MUSIK DALAM UPACARA MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN:
KEBERLANJUTAN DAN PERUBAHAN Skripsi Sarjana
Dikerjakan o
l e h
IRMAN F. SAPUTRA NIM : 020707035
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
MUSIK DALAM UPACARA ADAT MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
IRMAN F. SAPUTRA NIM 020707035
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D. Dra. Frida Deliana, M.Si.
NIP 131 842 851 NIP 131 785 636
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
Disetujui oleh:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI Ketua,
Pengesahan
Diterima oleh:
Panitia Ujian Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Sastra USU Medan.
Pada
Hari : Selasa Tanggal : 24 Juni 2008
Dekan,
Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D NIP. 132 098 531
Panitia Ujian
No. Nama Tandantangan
1. Dra. Frida Deliana, M.Si. ( )
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )
3. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.d. ( )
4. Drs. M. Takari, M.Hum. ( )
KATA PENGANTAR
Teriring ucap syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam atas
kuasaNya yang membuat segalanya menjadi mungkin dan atas kuasaNya jugalah
skripsi ini bisa terwujud.
Skripsi yang berjudul MUSIK DALAM UPACARA ADAT MAPAG
PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN ini
merupakan kulminasi dari perjuangan panjang menimba pengetahuan dalam bidang
etnomusikologi di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara yang
penulis jalani selama sekitar enam tahun. Namun tak berarti juga ini adalah
pengakhiran dari proses belajar penulis.
Etnomusikologi telah mengubah pandangan penulis tentang musik. Dari tidak
tahu menjadi tahu dan faham, dari tidak suka menjadi sangat cinta, dan dari pikiran
yang sempit menjadi luas seluas jagat kebudayaan manusia. Dan semua itu membuat
penulis semakin bergiat untuk mencari tahu, memahami dan mencintai tradisi musik
bersama segala fenomena budayanya dengan rasa penghargaan yang tinggi tanpa rasa
keakuan yang mengarah pada pandangan bahwa satu kebudayaan lebih baik dari yang
lainnya.
Skripsi ini juga adalah implementasi nyata dari apa yang selama ini dipelajari.
Prinsip-prinsip disiplin etnomusikologi, metode dan teknik-teknik penelitian
didukung oleh teori-teori dan konsep melebur menjadi satu. Semoga skripsi ini bisa
Dengan segala kerendahan hati, kepada yang tercantum di bawah ini dan juga
kepada siapa saja yang tak dapat disebutkan satu per satu, penulis menghaturkan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas cinta dan dukungannya
kepada penulis. Beberapa di antaranya antara lain:
1. Yang terhormat ibunda Rd. Siti Zainab bt. Rd. Soleh dan ayahanda Sudirman
Rd. Sastradipura atas cinta dan do’anya yang tak terhingga. Juga kepada tétéh
Santy Susanty, Winda Widia As Tuti dan Susi Hendarti dan a’ Achmad,
S.Pd. yang tak henti mengalirkan dukungan dan semangatnya.
2. Yang terhormat ibunda Hj. Rosni Mamat Sugiman atas kasih sayangnya
selama penulis tinggal di rumah beliau. Juga keluarga téh Nining Ismayani,
S.E., Rizal M. Renaldi, S.P. dan si cantik Naila Fathma Chairunisa.
3. Yang terhormat kang Anton Pribadi Hadimulyono, S.E.,M.M. yang tak
pernah bosan memberikan dukungan dalam bentuk material dan immaterial.
Juga kepada téh Ineu Agustini dan si cantik Shabrina Putri Pribadi
Hadimulyono serta Pak Sedang dan Iwan yang menjadi teman sehari-hari
penulis di rumah.
4. Yang terhormat guru sekaligus sahabat, Prof. Mauly Purba, Ph.D. yang juga
merupakan Pembimbing Skripsi I yang membimbing dan mengajarkan
banyak hal kepada penulis. Terimakasih atas diskusi-diskusi yang menarik
selama ini, yang telah membuka lebar pengetahuan penulis dalam bidang
5. Yang terhormat Dra. Frida Deliana, M. Si. yang merupakan Dosen
Pembimbing Akademik dan Pembimbing Skripsi II yang banyak memberi
dukungan dan semangat kepada penulis.
6. Yang terhormat Dra. Heristina Dewi, M.Pd. selaku Sekretaris Departemen
Etnomusikologi yang telah memberi kemudahan administrasi selama penulis
kuliah di Departemen Etnomusikologi. Terimakasih banyak telah menjadi
sahabat dan ibu yang baik sekali bagi penulis.
7. Yang terhormat seluruh staf pengajar Departemen Etnomusikologi USU: Drs.
Torang Naiborhu, M.Hum., Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Drs. Kumalo
Tarigan, M.A., Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., Drs. Bebas Sembiring, M.Si.,
Drs. Fadlin, Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Drs. Dermawan Purba, M.Si.,
Dra. Rithaony Hutajulu, M.A., Arifni Netrirosa, S.ST., dan seluruh Dosen
Luar Biasa dan dosen dari Departemen/Fakultas lain yang mengajar di
Departemen Etnomusikologi yang membuka luas wawasan dan pengetahuan,
juga mengajari penulis melihat dengan cara pandang yang baru.
8. Yang terhormat kang Ade Herdiyat, S.Sn. dan kang Ayi Chidmat Kurnia
selaku informan yang banyak sekali memberi informasi untuk skripsi ini dan
sempat mengajari penulis bermain gamelan dengan baik. Juga kepada
keluarga besar Paguyuban Wargi Sunda atas kemudahannya dalam mengakses
informasi berkaitan dengan paguyuban dan warga Sunda di Sumatera Utara.
9. Kepada teman-teman mahasiswa dan alumni Etnomusikologi USU angkatan
S.Sn., Decy Christy, S.Sn., Tommy W. Manurung, S.Sn., Elisabeth Sitompul,
Nelia Sihombing,S.Sn., Herbert F. Simanjuntak, S.Sn. Senovian Butar-butar,
Irbet N. Barus,S.Sn., Ophir Yanto Sihombing, S.Sn., Siti Harviah Saragih,
Hotmauli Manalu, Galumbang Sihombing… dan terkhusus kepada sahabat
terdekat dan terbaik yang tak pernah bosan mengingatkan penulis untuk
segera menyelesaikan skripsi ini: Intan M. Sinambela.
10.Kepada alumni Etnomusikologi USU yang kepada mereka penulis banyak
belajar: Drs. Asep Nata, Edward Fransisco Bangun, S.Sn., Franmi Karto
Sinulingga, S.Sn., Karto Situmorang, S.Sn., Tanjung Simanjuntak, S.Sn.
11.Kepada adik-adik kelas teman diskusi dan teman jalan yang seru: Rie
Purnamasari, Rofina ‘pienz’ Fitrian Lubis, Saidul Irfan Hutabarat, Brata
Andreas Simamora, Welly Simbolon, Fera M. Sitompul, Ferry E.
Panggabean, Markus Bona Sirait, Martahan Sitohang, Andy Mangaritua
Sirait, Daniel Limbong, Jeffry Hutagalung, Ucok Silalahi, Heidy Eveline,
Novalinda Tringani, Sansri Nuari dan teman-teman yang lain yang akan
terlalu panjang jika disebutkan satu per satu di sini, dan terkhusus pada adik
kecil penulis Evi Nenta Sipahutar yang tak pernah bosan memberi semangat
pada penulis untuk segera mnyelesaikan skripsi ini.
12.Kepada teman-teman dari institusi lain yang dengan sabar membantu
mencarikan buku, artikel, bahan-bahan, informasi, serta mengingatkan dan
memberi semangat: Anggi Fauziani Yusuf (Univ. Trisakti), Ramadhan
Mohd Husaini Tokimin (Univ. Sains Islam Malaysia). Terimakasih atas email,
comments, tulisan di blog masing-masing, dan sms-sms yang terbalas, maupun
yang tidak. Itu semua sangat berarti bagi penulis.
13.Kepada sopir angkot, sopir taksi dan abang becak di Kota Medan yang dengan
selamat telah mengantar penulis pulang pergi dari rumah ke kampus dan ke
mana saja setiap hari, yang oleh karenanya juga berpartisipasi aktif dalam
melancarkan segala urusan selama lebih lima tahun penulis tinggal dan
menimba ilmu di Kota Medan.
14.Kepada Café Mbak Yanti serta semua orang yang bekerja di sana, tempat
makan siang sekaligus tempat diskusi-diskusi panjang tentang segala hal yang
menginspirasi penulis untuk terus belajar tentang apa saja.
15.Kepada perpustakaan-perpustakaan, warnet-warnet, toko buku dan semua
pegawainya yang memberi kemudahan kepada penulis untuk mencari
informasi berkaitan dengan penelusuran kepustakaan dan pengumpulan data
dalam rangka penulisan skripsi ini.
Terimakasih juga kepada siapa saja yang langsung ataupun tidak langsung
terlibat selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Terimakasih atas semuanya,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar isi ii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Pokok Permasalahan 8
1.3. Tujuan Penelitian 9
1.4. Manfaat Penelitian 9
1.5. Konsep 10
1.6. Kerangka Teori 11
1.7. Metode Penelitian 14
1.7.1. Studi Kepustakaan 15
1.7.2. Penelitian Lapangan 16
1.7.3. Kerja Laboratorium 17
1.7.4. Metode Transkripsi 17
1.7.5. Lokasi Penelitian 20
BAB II : ETNOGRAFI MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN
2.1. Tentang Masuknya Masyarakat Sunda di Kota Medan 23
2.2. Paguyuban Wargi Sunda: Penegas Integrasi Masyarakat Sunda
di Perantauan 28
2.3.1. Mata Pencaharian 32
2.3.2. Sistem Bahasa 32
2.3.3. Sistem Religi 37
2.3.4. Sistem Kekerabatan 41
2.3.5. Sistem Pengetahuan 42
2.3.6. Kesenian 47
BAB III : ADAT PERKAWINAN SUNDA
3.1. Perkawinan: Perspektif Adat dan Agama Islam 51
3.2. Tahapan Adat Perkawinan Sunda 53
3.2.1. Neundeun Omong 53
3.2.2. Ngalamar 54
3.2.3. Siraman 56
3.2.4. Seserahan 59
3.2.5. Ngeuyeuk Seureuh 61
3.2.6. Walimah (Akad Nikah) 68
3.2.7. Upacara Mapag Pangantén 70
3.2.8. Numbas 72
3.2.9. Ngunduh Mantu 73
3.3. Tepung Tawar: Bukti Interaksi dengan Budaya Melayu 73
BAB IV : UPACARA MAPAG PANGANTEN
4.1.1. Waktu dan Tempat Upacara 77
4.1.2. Pendukung Upacara 77
4.1.3. Peralatan dan Perlengkapan Upacara 81
4.1.4. Proses Upacara 85 4.2. Musik Dalam Upacara Mapag Pangantén 96 4.2.1. Gending Bubuka 96 4.2.2. Rajah Lengser 98
4.2.3. Rajah Payung 99
4.2.4. Gending Punggawa 100
4.2.5. Lengser Midang 101
4.2.6. Pajajaran 102
4.3.7. Bagja Diri 103
4.3. Keberlanjutan dan Perubahan 104
BAB V : PENUTUP 5.1. Kesimpulan 111
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah
Upacara Adat Mapag Panganten merupakan salah satu ritual yang menjadi
bagian dari seluruh rangkaian upacara adat perkawinan dalam masyarakat Sunda. Secara etimologi, kata mapag dalam bahasa Sunda berarti menjemput atau menyambut. Maka mapag panganten adalah acara menyambut kedatangan pengantin
dan keluarganya. Dalam hal ini yang disambut adalah pihak pengantin laki-laki karena pada umumnya upacara perkawinan masyarakat Sunda dilaksanakan di
kediaman keluarga pengantin perempuan.
Seluruh rangkaian upacara mapag panganten tersebut diiringi oleh musik yang dimainkan oleh gamelan degung, seperangkat gamelan terdiri dari bonang (15-18
gong-chime set), saron (metallophone), jenglong (8 gong-chime set), goong, kendang (double-sided barrel drum set) dan suling degung (end-blown flutes). Studi tentang
musik gamelan degung dalam konteks upacara mapag penganten ini menjadi salah satu bagian pokok dalam penelitian ini.
Penelusuran historis yang penulis lakukan untuk mengetahui sejak kapan
gamelan degung dipakai untuk mengiringi mapag panganten belum menemui titik terang. Mungkin sama tidak jelasnya dengan sejarah gamelan degung itu sendiri.
Kumalasari (1981) bahwa upacara-upacara pada jaman kerajaan Pajajaran diiringi oleh gamelan degung. Pendapat ini didasarkan pada naskah carita pantun Sunda yang
menurut sebagian ahli perlu dibuktikan lagi (Herdini 1992:34).
Pendapat lain muncul dari Atik Soepandi yang menyatakan bahwa gamelan
degung berasal dari perkembangan goong renteng1
1
Istilah goong renteng berasal dari salah satu instrumen berbentuk enam buah gong yang digantung pada sederetan rancak (rak). Ensambel goong renteng terdiri dari kobuang (gong-chimes), saron (metallophones), cecempres (metallophones), beri (gong-chimes), goong alit (gong kecil), dan goong gede (gong besar). Lihat Soepandi (1974), Heins (1977), dan Herdini (1992).
yang direkonstruksi oleh Pak Idi, seorang nayaga, menjadi gamelan degung pada sekitar tahun 1920-an (Soepandi, 1974:8). Pendapat ini didasari oleh kesamaan repertoar pada goong renteng dan
gamelan degung.
Kang Ade Herdiyat dan Kang Ayi, informan yang penulis wawancarai, sepakat
bahwa upacara mapag panganten telah dilaksanakan sejak jaman Kerajaan Pajajaran, sekitar abad ke-14. Waktu itu upacara ini hanya dilaksanakan ketika ada putri raja atau keluarga kerajaan yang akan menikah. Tidak ada rakyat biasa yang boleh
melaksanakan upacara ini. Namun setelah keruntuhan kerajaan Pajajaran, upacara-upacara ritual yang tadinya hanya diselenggarakan di lingkungan kerajaan, mulai
dilaksanakan oleh masyarakat biasa, meskipun pelaksanaannya terbatas pada orang-orang kaya, karena mahalnya biaya upacara. Kang Ayi juga menyakini bahwa gamelan degung telah dipakai dalam mengiringi berbagai upacara sejak jaman
Upacara mapag panganten dimulai ketika pengatin laki-laki serta rombongan telah datang ke tempat upacara. Pengantin laki-laki didampingi orang tua dan kerabat
dekatnya datang beriringan. Rombongan harus menunggu kesiapan pihak keluarga pengantin perempuan yang akan mapag (menyambut, Ind.).
Setelah semuanya siap, Ki Lengser2 (penetua adat) yang bertindak sebagai pemimpin upacara memberi tanda kepada para panayagan3
Di depan rumah sudah menanti mempelai perempuan beserta keluarga. Setelah berhadap-hadapan, ibu mertua menyambutnya dengan mengalungkan bunga. Kemudian kedua mempelai berhadapan dan bersiap akan melaksanakan ritual nincak
endog (menginjak telur). Pengantin laki-laki menginjak sebutir telur dan pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki sebagai tanda pengabdian. Selanjutnya, (pemain musik), pager ayu (penari), punggawa (prajurit penjaga), dan pihak keluarga pengantin perempuan
yang akan menyambut kedatangan pengantin laki-laki, bahwa upacara akan segera dilaksanakan.
Repertoar gending bubuka menandai dimulainya upacara. Kemudian Ki Lengser mempersilahkan para punggawa untuk mengawal pengantin laki-laki beserta rombongan. Setelah terjadi percakapan antara Ki Lengser dengan ketua rombongan,
para pager ayu (penari) yang terdiri dari enam orang kemudian menyambut kedatangan rombongan dengan tarian dan tabur bunga.
2
Ki Lengser merupakan jelmaan Ki Semar, seorang tokoh pawayangan yang mengabdikan hidupnya untuk melayani umat manusia (wawancara Ade Herdiyat, 20 Juli 2007)
3
kedua pengatin membakar harupat4
Masyarakat Sunda sebagai pendukung upacara mapag panganten, terus
melaksanakan ritual ini sampai sekarang. Termasuk juga masyarakat Sunda yang telah berpindah tempat dari Tanah Sunda
dan memecahkan kendi yang berisi air bunga sebagai tanda bahwa segala sifat buruk harus dibakar dan semua masalah yang
muncul dalam kehidupan harus dipecahkan bersama-sama.
Setelah itu selesai, maka kedua mempelai diiring ke depan pintu guna
melaksanakan ritual buka pintu. Buka pintu adalah satu ritual yang melambangkan bahwa pengantin laki-laki akan memasuki rumah dengan tatakrama seperti mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) dan salam. Dengan begitu sahlah
pengantin laki-laki menjadi pemimpin rumah tangga di keluarganya.
Dengan berakhirnya buka pintu tersebut, maka berakhir pula rangkaian upacara
mapag panganten. Kemudian kedua mempelai masuk ke rumah dan disandingkan di pelaminan untuk sungkeman kepada keluarganya.
5
Catatan-catatan mengenai perpindahan orang Sunda ke Sumatera Utara yang
penulis dapatkan, menyebutkan bahwa orang Sunda datang pertama kali pada sekitar ke pulau Sumatera. Wilayah penelitian
akan penulis batasi hanya pada komunitas Sunda di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan.
4
Harupat adalah batang lidi pohon enau. Ada satu ungkapan bahasa Sunda yang berbunyi: getas harupateun, yang artinya putus harapan. Masyarakat Sunda percaya dengan membakar harupat, maka sifat putus asa (yang disimbolkan oleh harupat yang rapuh) dalam menjalani kehidupan rumahtangga akan hilang dan perceraian pun bisa dihindari.
5
awal 1900-an ketika perusahaan perkebunan Deli Matschapij kekurangan pekerja, maka didatangkanlah kuli dari Jawa6
Sedikit sekali informasi mengenai kapan dan siapa yang berperan dalam pembentukan paguyuban yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini, karena sebagian
besar informasi tersebut dituturkan secara lisan, tanpa ada catatan resmi. Beberapa tokoh yang berperan dalam pendirian paguyuban pada masa sebelum kemerdekaan, yang saat itu sedang menderita kemiskinan dan
pengangguran (Buiskool 2005:274-5). Sebagian kecil kuli dari Jawa itu adalah orang Sunda. Setelah kontraknya habis, kuli-kuli itu tidak kembali ke Jawa, namun tetap
tinggal dan menetap di Sumatera Utara (Hartono 2005:433)
Setelah Kemerdekaan, kebanyakan orang Sunda yang datang ke Sumatera Utara adalah aparat keamanan (TNI/POLRI) dan pegawai negeri. Namun ada juga yang
datang untuk berwiraswasta. Seperti industri sepatu di Cibaduyut, Bandung yang melakukan pemasaran dari-pintu-ke-pintu yang menyebabkan para penjualnya datang
ke Kota Medan untuk berjualan sepatu. Komunitas (penjual sepatu) ini tinggal di Medan Selayang dan Medan Polonia.
Semakin banyaknya orang Sunda yang datang ke Sumatera Utara,
menimbulkan usaha untuk tetap menjaga identitas ke-Sunda-annya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, maka dirintislah satu institusi adat yang kemudian dikenal dengan
nama Paguyuban Wargi Sunda.
6
sempat penulis temui pada tahun 2006 lalu, namun karena usianya yang telah uzur, mereka tidak dapat lagi mengingat kapan tepatnya paguyuban dibentuk. Informasi
terakhir yang penulis dapatkan dari informan lain, bahwa paguyuban didirikan pada sekitar tahun 1936. Namun informasi tersebut tidak sempat dikonfirmasikan
kebenarannya karena tokoh tersebut telah meninggal dunia pada tahun 2007. Namun dalam Anggaran Dasar Paguyuban yang direkonstruksi pada bulan September 2007, menyebutkan bahwa Paguyuban Wargi Sunda didirikan pertamakali pada 27 Juni
1936 dan “disempurnakan dan diperbaharui” pada tanggal 9 April 2005 (PWS, 2007). Jadi, paguyuban inilah yang melayani dan memelihara keberlanjutan tradisi Sunda
selama tujuh dekade terkahir, termasuk upacara adat perkawinan.
Literatur mengenai upacara perkawinan adat Sunda pun telah lama dilakukan oleh para penulis dan peneliti. RH. Hasan Mustafa, seorang tokoh adat, mungkin
yang pertama menulis hal-hal mengenai adat perkawinan dalam bukunya yang terkenal Bab Adat-adat Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti éta (1913)
yang kemudian diterjemahkan oleh Maryati Sastrawijaya menjadi Adat Istiadat Sunda (1996). Buku tersebut merupakan kumpulan adat-adat dalam daur hidup orang Sunda, termasuk adat perkawinan.
Peneliti lain yang lebih spesifik membahas adat perkawinan adalah Prawirasuganda (1950) dan Tim Peneliti dalam Proyek Penelitian dan Pencatatan
Buku terbaru yang membahas adat perkawinan Sunda secara praktis adalah buku Perkawinan Adat Sunda oleh Artati Agoes (2003). Buku ini berisi kiat-kiat
bagaimana menyelenggarakan upacara perkawinan adat Sunda pada masa sekarang. Penulis mendapat banyak pengetahuan dari keempat buku hasil penelusuran
pustaka yang penulis lakukan tersebut. Baik Mustafa (1913), Prawirasuganda (1950), Suwondo (1975) maupun Agoes (2003) menjelaskan secara komprehensif detil-detil upacara perkawinan adat Sunda. Namun begitu, tak satupun dari keempatnya
menjelaskan musik yang mengiringi upacara perkawinan, khususnya upacara mapag panganten.
Mustafa bahkan tidak menyinggung upacara mapag panganten, meskipun ritual-ritual setelah akad nikah yang dijelaskannya merupakan bagian dari upacara mapag panganten. Begitu juga dengan Prawirasuganda dan Suwondo. Sedangkan
Agoes secara tegas memisahkan upacara sebelum perkawinan, akad nikah, dan upacara mapag panganten sebagai bagian dari acara resepsi perkawinan. Namun tak
satupun yang menjelaskan fenomena musikal dalam upacara itu.
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa musik yang digunakan untuk mengiringi upacara mapag panganten adalah repertoar gamelan degung.
Repertoar-repertoar tersebut merupakan keberlanjutan tradisi yang terus dipertahankan oleh masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, meskipun pada kenyataannya upacara
Perubahan-perubahan tersebut meliputi adat-adat sebelum perkawinan yang semakin “diperpendek”, di mana beberapa ritualnya tidak lagi dilaksanakan. Hal ini
juga terjadi dalam upacara mapag panganten yang meliputi materi, waktu dan tempat upacara yang disesuaikan dengan kebiasaan lokal dan pengaruh interaksi sosial
dengan suku lain. Meskipun begitu, aspek-aspek musikal dan ekstra musikal tetap dipertahankan secara konseptual.
Oleh karenanya penulis tertarik membahas upacara adat perkawinan Sunda,
khususnya upacara mapag panganten dari perspektif etnomusikologi. Penelitian skripsi ini akan melihat mapag panganten dengan pendekatan deskripsi-analisis untuk
melihat musik pada upacara tersebut dalam hubungannya dengan konteks budaya masyarakat Sunda. Pendekatan musikologis dilakukan untuk menganalisis fenomena bunyi musikal yang terjadi, dan pendekatan sosio-antropologis ditujukan untuk
mendapatkan pengetahuan mendalam tentang latarbelakang budaya Sunda yang menjadi pendukung mapag panganten. Pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan
secara sinergis dalam rangka mendapatkan pemahaman mengenai upacara mapag panganten secara komprehensif.
I.2. Pokok permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa hal
berada di wilayah kebudayaannya— aspek-aspek apa saja yang berubah dan apa saja yang tetap dipertahankan, dan faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya.
I.3. Tujuan penelitian
Pada dasarnya, penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang fenomena musikal dalam upacara mapag panganten dan mendapatkan pengetahuan tentang aspek-aspek apa saja yang tetap bertahan --setelah kepindahan—dan
unsur-unsur apa yang berubah. Lebih jauh lagi penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan jawaban mengapa fenomena ini terjadi dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Kota
Medan.
Pendekatan analisis musikologis dilakukan untuk mendeskripsikan musiknya, dan pendekatan antropologis untuk membahas konteks sosialnya dan penulis akan
melihat hubungan antara keduanya.
Penelitian ini direalisasikan dalan bentuk skripsi yang menjadi salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.
I.4. Manfaat penelitian
Selain sebagai skripsi, penelitian ini juga menjadi penelitian lanjutan dari apa
I.5. Konsep
Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan untuk
menghindari ambiguitas, maka diperlukan definisi-definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini merupakan kerangka konsep yang mendasari
batasan-batasan makna terhadap topik-topik yang menjadi pokok penelitian. Musik7
Masyarakat Sunda yang penulis maksud adalah masyarakat Sunda yang telah bermigrasi dari Tanah Sunda dan menetap (termasuk juga yang lahir dan tumbuh) di yang dimaksudkan di sini adalah repertoar gamelan degung yang mengiringi tarian penyambutan pengantin yang terdiri dari repertoar Gending
Bubuka, Rajah, Payung Agung, Umbul-Umbul Punggawa, Ki Lengser Midang dan Tari Pager Ayu. Repertoar-repertoar ini menjadi inti dari upacara mapagpanganten.
Mapag panganten sendiri berasal dari kata mapag yang berarti menyambut (Ind.), dalam hal ini yang disambut (dipapag) adalah pengantin laki-laki serta rombongan keluarganya oleh pihak keluarga pengantin perempuan. Upacara
penyambutan ini merupakan bagian dari rangkaian upacara adat perkawinan Sunda. Pengertian masyarakat dapat dipahami sebagai suatu kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi dan bertingkah laku menurut suatu sistem adat tertentu yang bersifat kontinu, di mana setiap anggotanya terikat oleh satu rasa identitas bersama (Koentjaranigrat 1986:160).
7
Kota Medan. Mengingat hal ini, perlu dipahami bahwa budaya Sunda telah berinteraksi dengan budaya lain di Sumatera Utara seperti Melayu, Batak, Karo dan
sebagainya selama lebih dari satu abad. Kondisi ini menyebabkan persinggungan antar-budaya dan perilaku saling mempengaruhi8
Koentjaraningrat (1986:377-8) memberikan pengertian upacara sebagai suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku sesuai
.
Keberlanjutan yang penulis maksudkan adalah keberlanjutan unsur-unsur budaya yang dibawa oleh masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Kota Medan. Keberlanjutan ini meliputi keberlanjutan material sebagai produk budaya dan
keberlanjutan yang menyangkut konsep dan nilai-nilai budaya Sunda di tengah interaksi sosial dengan budaya lain di Kota Medan.
Sedangkan perubahan yang dimaksud adalah perubahan unsur kebudayaan yang diakibatkan oleh persebaran secara geografis (difusi), adaptasi dan interaksi sosial. Perubahan yang dicakup dalam tulisan ini meliputi perubahan struktur
upacara, materi upacara dan perubahan konsep dan sistem nilai dalam konteks upacara mapag pangantén.
I.6. Kerangka teori
Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas
permasalahan. Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang dianggap perlu sebagai referensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini.
8
dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat dari : tempat upacara, waktu upacara dilaksanakan, benda-benda atau alat-alat upacara, orang yang
melaksanakan dan pemimpin upacara. Teori tentang upacara tersebut relevan digunakan dalam meneliti rangkaian pelaksanaan upacara mapag panganten.
Untuk membahas perpindahan unsur-unsur budaya Sunda di Sumatera, Koentjaraningrat menyarankan teori difusi, yaitu proses persebaran kebudayaan secara geografis. Ada beberapa jenis teori difusi antara lain; (a) difusi yang
masing-masing unsur kebudayaannya tidak berubah, (b) difusi stimulus yang meliputi jarak yang besar melalui suatu rangkaian pertemuan antara suatu deretan suku bangsa, (c)
difusi hirarki yang menyebar dari satu pihak yang dianggap penting ke pada masyarakat lain, dan (d) difusi yang disebabkan perdagangan yang menimbulkan dampak yang lebih besar dari difusi jenis (a).
Berdasarkan teori tersebut, kebudayaan Sunda yang ada di Sumatera bisa digolongkan pada difusi stimulus, di mana unsur-unsur kebudayaan Sunda
berinteraksi melalui serangkaian pertemuan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang telah ada di Sumatera, seperti Melayu dan Batak. Pertemuan kebudayaan ini mempengaruhi pola hidup orang Sunda, yang juga berimplikasi pada pelaksanaan
Kingsley Davis berpendapat bahwa pertemuan-pertemuan kebudayaan ini terjadi karena hubungan secara fisik antar dua masyarakat9 sehingga terjadi perilaku
saling mempengaruhi (Davis 1960: 622-3). Pada tahap selanjutnya, perilaku saling mempengaruhi ini mengakibatkan perubahan sosial yang dicirikan dengan perubahan
unsur kebudayaan seperti berubahnya struktur dan fungsi masyarakat.
Perubahan sosial juga terjadi pada unsur-unsur material di mana masyarakat pendatang harus mengadaptasi ketersediaan materi-materi budaya di tempat baru.
Namun demikian, konsep-konsep nilainya tetap dipertahankan (Cowell 1959: 40). Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka masyarakat Sunda yang ada di
Sumatera Utara, khusunya di Kota Medan telah berinteraksi secara sosial dengan masyarakat lain seperti Melayu dan Batak. Interaksi sosial ini menimbulkan perubahan budaya secara material sebagai akibat dari adaptasi terhadap ketersediaan
materi-materi budaya di luar wilayar budaya Sunda. Meskipun demikian, nilai-nilainya tetap dipertahankan secara konseptual.
Kerangka berpikir teoretis di atas penulis gunakan dalam rangka menganalisis musik pada upacara mapag panganten dalam hubungannya dengan konteks sosial masyarakat Sunda di Kota Medan.
9
Conrad Philip Kottak mengistilahkannya dengan inter-ethnic-contact sebagai akibat dari
I.7. Metode Penelitian
Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penekanan kajian diarahkan
pada latar dan individu tersebut secara utuh. Suatu penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan dan Taylor 1975:4-5).
Pendekatan emik dan etik10
Dalam upaya untuk mendapat gambaran tentang fenomena musikal dalam upacara, maka dilakukan transkripsi terhadap musik yang dipakai dalam upacara
tersebut. Nettl (1964:99-103) menganggap transkripsi merupakan cara yang baik untuk dapat mempalajari aspek-aspek detail pada suatu musik dengan dua
pendekatan; pertama menganalisa dan mendeskripsikan apa yang didengar, dan kedua juga menjadi penting karena penulis adalah ’orang dalam’ (insider). Hal ini membuat penulis mendapatkan kemudahan untuk mengakses
informasi. Pada dasarnya, dalam penelitian lapangan, pendekatan emik merupakan identifikasi fenomena budaya menurut pandangan pemilik budaya tersebut, sedangkan etik adalah identifikasi menurut peneliti yang mengacu pada
konsep-konsep sebelumnya (Kaplan dan Manners 1999:256-8). Dalam hal ini penulis bisa memandang budaya Sunda dengan pendekatan emik maupun etik. Kedua pendekatan
ini dilakukan untuk medapatkan data yang objektif.
mendeskripsikan apa yang dilihat dan menuliskannya di atas kertas dengan suatu cara penulisan tertentu. Pendapat ini sejalan dengan May yang menganggap penting
transkripsi untuk memvisualisasikan apa yang didengar sehingga peneliti mampu mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta untuk membantu
mengkomunikasikannya pada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar (May 1978:109).
I.7.1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni
dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian sebelumnya, dan lain-lain.
Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini.
Penelusuran kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti. Dalam hal ini penulis mempelajari buku-buku tentang upacara adat perkawinan orang Sunda yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti
sebelumnya (Mustafa 1913, Prawirasuganda 1950, Suwondo 1975, Agoes 2003). Studi kepustakaan juga dilakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan
I.7.2. Penelitian lapangan
Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan dan pengambilan data
melalui perekaman dan mencatat jalannya upacara secara keseluruhan, serta melakukan berbagai wawancara dengan beberapa tokoh adat, pemain musik, dan juga
informan lainnya. Teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu
pertanyaan tidak selalu berpusat pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat berkembang ke pokok permasalahan lainnya dengan tujuan untuk memperoleh data
yang beraneka ragam namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan.
Perekaman audio-visual juga dilakukan selama upacara berlangsung. Perekaman audio menggunakan mixer yang disediakan penyelenggara upacara untuk
menangkap gelombang suara yang masuk ke mixer. Selain itu juga ada rekaman di luar untuk menangkap sinyal yang keluar dari loudspeaker dan merekam ambiences
yang muncul selama upacara berlangsung. Keduanya direkam pada pita kaset SONY C60. Rekaman luar menggunakan alat perekam SONY TCM150. Kedua rekaman ini dilakukan bersama-sama.
Selain itu ada juga rekaman yang dibuat di luar upacara. Rekaman ini dimaksudkan untuk memperjelas detil-detil yang tak terekam dengan baik pada saat
langsung dari microphone ke hardisk melalui perangkat audiocard di komputer dan perangkat lunak CoolEdit Pro2.
Semua hasil rekaman ini kemudian dianalisis, di-edit, dan dirangkai kembali untuk menghasilkan rekaman yang memadai untuk ditranskripsi.
Sedangkan rekaman audiovisual untuk mengabadikan adegan-adegan yang terjadi dalam upacara dilakukan dengan menggunakan kamera video Panasonic dan kamera foto Nikon E5500 dan Canon EOS20D.
I.7.3. Kerja laboratorium
Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya
dianalisis. Pada akhirnya, data-data hasil pengolahan dan analisis disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.
1.7.4. Metode Transkripsi
Proses memindahkan bunyi dari apa yang didenganr menajdai simbol visual disebut transkripsi. Pekerjaan mentranskripsi bunyi musik adalah salah satu upaya
uantuk mendeskripsikan musik, yang merupakan bagian penting dalam disiplin etnomusikologi.
tertentu pula. Ini berarti bahwa deskripsi dan analisis yang didasarkan pada suara adalah penting, namun deskripsi juga harus selalu dilengkapi dengan analisis yang
didasarkan atas tulisa/notasi (Nettl 1964:98). Jadi suatu transkripsi dibutuhkan utnuk memvisualisasikan apa yang didengar apa yang didengar untuk memkomunikasikan
tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar kepada orang lain (Phillys 1991:1).
Dalam mentranskripsi gamelan degung yang digunakan dalam upacara mapag
pangantén, penulis melakukan beberapa tahapan; tahap perekaman, pengukuran frekuensi, pentranskripsian, dan penotasian. Pada tahap perekaman, penulis merekam
bunyi gamelan degung menggunakan rekaman digital dengan bantuan computer dan perangkat lunak CoolEditPro 2.0. Perekaman dilakukan dalam upacara (in-context) dan di luar upacara. Rekaman dalam upacara bertujuan untuk merekam seluruh
ambience (suara lingkungan) pada saat terjadinya upacara dan rekaman di luar upacara dilakukan dengan meminta pemain gamelan untuk memainkan
repertoar-repertoar yang dimainkan pada saat upacara di luar konteks upacara yang bertujuan utnuk merekam bunyi yang tidak jelas terekam pada saat upacara.
Tahap berikutnya adalah mengukur frekuensi masing-masing nada dalam
gamelan. Penulis mengambil sampel suara saron karena instrumen ini adalah
instrumen yang membawa melodi dan penentu jalannya komposisi (master
nada g -49 pada sistem musik Barat. Nada-nada berikutnya dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 1. Frekuensi nada saron
Nada da mi na ti la
Frekuensi (Hz) 762,05 727,57 573,14 510,78 485,5
Nada Barat g -49 f# -29 d -42 c -41 b -29
(lihat Lampiran 1)
Berdasarkan penghitungan frekuensi di atas, maka penulis menyusun tangganada berdasarkan sistem musik Barat. Tangga nada yang dihasilkan dpat dilihat sebagai berikut:
Tangganada inilah yang penulis gunakan untuk mentranskripsikan musik dalam upacara mapag pangantén, karena penulis berasumsi bahwa dengan memakai
analogi sistem musik Barat, maka pembaca akan lebih mudah melihat musik dalam upacara mapag pangantén.
Tahap berikutnya adalah mentranskripsikan musik dalam upacara. Penulis
mengambil sampel instrumen saron dan bonang untuk ditranskripsi karena kedua instrumen ini merupakan instrumen pokok yang membawa melodi dan menentukan
jalannya komposisi. Repertoar yang ditranskripsi antara lain Gending Bubuka, Rajah, Gending Punggawa, Léngsér Midang, Pajajaran, dan Bagja Diri. Kemudian hasil
-49 -29 -42 -41 -29
transkripsi tersebut dinotasikan dalam sistem notasi musik Barat agar lebih mudah dibaca.
I.7.4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di tempat-tempat komunitas Sunda tinggal di Kota Medan. Desa Pematang Johar Kec. Sampali Kab. Deli Serdang merupakan tempat sebagian besar orang Sunda menetap. Selain itu juga orang Sunda
banyak tinggal di Kampung Banten Medan Helvetia, Jalan Angkasa Medan Polonia, dan selain itu Sanggar PWS di kawasan Setiabudi Pasar IV juga menjadi tempat
penulis mengumpulkan data.
Wawancara penulis lakukan di rumah Ketua PWS di Komp. Johor Indah I dan di rumah masing-masing informan; Kang Ade di jalan Darmawan no. 1 dan kang Ayi
di Pematang Johar Sampali. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara bebas pada saat acara riung mungpulung (pertemuan) rutin di Wisma Kartini Jl. T. Cik
Ditiro Medan.
Untuk perekaman upacara, penulis lakukan di tempat upacara mapag panganten berlangsung; di Kawasan Gaperta (perkawinan Yayat-Ina) dan di Asr. Singgasana
Glugur (perkawinan Rizal-Nining). Perekaman tambahan (untuk merekam bagian-bagian yang tak jelas terekam ketika upacara) juga penulis lakukan dengan meminta
BAB II
ETNOGRAFI MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN
Bab ini akan membahas migrasi masyarakat Sunda dari Tanah Sunda ke
Sumatera dan etnografi masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara umumnya dan di Kota Medan khususnya. Uraian sejarah disusun secara kronologis berdasarkan sumber-sumber tercatat maupun informasi-informasi yang diperoleh dari wawancara.
Sedangkan penjelasan etnografi akan dibatasi pada aspek-aspek kehidpan secara umum dan berhubungan langsung dengan upacara perkawinan masyarakat Sunda di
Kota Medan.
Sedikit sekali catatan-catatan sejarah tentang masuknya masyarakat Sunda ke Sumatera Utara. Para penulis sejarah yang secara khusus membahas sejarah Sumatera
Utara cenderung mengaburkan masalah etnisitas; di mana orang Sunda sering sekali “dipandang” sama sebagai “orang Jawa”11
11
Pada umumnya orang-orang di luar Jawa menganggap masyarakat yang berasal dari P. Jawa adalah orang Jawa, meskipun pada kenyataannya tidak demikian karena di P. Jawa juga tinggal suku-suku lain seperti Sunda, Tengger, Baduy dan suku-suku pendatang lainnya, seperti Batak, Bugis, Maluku, Papua dan sebagainya.
. Penulis Belanda (Buiskool 2005, Berman
1997) menganggap bahwa orang-orang yang didatangkan sebagai kuli perkebunan di Sumatera Utara adalah orang Jawa. Pun dengan penulis Indonesia seperti Sinar (2005), Hartono (2005), dan Aulia (2006) mengabaikan fakta bahwa sebagian dari
bagaimana sistem kuli kontrak diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda selama pembangunan perkebunan di Sumatera Utara sepanjang kurun 1850 sampai
1930-an.
Lain daripada itu penulis menemukan bahwa sebagian kecil kuli kontrak itu
adalah orang Sunda yang berasal dari daerah kulon (Banten dan sekitarnya) dan daerah wetan (Ciamis, Garut dan Tasik). Pemukiman Kampung Banten yang ada di kawasan Medan Helvetia dan pemukiman orang Sunda di Sampali Deli Serdang
membuktikan hal ini.
Oleh karenanya penulis agak kesulitan dalam menyusun catatan sejarah tentang
masuknya masyarakat Sunda ke Sumatera Utara. Informasi yang didapat dari buku-buku sejarah dipilah-pilah untuk “memisahkan” orang Sunda dan orang Jawa. Sebagian informasi yang lain berasal dari wawancara yang kemudian dianalisis untuk
mendapatkan akurasi yang memadai untuk dipertanggungjawabkan.
Maka dari itu, penulisan sejarah masuknya masyarakat Sunda ke Sumatera ini
2.1. Tentang Masuknya Masyarakat Sunda Ke Sumatera Utara
Masuknya Orang Sunda ke Sumatera Utara tidak terlepas dari sejarah
perburuhan pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 yang disebut koeli contract12
12
Koeli contract adalah struktur perburuhan yang mengharuskan pekerjanya terikat perjanjian untuk bekerja pada pemerintah Kolonial maupaun perusahaan swasta milik asing dengan syarat dan aturan tertentu. Para pekerja kemudian disebut kuli.
.
Pada tahun 1863, Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda yang telah lama tinggal di Batavia, datang ke Deli dan mendapat kontrak dari Sultan Deli untuk menanam tembakau selama 20 tahun di Sumatera Timur. Nienhuys mulai membuka
ladangnya di Martubung dengan 88 orang kuli Cina dan 23 kuli Melayu (Sinar 2006: 207). Hasil tembakau dari kebun Martubung ini mendapat sambutan yang baik di
Belanda karena dianggap tembakau yang berkualitas sangat baik (van Papenrecht 1927 dalam Sinar 2006:207). Perkebunan tembakau di Deli tersebut kemudian berkembang dengan pesat dan Nienhuys dengan bantuan modal dari Janssen dan
Clemen mendirikan perusahaan perkebunan tembakau yang dikenal dengan nama Deli Maatschapij pada tahun 1866.
Karena pasar tembakau di Eropa sedang naik, Nienhuys memperpanjang kontraknya dengan Sultan Deli pada tanggal 8 April 1867 selama 99 tahun. Kemudian Nienhuys membuka perkebunan tembakaunya yang lain di Sunggal (1869)
Sejak dibukannya perkebunan pertama, kebutuhan kuli dapat dipenuhi dengan mendatangkan kuli orang Cina dan India dari P. Pinang dan Singapura. Saat itu Cina
sedang mengalami kelebihan penduduk dan krisis pengangguran yang sangat parah. Buiskool (2005) menggambarkannya sebagai berikut:
Local labor was in short supply on the east-coast of Sumatera and, as the native Malay and Batak population was not interested in plantation work, the solution was to import the labor force… at this time China were suffering from high unemployment, with its concomitant poverty and hunger, so workers from these places were easily contracted to work in Sumatera. Eventually three hundred thousand Chinese were shipped from China to Sumatera between 1870 and 1930. [buruh setempat sangat sedikit di pantai timur Sumatera dan karena penduduk asli Melayu dan Batak tidak tertari pada pekerjaan perkebunan, maka solusinya adalah mengimpor buruh… pada saat itu Cina sedang menderita pengangguran, pada saat yang sama terjadi kemiskinan dan kelaparan, sehingga pekerja dari daerah ini dengan mudah dapat dikontrak untuk bekerja di Sumatera. Pada akhirnya, tiga ratus ribu orang Cina didatangkan ke Sumatera antara 1870 dan 1930] (Buiskool, 2005:274-5).
Maka dengan mudah perusahaan-perusahaan swasta di Hindia-Belanda dapat mengimpor kuli melalui agen-agen dan makelar buruh.
Tahun-tahun berikutnya, merupakan tahun yang penting bagi perkembangan perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Sampai tahun 1884, telah berdiri 12 perusahaan perkebunan tembakau di Sumatera Timur yang meliputi wilayah
Marindal, Medan, Petersburg, Tanjung Jati, Bandar Khalipah, Deli Tua, Kwala Begumit, Bekalia, Belawan, Lubuk Dalam, Buluh Cina, dan Kota Limbaru. Asosiasi
Namun perkembangan ini tidak diimbangi dengan peningkatan taraf hidup para kuli bahkan kehidupan kuli kontrak ini sangat memprihatinkan. Mereka
mendapat perlakuan yang buruk dari Tuan Kebun. Kuli-kuli dimaki dan dipukuli jika malas bekerja. Pesta yang sengaja digelar oleh Tuan Kebun ketika habis gajian
membuat para kuli menghabiskan gajinya untuk berjudi, mabuk, dan prostitusi. Kuli-kuli itu terpaksa berhutang pada makelar dengan bunga yang tinggi (lihat Breman 1997 dan Aulia 2006).
Jika seorang kuli melarikan diri, maka dia akan dikejar-kejar oleh opas dan penduduk setempat demi imbalan yang besar jika mendapatkannya. Kuli yang
tertangkap akan dihukum dengan berat. Hukuman ini disebut poenale sanctie13, berupa hukum cambuk dan pukulan (Soegiri dan Cahyono, 2005:10). Ada juga seorang kuli perempuan yang ikat tanpa busana dan kemaluannya digosok dengan
lada (Breman 1997:xv, Aulia 2006:73)14
13
Poenale Sanctie tidak hanya diberlakukan di jajahan Belanda namun juga di jajahan Inggris dan Perancis (Breman 1997:xxii). Poenale sanctie diberkalukan karena perkebunan-perkebunan tersebut dikelola seperti perkebunan yang mengandalkan budak (unfee labour) di Amerika Selatan. Dengan cara ini kuli sebenarnya berkondisi seperti budak.
14 Buku Breman didasarkan pada laporan Jaksa Tinggi J.L.T. Rhemrev yang penyelidikannya tersebut tidak diterbitkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena berisi tentang berbagai pelanggaran HAM di Hindia Belanda. Sedangkan buku Aulia, didasarkan pada brosur yang ditulis oleh Johannes van den Brand yang berjudul Millioenen uit Deli yang terbit di Belanda pada tahun 1902. Brosur itu beisi tentang kekejaman Tuan Kebun terhadap kuli kontrak.
.
Perlakuan buruk terhadap kuli ini menyebabkan pemerintah Cina berusaha
Maka perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur mulai melirik kuli-kuli dari Jawa. Kuli-kuli tersebut dibujuk dengan janji-janji oleh makelar agar
mau dikontrak. Aulia (2006) menggambarkan bujukan-bujukan tersebut secara dramatis dengan:
Deli mengganggu tidur malam mereka…Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, meraba, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang kulit, arak, emas, perempuan-perempuan ronggeng…Ah, apa yang lebih penting dari semua ini? (Aulia, 2006:10).
Pada tahun 1875, sebanyak 250 kuli dari Jawa tiba di Deli. Rombongan kuli
ini yang pertama tiba di Sumatera Timur yang membuka gelombang-gelombang migrasi kuli kontrak selanjutnya.
Peraturan Koelie Ordonnatie15
Penulis menduga bahwa pada gelombang inilah kuli-kuli orang Sunda
bermigrasi ke Sumatera Timur bersama dengan kuli-kuli dari Jawa. Dugaan ini didasarkan pada bincang-bincang penulis dengan seorang informan di Kampung Banten yang mengutarakan bahwa kakeknya datang ke Sumatera ini sebagai kuli , mempermudah para makelar untuk merekrut lagi kuli-kuli dari Jawa (Sinar, 2006:314). Pada tahun 1880, lebih banyak lagi kuli dari Jawa didatangkan. Sepanjang 1880 sampai 1884 telah ada sekitar 30.000 kuli
kontrak dari Jawa didatangkan.
15
kebun sebelum masa “orang Indonesia disuruh sekolah” (wawancara Darman, Juli 2007). Mungkin maksud dari kalimat tersebut adalah sebelum pemberlakuan Politik
Etis yang yang dimulai pada tahun 1901.
Kebanyakan kuli orang Sunda diambil dari daerah Banten dan Pandeglang.
Pada gelombang berikutnya, semakin banyak kuli orang Sunda didatangkan ke Deli untuk dipekerjakan di perkebunan Buluh Cina dan Sampali.
Setelah kontrak berakhir, mereka tidak kembali ke P. Jawa dan kemudian
membentuk komunitas terbatas di dekat perkebunan tempat mereka dulu bekerja. Seperti yang ditulis oleh Hartono (2005):
…at the same time, Javanese workers were also being transported in large number from Java. At the end of their contract period, most of these laborers chose to stay and started their own way of earning living.[…pada saat yang sama, para pekerja Jawa juga didatangkan dalam jumlah besar dari Jawa. Di akhir masa kontraknya, kebanyakan pekerja tersebut memilih untuk tinggal dan mencarai penghidupannya sendiri.] (Hartono, 2005: 433).
Setelah masa Kemerdekaan, motif migrasi orang Sunda ke Sumatera Timur
(belakangan diganti namanya menjadi Sumatera Utara) menurut pengamatan penulis dapat dibedakan menjadi tiga motif; pertama, migrasi karena tugas Negara. Dalam kategori ini termasuk orang-orang yang yang bekerja sebagai aparat keamanan
(TNI/POLRI), Pegawai Negeri Sipil, karyawan BUMN, serta dokter dan perawat yang ditugaskan oleh Pemerintah Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
swasta, wiraswasta, para pedagang dan sejenisnya. Ketiga, migrasi karena tuntutan pendidikan. Sejak akhir 1980-an, mahasiswa-mahasiswa dari Jawa Barat datang
untuk belajar di perguruan-perguruan tinggi, baik perguruan tinggi milik pemerintah atau milik swasta di Kota Medan.
Jika dibandingkan dengan migrasi kuli kontrak, maka ketiga pola migrasi tersebut adalah migrasi yang bersifat sementara. Orang Sunda yang bekerja sebagai aparat Negara, karyawan swasta maupun mahasiswa yang belajar di Kota Medan
biasanya kembali ke Jawa Barat setelah tugas maupun pendidikannya selesai. Rata-rata mereka tinggal selama 5 sampai 30 tahun.
Berbeda dengan kuli kontrak orang Sunda yang tetap tinggal secara turun termurun di Sumatera Utara. Menurut hasil wawancara, mereka tidak kembali ke Jawa Barat karena tidak lagi mempunyai saudara di sana. Bahkan beberapa di
antaranya sudah tidak tahu lagi dari daerah mana mereka berasal.
Di Kota Medan, seluruh orang Sunda, baik yang bermigrasi maupun orang
Sunda keturunan kuli kontrak diafiliasi oleh sebuah institusi adat yang bernama Paguyuban Wargi Sunda.
2.2. Paguyuban Wargi Sunda: Penegas Integrasi Masyarakat Sunda di Perantauan
direkonstruksi sedemikian rupa guna menghadirkan suasana kesundaan sehingga orang Sunda kembali teringat akan kampung halamannya (wawancara Rahmat
Warganda, September 2007). Paguyuban Wargi Sunda Medan (PWS Medan) merupakan salah satu konstelasi dari seluruh jaringan PWS yang ada di perantauan.
Sedikit sekali catatan tertulis mengenai awal pembentukan PWS Medan. Satu-satunya data adalah Anggaran Dasar PWS Medan yang direkonstruksi pada September 2007 di mana disebutkan bahwa PWS Medan pertama kali dibentuk pada
27 Juni 1936 dan telah mengalami “pembaharuan dan penyempurnaan” yang diresmikan pada tanggal 9 April 200516
16
Anggaran Dasar PWS Medan ini ditetapkan di Medan pada tanggal 9 September 2007 ditandatangani oleh Ketua PWS Terpilih Dani Kustoni. Sebelumnya PWS Medan berjalan tanpa Anggaran Dasar.
. Informasi tersebut tidak menyertakan siapa
yang berperan dalam pembentukan PWS Medan.
Menurut keterangan yang diperoleh dari wawancara, diketahui bahwa sejak pembentukannya pertamakali pada tahun 1936, PWS Medan berjalan sebagai sebuah
komunitas dan tidak berbentuk organisasi struktural. Jadi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga seperti yang lazim mendasari setiap organisasi tidak
diperlukan. Pada tahun 2005, terbentuk ide untuk mengubah struktur paguyuban menjadi sebuah organisasi masyarakat non-politik. Artinya PWS Medan tidak bergerak dalam bidang politik, namun hanya berkecimpung dalam bidang
Sejak terpilihnya ketua baru untuk periode 2007-2009 pada tanggal 2 September 2007, maka paguyuban berubah menjadi sebuah organisasi (wawancara
Rahmat, September 2007). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumahtangga disahkan sebagai dasar organisasi.
Dalam Anggaran Dasar PWS Medan disebutkan bahwa paguyuban didirikan untuk; mempererat tali silaturahmi dan mempertebal rasa sosial di antara sesama anggota maupun dengan seluruh masyarakat Indonesia; memelihara dan melestarikan
nilai-nilai budaya, seni, olahraga, dan kepribadian wargi Sunda; menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial dan kesehatan.
Dalam praktiknya, sebagai implementasi dari tujuan berdirinya paguyuban, PWS Medan melakukan upaya-upaya untuk tetap memelihara persaudaraan di kalangan warga Sunda. Pertemuan-pertemuan rutin, seperti acara pengajian bulanan,
arisan keluarga dan riung mungpulung diadakan untuk terus mempererat silaturahmi. Penerbitan Bulletin PWS Medan yang terbit setiap bulan juga menjadi media
komunikasi di kalangan warga Sunda di Kota Medan. Selain itu, dalam upayanya untuk meningkatkan kesejahteraan warganya, PWS Medan juga membuka berbagai jenis usaha seperti pabrik tahu Sumedang, toko bahan bangunan (panglong) dan
lain-lain.
Dalam bidang kebudayaan, sejak berdirinya, PWS Medan secara konsisten
Begitu juga dalam konteks upacara mapag pangantén. PWS Medan terus melayani warganya untuk melaksanakan upacara mapag penganten. Jika ada orang
Sunda yang bermaksud menikah secara adat Sunda, maka pihak keluarga perempuan sebagai penyelenggara upacara biasanya berkonsultasi dengan tokoh-tokoh adat di
PWS untuk mendiskusikan hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan dalam pelaksanaan upacara. Bahkan sanggar seni PWS pun dilibatkan sebagai pemain musik dalam upacara mapag pangantén.
Melalui upaya-upaya yang telah diuraikan di atas, PWS bertanggungjawab untuk terus memelihara keberlanjutan budaya Sunda di perantauan. Selain itu, PWS
Medan juga menjadi sarana berkumpul yang efektif untuk membangun integrasi masyarakat Sunda di tengah kehidupan Kota Medan yang plural.
Fenomena ini yang menarik perhatian Edward Bruner dalam kunjungannya ke
Kota Medan (1974). Bruner memandang masyarakat Kota Medan sebagai masyarakat yang plural dan tak ada kebudayaan yang dominan di dalamnya. Ketiadaan suatu
kebudayaan dominan membuat kaum migran cenderung untuk mengelompok bersama dengan sesama warga suku bangsanya. Hal ini dilakukan untuk memperkuat posisi kelompok suku bangsanya dalam hubungan antarsuku bangsa dan dalam
bersaing untuk posisi-posisi yang ada dalam struktur kekuasaan kota Medan (Bruner 1974 dalam Lubis 2005:64). Sedangkan Usman Pelly menganggap asosiasi-asosiasi
Begitu juga dengan PWS Medan. Kehadirannya di Kota Medan didukung oleh intergitas yang kuat dari seluruh komponen masyarakat Sunda untuk menegaskan
identitas dan integritas ke-Sunda-annya.
2.3. Masyarakat Sunda di Kota Medan 2.3.1. Mata Pencaharian
Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa orang Sunda yang bermigrasi ke
Sumatera Utara, khususnya Kota Medan dapat dibedakan berdasarkan jenis pekerjaannya.
Jenis-jenis profesi itu dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, seperti pegawai pemerintah, misalnya aparat keamanan (TNI/POLRI), Pegawai Negeri Sipil, Staf Pengajar dan karyawan BUMN yang ditugaskan ke Kota Medan. Golongan
selanjutnya adalah orang yang bekerja untuk pihak swasta, seperti pegawai bank swasta, karyawan perusahaan-perusahaan kontraktor, buruh pabrik dan kuli bangunan
musiman. Golongan selanjutnya adalah wiraswasta, seperti pengusaha kuliner, pengusaha bahan bagunan, pengusaha budidaya ikan, pedagang sepatu dan lain-lain.
2.3.2. Sistem Bahasa
Basa (bahasa) Sunda adalah bahasa ibu sebagian besar masyarakat Sunda.
Alfabet Sunda terdiri dari 18 huruf konsonan (h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, p, j, y, ny, m, g, b, ng) dan tujuh huruf vokal (a, i, u, e, é, o, eu ). Alfabet ini disebut
cacarakan yang biasanya dihafal sambil dinyanyikan.
Basa Sunda dikategorikan sebagai bahasa afiksasi di mana posisi kata dalam
kalimat dan imbuhan gramatikal sangat berperan dalam menentukan makna (Suwondo, 1978:32). Imbuhan-imbuhan yang terdiri dari rarangkén hareup (awalan), rarangkén tengah (sisipan), dan rarangkén tukang (akhiran) menentukan arti kata,
misalnya kata dasar asih yang diberi rarangkén berikut ini:
Kata dasar Rarangkén Makna
asih diasih disayang
dipikaasih disayangi
pangdipikaasih paling disayangi
pangdipikaasihna yang tersayang
Dari contoh di atas dapat dilihat bagaimana rarangkén berperan menentukan
makna kata. Selain rarangkén di atas, masih banyak lagi rarangkén lainnya dalam basa Sunda yang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya.
Selain rarangkén, basa Sunda pun mengenal undak-usuk basa, yang
merupakan stratifikasi bahasa menurut tingkatan-tingkatan tertentu. Tingkatan-tingkatan tersebut dapat dibagi berdasarkan kasar-halusnya bahasa (basa lemes, basa
Bahasa Indonesia Basa lemes Basa loma Basa kasar
Makan neda, tuang, emam. dahar, ngawedang lelebok
Bahasa Indonesia Basa lemes ka diri sorangan
Basa lemes kasaluhureun
Basa lemes kasahandapeun
makan neda tuang emam
Undak-usuk basa ini adalah pengaruh kebudayaan Hindu di India, di mana kebudayaan India membagi masyarakatnya ke dalam kasta-kasta bertingkat. Pengaruh
ini semakin lekat ketika Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Mataram memiliki hubungan yang erat sepanjang abad ke 16 sampai abad 17, karena Mataram sendiri
merupakan kerajaan Hindu Dharma yang identik dengan kebudayaan India (Faturohman, 1982: 47-48). Ketika Belanda menguasai Indonesia, undak-usuk basa itu semakin terasa, karena Belanda memang memisahkan masyarakat Sunda golongan
menak (bangsawan) dan golongan cacah (rakyat jelata) untuk kepentingan kolonialisme (Kosoh et., 1979: 120). Pada Konferensi Basa Sunda tahun 1953 di
Bandung, ditetapkan bahwa undak-usuk basa tidak dihilangkan, tapi penggunaannya dialihkan dari bahasa untuk golongan menak menjadi bahasa untuk orang yang dihormati (Faturohman, 1982: 49).
Pada dasarnya basa Sunda digunakan secara luas di seluruh wilayah Jawa Barat, namun kondisi masyarakat dan perbedaan tingkat evolusi sosial menyebabkan
Cirebon, wewengkon Priangan dan lain-lain. Meskipun demikian, masyarakat Sunda dapat saling berkomunikasi menggunakan basa Sunda yang umum dipakai.
Penelitian dan pengajaran basa Sunda telah lama dilakukan. Buku tentang gramatikal basa Sunda karya Coolsman pada tahun 1873 mungkin buku tata bahasa
Sunda yang pertama diterbitkan. Buku tersebut kemudian direvisi pada tahun 1904. Buku Coolsman tersebut memicu penelitian lain dari ahli linguistik H.J. Oosting yang kemudian menyusun kamus basa Sunda-bahasa Belanda (1884). Kiprah Oosting
diteruskan oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda yang kemudian menyusun kamus umum basa Sunda-bahasa Indonesia (1975, 1980, 2000).
Kehidupan sastra Sunda pun telah lama menunjukkan geliatnya. Karangan-karangan R.H. Muhammad Musa yang terbit antara tahun 1860 sampai 1871 merupakan awal gerakan sastra Sunda modern (Rosidi, 1966:107). Pada saat itu ada
stigma bahwa karangan yang bermutu adalah karangan yang berbentuk dangding17
17
Dangding adalah cara penyajian karya sastra yang dilagukan menurut pupuh tertentu seperti pupuh Sinom, Kinanti, Asmarandana atau Dangdanggula. Setiap pupuh terikat pada aturan guru wilangan yang mengatur jumlah suku kata dalam tiap baris dan jumlah baris dalam setiap bait, dan guru lagu yang menentukan fonem pada akhir suku kata pada setiap barisnya.
. Namun Musa membuat terobosan baru dengan membuat karangan berbentuk prosa.
Karya-karya Musa antara lain: Wawacan Raja Sudibya (1862), Carita Abdurahman Abdurahim (1863), Wawacan Secamala (1863), dan Wawacan Panjiwulung (1871). Sastrawan lain pada masa itu diantaranya adalah R.A.A. Martanagara dan Haji Hasan
Pengajaran basa Sunda juga telah dimulai sejak akhir abad ke 19 ketika pemerintah Kolonial mendirikan SekolahKlas II yang diperuntukkan bagi anak-anak
golongan rendah di kota-kota kabupaten di Jawa Barat. Basa Sunda dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah tersebut. Ketika Etishce Politiek mulai diberlakukan
pada 1901, semakin banyak sekolah-sekolah didirikan untuk anak-anak bumiputra. Hal ini mendukung perkembangan pengajaran basa Sunda, karena basa Sunda kemudian dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah selain pengajaran bahasa Belanda
dan bahasa Melayu (Kosoh et.al: 120-7). Sampai sekarang, basa Sunda tetap diajarkan di sekolah tingkat dasar (SD dan SLTP) di Jawa Barat dan menjadi bahasa
pengantar paling umum yang dipakai di Jawa Barat.
Masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Sumatera Utara, pada dasarnya masih menggunakan basa Sunda sebagai media komunikasi antara sesama orang Sunda. Ini
dapat dilihat ketika ada orang Sunda yang bertemu dengan orang Sunda lainnya pada saat formal maupun pertemuan biasa. Atau ketika acara riung mungpulung yang rutin
diadakan oleh paguyuban, di mana basa Sunda menjadi bahasa pengantar formal dan bahasa percakapan informal.
Namun lain dari itu, interaksi sosial masyarakat Sunda dengan suku lain yang
Medan”18
2.3.3. Sistem Religi
yang merupakan ragam bahasa perpaduan antara bahasa-bahasa Melayu, Batak, Jawa, Minang dan lain-lain.
Dalam konteks upacara mapag pangantén, bahasa pengantar yang digunakan adalah basa Sunda, baik itu dalam acara ritual maupun dalam percakapan biasa.
Tembang-tembang dan kawih yang dipakai dalam upacara tetap menggunakan bahasa Sunda yang dapat dipandang sebagai keberlanjutan tradisi dan penguat integritas masyarakat Sunda.
Pada umumnya masyarakat Sunda adalah pemeluk agama Islam. Invasi Islam
ke Jawa Barat pada abad ke 14 sampai abad ke 16 mengkonversi hampir seluruh masyarakat Sunda memeluk agama Islam.
Penyebar agama Islam yang terpenting adalah Fatahillah (Faletehan) yang
lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati yang berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan kemudian mendirikan Kota Jakarta, juga mendirikan Kerajaan Islam
Cirebon dan Kerajaan Islam Banten. Pendirian kedua kerajaan Islam di Jawa Barat ini kemudian semakin memojokkan Kerajaan Pajajaran, yang kemudian membawanya menuju keruntuhan pada tahun 1579 (Kosoh et.al. 1979: 82-5).
Sebagian kecil masyarakat Sunda yang tidak mau beralih agama ke Islam, menyingkir ke pegunungan dan membentuk komunitas yang ekslusif dan tertutup.
Komunitas ini kemudian disebut orang Baduy. Sebutan orang Baduy bukan
18
merupakan sebutan dari mereka sendiri. Istilah Baduy diberikan oleh orang di luar wilayah Baduy dan kemudian digunakan oleh laporan-laporan etnografi Belanda.
Dalam laporan tersebut, masyarakat itu disebut badoe’i, badoei, atau badoewi (Hovell 1845, Jacob dan Meijer 1891, Pleyte 1909 dalam Permana 2006).
Orang Baduy memeluk kepercayaan Sunda Wiwitan. Dalam ajaran ini, kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau disebut juga sebagai Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki) atau Batara Tunggal
(Yang Maha Esa).
Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan keagamaan diatur oleh pikukuh (aturan
adat yang bersifat mutlak) agar orang dapat hidup menurut aturan itu demi kesejahteraan dan keseimbangan alam. Konsep keagamaan yang terpenting dalam pikukuh Baduy adalah “tanpa perubahan apapun” (Garna 1988 dalam Permana
2006:38-39). Ini yang menyebabkan orang Baduy sangat eksklusif dan tidak fleksibel terhadap perubahan, berbeda dengan masyarakat Sunda pemeluk agama Islam.
Pada umumnya masyarakat Sunda di Jawa Barat (termasuk juga yang bermigrasi ke Sumatera) merupakan pemeluk Islam yang baik. Ajaran-ajaran Islam dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum Islam. Konsep-konsep ketauhidan dan
Meskipun begitu, pengaruh Hindu yang telah berakar selama lebih dari seribu lima ratus tahun19
Hal ini memicu perdebatan panjang selama lebih dari satu abad di kalangan orang Islam. Satu pihak berpendapat bahwa praktik-praktik tersebut merupakan ritual
yang tidak diajarkan dalam Islam (bid’ah
menyebabkan praktik-praktik ke-Hindu-an dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Sunda tetap dilakukan. Contohnya adalah peringatan kematian tiluna (tiga hari), tujuhna (tujuh hari), matangpuluh (40 hari), mendak taun (setahun),
newu (seribu hari) dan haul (peringatan tahunan) yang tidak diajarkan oleh agama Islam tetap saja dilaksanakan dengan konsep dan bentuk yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam.
20
) dan dapat menjerumuskan ke dalam ke-murtad-an21
Masyarakat Sunda sebagai pendukung upacara mapag pangantén, pada dasarnya melandaskan upacara mapag pangantén (yang notabene merupakan ritual
. Pihak lain berdalih bahwa penyelenggaraan ritual-ritual tersebut sebagai pemeliharaan adat yang pelaksanaannya telah disesuaikan ajaran agama Islam.
Disadari atau tidak, perbedaan pandangan ini kemudian memicu terbentuknya golongan-golongan masyarakat yang berbasis agama di Jawa Barat.
Golongan-golongan tersebut, misalnya Muhammadiyah, Al-Washliyah, Persis, Nahdatul Ulama dan lain-lain tumbuh seiring berkembangnya kondisi politik di Indonesia (Surjadi 1985: 65).
19
Agama Hindu diyakini mulai masuk ke Jawa Barat pada saat kerajaan Tarumanagara berdiri pada abad ke 3 M.
20 Bid’ah; perilaku keagamaan yang tidak ada dalam ajaran Islam. 21
peninggalan Kejaraan Pajajaran) pada ajaran Islam. Rajah22(do’a-do’a) pada upacara tersebut ditujukan pada Allah SWT sebagai permohonan perlindungan atas
penyelenggaraan upacara. Juga dalam ritual buka pintu yang menggunakan kalimat syahadatain (dua kalimat Syahadat) dan ucapan salam merupakan salah satu contoh
“penyesuaian” upacara adat dengan ajaran agama Islam.
Begitu juga dengan adat perkawinan secara keseluruhan dilandasi oleh perintah dan ajaran-ajaran Islam. Perintah menikah dalam Al Qur’an dan Hadist
menjadi dasar kuat bagi terlaksananya perkawinan. Perintah tersebut salah satunya termaktub dalam Surat Ar Ruum ayat 21 sebagai berikut:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-Ruum 30:21).
Ajaran-ajaran Islam lain yang mengatur syarat dan rukun nikah,
hukum-hukum talak dan rujuk serta aturan-aturan kehidupan sehari-hari juga berlaku dalam kehidupan perkawinan masyarakat Sunda.
22
2.3.4. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Sunda bersifat bilateral di mana kedua belah pihak
memiliki hak dan kewajiban yang sama. Garis genealogis ibu atau ayah baik ke atas atau ke bawah mempunyai derajat yang sama.
Dalam adat Sunda tidak ada kewajiban untuk menikahi seseorang dari garis keturunan tertentu, karena itu orang Sunda diperbolehkan mengambil jodoh dari garis keturunan mana saja, baik itu dari luar maupun dari dalam kekerabatannya selama
tidak melanggar ketentuan agama.
Satuan terkecil dalam sistem kekerabatan yang terbentuk karena keturunan
disebut keluarga batih, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Setelah anak-anak anggota kelurga batih tersebut menikah dan membentuk keluarga batih sendiri, maka terbentuk keluarga besar. Kumpulan dari kelurga besar ini yang membentuk kolektif
masyarakat.
Dalam kolektif masyarakat ini, dikenal sebutan-sebutan untuk setiap generasi.
Dari ego ke atas urutannya:
ego—bapa—aki—uyut—bao—janggawareng—udeg-udeg—gantungsiwur, sedangkan dari ego ke bawah urutannya: ego—anak—incu— buyut—bao—janggawareng—udeg-udeg—gantungsiwur.
Panggilan dalam keluarga Sunda tidak memiliki aturan yang tetap dan berbeda pada setiap keluarga. Anak-anak bisa memanggil ayahnya dengan panggilan
dipanggil tétéh. Panggilan ini berlaku juga untuk setiap orang yang dituakan, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Sedangkan sistem kekerabatan yang terbentuk karena perkawinan di antaranya adalah mitoha, minantu, bésan, ipar dan dahuan. Mitoha (mertua) adalah
panggilan kepada orang tua istri atau suami, sedangkan minantu (menantu) adalah panggilan pada istri atau suami anak. Bésan adalah hubungan dua keluarga batih karena perkawinan anak-anak mereka. Maka orang tua pihak laki-laki merupakan
bésan dari orang tua pihak perempuan, atau dalam kata lain kedua belah pihak ber -bésanan. Ipar adalah bentuk bésanan yang lebih spesifik di mana panggilan ipar
ditujukan pada saudara kandung dari istri atau suami. Sedangkan dahuan adalah hubungan yang terjadi karena dua laki-laki yang istrinya bersaudara. Jadi jika ada kakak dan adik yang telah memiliki suami, maka suami mereka saling memanggil
dahuan. Panggilan ini juga berlaku bagi istri-istri dari laki-laki yang bersaudara.
2.3.5. Sistem Pengetahuan
Orang Sunda memahami alam sekitarnya berdasarkan pengalaman, seperti iklim dan pergantian musim. Pengetahuan ini digunakan dalam bidang pertanian,
mempelajari pranatamangsa23
Mangsa
untuk kepentingan pertanian. Pranatamangsa adalah perhitungan waktu berdasarkan jalannya matahari (solar calendar) yang terbagi ke
dalam dua belas mangsa, urutannya sebagai berikut:
Jumlah hari Kalender Masehi
Kasa 41 22 atau 23 Juni
Karo 23 2 atau 3 Agustus
Katiga 24 25 atau 26 Agustus
Kapat 25 18 atau 19 September
Kalima 27 13 atau 14 Oktober
Kanem 43 9 atau 10 November
Kapitu 43 22 atau 23 Desember
Kawolu 26 atau 27 3 atau 4 Februari
Kasanga 25 1 atau 2 Maret
Kasadasa 24 26 atau 27 Maret
Desta 23 19 atau 20 April
Sada 41 12 atau 13 Mei
Jumlah hari: 365 atau 366 hari (Gonggripj 1934:300 dalam Suwondo 1979: 45).
Pada mangsa kanem, béntang wulu