran dan permukiman. (Permen PU No. 20 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi
Kebakaran di Perkotaan). Adapun definisi masing – masing penggunaan lahan adalah
sebagai berikut.
Kawasan industri adalah lahan yang dipetak – petak sedemikian rupa yang
diperuntukkan bagi industri yang dirancang secara menyeluruh, dilengkapi
dengan jalan, kemudahan – kemudahan umum dengan atau tanpa bangunan
pabrik. (Unido, 1978 dalam Martopo, Aris, 2003).
Kawasan Industri juga memiliki arti sebagai kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola.
Berdasarkan definisi penggunaan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kawasan Industri merupakan sekumpulan bangunan yang memiliki fungsi berupa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
bangunan Industri. Hal ini berarti penggunaan lahan kawasan Industri merupakan penggunaan lahan dengan bahaya kebakaran sangat tinggi, sehingga penggunaan lahan haruslah diperhatikan pada penggunaan lahan ini. (Peraturan Menteri PU No. 20 tahun 2009).
Kawasan perdagangan memiliki definisi sebagai kawasan yang terdiri dari
berbagai aktivitas bisnis yang menyatu untuk melayani masyarakat sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
Berdasarkan definisi penggunaan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Kawasan perdagangan adalah kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan perdagangan. Hal ini berarti penggunaan lahan kawasan perdagangan merupakan penggunaan lahan dengan resiko kebakaran tinggi. Angka klasifikasi ini termasuk hunian dengan fungsi sebagai perdagangan bisa berupa pertokoan dan pasar. (Peraturan Menteri PU No. 20 tahun 2009).
Jasa adalah sesuatu yang diartikan sebagai hal yang dihasilkan berupa benda –
benda berwujud ataupun tidak yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan. (William J Stanton, 2004)
Berdasarkan definisi penggunaan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Kawasan Jasa adalah kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan perdagangan yang bersifat pelayanan. Hal ini berarti penggunaan lahan kawasan jasa memiliki resiko sedang, dikarenakan dalam penggunaan lahan jenis ini memiliki kuantitas atau bahan mudah terbakar sedang. Yang termasuk dalam klasifikasi ini bisa berupa warung makan, bengkel, dan pergudangan. (Peraturan Menteri PU No. 20 tahun 2009).
Kantor adalah bangunan yang digunakan sebagai tempat bekerja yang berkenaan
dengan kegiatan atau urusan administrasi. ( Drs. Kamisa, 1997).
Dimana didalam bangunan perkatoran memiliki pekerjaan utama berupa kegiatan penanganan informasi dan kegiatan pembuatan maupun pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang telah terhimpun tersebut. (Erns Neufert, 1989). Dalam kata lain, perkantoran dapat didefinisikan sebagai bangunan yang digunakan untuk pekerjaan admnistrasi dan manajerial.
Berdasarkan definisi penggunaan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Kawasan perkantoran adalah kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan kantor, seperti pemerintahan, dan lain sebagainya. Hal ini berarti penggunaan lahan kawasan perkantoran memiliki resiko rendah dimana penggunaan lahan jenis ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
merupakan penggunaan lahan yang mirip untuk permukiman, yaitu perkantoran. (Peraturan Menteri PU No. 20 tahun 2009).
Kawasan permukiman adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian yang merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung. (UU No. 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman).
Berdasarkan definisi penggunaan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Kawasan permukiman adalah kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan bermukim / tempat tinggal beserta kelengkapan sarana dan prasarana. Hal ini berarti penggunaan lahan kawasan permukiman memiliki resiko kebakaran relatif rendah dimana penggunaan lahan jenis ini bisa merupakan permukiman, kesehatan, pendidikan, peribadatan. (Peraturan Menteri PU No. 20 tahun 2009).
3) Kepadatan Penduduk
Kepadatan Penduduk pada suatu wilayah membawa kecenderungan akan kerentanan kebakaran dan resiko dampak kebakaran. Semakin tinggi kepadatan penduduk dalam suatu wilayah akan membawa potensi terjadinya kebakaran pada suatu wilayah, begitu juga semakin rendah kepadatan penduduk suatu wilayah, semakin rendah pula potensi kebakaran yang dimiliki. Dalam SNI No. 3 tahun 2004 tentang perencanaan lingkungan di perkotaan terdapat standar kepadatan penduduk dalam suatu wilayah.
Tabel 2
Klasifikasi kepadatan penduduk
Klasifikasi Kawasan
Kepadatan penduduk rendah <150jiwa/ha
kepadatan penduduk sedang 151-200jiwa/ha
kepadatan penduduk tinggi >200jiwa/ha
Sumber : SNI nomor 3 tahun 2004tentang perencanaan lingkungan di perkotaan
4) Kepadatan Bangunan
Kepadatan bangunan akan membawa dampak lanjutan dari adanya kejadian kebakaran dalam suatu wilayah. Kepadatan Bangunan dapat dilihat berdasarkan Koefisien Dasar Bangunan pada suatu wilayah yang selanjutnya disebut sebagai KDB atau melihat luas terbangun.
Kepadatan bangunan merupakan faktor pemicu terjadinya kebakaran dikarenakan resiko kebakaran yang ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan dalam suatu wilayah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
memiliki kepadatan bangunan yang tinggi atau KDB tinggi terjadi kebakaran, kejadian kebakaran ini akan lebih cepat menyebar karena kondisi akan kepadatan bangunan yang tinggi yang berdampak semakin meluasnya wilayah yang terkena dampak. Jadi, semakin rendah kepadatan bangunan potensi penyebaran atau resiko kebakaran juga akan semakin rendah.
PP Nomor 36 tahun 2005 tentang peraturan pelaksanan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan dalam pasal 20 ayat 2 menetapkan KDB dalaam tingkatan rendah (kurang dari 30%), sedang (30% sampai dengan 60%), dan tinggi (lebih dari 60%). Perhitungan mengenai kepadatan bangunan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui :
𝐾𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑥 100%𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛
5) Proteksi Terpasang
Proteksi terpasang merupakan suatu usaha atau potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah didalam upaya mencegah terjadinya suatu bencana kebakaran. Potensi yang dimiliki bisa berupa sarana ataupun prasarana pencegahan kebakaran. Dalam hal ini didasarkan pada sarana pencegahan kebakaran dimana dapat melihat proteksi yang terpasang pada suatu wilayah dalam mencegah terjadinya kebakaran. Sarana tersebut berupa hidran, pos pemadam kebakaran, dan jalur evakuasi.
a. Hydran
Salah satu unsur terpenting dalam pemadaman adalah tersedianya pasokan air dengan debit yang mencukupi. Pasokan air untuk keperluan pemadam kebakaran diperoleh dari sumber alam seperti kolam air, danau, sungai, jeram, sumur dalam dan saluran irigasi. Selain itu, pasokan air juga dapat diperoleh dari sumber buatan seperti tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur, reservoir, mobil
tangki serta yang lebih penting adalah Fire hydrant.
Berdasarkan NFPA®1141 Standar for Fire Protection Infrastructure for Land
Development in Suburban and Rural Areas, 2008:22 Dimana hydran memiliki jangkauan pelayanan 152 meter.
b. Pos Pemadam Kebakaran
Ketentuan berdasarkan Permen PU No 20 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan, terdapat ketentuan akan jangkauan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
wilayah layanan pos pemadam kebakaran. Yaitu setiap pos pemadam kebakaran memiliki jangkauan wilayah layanan dalam radius maksimal 2,5 km.
Jangkauan pos pemadam kebakaran ini menggambarkan seberapa cepat kejadian ditangani oleh pos pemadam kebakaran dilihat dari jarak terdekatnya. Semakin dekat dengan pos pemadam kebakaran, maka akan semakin cepat penanganannya. Jadi ketidakterjangkauan wilayah terhadap pos pemadam kebakaran akan menjadikan wilayah tersebut menjadi wilayah yang berpotensi terjadi kebakaran. sehingga jangkauan pos pemadam merupakan pemicu terjadinya kebakaran karena akan berpotensi terhadap resiko kebakaran yang besar pula.
c. Jalur Evakuasi
Jalur evakuasi merupakan prasarana proteksi yang ada didalam membantu masyarakat dalam mencapai lokasi yang aman terhadap kejadian bencana. Jalur evakuasi juga merupakan jalur yang digunakan oleh petugas didalam upaya pencapaian lokasi. Jalur ini dipilih dikarenakan jalur evakuasi merupakan jalur yang baik dan cepat serta merupakan jalur dengan jarak terdekat dalam menuju lokasi kejadian.
Jadi wilayah yang didalamnya terdapat jalur evakuasi dapat dikatakan sebagai wilayah yang memiliki proteksi terhadap bencana atau dapat dikatakan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh wilayah tersebut dalam mengurangi resiko bencana yang terjadi, begitu juga sebaliknya, sehingga ketiadaan jalur evakuasi akan menjadi pemicu kebakaran dan resiko kebakaran yang lebih besar.
Tidak terdapat ketentuan secara umum terhadap jalur evakuasi. Akan tetapi dapat didasarkan pada diberlakukannya jalur pada suatu daerah oleh peraturan terkait. (dalam dokumen tata ruang RTRW Kota Surakarta 2011-2031)
6) Kesiapan Masyarakat
Kesiapan Masyarakat adalah bagaimana suatu masyarakat pada suatu wilayah didalam upaya mencegah terjadinya kebakaran, mengatasi terjadinya kebakaran, serta tanggap terhadap situasi kebakaran. kesiapan masyarakat ini didasarkan pada fungsi
penyelamatan (rescue) pada suatu wilayah. Upaya ini merupakan upaya penyelamatan
guna memperkecil resiko bencana kebakaran dalam bentuk pelayanan atau pertolongan pertama terhadap kejadian kebakaran, serta sebagai upaya pencegahan dengan melakukan kerjasama terhadap instansi terkait.
Kesiapan Masyarakat dapat dilihat dari dari keberadaan SATLAKAR serta upaya pencegahan dari adanya program pencegahan kebakaran yang ada dalam suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
wilayah, dalam upaya menciptakan kemampuan dari adanya suatu pelatihan akan tanggap bencana. (Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana)
b. Resiko Kebakaran
Dalam konteks kebakaran, resiko diartikan sebagai suatu kecenderungan akan terjadinya kebakaran dari adanya konsekwensi atas potensi yang ditimbulkan dimana merupakan pemicu atas penyebab terjadinya kebakaran. Sehingga kecenderungan ini diartikan sebagai potensi terjadinya kebakaran atau kerawanan bencana.
Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana mengartikan rawan bencana adalah suatu kondisi atau keadaan atau karakteristik pada suatu wilayah baik berupa keadaan geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, dsb yang dalam jangka waktu tertentu dapat mengurangi kemampuan wilayah dalam menghadapi bahaya atau dampak buruk tertentu.
Resiko Bencana ini merupakan potensi kerugian yang akan terjadi yang ditimbulkan dari adanya suatu bencana, atau merupakan suatu akibat dari adanya bencana pada suatu wilayah. Dimana dalam kurun waktu tertentu jika tidak segera dilakukan upaya penanganan terhadap wilayah yang memiliki potensi resiko bencana dala kurun waktu tertentu dapat membawa akibat berupa luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, kerusakan, gangguan kegiatan masyarakat, serta kematian.
Suatu kerawanan pada suatu wilayah dapat dilihat dari tinggi atau rendahnya suatu