• Tidak ada hasil yang ditemukan

Davoodi dan Zou (1998) melihat bahwa desentralisasi fiskal merupakan bagian dari suatu paket reformasi untuk meningkatkan efisiensi sektor publik, meningkatkan kompetisi diantara pemerintah daerah dalam pelayanan publik dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Davoodi dan Zou menyimpulkan bahwa tidak ada kaitan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan di negara maju. Namun sebaliknya terdapat hubungan yang negatif antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan karena pemerintah daerah kurang dapat mengalokasikan pengeluarannya kepada sektor-sektor yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi semakin melambat.

Oates (1993) berpendapat bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui pelimpahan wewenang fiskal yang lebih besar kepada pemerintah daerah sehingga dapat meningkatkan pelayan publik

kepada masyarakat. Peningkatan pelayanan publik tersebut merupakan indikator dari pertumbuhan ekonomi.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah yang merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal juga digambarkan oleh kurva Scully. Kurva Scully ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model yang dapat disimpulkan bahwa: peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB.

Hubungan mengenai kebijakan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi juga dapat digambarkan melalui hubungan antara kurva perpotongan Keynesian, kurva IS-LM dan kurva AD-AS. Misalkan di dalam suatu perekonomian terdapat perubahan dalam salah satu kebijakan fiskalnya, yaitu kenaikan belanja pemerintah. Belanja pemerintah merupakan salah satu komponen pengeluaran, sehingga kenaikan pada belanja pemerintah tersebut akan mengakibatkan peningkatan pengeluaran yang direncanakan untuk semua tingkat pendapatan.

Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB

Ti ng kat Pe rt u m b uha n Ek o n o m i g t

Sumber: Mankiw, 2006

Gambar 5 Hubungan kebijakan fiskal dengan pertumbuhan output. Y P1 P2 AD2 AD1 AS Y1 Y2 A B P Output Har g a Y r1 r2 IS2 IS1 LM Y1 Y2 A B ΔG/(1-MPC) r Pendapatan, Output Tin g kat Bun g a Y E2=Y2 E2 E1

Pengeluaran Aktual, Y=E

Y1 Y2 A B E Pendapatan, Output Pengeluaran E1=Y1 Pengeluaran yang direncanakan, E=C+I+G G Δ

Pada kurva perpotongan Keynesian, hal tersebut dicerminkan dengan pergeseran garis E1 ke E2 sebesar ΔG. Perubahan dalam belanja pemerintah

kemudian akan menggeser titik keseimbangan dari A menjadi B, dan menggeser pendapatan menjadi meningkat dari dari Pergeseran titik keseimbangan tersebut Y1 menjadi Y2. Kenaikan belanja pemerintah tersebut akan mendorong kenaikan

pendapatan yang lebih besar karena adanya multiplier effect.

Perubahan dalam kenaikan belanja pemerintah yang menyebabkan kenaikan pendapatan sehingga meningkatkan permintaan akan barang dan jasa tersebut akan menggeser kurva IS ke kanan dalam pasar barang dan jasa. Pergeseran kurva IS ke arah kanan, yaitu dari IS1 ke IS2 tersebut tentunya akan menggeser titik

keseimbangan. Apabila semula keseimbangan berad berada pada titik A, maka sekarang keseimbangan tersebut terletak pada titik B.

Perubahan titik keseimbangan tersebut juga akan menggeser output dari Y1

menjadi Y2. Pergeseran output dari Y1 menjadi Y2 tersebut menunjukkan adanya

suatu peningkatan output. Pada kurva AD-AS, peningkatan output dari Y1 menjadi

Y2 akan meningkatkan aggregat demand. Peningkatan aggregat demand tersebut

ditandai dengan bergesernya kurva AD dari AD1 menjadi AD2.

2.1.7 Kebijakan Fiskal dan Kemiskinan

Widhiyanto (2008) menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga semakin tinggi share dana perimbangan terhadap pengeluaran pemerintah daerah, maka semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dan memiliki hubungan negatif terhadap kesenjangan pendapatan perkapita antar daerah.

Kebijakan desentralisasi fiskal dapat mempengaruhi upaya penurunan kemiskinan melalui berbagai cara yang berbeda di masing-masing negara baik melalui jalur langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut disebabkan kemiskinan didefinisikan sebagai penurunan kualitas berbagai aspek kehidupan, baik kebutuhan dasar, pendapatan rumah tangga maupun keamanan. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dalam rangka menurunkan kemiskinan merupakan dampak kebijakan desentralisasi yang cukup penting. Sementara melalui jalur tidak langsung, kebijakan desentralisasi juga akan mempengaruhi peningkatan dan

redistibusi pendapatan, penguatan dan partisipasi rakyat miskin serta kerentanan terhadap goncangan dari luar (Boex et al, 2006)

Sepulveda dan Vazques (2010) menemukan bahwa penurunan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan dampak langsung dan tidak langsung dari adanya kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah memiliki peranan penting melalui kebijakan yang terbuka dan langsung.

Kebijakan fiskal akan memiliki dampak dalam penurunan kemiskinan melalui pertumbuhan tanpa mengesampingkan kondisi dari ketimpangan distribusi pendapatan pada suatu daerah. Kuznets (1955) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan. Hasilnya, ada suatu hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan, yang kemudian dikenal dengan hipotesis kurva U terbalik (Inverted U-curve Hypothesis).

Sumber: Kuznets (1955)

Gambar 6 Kurva U terbalik Kuznets (Inverted U curve hypothesis)

Berdasarkan hipotesis Kuznets tersebut, ketimpangan pendapatan dalam suatu negara akan meningkat pada tahap awal pertumbuhan ekonominya, kemudian pada tahap menengah cenderung tidak berubah dan akhirnya menurun ketika negara tersebut sejahtera. Ketimpangan pendapatan yang besar pada fase

awal pertumbuhan ekonomi tersebut disebabkan oleh proses perubahan yang terjadi dalam perekonomian suatu negara dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri. Kuznets menitikberatkan pada perubahan struktural yang terjadi pada pembangunan ekonomi. Ketika peranan sektor industri semakin meningkat, maka akan terjadi pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri modern termasuk industri pengolahan dan jasa. Dalam transisi ekonomi ini, produktivitas tenaga kerja pada sektor industri modern lebih tinggi daripada produktivitas pada sektor pertanian.

Kondisi tingginya produktivitas tenaga kerja pada sektor industri modern tersebut menyebabkan pendapatan per kapita pada sektor industri modern juga akan lebih tinggi, bahkan jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan perkapita yang diperoleh pada sektor pertanian. Perbedaan pendapatan perkapita tersebut akan menyebabkan ketimpangan antara kedua sektor itu yang semakin meningkat pada tahap awal pembangunan dan kemudian menurun pada tahap selanjutnya. Kuznets juga mengemukakan bahwa ketimpangan pendapatan yang besar juga dapat terjadi pada negara-negara yang belum berkembang (under-developed countries). Hal tersebut berkaitan dengan rata-rata pendapatan per kapita yang lebih rendah. Kuznets mengasumsikan bahwa ketimpangan pendapatan ada bersama (presumably coexisted) dengan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang rendah.

Namun, hubungan mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan memiliki bentuk hubungan yang berbeda-beda di setiap negara, yang semuanya itu tergantung pada proses pembangunan yang dijalankan di masing-masing negara. Dalam suatu penelitian pada 13 negara berkembang mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan, diperoleh hasil yang berbeda-beda pada setiap negara. Korea Selatan dan Taiwan mengalami laju pertumbuhan yang tinggi dan distribusi pendapatan masyarakatnya mengalami perbaikan, atau setidaknya tidak bertambah buruk. Namun demikian Panama dan Meksiko juga mengalami pertumbuhan ekonoi yang tinggi, namun hal tersebut disertai dengan semakin buruknya kondisi distribusi pendapatan. Negara India, Peru dan Filipina memiliki laju pertumbuhan yang rendah, juga distribusi pendapatan yang buruk bagi 40 persen penduduknya

yang paling miskin. Meskipun Srilanka, Kolombia, Kostarika, dan El Salvador memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang rendah, namun mereka dapat memperbaiki kesejahteraan ekonomi penduduknya yang berpendapatan rendah.

Penduduk miskin pada semua negara yang diteliti tersebut ikut menikmati manfaat pertumbuhan ekonomi walaupun tidak terdapat hubungan yang langsung dan positif antara tingkat pertumbuhan dengan tingkat perbaikan pemerataan. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi perbaikan taraf hidup masyarakat miskin atau tidak sangat bergantung pada karakter pertumbuhan ekonomi tersebut, yaitu bagaimana cara mencapainya, siapa yang berperan serta, sektor-sektor mana saja yang mendapat prioritas, lembaga-lembaga apa yang menyusun dan mengaturnya, dan sebagainya. Pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan yang dialokasikan pada sektor-sektor pro poor akan dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat miskin (Todaro dan Smith, 2006).

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai dampak kebijakan fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia pada masa desentraliasi fiskal ini masih relevan dilakukan walaupun penelitian serupa telah banyak dilakukan. Namun, penelitian-penelitian mengenai desentralisasi fiskal yang telah dilakukan mencakup kurun waktu awal pelaksanaan desentralisasi fiskal. Padahal di sisi lain sistem desentralisasi fiskal sampai saat ini masih berjalan, dan tentunya terdapat perkembangan- perkembangan dalam implementasinya, sehingga diperlukan penelitian pada kurun waktu terbaru. Selain itu perubahan dalam format anggaran penerimaan dan belanja pemerintah daerah turut menjadi perhatian dalam penelitian ini yang belum dicakup dalam penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kebijakan fiskal dan kemiskinan dan menjadi bahan rujukan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ravallion (2001) melakukan penelitian di 50 negara sedang berkembang pada tahun 1990an, ditemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan kemiskinan dan pertumbuhan pendapatan rata-rata, tidak terdapat hubungan yang sistematis diantara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan

pendapatan; pertumbuhan ekonomi akan memiliki dampak pengurangan kemiskinan yang kuat jika tingkat ketimpangan awal rendah; dan terdapat konvergensi di dalam ketimpangan pendapatan antar negara di dunia.

Dagderiven (2002) meneliti 50 negara sedang berkembang selama kurun waktu 1980-1990an dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak merupakan selalu cara yang terbaik untuk mengurangi kemiskinan, suatu kombinasi pertumbuhan ekonomi dan redistribusi pendapatan merupakan cara paling efektif (the most effective way) untuk mengurangi kemiskinan di banyak negara, dan tidak semua kebijakan redistribusi memiliki tingkat efektifitas yang sama bagi setiap negara berkembang.

Sepulveda dan Vazques (2010) melakukan penelitian mengenai kebijakan desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Penelitian tersebut dilakukan terhadap beberapa negara yang berada pada level pembangunan yang berbeda-beda selama kurun waktu 1971-2000 dengan menggunakan analisi data panel dengan model nonlinear. Hasil yang didapat adalah bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh nyata terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kebijakan desentralisasi fiskal memiliki dampak mengurangi kemiskinan sepanjang pengeluaran pemerintah untuk transfer tidak lebih dari sepertiga dari total pengeluaran pemerintah daerah. Sementara desentralisasi fiskal juga akan membantu mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan apabila pemerintah umum mewakili secara nyata bagian dari perekonomian sebesar lebih dari dua puluh persen.

Penelitian menngenai kebijakan desentraliasi fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan tidak hanya dilakukan di luar negeri. Beberapa penelitian mengenai kebijakan fiskal berkaitan dengan sistem desentralisasi di Indonesia telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian tersebut yaitu:

Brodjonegoro, Anton dan Riatu (2001) melakukan penelitian mengenai alokasi sumberdaya alam dalam rangka desentralisasi. Penelitian tersebut menganalisis pengaruh dan efektivitas UU No. 25 Tahun 1999 terhadap pemerataan pendapatan daerah, pertumbuhan ekonomi daerah serta pengaruhnya terhadap beberapa variabel makroekonomi seperti konsumsi dan investasi yang dilakukan dilakukan dengan model ekonometrika desentralisasi. Model yang

mengacu pada sistem ekonomi tertutup tersebut menggunakan data tahun 1991- 1995 terhadap daerah potensial sumberdaya alam dan non potensi sumberdaya alam menunjukkan hasil analisis bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, kebijakan alokasi sumberdaya alam dan dana alokasi umum yang merupakan kebijakan yang saling terkait serta berdampak yang cukup besar terhadap perekonomian makro.

Sartiyah (2001) melakukan penelitian mengenai dampak implementasi desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah di kabupaten Aceh Besar dan Aceh Utara dengan menggunakan data panel makroekonomi kedua kabupaten selama kurun waktu 1988-1997. Hasil penelitian dengan menggunakan persamaan simultan tersebut memberikan hasil bahwa implementasi desentralisasi fiskal menunjukkan fenomena yang berbeda di kedua daerah. Sementara itu, hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suku bunga berdampak positif terhadap perekonomian di kabupaten Aceh Besar, sedangkan peningkatan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan memberikan dampak positif dan cukup besar bagi perekonomian kabupaten Aceh Utara.

Sumedi (2005) melakukan penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar daerah dan kinerja perekonomian nasional dan daerah. Penelitian ini dilakukan terhadap propinsi-propinsi di Indonesia dan terhadap kabupaten/kota di Jawa Barat dengan menggunakan analisis persamaan simultan terhadap data panel tahun 1995-2002. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa implementasi kebijakan fiskal tersebut memberikan dampak positif terhadap penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kapasitas fiskal daerah, dan kinerja perekonomian baik pada skala nasional maupun di Jawa Barat. Namun implementasi tersebut di sisi lain meningkatkan kesenjangan antar daerah pada awal tahun 2001, yang kemudian berangsur menurun seiring dengan perbaikan formulasi DAU. Hasil analisis dampak yang memberikan hasil terbesar pada kinerja fiskal dan perekonomian daerah adalah realokasi anggaran rutin kepada anggaran pembangunan, dan menurunkan kesenjangan antar daerah (KBI dan KTI), sementara pada kasus Jawa Barat dampak realokasi tersebut meningkatkan kesenjangan.

Nanga (2006) dalam studinya yang bertujuan menganalisis dampak transfer fiskal terhadap aspek-aspek fiskal maupun kinerja perekonomian yang berfokus pada distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia menggunakan model ekonometrika persamaan simultan yang terdiri atas 6 blok persamaan. Penelitian tesebut dilakukan terhadap 25 propinsi selama kurun waktu 1999-2002 yang menunjukkan hasil bahwa transfer fiskal di Indonesia cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan; kemiskinan ternyata dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan dan hal tersebut ditunjukkan oleh berbagai ukuran kemiskinan yang memiliki hubungan yang responsif atau elastis terhadap perubahan pada indeks Gini.

Panjaitan (2006) meneliti mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian daerah kabupaten/kota di Sumatera Utara dan melakukan simulasi kebijakan dengan menggunakan model ekonometrika persamaan simultan. Berdasarkan pengolahan terhadap data 17 kabupaten/kota selama kurun waktu 1990-2003 diperoleh hasil bahwa dampak desentralisasi fiskal melalui peningkatan DAU akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja serta distribusi pendapatan khususnya di perkotaan.

Usman (2006) meneliti mengenai desentralisasi fiskal, distribusi pendapatan dan kemiskinan terhadap 308 kab/kota yang diaggregasi menjadi 26 propinsi selama kurun waktu 1995-2003. Penelitian menggunakan data panel dalam menentukan dampak desentralisasi fiskal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal terindikasi dapat menciptakan pemerataan distribusi pendapatan, namun pengaruhnya belum terbukti nyata secara statistik karena baru berjalan selama tiga tahun, dan mengurangi kemiskinan secara nyata. Sektor pertanian terbukti paling efektif dalam penciptaan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan, sementara sektor pendidikan dan kesehatan merupakan sektor yang harus di prioritaskan.

Astuti (2007) meneliti mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan perekonomian daerah di propinsi Bengkulu terhadap 3 kabupaten dan satu kota selama kurun waktu 1993-2003 dengan menggunakan persamaan simultan dalam membangun model ekonometrika. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa setelah desentralisasi fiskal seluruh kinerja ekonomi daerah dan keuangan di kabupaten sebagian besar dipengaruhi oleh realokasi anggaran rutin kepada anggaran pembangunan, sementara di daerah perkotaan dipengaruhi oleh peningkatan DAU dan peningkatan pengeluaran pemerintah.

Hermami (2007) melakukan penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian di dua daerah yaitu kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal melalui peningkatan DAU, PAD, dana bagi hasil, realokasi pengeluaran rutin kepada pengeluaran pembangunan dan pengeluaran sektor infrastruktur memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah, sera mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal.

Rozi (2007) melakukan penelitian di Propinsi Riau mengenai dampak otonomi daerah terhadap pengurangan kemiskinan. Penelitian tersebut menggunakan persamaan simultan terhadap data panel kabupaten/kota tahun 1996-2004. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah mampu meningktakan perekonomian daerah serta menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan pembukaan lapangan kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah.

Pakasi (2008) dalam penelitiannya mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Sulawesi Utara menemukan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun relatif kecil terhadap perekonomian daerah. Dampak desentralisasi fiskal tersebut apabila dilihat menurut sisi pendapatan dan pengeluaran terlihat bahwa dampak transfer DAU lebih besar terhadap kinerja fiskal daerah, sementara dampak investasi memiliki dampak lebih besar terhadap perekonomian daerah. Penelitian tersebut menggunakan persamaan simultan terhadap data panel 5 kabupaten/kota di Sulawesi Utara selama tahun 1989-2002.

Widhiyanto (2008) meneliti peran desentralisasi fiskal terhadap pembangunan daerah dan disparitas pendapatan regional di Indonesia selama kurun waktu 1994-2004. Penelitian ini menggunakan analisis data panel terhadap variabel-variabel PDRB, IPM, kepadatan penduduk, tingkat desentralisasi fiskal,

indeks theil, pengeluaran pemerintah daerah dan PAD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 1994-2000 terjadi divergensi ekonomi, sementara pada kurun waktu 2001-2004 terjadi konvergensi ekonomi. Selain itu desentralisasi fiskal memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan memiliki dampak negatif terhadap disparitas pendapatan perkapita regional.

Rindayati (2009) meneliti mengenai dampak dari desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Jawa Barat. Penelitian tersebut menggunakan persamaan simultan yang terdiri dari empat blok persamaan yaitu blok Fiskal Daerah, PDRB, Kemiskinan dan Ketahanan Pangan terhadap data 13 kabupaten selama kurun waktu 1995-2005. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut adalah bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh pada peningkatan penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah; pertumbuhan ekonomi Jawa Barat meningkat selama periode desentralisasi fiskal walaupun masih di bawah nasional; pada masa desentralisasi fiskal terdapat perlambatan pada laju penurunan jumlah penduduk miskin dan terjadi peningkatan penduduk rawan pangan; dan terjadi penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi.

2.3 Kerangka Pemikiran

Sistem desentralisasi yang digulirkan berdasarkan UU No.22/1999 (UU No.33/2004) dan UU No.25 tahun 1999 (UU No.33/2004) memberikan kewenangan terhadap daerah untuk dapat mengatur pemerintahan daerahnya masing-masing secara politik, administrasi dan fiskal. Desentralisasi pada sisi fiskal memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan keleluasaan mengatur dana yang diperolehnya melalui dana perimbangan seperti DAU maupun mobilisasi potensi sumberdaya daerah seperti pajak dan dana bagi hasil pajak dan bukan pajak secara optimal. Penerimaan daerah tersebut kemudian dialokasikan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dan pelayanan masyarakat sesuai dengan tujuan daerah. Tujuan daerah salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk pada daerah tersebut. Oleh karena itu pengalokasian kepada sektor-sektor yang mengutamakan kepentingan publik atau rakyat sangat diperhatikan.

Administrasi Fiskal

Politik

Kinerja Fiskal Daerah

Alokasi Pengeluaran Daerah pada sektor pro poor:

•Pertanian

•Pendidikan dan Kesehatan

•Infrastruktur Penerimaan Daerah • Pajak • DAU • BHPBP •Peningkatan Output •Perbaikan Distribusi Pendapatan Kemiskinan Desentralisasi

Gambar 7 Kerangka Pemikiran.

Pengeluaran pemerintah dalam penelitian ini dibagi kepada sektor pelayanan publik dan sektor yang memiliki kaitan erat dengan kemiskinan (pro poor) yaitu bidang pertanian, bidang pendidikan dan kesehatan dan bidang infrastruktur. Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki share besar pada perekonomian hampir seluruh propinsi di Indonesia dan memiliki tingkat penyerapan tenaga

Keterangan:

kerja yang tinggi. Selain itu, penduduk miskin di Indonesia sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Bidang pendidikan dan kesehatan berperan dalam peningkatan sumberdaya manusia. Semakin baiknya kondisi sumberdaya manusia akan dapat meningkatkan produktivitas yang selanjutnya akan dapat meningkatkan output. Sementara itu bidang infrastruktur berperan dalam memperlancar akses kepada sumber-sumber ekonomi dan memudahkan akses kepada fasilitas-fasilitas publik.

Perubahan kebijakan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan penerimaan daerahnya kepada sektor publik yang memihak kepada upaya-upaya pengurangan kemiskinan tersebut diharapkan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap perekonomian daerah, salah satunya yaitu output sektoral. Peningkatan output sektoral tersebut kemudian akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan. Kondisi output yang meningkat dan distribusi pendapatan yang semakin baik tersebut kemudian akan dapat memperbaiki taraf hidup penduduk miskin, dan kemudian menurunkan jumlah penduduk miskin. Kerangka pemikiran dampak kebijakan fiskal daerah terhadap kemiskinan dapat dilihat pada gambar 7.

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis Penelitian terbagi menjadi dua yaitu hipotesis mayor dan hipotesis minor. Hipotesis-hipotesis tersebut adalah:

a) Hipotesis mayor adalah kebijakan fiskal daerah berpengaruh positif terhadap output dan pengurangan kemiskinan.

b) Hipotesis minor yang menghubungkan keterkaitan antar blok dalam sistem persamaan penelitian adalah:

1. Penerimaan pajak daerah yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin akan berpengaruh positif terhadap pengeluaran daerah melalui PAD dan penerimaan daerah.

2. Pengeluaran daerah akan berpengaruh positif terhadap output melalui pembiayaan pada pengeluaran pembangunan terhadap sektor pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

4. Kemiskinan akan berpengaruh negatif terhadap fiskal daerah (penerimaan) melalui penerimaan pajak daerah.

Hipotesis secara keseluruhan dari model sistem persamaan dalam penelitian tercermin dari tanda parameter pada setiap persamaan struktural pada model penelitian.

Dokumen terkait