• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Kota Medan telah berinteraksi secara sosial dengan mayarakat suku lain. Interaksi ini dengan sendirinya menimbulkan perubahan-perubahan, baik itu dalam struktur masyarakat maupun adaptasi terhadap budaya luar.

Perubahan ini dirumuskan Koentjaraningrat (1986) sebagai difusi stimulus di mana terjadi persebaran kebudayaan secara geografis yang kemudian berubah melalui serangkaian pertemuan kultural dengan kebudayaan lain yang telah ada di Kota Medan yang mempengaruhi struktur, fungsi dan cara hidup masyarakat Sunda di Kota Medan.

Perubahan-perubahan ini juga berimplikasi terhadap pelaksanaan adat dan upacara perkawinan secara umum dan upacara mapag pangantén secara khusus. Perubahan dalam struktur upacara perkawinan adat Sunda terjadi dalam hal pelaksanaan beberapa ritual seperti berubahnya cara neundeun omong, ngalamar, dan seserahan. Selain itu, beberapa adat perkawinan yang tidak lagi dilaksanakan pada perkawinan Sunda di Kota Medan seperti ritual ngeuyeuk seureuh dan numbas merupakan bagian dari perubahan dalam upacara adat perkawinan Sunda di Kota Medan.

Selain perubahan-perubahan tersebut, terjadi juga perubahan dengan masuknya unsur budaya lain ke dalam struktur upacara perkawinan Sunda. Salah satunya yaitu dilaksanakannya tepungtawar yang merupakan unsur budaya Melayu yang kemudian dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat Sunda, khususnya dalam upacara perkawinan.

Kedekatan masyarakat Sunda dengan budaya Melayu di Kota Medan menurut pengamatan penulis diakibatkan oleh unsur budaya Islam. Kesamaan konsep religi menyebabkan kedekatan emosional antara masyarakat Sunda dan Melayu yang kemudian berimplikasi pada tepung tawar. Tepung tawar yang dalam masyarakat

Melayu sebagai ritual pemberian do’a dan keberkatan terhadap yang di-tepungtawari kemudian dilaksanakan juga oleh masyarakat Sunda dengan konsep yang hampir sama; sebagai ritual inisiasi yang menandakan kedua pangantén berubah statusnya dalam konteks masyarakat serta sebagai upacara pemberian do’a-do’a dari sesepuh kepada kedua pangantén dengan harapan bahwa rumahtangga yang dibangun keduanya dapat dijalani dengan sebaik-baiknya. Tepung tawar kemudian menjadi ritual yang lazim dilaksanakan oleh masyarakat Sunda di Kota Medan.

Upacara perkawinan adat Sunda yang penulis teliti menunjukkan bahwa tepung tawar telah masuk sebagai bagian integral dalam struktur upacara perkawinan adat Sunda. Masyarakat Sunda di Kota Medan menerima tepung tawar sebagai bagian dari rangkaian upacara.

Perubahan-perubahan menyangkut tatacara pelaksanaan dalam perkawinan adat Sunda di Kota Medan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Perbandingan upacara adat perkawinan

Adat Sunda terdahulu Adat Sunda di Kota

Medan Neundeun omong Dilaksanakan antara kedua

calon pangantén sebagai kesepakatan lisan untuk menikah. Penyampaian neundeun omong dilakukan oleh orang lain

yang mewakili calon pangantén laki-laki kepada

calon pangantén

Ada, dengan bentuk lain. Kesepakatan lisan antara keduanya dilakukan secara langsung karena keduanya, biasanya telah menjalani masa pacaran.

perempuan, Karena biasanya keduanya belum saling mengenal.

Ngalamar Orang tua mulai berperan dalam ngalamar dengan mendatangi keluarga pihak

perempuan dan menyerahkan sirih sebagai

tanda niat baik untuk menikahkan anaknya.

Tidak ada lagi sirih yang diserahkan. Biasanya orang tua laki-laki datang

membawa berbagai bingkisan dan uang.

Siraman Dilaksanakan sesuai adat. Pada beberapa kasus tidak dilaksanakan, namun masih ada yang melaksanakannya.

Seserahan Dilaksanakan sesuai adat. Dilaksanakan dengan cara lain. Tidak ada sirih, yang ada cincin tunangan. Kadang disebut acara tunangan.

Ngeuyeuk seureuh Dilaksanakan sesuai adat. Tidak dilaksanakan. Walimahan Dilaksanakan sesuai ajaran

agama Islam.

Dilaksanakan sesuai ajaran agama Islam.

Tepung tawar Tidak ada. Dilaksanakan sesuai adat Melayu.

Dari tabel di atas dapat dilihat bagaimana perubahan dalam struktur upacara perkawinan adat Sunda yang dilaksanakan di Kota Medan.

Perubahan juga terjadi dalam upacara mapag pangantén. Materi-materi upacara seperti berpindahnya tempat upacara dari halaman rumah ke gedung resepsi yang menyebabkan berubahnya tempat sawér dan hilangnya upacara buka pintu, adalah salah satu perubahan yang terjadi dalam upacara mapag pangantén. Selain itu

pager ayu yang dalam adat Sunda adalah anak-anak gadis kerabat pangantén perempuan, di Kota Medan tidak ada lagi; pager ayu adalah penari dari kelompok seni Paguyuban Wargi Sunda Medan yang tidak harus bersuku Sunda, tapi bisa juga bersuku lain seperti Batak Toba, Jawa dan lain-lain. Pada beberapa kesempatan upacara yang penulis ikuti, pager ayu adalah mahasiswa Etnomusikologi USU yang bersuku Batak Toba, Mandailing dan Jawa. Perubahan-perubahan dalam upacara mapag pangantén dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3. Perbandingan upacara mapag pangantén

Upacara mapag pangantén Upacara mapag pangantén di Kota Medan

Tempat upacara Halaman rumah keluarga

pangantén perempuan.

Gedung resepsi. Pada beberapa kasus masih dilaksanakan di halaman rumah, namun keterbatasan ruang mempengaruhi jalannya upacara. Pendukung upacara: a. Pager ayu b. Nayaga

Anak gadis kerabat pangantén perempuan Berasal dari sanggar seni profesional .

Penari, bukan orang Sunda.

Diafiliasi oleh Paguyuban Wargi Sunda dan tidak profesional.

Proses Upacara:

a. Buka pintu Dilaksanakan sesuai adat Untuk mapag pangantén

yang dilaksanakan di gedung resepsi, tidak dilaksanakan

Menurut pengamatan penulis, perubahan tempat upacara diakibatkan oleh menyempitnya ruang, baik itu secara fisik, maupun ruang sosial di mana masyarakat Sunda yang melaksanakan upacara harus juga memikirkan kepentingan masyarakat lain di lingkungannya. Toleransi sosial ini yang menyebabkan masyarakat Sunda enggan melaksanakan upacara mapag pangantén di rumahnya yang kemudian dipindahkan ke gedung resepsi yang lebis luas, secara fisik maupun ruang sosialnya.

Selain itu, pager ayu yang tidak lagi diambil dari kerabat keluarga pihak perempuan disebabkan karena tidak semua kerabat keluarga perempuan yang bisa menari. Jadi Paguyuban Wargi Sunda sebagai pendukung upacara mapag pangantén memilih penari-penari untuk menjadi pager ayu, termasuk penari yang bukan oran Sunda, melainkan oang Batak Toba, Mandailing, Jawa dan lain-lain. Dengan kata lain Paguyuban menjadi agen perubahan dalam hal ini. Perubahan pager ayu tersebut tidak mempengaruhi jalannya upacara. Pager ayu yang bukan orang Sunda diterima sebagai pendukung upacara.

Di samping perubahan-perubahan yang terjadi, ada juga unsur-unsur yang berlanjut dalam upacara mapag pangantén. Keberlanjutan dalam upacara mapag pangantén dapat dilihat dari instrumen musik dan repertoar yang dimainkannya. Kehadiran gamelan degung dalam upacara mapag pangantén merupakan sesuatu yang esensial dalam mendukung terlaksananya upacara. Hampir tidak mungkin upacara mapag pangantén diselenggarakan tanpa kehadiran gamelan degung. Meskipun pada beberapa kasus gamelan degung dapat dihadirkan melalui rekaman, namun tetap saja

dalam rekaman tersebut terdapat repertoar-repertoar gamelan degung yang khusus digunakan untuk mengiringi upacara. Repertoar-repertoar seperti Gending Bubuka, Rajah, Gending Punggawa, Léngsér Midang, Pajajaran dan Bagja Diri merupakan repertoar yang harus hadir dalam upacara.

Berdasarkan penelitian ini, penulis menarik kesimpulan bahwa musik dalam konteks upacara mapag pangantén mempunyai kecenderungan keberlanjutan yang kuat dan sulit berubah, meskipun pada praktiknya struktur dan materi-materi upacara telah berubah seiring dengan perjalanan waktu.

BAB V

Dokumen terkait