• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum dan Perilaku Self-Reporting (Swalapor)

Pasal 11 ayat (5) berbunyi,

B. Tanggapan Atas Permohonan Para Pemohon

5. Perlindungan hukum

5.3. Penegakan Hukum dan Perilaku Self-Reporting (Swalapor)

pajak mengakui pelanggaran pajaknya; contohnya amnesti, yang biasa diberikan untuk waktu yang terbatas untuk kelompok tertentu, atau otoritas pajak juga memberikan kelonggaran bagi pelanggar pajak yang membetulkan laporan

pajaknya secara sukarela, seperti pada tax amnesty atau VDP.

Ada dua alasan penting mengapa program semacam tax amnesty atau VDP perlu

dilakukan. Pertama, program pengampunan ini terjadi karena kondisi informasi yang tidak sempurna antara wajib pajak dan otoritas pajak. Jika otoritas memiliki informasi yang sempurna, otoritas pajak dapat memilah secara pasti mana wajib pajak yang melakukan pelanggaran dan yang tidak. Kedua, setelah seorang wajib pajak melakukan penggelapan pajak, sering kali wajib pajak tersebut menyesali tindakannya, oleh sebab itu penting bagi pemerintah untuk mempermudah bagi wajib pajak tersebut untuk melakukan pembetulan laporan perpajakannya, terlepas dari alasan mengapa dia menyesali pelanggaran yang telah dilakukannya. Pertanyaan terpenting yang harus dijawab adalah bagaimana membangun VDP tanpa mengurangi efek jera dari hukum pidana.

Model dasar dari VDP berasal dari studi yang dilakukan oleh Kaplow dan Shavell (1994), di mana studi tersebut adalah perluasan dari studi yang dilakukan oleh Becker (1968) dan Allingham dan Sandmo (1972). Di dalam skema regulasi

yang menyertakan prilaku self-reporting, wajib pajak dapat didorong untuk

melakukan pembetulan laporan pajaknya secara sukarela jika sanksi yang harus ditanggungnya tidak lebih besar dibandingkan jika wajib pajak tersebut tertangkap melakukan kecurangan. Ada dua keuntungan langsung yang bisa didapatkan dari skema regulasi seperti ini: Pertama, biaya penegakan hukum yang lebih murah karena mereka yang melakukan pelanggaran didorong untuk melakukan pelaporan secara sukarela, yang artinya tidak ada sumber daya yang perlu dihabiskan untuk mengidentifikasi wajib pajak yang melakukan penggelapan. Kedua, bagi para wajib pajak yang telah melakukan pelanggaran, mereka terhindar sanksi hukuman dari pelanggaran yang mereka telah lakukan dan cukup membayar pajak yang tertunggak.

Model K-S menyimpulkan bahwa cara terbaik untuk memaksimalkan keuntungan

dari skema regulasi yang menyertakan perilaku self-reporting adalah dengan

menerapkan sanksi ex-ante dari wajib pajak yang secara sukarela melakukan

pembetulan laporan pajaknya tidak boleh melebihi sanksi ex-post yang

diharapakan akan diterimanya jika tertangkap melakukan pelanggaran oleh

otoritas pajak. Dengan demikian, jika seorang wajib pajak melakukan pembetulan laporan pajaknya ketika otoritas pajak sedikit memiliki bukti bahwa dia telah melakukan pelanggaran, pengurangan sanksinya harus lebih besar ketimbang pada saat otoritas pajak memiliki bukti yang substansial mengenai pelanggaran yang sudah dia lakukan.

Lebih lanjut, ada empat hal yang bisa menjelaskan mengapa skema regulasi

dengan perilaku self-reporting tidak bisa berjalan. Pertama, insentif berupa

pengurangan sanksi atau pelonggaran hukuman terlalu kecil untuk bisa

mendorong perilaku self-reporting walaupun ada kemungkinan pelanggaran

tersebut akan diketahui oleh otoritas pajak. Kedua, wajib pajak meremehkan

kemungkinan pelanggarannya diketahui oleh otoritas pajak atau meremehkan sanksi yang akan diterimanya atas pelanggaran yang sudah dilakukannya, atau juga wajib pajak tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan pelanggaran.

Ketiga, wajib pajak menyadari dari awal bahwa kemungkinan pelanggarannya

terdeteksi oleh otoritas pajak relatif tidak mungkin. Keempat, tingginya biaya

administrasi.

Setelah model K-S, ada dua studi yang melakukan perluasan model tersebut dan

relevan dengan konteks tax amnesty atau VDP di Indonesia. Pertama adalah

studi yang dilakukan oleh Innes (2000), yang tidak lagi menggunakan asumsi bahwa masing-masing wajib pajak memiliki probabilitas terdeteksi yang sama jika melakukan kecurangan seperti di model K-S, akan tetapi Innes (2000) mengasumsikan bahwa secara eksogen, masing-masing wajib pajak memiliki probabilitas terdeteksi yang berbeda jika melakukan kecurangan.

Berikut adalah ilustrasi yang dapat digunakan untuk memahami kerangka berpikir dari studi Innes (2000). Katakanlah telah terjadi sebuah pelanggaran di mana kerugian akibat pelanggaran tersebut sebesar 100. Jika tertangkap, individu yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi sebesar 200. Kemungkinan

dari tertangkap bisa 80% (high probability of apphension) atau juga 30% (low

probability of apprehension). Dengan skema seperti ini, pada dasarnya pemerintah memberikan hukuman yang berlebihan kepada mereka yang memiliki kemungkinan tertangkap yang tinggi (ekspektasi sanksi yang diterima oleh pelanggar tipe ini adalah sebesar 160—80% dari 200) dan melupakan pelanggar yang kemungkinan tertangkapnya rendah (ekspektasi sanksi yang diterima oleh pelanggar tipe ini adalah sebesar 60—30% dari 200). Skema regulasi tersebut

dapat diperbaiki dengan menyertakan prilaku self-reporting, dimana sanksi yang dikenakan hanya sebesar 110 jika melaporkan pelanggarannya secara sukarela, mereka yang memiliki kemungkinan tertangkap yang tinggi akan terdorong untuk melaporkan pelanggarannya secara sukarela karena biaya sanksinya lebih rendah, tapi tidak untuk mereka yang memiliki kemungkinan tertangkapnya rendah.

Di dalam konteks VDP, ada dua pelajaran penting yang dibawa oleh studi tersebut. Pertama, menjadi tidak efisien jika VDP dirancang agar seluruh wajib pajak dapat berpartisipasi. Kedua, peningkatan kemampuan mendeteksi pelanggaran pajak menjadi salah satu faktor penting dari keberlangsungan VDP. Perluasan kedua dari model K-S yang dapat dijadikan justifikasi mengapa VDP diperlukan oleh Pemerintah Indonesia adalah studi yang dilakukan oleh Langenmayr (2015) dan Schmittdiel (2015), dimana di dalam kedua studi tersebut mereka mengasumsikan bahwa wajib pajak memiliki rasa bersalah atau beban moral setelah melakukan pelanggaran pajak, dimana rasa bersalah tersebut berbeda-beda dari satu wajib pajak ke wajib pajak yang lainnya. Berangkat dari kondisi tersebut, wajib pajak dapat dibedakan ke dalam tiga kategori yang berbeda, yaitu mereka yang selalu jujur, mereka yang awalnya melakukan pelanggaran dan kemudian mengakuinya, dan mereka yang merasa tidak bersalah karena telah melakukan pelanggaran.

Selain itu, kedua studi tersebut juga mengasumsikan bahwa persepsi dari wajib pajak mengenai kemungkinan pelanggarannya terdeteksi oleh ototoritas pajak dapat berubah karena faktor-faktor eksogen. Asumsi terakhir ini menjadi penting

karena keberlangsungan tax amnesty atau VDP tidak hanya tergantung dari

keringanan hukuman yang diterima jika melakukan pembetulan laporan pajaknya, akan tetapi juga tergantung pada bagaimana wajib pajak melihat kemampuan otoritas pajak dalam mendeteksi pelanggaran mereka ketika tidak secara sukarela melakukan pembetulan laporan pajak. Dengan kata lain, wajib pajak tidak bisa secara pasti menentukan probabilitas dari terdeteksinya pelanggaran yang dilakukannya. Perbedaan mendasar antara Langenmayr (2015) dan Schmittdiel (2015) terletak pada penentuan sanksi. Di dalam studinya Langenmayr, keringanan sanksi ditentukan berdasarkan kemungkinan tertangkapnya, di mana keringanan sanksi akan semakin besar jika kemungkinan pelanggarannya semakin sulit untuk terdeteksi.