DWI MUSLIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal adalah karya Saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Dwi Muslianti, SE
ABSTRACT
DWI MUSLIANTI. Impact of Local Fiscal Policy on Poverty in Indonesia in Decentralization Era. Supervised under WIWIEK RINDAYATI and YETI LIS PURNAMADEWI.
Local government spending has been increasing from year to year during decentralization era, which the largest proportion derives from central government. Nevertheles, the economic performance, mainly poverty decrease very slowly, far from the government target in 2009. Therefore, this research has aim 1) to determine the dynamic of local fiscal, output and poverty, 2) to determine factors that affect fiscal policy, output and poverty, 3) to analyze the impact of fiscal policy on output and poverty. This study uses simultaneous equations model (SEM) to identify the factors that affect local government revenues and spending and their impact on fiscal and economic performance of regions. The result shows that government revenue is affected by GDRP, fiscal gap, and population. Government spending is affected by GDRP, revenue, and spending the previous year. Increased government revenues and spending has a positive impact on economic performance and negatif impact on poverty. Combination of spending on education and health, and agriculture provides the greatest impact to decrease poverty.
RINGKASAN
DWI MUSLIANTI. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI dan YETI LIS PURNAMADEWI.
Pembangunan ekonomi tidak hanya bertujuan menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, namun juga harus dapat mengurangi tingkat kemiskinan, menanggulangi ketimpangan distribusi pendapatan dan meningkatkan penyediaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengurangan kemiskinan harus dilaksanakan secara simultan melalui berbagai kebijakan pembangunan ekonomi, sehingga seluruh elemen penduduk dapat berperan serta dalam proses tersebut, tidak terkecuali penduduk miskin (Todaro dan Smith, 2006). Peningkatan peran serta penduduk miskin tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan pendapatan tersebut akan mendorong penurunan angka kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan (Adam, 2004).
Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Berbagai kebijakan internasional maupun nasional telah dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan, seperti PBB dengan program Millenium Development Goals 2000-2015 (Tambunan, 2009) dan Indonesia dengan visi pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Persentase penduduk miskin di Indonesia selama periode 1976-1996 terus mengalami penurunan, yaitu dari 40.10% (1976) menjadi 11.30% (1996). Namun, krisis ekonomi global pada tahun 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun hingga minus 13.13%, sehingga persentase penduduk miskin meningkat menjadi 24.23% dan kembali menjadi perhatian yang serius.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengkaji kondisi kinerja fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, 2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, 3) menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan fiskal daerah dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder panel 26 propinsi di Indonesia pada periode 2003-2009. Data yang digunakan antara lain yaitu data APBD, data PDRB, jumlah tenaga kerja, luas wilayah, jumlah penduduk miskin serta jumlah penduduk. Analisis dampak kebijakan fiskal daerah terhadap kemiskinan dilakukan dengan menggunakan sistem persamaan simultan yang mengacu pada model penelitian Yudhoyono (2004), Sumedi (2005) dan Usman (2006) dan terdiri dari blok fiskal daerah, blok output dan blok kemiskinan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja fiskal selama tahun 2003-2009 cukup rendah, dengan nilai derajat desentralisasi fiskal sebesar 14.60%, derajat potensi daerah sebesar 15.67% dan derajat ketergantungan sebesar 63.06%. Sebagian besar propinsi memiliki ketergantungan pada sektor Pertanian yang terlihat dari relatif besarnya proporsi PDRB pertanian. Jumlah penduduk miskin banyak terdapat di pulau Jawa, namun persentase penduduk kemiskinan terbesar terdapat pada propinsi-propinsi yang berada di kawasan Indonesia Timur.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan adalah sebagai berikut: 1) penerimaan pajak dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin, PDRB, kesenjangan fiskal dan lag penerimaan pajak, 2) penerimaan BHPBP dipengaruhi oleh PDRB dan lag BHPBP, 3) pengeluaran pemerintah di bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan, serta infrastruktur adalah berbagai penerimaan daerah (PAD, DAU dan dana perimbangan) serta masing-masing lag pengeluaran daerah, 4) PDRB dipengaruhi oleh tenaga kerja masing-masing sektor dan beberapa jenis pengeluaran daerah, dan 5) jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh distribusi pendapatan, PDRB masing-masing sektor, jumlah penduduk miskin dan lag jumlah penduduk miskin.
Berdasarkan simulasi kebijakan fiskal yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa seluruh simulasi kebijakan fiskal daerah memberikan dampak positif terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dengan besaran yang berbeda-beda. Dampak terbesar dari kebijakan fiskal terhadap penurunan penduduk miskin tersebut berasal dari simulasi kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran pertanian dan peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah: 1) peningkatan penerimaan daerah melalui peningkatan jumlah potensi pajak dan sumberdaya alam daerah agar tercapai kemandirian keuangan daerah, 2) peningkatan pengeluaran sektor pertanian perlu lebih diperhatikan karena merupakan sektor yang menyerap banyak tenaga kerja sehingga berpotensi menurunkan jumlah penduduk miskin, 3) peningkatan pelayanan publik dasar seperti sektor pendidikan dan kesehatan perlu lebih ditingkatkan untuk menciptakan sumberdaya daerah yang lebih handal, 4) pengeluaran infrastruktur perlu lebih ditingkatkan guna melancarkan aktivitas masyarakat dalam perekonomian dan mempermudah akses kepada pelayanan publik.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP
KEMISKINAN DI INDONESIA
PADA MASA DESENTRALISASI FISKAL
DWI MUSLIANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal
Nama : Dwi Muslianti
NRP : H151090314
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
PRAKATA
Pertama, Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul ”Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal” telah dapat diselesaikan. Penelitian ini telah dimulai sejak November 2010 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan penulisan tesis ini. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Kepala Pusdiklat BPS beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran
administrasi selama Penulis mengikuti program Tugas Belajar.
3. Kepala BPS Provinsi Gorontalo beserta jajarannya, yang telah memberikan kesempatan dan membantu kelancaran administrasi kepegawaian selama Penulis menempuh pendidikan.
4. Ibu Wiwiek Rindayati dan Ibu Yeti Lis Purnamadewi selaku Komisi Pembimbing, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam menyusun tesis ini.
5. Bapak Ali Said (Kepala sub Direktorat Indikator Statistik BPS), selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat sehingga tesis ini semakin baik.
6. Ibu Widyastutik sebagai penguji dari IPB, yang telah memberikan masukan-masukan demi semakin baiknya penulisan tesis.
7. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran proses kegiatan belajar dan penulisan tesis.
8. Teman-teman mahasiswa pascasarjana IPB, khususnya Program Studi Ilmu Ekonomi, yang telah bersama-sama saling mendukung dalam suka dan duka selama menempuh pendidikan.
9. Bapak dan Mama dengan segenap do’a, kasih sayang, dukungan dan perhatian yang tidak putus-putus.
10. Adik-adik tercinta, Widi Septia Musrini, Felisia Mustari dan Wahyu Ismoyo atas do’a, kasih sayang, dukungan dan pengertinannya selama Penulis menyelesaikan pendidikannya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya, semoga hasil penelitian ini berguna dan memberikan kontribusi bagi semua pihak.
Bogor, Juli 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1980 dari pasangan Mustopo dan Halimah. Penulis menempuh pendidikan Diploma IV Statistik di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, dan lulus pada tahun 2002 dengan memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan. Penulis kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo sejak tahun 2002. Pada tahun 2009 memperoleh kesempatan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi melalui beasiswa BPS dalam Program Alih Jenjang pada Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8
2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 11
2.1 Tinjauan Teoritis ... 11
2.1.1 Teori Peranan Pemerintah ... 11
2.1.2 Konsep Desentralisasi Fiskal ... 14
2.1.3 Teori Kebijakan Fiskal ... 26
2.1.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 27
2.1.5 Konsep Kemiskinan ... 29
2.1.6 Kebijakan Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi ... 34
2.1.7 Kebijakan Fiskal dan Kemiskinan ... 37
2.2 Penelitian-penelitian Terdahulu ... 40
2.3 Kerangka Pemikiran ... 45
2.4 Hipotesis Penelitian ... 47
3 METODE PENELITIAN ... 49
3.1 Jenis dan Sumber Data... 49
xii
3.2.1 Analisis Deskriptif ... 50
3.2.2 Analisis Model Ekonometrika ... 52
3.1.2.1 Spesifikasi Model Ekonometrika ... 55
3.1.2.2 Identifikasi dan Estimasi Model ... 60
3.1.2.3 Validasi Model... 63
3.3 Simulasi Model ... 61
4 DINAMIKA PEREKONOMIAN DAERAH ... 69
4.1 Fiskal Daerah ... 69
4.1.1 Penerimaan Keuangan Daerah ... 69
4.1.2 Pengeluaran Keuangan Daerah ... 73
4.2 Output Daerah ... 77
4.3 Tenaga Kerja ... 80
4.4 Kemiskinan ... 83
5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FISKAL DAERAH, OUTPUT DAN KEMISKINAN ... 87
5.1 Analisis Umum Model Dugaan ... 87
5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fiskal Daerah, Output dan Kemiskinan ... 88
5.2.1 Penerimaan Daerah ... 88
5.2.2 Pengeluaran Daerah ... 93
5.2.3 Output ... 96
5.2.4 Kemiskinan ... 100
6 DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP KEMISKINAN ... 103
6.1 Validasi Model... 103
6.2 Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan ... 105
6.2.1 Dampak Peningkatan Penerimaan Pajak Daerah ... 106
6.2.2 Dampak Peningkatan Penerimaan BHPBP ... 107
6.2.3 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian ... 108
xiii
6.2.5 Dampak Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur ... 110
6.2.6 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian dan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan ... 111
6.2.7 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan, dan Pengeluaran Infrastruktur ... 113
6.2.8 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian, Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan dan Pengeluaran Infrastruktur ... 114
7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 117
7.1 Kesimpulan ... 117
7.2 Implikasi Kebijakan ... 119
7.3 Saran ... 121
Daftar Pustaka ... 123
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Skala interval derajat desentralisasi fiskal ... 52
2 Keterangan variabel penelitian dan satuannya ... 60
3 Simulasi dampak kebijakan fiskal terhadap kemiskinan ... 64
4 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut propinsi Indonesia 2007-2009 ... 84
5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pernerimaan pajak daerah ... 88
6 Faktor-faktor yang mempengaruhi pernerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) ... 90
7 Faktor-faktor yang mempengaruhi pernerimaan dana BPBP ... 92
8 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pertanian ... 93
9 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pendidikan dan kesehatan ... 94
10 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran infrastruktur ... 95
11 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB pertanian ... 96
12 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB industri ... 98
13 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB jasa ... 99
14 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB lainnya ... 99
15 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan ... 100
16 Nilai validasi variabel endogen pada persamaan simultan ... 104
17 Dampak peningkatan penerimaan pajak daerah sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia ... 106
xvi
19 Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30% terhadap kemiskinan di Indonesia... 109
20 Dampak peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia ... 110
21 Dampak peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia ... 111
22 Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30% dan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia... 112
23 Dampak peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% dan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia... 113
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 1976-2009 ... 3
2 Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tahun 1976-2009 .... 4
3 Efisiensi produksi barang publik ... 18
4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB ... 35
5 Hubungan kebijakan fiskal dengan pertumbuhan output ... 36
6 Kurva U terbalik Kuznets (Inverted U curve thesis) ... 38
7 Kerangka pemikiran ... 46
8 Kerangka analisis ... 50
9 Tahapan membangun model analisis ekonometrika kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan di Indonesia ... 53
10 Keterkaitan antar blok dalam model ekonometrika kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan di Indonesia ... 55
11 Diagram keterkaitan antar peubah dalam model ekonometrika kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan di Indonesia ... 56
12 Derajat desentralisasi fiskal, derajat potensi daerah, dan derajat ketergantungan daerah propinsi di Indonesiam tahun 2003-2009 (%) ... 70
13 Derajat kemandirian fiskal daerah provinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) ... 72
14 Rata-rata proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) 73
15 Rata-rata proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur propinsi-propinsi di Indonesia,
tahun 2003-2009 (%) 75
xviii
17 Rata-rata laju pertumbuhan PDRB seluruh propinsi di Indonesia, tahun 2004-2009 (%) ... 78
18 Rata-rata proporsi PDRB pertanian, industri, jasa dan lainnya di Indonesia, tahun 2003-2009 (persen) ... 79
19 Rata-rata proporsi PDRB pertanian, industri, jasa dan lainnya di Indonesia menurut propinsi, tahun 2003-2009 (persen) ... 80
20 Laju pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian, industri, jasa dan lainnya di indonesia, tahun 2004-2009 (%) ... 81
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil pengujian persamaan struktural dengan order condition ... 129
2 Hasil pendugaan model kebijakan fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal ... 130
3 Model kebijakan fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal ... 135
1.1 Latar Belakang
Tujuan pembangunan ekonomi bukan hanya semata-mata untuk menciptakan pertumbuhan GDP yang setinggi-tingginya seperti yang terjadi selama dasawarsa 1950-an dan 1960-an, namun lebih luas daripada itu. Tujuan utama dari pembangunan ekonomi selain pertumbuhan yang tinggi adalah penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro dan Smith, 2006).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengurangan kemiskinan bukan merupakan hal yang saling bertentangan, tetapi harus dilaksanakan secara simultan. Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi telah dirumuskan agar seluruh elemen penduduk dapat berperan serta dalam proses pertumbuhan ekonomi tersebut, termasuk penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan pelayanan publik seperti perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi. Disamping itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukanlah merupakan trade off
dengan pemerataan pendapatan dalam upaya pengurangan kemiskinan, namun keduanya harus dilaksanakan secara simultan. Pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan pendapatan secara konsisten akan mendorong penurunan angka kemiskinan dalam jangka panjang dan menciptakan peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan (Adam, 2004).
berlanjut, maka pada akhirnya akan mengganggu stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menganggap bahwa kemiskinan sebagai salah satu manifestasi dari taraf hidup yang rendah di negara-negara sedang berkembang merupakan tantangan besar bagi upaya-upaya pembangunan. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bahkan dianggap merupakan inti dari semua masalah pembangunan, sehingga hal tersebut dijadikan tujuan utama kebijakan di banyak negara khususnya negara berkembang. Oleh karena itu, PBB menempatkan peniadaan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrem pada urutan pertama dari kedelapan tujuan pembangunan abad milenium (Millenium Development Goals/MDGs) yang disepakati oleh 191 negara pada tahun 2000 dan harus dicapai pada tahun 2015 (Tambunan, 2009).
pengentasan kemiskinan. Kebijakan ekonomi ditujukan untuk mendukung program-program yang berorientasi pertumbuhan (pro growth), penciptaan lapangan pekerjaan (pro job), pemerataan pendapatan (equity) dan pengentasan kemiskinan (pro poor).
Distribusi pendapatan Indonesia yang digambarkan melalui angka Gini Ratio selama periode 1980-1990an mengalami fluktuasi, menurun perlahan pada awal 1980an, namun kembali meningkat pada periode 1990an dengan rentang berkisar antara 0.31-0.36 dan termasuk ke dalam kategori sedang (Oshima, 1970). Hal yang sama juga dialami oleh tingkat kemiskinan di Indonesia yang mengalami dinamika pasang surut. Persentase penduduk miskin selama periode 1976-1996 terus mengalami penurunan, yaitu dari 40.10% (1976) menjadi 11.30% (1996). Penurunan yang pesat dalam persentase penduduk miskin selama kurun waktu 1976-1996 tersebut tentu tidak terlepas dari kondisi perekonomian yang cukup baik, dengan laju pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6.58% per tahun.
Sumber: Tambunan, 2009.
Gambar 1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 1976-2009.
dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya seperti India, Pakistan, dan Sri Lanka. Namun sejak Pelita I dimulai, pendapatan nasional perkapita Indonesia mengalami peningkatan yang relatif tinggi setiap tahun dan pada akhir dekade 1980-an telah mendekati US$ 500 (Tanzi, 2002).
Sumber: BPS, berbagai tahun.
Gambar 2 Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tahun 1976-2009 (%).
Namun krisis moneter yang menghantam Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai minus 13.13%, sementara persentase penduduk miskin kembali mengalami peningkatan menjadi 24.23%. Dengan jumlah penduduk miskin yang masih cukup besar tersebut, maka kemiskinan di Indonesia masih dianggap sebagai persoalan yang serius.
Sistem ekonomi dan pemerintahan Indonesia yang tersentralisasi tersebut kemudian diubah pada tahun 2001 menjadi sistem yang bersifat desentralisasi. Prinsip desentralisasi tersebut diarahkan untuk mempercepat pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat di daerah melalui perwujudan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif. Selain itu, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, kekhususan, potensi dan keanekaragaman daerah masing-masing (Tanzi, 2002).
Desentralisasi fiskal mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal penerimaan/pendanaan. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada, baik dari sumber penerimaan pusat maupun daerah (Bahl, 1998). Selain itu, desentralisasi fiskal bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pada sektor publik (pemerintah) karena pemerintah daerah sebagai institusi yang dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya (Oates, 1972), mengurangi budget deficit dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional (Zhang dan Zou, 1998).
Pemerintah daerah sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pemerintahan di era desentralisasi tersebut tentunya memegang peranan penting dalam mengelola keuangan daerah untuk membiayai program-program pembangunan terutama pada sektor publik dan mengoptimalkan potensi daerah yang ada guna menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan penurunan tingkat kemiskinan di daerah masing-masing.
1.2 Perumusan Masalah
dasar seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, serta sektor-sektor yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan seperti pertanian, sehingga bermuara pada kinerja perekonomian seperti meningkatnya pertumbuhan ekonomi, penurunan ketimpangan pendapatan dan penurunan jumlah penduduk miskin.
Dana perimbangan sebagai salah satu komponen dalam sistem desentralisasi hanyalah merupakan dana stimulus dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya dalam kerangka sistem desentralisasi fiskal. Dengan adanya dana stimulus tersebut dapat melancarkan peerintah darerah dalam menggali potensi-potensi daerah dan melakukan pelayanan yang efisien kepada masyarakat, sehingga perekonomian di daerah dapat meningkat, tercapai kemandirian daerah, dan mengurangi ketergantungan terhadap pusat.
Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat pada era desentralisasi fiskal seharusnya juga dapat mendorong peningkatan pendapatan perkapita dan perbaikan distribusi pendapatan. Namun kenyataannya, justru terjadi peningkatan ketidakmerataan pendapatan yang ditunjukkan dengan angka
Gini ratio yang semakin tinggi. Selama tahun 2002-2006, angka Gini Ratio Indonesia mengalami peningkatan dari 0.31 pada tahun 2002 menjadi 0.33 pada tahun 2006. Angka tersebut kemudian meningkat kembali pada tahun 2008 menjadi 0.35.
Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik pasca krisis dan dalam era desentralisasi seharusnya juga berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. Pada periode 2000-2005 persentase penduduk miskin cenderung menurun namun meningkat kembali pada tahun 2006. Tingkat kemiskinan kembali menurun pada tahun-tahun selanjutnya. Pada tahun 2009 persentase jumlah penduduk miskin mencapai 14.15%, namun angka ini masih jauh dari target sebesar 8.2% yang ditetapkan pemerintah dalam RPJM tahun 2004-2009.
Fenomena yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah terjadinya peningkatan dana perimbangan pada satu sisi, sementara belum memuaskannnya kinerja perekonomian yang dicapai pada sisi yang lain. Sehubungan dengan gambaran diatas, maka perlu dilakukan penelitian secara mendalam yang mengkaji keterkaitan antara kinerja fiskal (penerimaan dan pengeluaran), perekonomian (output), dan kemiskinan dalam suatu model ekonomi daerah, serta mengkaji optimalisasi kebijakan fiskal daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengurangi kemiskinan yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran kinerja fiskal daerah, output dan kondisi kemiskinan propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi fiskal daerah, output dan kemiskinan pada masa desentralisasi fiskal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji kinerja fiskal daerah, output dan kemiskinan propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output dan kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal.
3. Menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan fiskal daerah dalam mengurangi kemiskinan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengelola kebijakan pembangunan khususnya yang berkaitan pengelolaan keuangan daerah.
2. Sebagai salah satu sumber informasi bagi pemangku kepentingan dalam upaya mengurangi kemiskinan di Indonesia.
3. Sebagai refererensi penelitian lebih lanjut dengan tema yang sama.
4. Sebagai satu prasyarat bagi peneliti dalam memenuhi kelulusan Program Master pada Sekolah Pascasarjana IPB serta sebagai suatu latihan akademik dari ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi IPB.
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Desentralisasi fiskal merupakan suatu kebijakan yang berada di kabupaten/kota sebagai ujung tombak. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk melakukan pengelolaan keuangan. Penelitian ini menggunakan level propinsi dengan asumsi bahwa level tersebut merupakan aggregat dari kebijakan fiskal yang dilakukan pada level kabupaten/kota.
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Teori Peranan Pemerintah
Sistem desentralisasi fiskal memberikan peranan yang cukup penting
terhadap fungsi dan wewenang pemerintah. Dalam implementasi desentralisasi
fiskal, peranan pemerintah daerah dalam melakukan upaya fiskal, yaitu dengan
menggali potensi fiskal sebagai sumber penerimaan daerah dan peranan
pemerintah dalam membelanjakan fasilitas publik akan sangat mempengaruhi
kinerja perekonomian daerah. Berkaitan dengan pengaruhnya tersebut, maka
peranan pemerintah daerah harus dioptimalkan agar dalam melakukan intervensi
dengan biaya sosial tertentu akan memberi dampak yang maksimal terhadap
kinerja perekonomian. Selain itu, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
sedapat mungkin harus dapat menghindarkan terjadinya distorsi yang dapat
menimbulkan kegagalan pasar. Oleh karena itu, pembahasan mengenai peranan
pemerintah sangat penting dalam upaya mendapatkan gambaran yang lengkap
tentang lingkup peranan pemerintah, bagaimana pemerintah harus berperanan
dalam sistem perekonomian dan bagaimana mengoptimalkan peranan tersebut
dalam pembangunan ekonomi daerah sehingga peranannya tidak bersifat
kontraproduktif dan justru menimbulkan permasalahan dalam perekonomian.
Adam Smith mengemukakan teori bahwa pemerintah hanya mempunyai
tiga fungsi yang sangat terbatas, yaitu (1) memelihara keamanan dalam negeri dan
pertahanan, (2) menyelenggarakan peradilan, (3) menyediakan barang-barang
yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti jembatan, jalan, saluran irigasi,
dan lain-lain. Fungsi pemerintah tersebut sangat sedikit berkaitan dengan ideologi
kapitalis yaitu perekonomian dapat berkembang secara maksimum tanpa campur
tangan pemerintah. Setiap individu akan melaksanakan aktivitas yang harmonis
seakan-akan diatur oleh tangan yang tidak kentara karena setiap individu paling
tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang
Namun dalam prakteknya, prinsip kebebasan ekonomi sering menghadapi
perbenturan kepentingan. Hal tersebut disebabkan tidak adanya koordinasi dalam
mewujudkan harmonisasi dalam kepentingan masing-masing individu. Seperti
contohnya kepentingan pengusaha yang sering tidak berjalan beriringan dengan
kepentingan pekerja, bahkan sering terjadi pertentangan kepentingan antara kedua
belah pihak. Hal tersebut menunjukkukan bahwa sektor swasta tidak dapat
mengatasi masalah perekonomian sepenuhnya. Berkaitan dengan hal tersebut,
pemerintah mempunyai peranan untuk mengatur, memperbaiki atau mengarahkan
aktivitas sektor swasta. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi modern, peranan
pemerintah diklasifikasikan ke dalam tiga golongan besar, yaitu (1) peran alokasi,
(2) peran distribusi, dan (3) peran stabilisasi (Mangkoesoebroto, 2000).
Peranan pemerintah yang pertama adalah sebagai penyedia alokasi
sumberdaya yang efisien. Barang dan jasa yang beredar di masyarakat tidak
seluruhnya dapat disediakan oleh sektor swasta. Barang dan jasa yang tidak dapat
disediakan oleh sektor swasta atau sistem pasar melalui transaksi antara penjual
dan pembeli tersebut disebut barang publik. Sementara itu, barang swasta adalah
barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar melalui transaksi antara
penjual dan pembeli. Barang yang tidak dapat disediakan melalui sistem pasar
tersebut menyebabkan kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar terjadi karena sistem pasar tidak dapat menyediakan barang dan jasa tersebut, karena
manfaatnya tidak hanya dapat dirasakan secara pribadi, namun juga dapat
dinikmati oleh orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pasar gagal
menyediakan barang dan jasa yang memiliki sifat pengecualian. Pengecualian atas
sebagian barang publik dapat dilakukan secara ekonomi maupun teknis, sementara
untuk sebagian barang publik pengecualian secara teknis tidak dapat dilakukan
karena biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat dari manfaat suatu
barang sangat besar apabila dibandingkan manfaatnya, walaupun secara ekonomi
dapat dibedakan (Mangkoesoebroto, 2000).
Barang-barang swasta dapat disediakan melalui sistem pasar oleh karena
barang-barang tersebut mempunyai sifat pengecualian. Seorang produsen sepatu
dapat mengecualikan setiap orang untuk menikmati sepatu yang dihasilkannya
barang tersebut (revealing preference). Pengungkapan preferensinya tersebut dengan cara membayar sejumlah uang yang diminta produsen (Mangkoesoebroto,
2000).
Nilai kesukaan seseorang terhadap suatu barang swasta ditentukan oleh
harga barang tersebut. Namun hal tersebut tidak terjadi pada barang publik, karena
nilai kesukaan seseorang tidak dapat diukur dengan nilai barang publik tersebut.
Oleh karena tidak ada seorang pun yang bersedia mengemukakan nilai
kesukaannya terhadap suatu barang publik sehingga tidak ada orang/pengusaha
yang mau menyediakan barang tersebut. Dengan demikian tugas pemerintah
untuk menyediakan barang publik tertentu bagi masyarakat, melalui sistem
pemungutan suara berdasarkan kriteria tertentu yang akan memuaskan banyak
pihak dan memperoleh hasil yang efisien seperti halnya sistem pasar. Di sinilah
peranan pemerintah sebagai penyedia alokasi sumberdaya yang efisien
(Mangkoesoebroto, 2000).
Peranan pemerintah berikutnya adalah sebagai alat distribusi pendapatan
atau kekayaan. Distribusi pendapatan tergantung pada pemilikan faktor-faktor
produksi, permintaan dan penawaran faktor produksi, sistem warisan dan
kemampuan memperoleh pendapatan. Kemampuan memperoleh pendapatan
tergantung dari pendidikan, bakat, dan sebagainya. Sedangkan warisan tergantung
dari hukum yang berlaku. Pemilikan faktor produksi sebagai sumber pendapatan
tergantung dari permintaan akan faktor produksi dan jumlah yang ditawarkan oleh
pemilik faktor produksi. Permintaan dan penawaran faktor produksi menentukan
harga faktor produksi tersebut. Permintaan akan faktor produksi tergantung pada
teknologi. Apabila teknologi dalam menghasilkan suatu barang adalah teknologi
padat karya, maka permintaan akan tenaga kerja relatif lebih besar daripada
permintaan akan modal, dan pengusaha bersedia membayar tenaga kerja lebih
besar daripada modal dan sebaliknya untuk faktor produksi modal. Penawaran
suatu faktor produksi tergantung dari pemilikan faktor produksi dan juga warisan
yang ditawarkan. Semakin banyak jumlah yang ditawarkan, semakin rendah harga
yang didapat pemiliknya (Mangkoesoebroto, 2000).
Menurut masyarakat, distribusi pendapatan dan kekayaan yang ditimbulkan
merupakan trade off sehingga sehingga sebagian ahli ekonomi yang berpendapat bahwa masalah tersebut harus dipisahkan. Perubahan ekonomi dapat dikatakan
efisien apabila perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan suatu
golongan masyarakat dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak memperburuk
keadaan golongan yang lain. Namun, pada kenyataannya tidak ada satu pun
tindakan yang tidak mempengaruhi pihak lain secara negatif maupun positif
(Mangkoesoebroto, 2000).
Pemerintah dalam peranannya sebagai alat distribusi pendapatan atau
kekayaan melalui kebijakan fiskal dan moneter dapat merubah keadaan
masyarakat sehingga sesuai dengan distribusi pendapatan yang diinginkan oleh
masyarakat. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung
dengan pajak yang progresif yaitu relatif beban pajak yang lebih besar bagi orang
kaya dan relatif lebih ringan bagi orang miskin, disertai dengan subsidi bagi orang
miskin. Pemerintah dapat juga secara tidak langsung memengaruhi distribusi
pendapatan dengan kebijakan pengeluaran pemerintah, misalnya pendidikan dan
kesehatan bagi golongan tertentu (Pogue dan Sqontz, 1978; Stiglitz, 2000).
Peran pemerintah yang terakhir adalah sebagai alat stabilisasi
perekonomian. Perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada sektor swasta
akan sangat peka terhadap goncangan keadaan yang akan menimbulkan
pengangguran dan inflasi. Tanpa campur tangan pemerintah, gangguan
permintaan di suatu sektor akan berpengaruh pada sektor lain sehingga akan
menimbulkan pengangguran dan tenaga kerja yang akan mengganggu stabilitas
ekonomi, seperti contohnya inflasi dan deflasi, sehingga masalah tersebut harus
diselesaikan oleh pemerintah melalui pendekatan moneter (Mangkoesoebroto,
2000; Reksodiprodjo, 2001).
2.1.2 Konsep Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat (nasional) kepada pemerintah lokal/daerah, serta kewenangan
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan
keputusannya sebagai daerah otonom. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Terdapat dua sisi dalam melihat konsep desentralisasi, yaitu meningkatkan
efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintah pusat (nasional) dan
mengaktualisasi representasi lokal (Ebel dan Yilmaz, 2002).
Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian peran yang lebih besar kepada
pemerintah daerah dilegalkan dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah.
Undang-undang tersebut terdiri dari Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32
Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Tujuan perubahan kewenangan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat,
pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Vasquez dan McNab,
2001; Simanjuntak, 2002).
Kebijakan desentralisasi di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya krisis
moneter dunia yang berimbas kepada krisis di Indonesia, sehingga Indonesia
menjadi terpuruk akibat tidak sanggup bertahan dari krisis yang terjadi di dunia.
Kerentanan Indonesia tersebut disinyalir akibat dari sistem sentralistik yang
berlaku di Indonesia selama ini. Sistem sentralistik dianggap tidak dapat
membidik sasaran pembangunan dengan tepat sehingga tidak mampu menangkal
krisis yang terjadi, sehingga mengakibatkan masyarakat miskin Indonesia menjadi
bertambah (Sidik, 2002).
Fenomena desentralisasi tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di
beberapa negara berkembang lainnya. Dorongan desentralisasi yang terjadi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya latar belakang atau pengalaman suatu
negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan
ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda
adanya disintegrasi, dan banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintah
sentralistik dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif (Sidik, 2002).
Menurut Tanzi dalam Widhiyanto (2008), faktor-faktor yang memicu
diberlakukannya desentralisasi bersifat internal dan eksternal. Faktor internal di
dukung oleh pengalaman dan sejarah negara itu sendiri, seperti semakin baiknya
pendidikan dan tingkat kesejahteraan dan pendidikan, meningkatnya pelayanan
publik, fenomena disintegrasi negara, respon terhadap kegagalan sistem
sentralisasi dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal antara lain berupa tekanan
dari negara maupun lembaga donor yang memiliki pengaruh terhadap negara
penerima donor berkaitan dengan desentralisasi.
Konsep desentralisasi ditujukan untuk meningkatkan peran serta pemerintah
daerah. Beberapa kebijakan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat
akan dilimpahkan kepada pemerintah daerah, dimana kabupaten/kota
mendapatkan kewenangan khusus, sedangkan propinsi mendapatkan kewenangan
terbatas. Sementara itu, kewenangan pemerintah pusat hanya terbatas pada
kepentingan militer, agama, keuangan negara dan hukum.
Secara umum, desentralisasi mencakup 1) aspek politik (political decentralization) yaitu pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan
berbagai peraturan, 2) aspek administratif (administrative decentralization) yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumberdaya antar
berbagai tingkat pemerintahan, dan 3) aspek fiskal (fiscal decentralization) yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali
sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih
tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi (Litvack dalam Abimanyu dan
Megantara, 2009).
Desentralisasi fiskal sering didefinisikan sebagai pelimpahan kewenangan
fiskal dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal
merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, karena wewenang
pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan dan sumberdaya daerah menjadi
lebih besar. Sebelum desentralisasi, seluruh kebutuhan pelayanan publik dikelola
oleh pemerintah pusat secara seragam, padahal kebutuhan publik antar daerah
berbeda-beda. Oleh karena itu pelayanan publik pada masa sentralisasi kurang
efisien. Desentralisasi fiskal dapat mewujudkan efisiensi terhadap alokasi
sumberdaya sektor publik, karena disesuaikan dengan kebutuhan publik
masing-masing daerah. Selain itu, terjadi kompetisi antar pemerintah daerah dalam
Ketertarikan terhadap desentralisasi fiskal meningkat diantara negara
transisi dan berkembang karena diyakini sebagai alat yang efektif untuk
meningkatkan efisiensi dalam pengeluaran publik. Selain itu, desentralisasi fiskal
dianggap sebagai sistem yang bagus terhadap kegagalan sistem sentralisasi selama
dekade terakhir ini yang terjadi di negara transisi dan berkembang.
Prud’homme (1995) mengatakan bahwa karena perbedaan kebutuhan dan
mobilitas individu di tiap daerah, maka desentralisasi menjadi lebih efisien. Oates
(1993) juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi
ekonomi karena posisi pemerintah daerah yang lebih dekat kepada masyarakat
sehingga dapat lebih responsif terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat di
daerah. Tolok ukur dalam analisis desentralisasi fiskal adalah efisiensi dan
efektivitas dalam pengeluaran pemerintah dan pemerataan pendapatan sehingga
bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Perbedaan kebijakan antar daerah menyebabkan adanya kemungkinan
keputusan dalam penyediaan barang publik yang juga berbeda-beda antar daerah,
sesuai dengan preferensi masyarakat masing-masing daerah terhadap jenis dan
jumlah barang publik. Perbedaan preferensi masyarakat terhadap barang publik
dipengaruhi oleh perbedaan selera dan tingkat pendapatan antar daerah. Pada
kondisi ini, efisiensi alokasi lebih tinggi pada sistem pemerintahan yang
terdesentralisasi. Alasan ini mendasari kesimpulan bahwa desentralisasi
pemerintah akan lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat dibandingkan
dengan pemerintahan terpusat. Hipotesis serupa juga disampaikan oleh Tiebout,
yang dikenal dengan Tiebout Hypotesis (Stiglitz, 2000).
Tiebout Hypotesis ini merupakan analog dari konsep pareto optimum, dimana dalam kondisi pasar persaingan sempurna, harga merupakan sinyal dalam
alokasi sumberdaya sehingga tercipta kondisi yang efisien. Demikian pula dengan
barang publik, bahwa kompetisi dalam suatu komunitas akan menjamin efisiensi
dalam penawaran barang publik, sebagaimana perusahaan menjamin efisiensi
penawaran barang privat. Keterbatasan hipotesis ini terkait dengan asumsi pasar
persaingan, yaitu adanya kegagalan pasar, sistem perpajakan, dan redistribusi
pendapatan. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana atau sampai tingkat
dekat dengan masyarakat, maka akan semakin baik. Besarnya peningkatan
efisiensi yang terjadi karena perubahan dari keputusan yang bersifat sentralistik ke
desentralistik dapat diilustrasikan pada gambar 3.
Diasumsikan terdapat dua daerah, yang masing-masing memiliki fungsi
permintaan terhadap barang publik ∑DA dan ∑DB, sehingga permintaan nasional
terhadap barang publik tersebut adalah ∑DN. Diasumsikan masyarakat dalam
daerah A tidak dapat menikmati barang publik yang diproduksi pada daerah B dan
sebaliknya. Barang publik tersebut adalah barang publik lokal, yaitu dapat
diproduksi oleh masing-masing daerah maupun oleh pemerintah pusat. Sementara
preferensi masyarakat di daerah A dan daerah B dapat berbeda sesuai dengan
selera dan tingkat pendapatannya. Biaya marginal untuk produksi barang tersebut
diasumsikan sama sebesar MC.
Sumber: Pogue dan Sqontz, 1978
Gambar 3 Efisiensi poduksi barang publik.
Marginal Cost/Value
Quantity MC
∑DN
∑DB
∑DA
q
qA qB qN
Marginal Cost/Value
Quantity MC
∑DN
∑DB
Apabila produksi barang tersebut dilakukan secara sentralistik, maka
jumlah yang diproduksi secara nasional sebesar qN atau pada tingkat efisien
dalam skala nasional, yaitu pada saat nilai marginal sama dengan biaya marginal.
Distribusi pada masing-masing daerah sebesar q. Pada tingkat produksi q, pada
daerah A, nilai marginal lebih rendah apabila dibandingkan dengan biaya
marginal. Sementara pada daerah B terjadi sebaliknya, nilai marginal lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya marginal. Efisiensi secara nasional di sini tidak
menjamin terjadinya efisiensi pada tingkat daerah, karena adanya perbedaan
tingkat pendapatan dan selera. Jika produksi dilakukan secara desentralisasi, yaitu
pada saat masing-masing daerah akan memproduksi barang pada kondisi nilai
marginal sama dengan biaya marginal (kondisi efisien), maka akan diperoleh
tingkat produksi masing-masing qA untuk daerah A dan qB untuk daerah B.
Besarnya peningkatan efisiensi yang ditunjukkan dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat ditunjukkan oleh daerah yang diarsir.
Dengan demikian untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan
permintaan antar daerah, efisiensi alokasi sumberdaya akan lebih baik jika
produksi barang tersebut dilakukan secara desentralistik. Namun, untuk barang
publik yang bersifat nasional, yaitu pada saat seluruh masyarakat di negara
tersebut dapat memanfaatkan barang tersebut, sistem produksi pada
masing-masing daerah yaitu qA dan qB akan menghasilkan barang yang lebih kecil dari
tingkat efisiensi nasional, yaitu pada saat ∑DN berpotongan dengan MC. Dengan
demikian, barang publik ini akan lebih efisien apabila diproduksi secara
sentralistik.
Alasan barang publik nasional sebaiknya disediakan oleh pemerintah pusat
menurut Pogue dan Sgontz (1978) adalah:
1. Skala ekonomi. Efisiensi dalam pengambilan keputusan, implementasi dan
monitoring kebijakan pemerintah. Proses pengambilan keputusan,
implementasi dan monitoring dan evaluasi beragam antar jenis program,
populasi penduduk, dan luas wilayah. Keputusan mengenai pembangunan
fasilitas umum, untuk suatu wilayah dan populasi tertentu menjadi lebih mahal
jika wilayah tersebut dibagi, sehingga terdapat unit pengambilan keputusan
skalanya meningkat, pada kasus lainnya biaya pengambilan keputusan menjadi
lebih murah jika dilakukan untuk wilayah dan populasi yang terbatas. Pada
kasus pertama pada saat diperlukan skala ekonomis yang besar, pengambilan
keputusan cenderung efisien apabila dilakukan secara sentralistik dan
sebaliknya.
2. Distribusi pendapatan. Kebijakan redistribusi pendapatan secara umum akan
menurunkan kesejahteraan sebagian masyarakat. Masyarakat yang kaya akan
dirugikan sementara masyarakat yang miskin lebih diuntungkan. Apabila
kebijakan ini dilakukan secara parsial, berbeda antar daerah, maka akan
memberikan insentif kepada kelompok masyarakat kaya untuk pindah ke
daerah yang lebih menguntungkan (yang memiliki kebijakan redistribusi
pendapatan lebih rendah). Sementara itu, sebaliknya untuk masyarakat yang
lebih miskin akan memiliki insentif migrasi pada arah sebaliknya. Dengan
demikian daerah yang memiliki kebijakan redistribusi pendapatan yang lebih
besar akan kehilangan masyarakat yang kaya. Secara umum, pemerintah suatu
daerah tidak ingin kehilangan kelompok masyarakat kaya, sehingga akhirnya
semua daerah akan mengurangi program redistribusi pendapatan. Dengan
demikian, program redistribusi pendapatan akan lebih baik jika dilakukan
secara aggregat dan bersifat sentralistik, sehingga tidak ada ekses negatif
berupa migrasi masyarakat kaya dan miskin.
Pola penyaluran bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal. Pada masa sebelum
desentralisasi fiskal, program bantuan kepada pemerintah daerah sebagian besar
dilakukan dalam bentuk spesific grant yaitu penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, terkadang dalam format yang sangat rigid, sehingga seringkali implementasi di lapangan banyak terkendala pada urusan
administratif. Pada sistem desentralisasi fiskal pola penyaluran bantuan
pemerintah pusat berubah menjadi dalam bentuk block grant, sehingga perencanaan program implementasi serta monitoring dan evaluasi dilakukan pada
pemerintah daerah.
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 25 Tahun
sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan
daerah. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana
perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sementara itu pembiayaan terdiri dari sisa
lebih perhitungan anggaran yang lalu, penerimaan pinjaman daerah, dana
cadangan daerah, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi
daerah, laba badan usaha milik daerah dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan
penerimaan lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah
yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain
sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
daerah.
Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
(BHPBP), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang
ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dana BHPBP berfungsi dalam memperkecil
kesenjangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Sumber dana BHPBP
berasal dari pajak dan bukan pajak (sumber daya alam). BHPBP berasal dari
pajak, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh). Sedangkan BHPBP
yang berasal dari sumber daya alam berasal dari kegiatan di sektor kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan panas bumi.
Selain dana BHPBP tersebut, komponen dana perimbangan lainnya adalah
DAU dan DAK, yang merupakan implementasi dari block grant dalam sistem desentralisasi fiskal ini. DAU memiliki fungsi dalam memperkecil kesenjangan
horisontal antar daerah. DAU ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan atas dasar
celah fiskal dan alokasi dasar masing-masing daerah dan berjumlah minimal 26
persen dari total APBN. Apabila celah fiskal suatu daerah negatif dan nilai
tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, maka besar DAU yang diterima sebesar
alokasi dasar yang diterima. Namun, apabila celah fiskal tersebut negatif dan lebih
demikian, semakin tinggi potensi suatu daerah maka akan mendapatkan DAU
dalam jumlah yang semakin kecil, dan sebaliknya.
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan komponen dana perimbangan
yang dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah dan telah ditetapkan dalam APBN. Sementara itu komponen lain-lain
pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Sisi
pembiayaan terdiri dari SILPA, Dana pinjaman, Dana Cadangan Daerah, dan hasil
penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Pinjaman bersumber dari
pemerintah, pemerintah daerah, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan
bukan bank dan masyarakat.
Selama berlangsungnya kebijakan desentralisasi fiskal, telah diberlakukan
perbaharuan di bidang fiskal oleh pemerintah, terutama berhubungan dengan sisi
pengeluaran. UU No 17 tahun 2003 merupakan sumber pedoman bagi penyusunan
dan pelaksanaan panganggaran dan belanja negara yang mengacu pada tiga pila
penganggaran yaitu penganggaran terpadu (uniified budgeting), penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) dan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework). Implikasi dari pendekatan penganggaran terpadu tersebut menyebabkan penyusunan dan pelaksanaan
anggaran belanja tidak lagi memisahkan anggaran belanja rutin dan anggaran
belanja pembangunan, namun dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja.
Sehingga apabila rincian belanja sebelumnya berdasarkan pendekatan sektor,
subsektor, program dan kegiatan, maka berubah menjadi pendekatan berdasarkan
fungsi, subfungsi, program dan kegiatan.
Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dalam kerangka pembaharuan sistem
penganggaran mengakibatkan penyusunan anggaran belanja dari setiap satuan
kerja harus dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan
(input) dengan keluaran (output) dan/hasil (outcome) yang diharapkan, termasuk
efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Selanjutnya
pemberlakukann konsep kerangka pengeluaran jangka menengah menyebabkan
perencanaan penganggaran belanja dari setiap satuan kerja seharusnya dilakukan
dengan memperhitungkan kebutuhan anggaran dalam perspektif lebih dari satu
Bentuk pengeluaran/belanja APBD dapat dirinci menurut beberapa
bentuk antara lain: menurut urusan pemerintahan (urusan wajib dan urusan
pilihan), menurut program, menurut organisasi, menurut kegiatan, menurut
kelompok, menurut jenis, menurut objek/rincian objek belanja. Format
pengeluaran berdasarkan urusan diatur berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Format berdasarkan urusan tersebut terbagi atas urusan
wajib dan pilihan. Format urusan wajib terdiri atas urusan pendidikan, kesehatan,
pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan,
perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil,
pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial dan
tenaga kerja.
Format pengeluaran pemerintah berdasarkan bidang diatur dalam
Kepmendagri No 29 tahun 2002 yang terdiri dari bidang administrasi
pemerintahan, pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, kehutanan dan
perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, penanaman modal
dan ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan
ruang, pemukiman, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup,
kependudukan, olahraga, kepariwisataan dan pertanahan.
Menurut Mangkoesoebroto (2000), perkembangan pengeluaran pemerintah
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Perubahan permintaan terhadap barang publik.
2. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga
perubahan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi.
3. Perubahan kualitas barang publik.
4. Perubahan harga faktor produksi.
Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran
pemerintah yaitu:
1. Model Rostow dan Musgrave
Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan
tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap
lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah
prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi.
Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas,
namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan
pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin
besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan
pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih
banyak. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan
terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek, misalnya pertumbuhan
ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan
semakin tingginya pencemaran atau polusi. Dengan demikian, pemerintah harus
turun tangan mengatur dan mengurangi dampak (eksternalitas) negatif dari polusi
dan juga melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave
berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam
persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah
terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow
mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih
dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial
seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.
2. Hukum Wagner
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila terjadi
peningkatan pendapatan per kapita dalam suatu perekonomian, maka secara relatif
pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan
“The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara- negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang).
Wagner menerangkan bahwa peranan pemerintah menjadi semakin besar
disebabkan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat.
Kelemahan hukum Wagner ini adalah tidak didasarkan pada suatu teori
mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya
bertindak dan terlepas dari anggota masyarakat lainnya.
3. Teori Peacock dan Wiseman
Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB)
menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak
berubah. Peningkatan pajak tersebut berasal dari ekstensifikasi pajak. Selain itu,
peningkatan penerimaan pajak tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah
juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya
PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga
dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya
perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai
perang. Konsekuensi dari peningkatan pengeluaran tersebut adalah penerimaan
pemerintah dari pajak juga harus meningkat. Pemerintah akan meningkatkan
penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta
untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek
pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial yang menyebabkan pengalihan aktivitas swasta kepada aktivitas pemerintah. Perang ternyata tidak
hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke
negara lain. Akibat hal tersebut, tarif pajak yang seharusnya dapat diturunkan oleh
pemerintah setelah perang, tidak dapat dilakukan karena pemerintah masih
mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut.
Pninngkatan pengeluaran pemerintah karena PDB yang mulai meningkat,
pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang ini disebut efek inspeksi
(inspection effect). Gangguan sosial juga dapat menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan dari swasta kepada tangan pemerintah. Hal tersebut dikenal
dengan istilah efek konsentrasi (concentration effect). Ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan
kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali.
Pemerintah memiliki kecenderungan untuk senantiasa berusaha
memperbesar pengeluaran pemerintahnya, sedangkan masyarakat tidak suka
membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah
toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya
pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana
untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat
kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini menjadi
barrier bagi pemerintah untuk tidak dapat menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena (Mangkoesoebroto, 2000).
2.1.3 Teori Kebijakan Fiskal
Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka
untuk meningkatkan pengeluaran agregat (atau merangsang pengeluaran agregat).
Kekuatan tersebut dapat dilakukan berdasarkan kondisi pemerintah ataupun
tujuannya, yaitu pada masa resesi maupun depresi maupun berrsifat kontraktif dan
ekspansif. Keynes menjelaskan modelnya dalam General Theory sebagai berikut:
C + I + G + (X-M) ... (1)
Dimana:
C = total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa
I = total nilai pengeluaran swasta (rumahtangga dan perusahaan) terhadap barang dan jasa
G = total nilai pengeluaran pemerintah terhadap barang dan jasa
(X – M) = ekspor bersih barang dan jasa
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang secara khusus berkaitan
dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal melalui
instrumennya umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu :
1) Kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa
2) Kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan
3) Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi
pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan
tunjangan veteran) kepada rumah tangga.
Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu 1) menganalisis pengaruh permintaan dan
pengangguran, dan kestabilan harga, 2) pengembangan aspek ekonomi seperti
pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan
stabilitasi ekonomi, 3) pengembangan aspek sosial seperti pemerataan pendidikan
dan kesehatan.
Berdasarkan instrumen kebijakan fiskal yang terdiri dari pengeluaran
pemerintah, pajak dan transfer payment tersebut, maka pemerintah dapat mengubah-ubah variabel tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Apabila pemerintah ingin menciptakan stabilisas harga, maka kebijakan fiskal
yang dilakukan adalah bersifat kontraktif, yaitu dengan menurunkan pengeluaran
pemerintah dan menaikkan pajak. Dengan demikian, maka permintaan aggregat
akan turun dan hal tersebut akan mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan
harga-harga. Apabila pemerintah ingin meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan
mengurangi pengangguran, maka dapat melakukan kebijakan fiskal ekspansif
dengan menaikkan belanja pemerintah dan menurunkan pajak. Hal tersebut akan
meningkatkan permintaan aggregat dalam perekonomian.
2.1.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Perkembangan berbagai model pertumbuhan ekonomi yang secara dinamis
bermunculan mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu. Adam
Smith melalui Teori Klasiknya beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi
sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya
pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output produksi yang
dihasilkan. Selain Adam Smith, David Ricardo juga berpendapat bahwa faktor
pertumbuhan penduduk akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun,
apabila pertambahan penduduk menjadi semakin besar hingga mencapai dua kali
lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan
tenaga kerja tersebut akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah yang
semakin kecil tersebut kemudian hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf
hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state).
Teori Klasik tersebut kemudian dikembangkan menjadi Teori Neoklasik
beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan
ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini
juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan
model Solow yang merupakan pengembangan dari model Harrod-Domar
sekaligus merupakan pilar yang kontributif bagi pengembangan teori Neoklasik
menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam model
pertumbuhannya.
Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian
kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi
modern. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal
memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah. Sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan,
maka memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale). Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan
dapat berdampak negatif. Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan
penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang positif. (Todaro dan
Smith, 2006).
Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi pada skala nasional maupun dalam
skala daerah/regional. Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya mengunakan
konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara aggregat. Perbedaan pokok antara
analisis pertumbuhan ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah
menurut Richardson (2001) adalah titik berat dalam perpindahan faktor. Analisis
untuk suatu negara dapat diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun
untuk daerah asumsi tersebut tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena
kemungkinan masuk dan keluarnya arus perpindahan tenaga kerja dan modal
sangat besar. Hal ini memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah
yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional dan sebaliknya.
Menurut BPS (2008), pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya
peningkatan produksi barang dan jasa (output) yang dihasilkan oleh seluruh
aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat pada satu periode waktu tertentu.
Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud tersebut diukur berdasarkan