• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Tax Amnesty Semakin Membuat Rapuhnya Sistem Pajak Indonesia

Pasal 11 ayat (5) berbunyi,

B. P embangunan sistem pajak yang tidak mengarah pada cita-cita pajak bangsa

II. Kebijakan Tax Amnesty Semakin Membuat Rapuhnya Sistem Pajak Indonesia

Tidak adanya pedoman yang bisa dijadikan dasar, menjadikan pembuat kebijakan Tax Amnesty lebih memfokuskan diri pada target penerimaan. Kebijakan ini tentunya membuat semakin rapuhnya sistem pajak Indonesia :

1. Mengabaikan prinsip perpajakan Indonesia.

a. Kebijakan yang menakutkan bagi masyarakat

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menjadikan masyarakat menjadi resah sebagai dampak dari salah sasaran. Masih minimnya pengetahuan pajak masyarakat serta lemahnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah akan Undang-undang pengampunan pajak, menjadikan kebijakan ini menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Target pemasukan Tax Amnesty menjadikan aparatur di lapangan menyasar kepada masyarakat untuk ikut Tax Amnesty. Padahal selama ini masyarakat telah dipotong pajak atas penghasilan yang diperoleh selama ini. Hanya karena harta yang tidak dicantumkan SPT Tahunan menjadikan mereka sasaran untuk diikutkan TA. Hal ini tentunya menjadikan mereka dikenakan pajak dua kali (double taxation).

Hal berbeda bila dibandingkan dengan para pengemplang pajak yang bertahun-tahun memang tidak pernah membayar pajak. Uang tebusan Tax Amnesty sebagai cara untuk mengenakan pajak yang selama ini tidak pernah dikenakan.

Tentu saja hal ini selain tidak memenuhi unsur keadilan juga tidak ada kepastian hukum. Karena kebijakan tax amnesty melukai wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak patuh juga adanya kemungkinan untuk dikenakan pajak kembali. Hal ini tentunya menimbulkan efek kurang baik bagi membangun

kesadaran pajak masyarakat.

b. Berbagai kepentingan menunggangi kepentingan TA dan membuka peluang berbagai penyimpangan.

Kebijakan Tax Amnesty yang lebih memfokuskan diri pada target penerimaan menjadikan berbagai kepentingan masuk mendompleng kepentingan pajak itu sendiri. Dari kepentingan para fihak terkait dalam merancang kebijakan TA, bila target penerimaan tersebut tercapai yang dianggap sebagai pencapaian prestasi kerja. Para oknum aparatur pajak yang merangkap sebagai konsultan pajak fiktif. Para konsultan dan praktisi pajak akan mengambil peluang dalam membuka training dan pengurusan TA. Para fihak dalam memanfaatkan terkait dengan pencucian uang. Sampai para oknum yang selama ini menaruh uangnya di LN, memungkinkan mengatur kebijakan ini agar dapat di syahkan DPR sehingga uang mereka dapat diputihkan secara hukum. Tentu saja kebijakan ini semakin membuat maraknya korupsi dan penyimpangan di lingkungan pajak.

c. Rendahnya kinerja pemerintah dan aparatur pajak

Selain itu kebijakan ini juga menggambarkan rendahnya kinerja pemerintah dan lembaga pajak dalam mengejar para wajib pajak yang nakal. Bertahun-tahun mereka tidak pernah membayar pajak. Diputihkan dengan hanya membayar uang penebusan dengan tarif yang rendah.

Mereka yang dihapuskannya denda adalah para wajib nakal. Sangat tidak masuk akal, wajib pajak nakal malah mendapat pengampunan. Kebijakan ini tentunya sangat menyakitkan bagi wajib pajak patuh. Banyak diantara mereka tidak semata-mata menyetor pajak, tapi juga mengeluarkan biaya karena menggunakan konsultan, mengorbankan waktunya, harus mengantri, mendalami peraturan dst. Seharusnya fasilitas dan keringanan diberikan kepada wajib patuh, bukan wajib pajak nakal. Dengan memberikan pengampunan kepada wajib pajak nakal, tentunya menimbulkan excess negatif terhadap kesadaran pajak masyarakat. Dalam jangka panjang akan menimbulkan perlawanan pasif dari masyarakat.

Selain itu jatuhnya wibawa pemerintah dalam penegakan hukum pajak. Kebijakan ini akan berpengaruh di masyarakat. Mereka menjadi enggan untuk patuh. Mereka berfikir satu saat pasti ada pengampunan pajak dan itu bisa dimanfaatkan.

2. Tidak memiiki arah yang jelas

Target pemerintah untuk mendapatkan penerimaan 165 trilyun merupakan target penerimaan sesaat. Kebijakan ini tidak menggali potensi pajak yang sesungguhnya, bahkan cenderung merusak system pajak itu sendiri. Kebijakan ini tanpa didasarkan pada perencanaan yang matang makanya banyak masalah saat pelaksanaan di lapangan. Kebijakan ini juga bersifat trial and eror karena hanya bertumpu pada target penerimaan. Salah satu cita-cita pajak tertulis “Menunjang usaha pengembangan usaha kecil”. Kebijakan TA kurang menyentuh potensi pajak UMKM. Kebijakan ini hanya memfokuskan pada berapa target penerimaan uang penebusan UMKM dari kebijakan TA. Tarif UMKM yang lebih rendah dibanding tarif umumnya, tidak bisa dianggap sebagai cara dalam mewujudkan pengembangan usaha kecil. Berdasarkan data statistik di Indonesia, terdapat 57,9 juta pengusaha Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM Indonesia juga menguasai seperempat dari potensi pertumbuhan pasar pengusaha kecil menengah di Asean. Selain itu UMKM Indonesia menyumbang sekitar 60% dari total GDP dan menampung 97% dari total tenaga kerja Indonesia. Ini merupakan potensi besar bagi pajak untuk dikembangkan. Para UMKM membutuhkan pembinaan dan bimbingan tentang kesadaran pajak. Karena umumnya mereka belum mampu membayar konsultan pajak. Pembinaan kesadaran pajak UMKM akan berdampak jauh lebih strategis dalam menggali potensi pajak UMKM dibandingkan hanya menurunkan tarif agar mereka ikut TA.

Bila target TA itu tercapai sebenarnya, suatu hal yang wajar. Karena jumlah tersebut sangatlah kecil, dibandingkan dengan besarnya kerugian negara, yang merupakan akumulasi bertahun-tahun dari para pengemplang pajak, yang tidak pernah membayar pajak. Pemerintah tidak pernah menghitung secara transparan berapa kerugian negara atas pembebasan pajak tersebut. Begitu pula sebagai hal wajar, bila negara lain takut dengan kebijakan tersebut, mengingat selama ini mereka menikmati dana yang di parkir tersebut selama bertahun- tahun. Seharusnya pemerintah sudah mengantisipasi sejak lama, agar dana-dana tersebut tidak lari ke luar negeri, melalui berbagai elemen kebijakan dan tidak harus mengorbankan sistem pajak secara instan.

Ahli Pemohon Yang Hanya Mengajukan Keterangan Tertulis 4. Dr. Endang Kiswara, M. Si., Ak.

1. UU pengampunan pajak cenderung ditujukan untuk menampung keinginan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mencari cara cepat dan sederhana guna memperoleh dana untuk pembangunan melalui peningkatan realisasi penerimaan pajak yang belum mencapai 100% untuk periode 2015 maupun 2016 (tercatat 86%). Namun UU tersebut menimbulkan efek moral dari yang buruk terhadap upaya penegakan hukum (law enforcement) sebagaimana diisyaratkan dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (No. 28/2007), sehingga berpotensi mempengaruhi motif WP yang sudah terlanjur taat pajak. Pemerintah melalui UU Pengampunan Pajak menampakkan motif tidak menghargai terhadap para wajib pajak yang patuh selama ini dengan memberikan insentif terhadap mereka yang

tidak patuh selama ini. Sebagaimana diketahui bahwa penerapan tax

amnesty di Indonesia tahun 2016 merupakan kali ketiga dalam sejarah, yaitu setelah yang pertama pada tahun 1964, dan kedua tahun 1984, dimana keduanya tidak mampu memperbaiki system perpajakan di Indonesia terutama yang diikuti dengan upaya negara untuk meneguhkan

aspek keadilan dalam pemungutan pajak melalui penguatan database dan

perangkat hukum perpajakan. Menurut data OECD tahun 2016, Indonesia

adalah salah satu negara emerging economy yang lemah dalam

menampilkan database pajak.

2. UU pengampunan pajak yang diinisiasi oleh pemerintah (terutama Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu) tersebut cenderung hanya upaya untuk menutupi kelemahannya dalam penguatan dan updating database pajak selama ini. Ditjen Pajak tidak mampu membuka peluang prosedur identifikasi dan system penagihan pajak yang sesuai dengan perkembangan praktik ekonomi, bisnis dan keuangan di Indonesia, sehingga upayanya sebagai pemegang otoritas pelaksana system perpajakan di Indonesia selama ini boleh disebut kurang aktif dan agresif. Padahal identifikasi kelemahan system perpajakan Indonesia secara jelas telah teridentifikasi berdasarkan nilai rasio pajak yang rendah (11%) dan rasio potensi pajak yang tidak lebih dari 10% (dari sekitar 70,3 juta rumah

tangga, hanya sekitar 11-25 juta yang memiliki NPWP, dan hanya sekitar 6 juta yang melaporkan SPT Pajak).

3. Hal yang lebih urgen dan perlu ditingkatkan saat ini demi meningkatkan penerimaan pajak adalah memacu kemampuan Ditjen pajak dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan database pajak, antara pajak Negara dan antar pajak daerah, sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan asas penagihan lebih aktif.

4. Sensus pajak yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah salah sasaran karena menembak target yang tidak tepat, masak orang ditanyai tentang

penghasilannya yang bersifat confident, seharusnya yang ditanyai adalah

pihak yang memberi penghasilan.

5. Besarnya dana yang terkumpul dari hasil pengampunan pajak (165 T) relatif tidak sebanding dengan luka yang timbul kepada para wajib pajak

patuh dan effort serta motif orang untuk taat bayar pajak karena toh bisa

menunggu tax amnesty berikutnya lagi.

6. Seharusnya untuk memicu peningkatan penerimaan pajak justru melalui ketegasan Ditjen pajak dalam menindak wajib pajak yang tidak patuh. Sebab dengan tindakan tegas dan terintegrasi dengan sanksi hukum yang ada dan mengikat tersebut justru dapat menunjukkan kewibawaan UU Pajak dalam menerapkan asas keadilan dalam pemungutan pajak dan kepastian hukum karena pajak menerapkan equal treatment bagi semua

pihak yang memiliki objek pajak. Dayagunakan Fungsi Tax Intellegence

and Investigation.

7. Inisiatif pengampunan pajak, reinventing, sensus pajak, dan sunset policy

menunjukkan bukti bahwa Ditjen Pajak selama ini belum professional dalam memegang otoritas tertinggi sebagai pelaksana sistem pemungutan pajak.

8. Model kerjasama pajak sebagaimana diterapkan dalam tax treaty dengan

lebih kurang 60 negara di dunia selama ini tidak efektif dan efisien dalam pertukaran info pajak dan system penagihan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya integrasi klausul pajak dengan profil situasi dan kondisi negara pihak dalam hal ekonomi, perdagangan, geografis dan fiskal.

9. Tunjangan kinerja dan honor yang diterima oleh pegawai pajak belum optimal dalam memicu asas ketertagihan dalam sistem pemungutan pajak (kinerja aparat pajak tidak optimal).

10. Tidak ada salahnya jika Ditjen pajak meniru apa yang dilakukan oleh Bapak Gubernur DKI Jakarta (Pak Ahok) dalam optimalisasi penerimaan pajak, yaitu dengan cara memberi pancing kepada sistem seperti memberi EFT POS untuk memungut pajak restoran lebih optimal sekaligus menunjukkan dasar pengenaan pajak yang reliabel, dan memodali BBM kepada tukang parkir sehingga realisasi pajak dan retribusi DKI Jakarta bisa melebihi target 100%. Strategi Gubernur DKI tersebut dapat menjadi contoh kewibawaan pemerintah dalam mendorong kepatuhan pembayaran pajak tetapi tetap menggunakan cara-cara yang mendidik karena masyarakat ditimbulkan kesadarannya melalui pemahaman tentang hak dan kewajiban.

[2 .3 ] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden

menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis, disertai ringkasan keterangan tertulis, bertanggal 20 September 2016 yang disampaikan pada persidangan 20 September 2016, serta keterangan tambahan (Tanggapan Pemerintah) bertanggal 12 Oktober 2016 yang diterima Mahkamah pada 19 Oktober 2016. Keterangan dimaksud adalah sebagai berikut: