• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KE

DESENTRALISASI F

DAN KEMISKINA

(Model Ekonom

DEPAR

FAKULTAS

INSTIT

KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA

I FISKAL TERHADAP PENGANGGURA

AN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI

JAWA TENGAH

ometrika Sistem Persamaan Simultan)

OLEH IDA NUR’AINI

H14070051

ARTEMEN ILMU EKONOMI

S EKONOMI DAN MANAJEMEN

ITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

RINGKASAN

IDA NUR’AINI, Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan) (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI)

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan solusi dari sistem pemerintahan yang sentralistik untuk mengoptimalkan pembangunan daerah. Otonomi daerah sebagai strategi paling efektif karena pembangunan daerah dilakukan oleh masyarakat lokal yang lebih tahu kebutuhan dan kondisi daerah sehingga menghasilkan kebijakan pembangunan yang efektif. Kebijakan fiskal memiliki peran penting dalam pembangunan daerah sejak dimulainya desentralisasi fiskal, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola penerimaan dan pengeluarannya yang diharapkan mampu menggerakkan perekonomian daerah.

Hampir seluruh provinsi di Indonesia mengalami kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) termasuk Provinsi Jawa Tengah sejak dimulainya otonomi daerah pada tahun 2001. Desentralisasi fiskal menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan seharusnya mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan secara signifikan. Pada kenyataannya, Provinsi Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ketiga di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur ternyata memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi di Pulau Jawa. Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin ketiga setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemiskinan di Jawa Tengah memang memiliki tren menurun, tetapi masih belum dapat mengubah posisi jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa. Pengangguran diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kemiskinan.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kinerja fiskal pemerintah daerah, perekonomian, pengangguran dan kemiskinan serta menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan analisis ekonometrika sistem persamaan simultan. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data panel 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007-2009.

(3)

70,42 persen pada tahun 2009. Bahkan terjadi kecenderungan semakin kecilnya peran PAD dari tahun 2007 sampai tahun 2009.

Kecilnya PAD ini mengakibatkan tidak signifikannya PAD terhadap pengeluaran pemerintah sektor pendidikan serta sektor pendidikan dan kesehatan. Pertanian menjadi sektor yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran, tetapi alokasi anggaran untuk sektor pertanian masih sangat kecil. PDRB sektor pertanian ternyata dipengaruhi oleh pengeluaran sektor pertanian sehingga dengan ditingkatkannya pengeluaran sektor pertanian diharapkan mampu meningkatkan PDRB pertanian.

(4)

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA

DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PENGANGGURAN

DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA

PROVINSI JAWA TENGAH

(Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)

Oleh IDA NUR’AINI

H14070051

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Ida Nur’aini

Nomor Registrasi Pokok : H14070051 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi :Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr.Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. NIP. 19620816 198701 2 001

Mengetahui

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP.19641022 198903 1 003

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Bogor, Mei 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ida Nur’aini lahir pada tanggal 20 Februari 1989 di Rembang, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Drs. Hari Riyadi MM, dan Dra Chotimah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 2 Rembang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Rembang dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2007.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah ”Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)”. Penulis tertarik dengan isu kebijakan fiskal setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan skripsi ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Dr. Muhammad Findi A., M.E. dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi,M.Si. selaku dosen penguji utama dan dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan kritikan yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Orang tua penulis, Bapak Hari Riyadi dan Ibu Chotimah serta saudara-saudara penulis Rifky Wirya Amiharja dan Kharisma Nur Anisa. Berkat doa dan dukungan mereka yang sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Para staf BPS Pusat, BPS Jawa Tengah, Pemprov Jawa Tengah dan BPMD Jawa Tengah yang telah memberikan kemudahan dalam memperoleh data penelitian.

(9)

6. Sari Rina Fitriyah yang telah banyak membantu penulis dari pengumpulan data sampai penulis menyelesaikan skripsi.

7. Sahabat-sahabat penulis (Riri, Risya, Destia, Winda, Suhaila, Fery, Siska) yang telah memberikan semangat dan tenaganya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalankan studi di Departemen Ilmu Ekonomi.

9. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 dan semua pihak yang telah membantu dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

10. Teman-teman di kosan Nabila Cempaka (Yeni, Mia, Alifa, Ika, Ica, Rini, Esti, Pipit, Fifi) atas dukungan semangat kepada penulis

Akhirnya setelah penyelesaian skripsi ini, penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan. Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempuraan.

Bogor, Mei 2011

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ...vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ...10

1.3. Tujuan ...11

1.4. Manfaat Penelitian ...11

1.5. Ruang Lingkup ...12

II. TINJAUAN PUSTAKA ...13

2.1. Tinjauan Teori dan Konsep...13

2.1.1. Kebijakan Fiskal...13

2.1.2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal ...16

2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi ...22

2.1.4. Pengangguran...24

2.1.5. Kemiskinan ...27

2.1.6. Kaitan Desentralisasi Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketenagakerjaan...31

2.2. Penelitian - Penelitian Terdahulu ...33

2.3. Kerangka Pemikiran ...36

2.4. Hipotesis ...39

III. METODE PENELITIAN...42

3.1. Jenis dan Sumber dan Metode Pengumpulan Data ...42

3.2. Metode Analisis Data ...44

3.2.1. Analisis Deskriptif ...44

3.2.2. Model Ekonometrika...44

3.2.2.1. Spesifikasi Model ...45

(11)

3.2.2.3. Identifikasi Model ...50

3.3. Defini Operasional Variabel ...52

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...53

4.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, Perekonomian, Pengangguran dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah ...53

4.1.1. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ...53

4.1.1.1. Penerimaan Pemerintah Daerah ...55

4.1.1.2. Pengeluaran Pemerintah Daerah ...62

4.1.2. Analisis Pertumbuhan Ekonomi ...65

4.1.3. Analisis Ketenagakerjaan ...67

4.1.4. Analisis Kemiskinan ...70

4.2. Hasil Estimasi Model Ekonometrika...73

4.2.1. Keragaan Penerimaan Daerah...73

4.2.1.1. Pajak Daerah ...73

4.2.1.2. Dana Alokasi Umum ...75

4.2.1.3. PAD dan Total Penerimaan Daerah (TPD)...77

4.2.2. Keragaan Pengeluaran Daerah...78

4.2.2.1. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian ...79

4.2.2.2. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan ...81

4.2.2.3. Pengeluaran Pemerintah Sektor Lainnya ...82

4.2.3. Keragaan Output ...83

4.2.3.1. PDRB Sektor Pertanian ...83

4.2.3.2. PDRB Sektor Lainnya ...85

4.2.4..Keragaan Pengangguran dan Kemiskinan...86

4.2.4.1. Pengangguran ...86

4.2.4.2. Kemiskinan ...92

4.2.5. Analisis Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan ...95

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...97

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1 Pertumbuhan PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan (Juta

Rupiah) ... 4

1.2 Perbandingan Jumlah Penduduk, Persentase Kemiskinan dan Penganguran Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, 2005-2009... 6

1.3 Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah (Juta Rupiah) ... 9

3.1. Pengujian Order ... 51

4.1 Rasio Penerimaan terhadap Pengeluaran Provinsi Jawa Tengah... 53

4.2 Realisasi Penerimaan Berdasarkan Komponen Penerimaan ... 56

4.3 Kontribusi PAD terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) ... 58

4.4 Kontribusi PAD dan Dana Bagi Hasil Terhadap Penerimaan Provinsi Jawa Tengah... 59

4.5 Rasio PAD dan Dana Bagi Hasil Terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) ... 60

4.6 Rasio DAU terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah... 61

4.7 Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Jenis Belanja ... 62

4.8 Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Fungsi ... 63

4.9 Belanja Fungsi Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah ... 64

4.10 Perkembangan PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Miliar Rupiah) ... 65

4.11 Distribusi Persentase PDRB Berdasarkan Lapangan Usaha Provinsi Jawa Tengah (%) ... 66

4.12 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah (%)... 67

(14)

Alokasi Umum ... 4.15. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengeluaran Sektor Pertanian,

Pendidikan dan Kesehatan serta Lainnya ... 79 4.16. Faktor-Faktor yang Memengaruhi PDRBP dan PDRBL ... 86 4.17 Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah ... 91 4.18 Perbandingan PDRB Pertanian dengan Tingkat Kemiskinan di

Kabupaten pada Tahun 2009 ... 93 4.19 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengangguran dan

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. Perbandingan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, 2005-2009... 6 1.2. Perkembangan Dana Perimbangan Jawa Tengah (Juta Rupiah),

2004-2009 ... 9 2.1. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output ... 15 2.2. Fungsi Produksi... 23 2.3. Hubungan Kebijakan Pengeluaran Pemerintah dengan

Permintaan Agregat ... 33 2.4. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Fiskal terhadap

Pengangguran dan Kemiskinan... 38 4.1. Persentase Penerimaan Daerah Menurut Jenis Komponen

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Estimasi Output Persamaan Pajak Daerah... . 103

2. Hasil Estimasi Output Dana Alokasi Umum ... 104

3. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian ... 105

4. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan ... . 106

5. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Lainnya ... 107

6. Hasil Estimasi Output Persamaan PDRB Sektor Pertanian... 108

7. Hasil Estimasi Output Persamaan PDRB Sektor Lainnya... 109

8. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengangguran ... ... 110

9. Hasil Estimasi Output Persamaan Kemiskinan... 111

10. Komposisi Penerimaan Pemerintah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009 ... 112

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Isu desentralisasi fiskal sedang mendapatkan perhatian pemerintah,

masyarakat maupun kalangan akademisi saat ini. Indonesia mulai era baru

penyelenggaraan pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001 yaitu perubahan sistem

pemerintahan dari terpusat (sentralisasi) menjadi desentralisasi. Pada sistem

pemerintahan terpusat, pemerintah pusat memiliki peran yang sangat besar dalam

seluruh pembangunan daerah. Program - program pembangunan daerah yang

dibuat pemerintah pusat harus diterima oleh pemerintah daerah walaupun tidak

sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah sehingga akan menyebabkan

ketidakefisienan kebijakan. Penyelenggaraan pemerintahan terpusat menyebabkan

kurang terlihatnya peran dari pemerintah daerah dalam melaksanakan

pembangunan daerah.

Sistem pemerintahan sentralistik dipandang sebagai konsekuensi dari

negara kesatuan sedangkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sangat

dijamin hak-hak otonom bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa.

Keanekaragaman budaya, perbedaan kondisi geografis dan kesenjangan tingkat

kesejahteraan antar daerah semakin menyulitkan pendekatan sistem pemerintahan

sentralistik di Indonesia. Krisis ekonomi tahun 1997 menjadi titik balik perubahan

sistem pemerintahan di Indonesia. Krisis ekonomi ini dianggap beberapa ahli

sebagai kegagalan pemerintah dalam membaca perubahan dan berbagai

(18)

pemerintah pusat banyak menggunakan waktunya untuk mengurus masalah

domestik yang seharusnya dapat diurus oleh pemerintah daerah. Akibatnya

pemerintah pusat tidak cukup waktu untuk memperhatikan

kecenderungan-kecenderungan global ini dan ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem

pemerintahan sentralistik (Rasyid, 2005).

Tujuan utama kebijakan desentralisasi 1999 berdasarkan penjelasan di atas

adalah memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk fokus pada kebijakan

makro yang bersifat strategis dan memberikan kesempatan kepada daerah untuk

meningkatkan kemandirian dan kreatifitas. Pemerintah daerah ditantang agar

mampu menemukan solusi-solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh

daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan solusi dari sistem

pemerintahan yang sentralistik untuk mengoptimalkan pembangunan daerah.

Otonomi daerah sebagai strategi paling efektif karena pembangunan daerah

dilakukan oleh masyarakat lokal yang lebih tahu kebutuhan dan kondisi daerah

sehingga menghasilkan kebijakan pembangunan yang efektif.

Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang sangat besar kepada

daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Hampir seluruh

kewenangan diberikan kepada pemerintah daerah kecuali enam bidang yaitu

politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, agama, moneter dan

fiskal nasional. Menurut Sidik (2003), otonomi daerah merupakan sebuah alat

untuk mencapai salah satu tujuan bernegara khususnya dalam rangka

memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses

(19)

daerah harus didukung dengan kebijakan desentralisasi fiskal agar efektivitas

penyelenggaraan pemerintah dapat tercapai.

Kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk memampukan keuangan

daerah dan memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengelola segala potensi

keuangan daerah secara optimal. Penyelenggaraan pembangunan daerah perlu

mendapat dukungan pendanaan seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana bagi

hasil, pinjaman maupun dana bantuan dari pemerintah pusat. Selama hampir

delapan tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia hampir seluruh

provinsi di Indonesia mengalami pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) positif. Pencapaian tingkat PDRB merupakan salah satu indikator

kemajuan perekonomian suatu daerah.

Pada tabel 1.1. memperlihatkan perkembangan PDRB di tiap provinsi

tahun 2004 sampai tahun 2008. Setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal angka

pertumbuhan PDRB memiliki kecenderungan meningkat. Pada data ini juga

terlihat bahwa Pulau Jawa memiliki angka PDRB paling tinggi diantara semua

pulau di Indonesia. Tumbuhnya perekonomian di Pulau Jawa yang lebih cepat

dibandingkan dengan daerah lain di luar Pulau Jawa disebabkan karena Pulau

Jawa masih menjadi pusat kegiatan ekonomi di Indonesia.

Salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi positif adalah

Jawa Tengah. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Tengah selama lima tahun terakhir selalu mengalami peningkatan

dari 135 Triliun pada tahun 2004 menjadi 167, 7 Triliun pada tahun 2008, tetapi

(20)

Provinsi Jawa Tengah memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi belum

tentu mampu menyelesaikan masalah paling mendasar di daerah yaitu

pengangguran dan kemiskinan.

Tabel 1.1. PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan (Juta Rupiah)

Provinsi 2004 2005 2006 2007 2008

1. Nanggroe Aceh

Darussalam 40.374.282,31 36.287.915,29 36.853.868,66 35.983.090,79 34.085.478,71 2. Sumatera

Utara 83.328.948,58 87.897.791,21 93.347.404,39 99.792.273,27 106.172.360,10

3. Sumatera

Barat 27.578.136,56 29.159.480,53 30.949.945,10 32.912.968,59 35.007.921,57

4. Riau 75.216.719,28 79.287.586,75 83.370.867,24 86.213.259,46 91.085.381,81

5. Jambi 11.953.885,48 12.619.972,18 13.363.620,73 14.275.161,32 15.296.726,80

6. Sumatera

Selatan 47.344.396,00 49.633.536,00 52.214.848,00 55.262.114,00 58.080.027,00

7. Bengkulu 5.896.253,00 6.239.361,00 6.610.628,00 7.008.964,58 7.354.468,47

8. Lampung 28.262.288,65 29.397.248,40 30.861.360,40 32.694.889,35 34.414.653,24

9. Kepulauan Bangka Belitung

8.414.980,93 8.707.309,00 9.053.553,48 9.464.539,15 9.884.577,83

10. Kepulauan

Riau 28.509.063,10 30.381.500,21 32.441.003,07 34.713.813,64 37.021.427,75

Sumatera 356.878.953,88 369.611.700,57 389.067.099,06 408.321.074,15 428.403.023,28 11. DKI Jakarta 278.524.822,00 295.270.547,00 312.826.712,74 332.971.253,84 353.539.057,43

12. Jawa Barat 230.003.495,86 242.883.881,74 257.499.445,75 274.180.307,83 290.171.128,80 13. Jawa Tengah 135.789.872,31 143.051.213,88 150.682.654,75 159.110.253,77 167.790.369,85 14. DI. Yogyakarta 16.146.423,77 16.910.876,87 17.535.749,31 18.291.511,71 19.208.937,56

15. Jawa Timur 242.228.892,17 256.442.606,28 271.249.316,69 287.814.183,92 304.798.966,41

16. Banten 54.880.406,50 58.106.948,22 61.341.658,64 65.046.775,77 68.830.644,80

Jawa 957.573.912,62 1.012.666.073,99 1.071.135.537,88 1.137.414.286,83 1.204.339.104,86 17. Bali 19.963.243,81 21.072.444,79 22.184.679,28 23.497.047,07 24.900.571,98

Jawa & Bali 977.537.156,42 1.033.738.518,78 1.093.320.217,1 1.160.911.333,9 1.229.239.676,8 18. Kalimantan

Barat 22.483.015,34 23.538.350,41 24.768.374,85 26.260.647,97 27.682.852,51

19. Kalimantan

Tengah 13.253.081,16 14.034.632,14 14.853.726,14 15.754.508,67 16.725.514,29

20. Kalimantan

Selatan 22.171.332,06 23.292.544,50 24.452.264,79 25.922.287,52 27.538.451,50

21. Kalimantan

Timur 91.050.428,92 93.938.002,00 96.612.842,00 98.428.543,00 103.168.022,00

Kalimantan 148.957.857,48 154.803.529,06 160.687.207,78 166.365.987,16 175.114.840,29 22. Sulawesi Utara 12.149.501,26 12.744.549,77 13.473.113,84 14.344.302,42 15.428.425,31

23. Sulawesi

Tengah 10.925.464,69 11.752.235,68 12.671.548,92 13.683.882,46 14.746.021,73

24. Sulawesi

Selatan 34.345.080,50 36.421.787,37 38.867.679,22 41.332.426,29 44.549.824,55

25. Sulawesi

Tenggara 7.480.180,34 8.026.856,22 8.643.330,06 9.331.719,95 10.010.586,35

26. Gorontalo 1.891.763,26 2.027.722,84 2.175.815,19 2.339.217,51 2.520.673,36

27 Sulawesi Barat 2.922.477,60 3.120.765,24 3.321.147,32 3.567.816,14 3.872.522,88

. Sulawesi 69.714.467,66 74.093.917,12 79.152.634,55 84.599.364,77 91.128.054,18 28. Nusa

Tenggara Barat

14.928.174,68 15.183.788,94 15.603.774,90 16.369.220,46 16.799.829,81

29. Nusa Tenggara Timur

9.537.095,13 9.867.308,52 10.368.504,89 10.902.404,44 11.426.425,24

30. Maluku 3.101.995,92 3.259.244,35 3.440.114,10 3.633.475,12 3.787.103,94

31. Maluku Utara 2.128.208,25 2.236.803,64 2.359.483,02 2.501.175,13 2.650.760,09

32. Papua Barat 4.969.210,33 5.307.329,12 5.548.900,50 5.934.315,82 6.369.374,22 Papua 16.282.967,57 22.209.192,69 18.402.197,42 19.200.297,43 18.914.877,30

33. Nusa Tenggara,

Maluku & Papua 50.947.651,89 58.063.667,26 55.722.974,84 58.540.888,40 59.948.370,59

Jumlah 33

Provinsi 1.604.036.087,3 1.690.311.332,78 1.777.950.133,3 1.878.738.648,3 1.983.833.965,1

(21)

Kinerja perekonomian Provinsi Jawa Tengah yang diukur dari PDRB

secara makro menunjukkan hasil yang baik. Namun, di sisi lain masih ada hal

penting yang perlu diperhatikan dalam mengukur keberhasilan suatu

perekonomian yaitu pengangguran dan kemiskinan. Masalah pengangguran dan

kemiskinan penting untuk diteliti dalam kaitannya dengan kebijakan fiskal dan

desentralisasi fiskal. Jika peningkatan PDRB tidak dapat mengatasi pengangguran

dan kemiskinan maka pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan untuk

menciptakan PDRB yang menyentuh langsung kepada masyarakat. Perekonomian

bukan hanya semata-mata untuk meningkatkan PDRB, tetapi juga memberikan

dampak nyata bagi masyarakat yaitu keluar dari kemiskinan dan memiliki

penghasilan yang layak untuk dapat hidup sejahtera.

Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah mendasar yang harus

diatasi untuk mencegah dampak sosial yang lebih besar. Dampak sosial yang

ditimbulkan seperti tingkat kejahatan yang terus meningkat karena orang berusaha

mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rasa aman masyarakat pun akan

terganggu dan pada akhirnya akan menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat

kepada pemerintah. Dampak terbesar yang ditimbulkan adalah krisis politik

sehingga berdampak pada kepercayaan dunia terhadap negara. Begitu besarnya

dampak yang akan ditimbulkan apabila masalah pengangguran dan kemiskinan

tidak dapat diatasi mengharuskan pemerintah untuk mencari solusi terhadap kedua

masalah ini.

Pada Tabel 1.2. dan Gambar 1.1., Provinsi Jawa Tengah yang memiliki

(22)

Provinsi Jawa Timur memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi di Pulau Jawa.

Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia

memiliki jumlah penduduk miskin ketiga setelah Provinsi Jawa Tengah dan

Provinsi Jawa Timur. Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah memang memiliki

tren menurun, tetapi masih belum dapat mengubah posisi jumlah penduduk

miskin terbanyak di Pulau Jawa.

Tabel 1.2. Perbandingan Jumlah Penduduk, Persentase Kemiskinan dan Penganguran Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur

Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009

Jawa Tengah 32.908.850 32.177.730 32.380.279 32.626.390 32.864.563

Jawa Barat 39.960.869 40.737.594 41.483.729 42.194.869 42.693.951

Jawa Timur 36.481.779 36.390.600 36.895.571 37.094.836 37.286.246

Sumber : BPS, 2005-2009.

Sumber : BPS, 2005-2009.

Gambar 1.1. Perbandingan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur Tahun 2005-2009

Kemiskinan akan berpengaruh pada indeks Pembangunan Manusia (IPM)

yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Menurut penelitian dari 0%

5% 10% 15% 20% 25%

2005 2006 2007 2008 2009

Jawa Tengah

Jawa Barat

(23)

Blank and Card (1993) pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat di masa kini

menjadi tidak sensitif dengan kemiskinan artinya tidak mampu memberikan

dampak yang signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Jika dibandingkan

dengan kondisi di tahun 1960an. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih belum

berkualitas karena belum mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi

kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari kesenjangan pertumbuhan sektoral yang

semakin besar antara sektor perdagangan, komunikasi dan jasa dengan sektor riil

(pertanian, manufaktur, pertambangan). Sektor non riil tumbuh sangat cepat dan

pertumbuhannya selalu lebih tinggi dari PDB sedangkan sektor riil yang mampu

menyerap banyak tenaga kerja malah tumbuh lambat (BPS, 2009).

Pengangguran merupakan pangkal persoalan terciptanya kemiskinan.

Ketika individu tidak memiliki pendapatan maka tidak akan mampu untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari

desentralisasi fiskal seharusnya mampu menyerap banyak tenaga kerja. Semakin

besar kegiatan ekonomi maka tenaga kerja yang dibutuhkan juga akan semakin

besar. Pada tahun 2001 jumlah pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah

sebesar 3,70 persen, jumlahnya menurun pada awal penerapan desentralisasi

fiskal. Walaupun di tahun-tahun tertentu mengalami penurunan jumlah

pengangguran, kecenderungan mengarah pada peningkatan. Pada tahun 2009

jumlah pengangguran di Jawa Tengah mencapai 7,33 persen. Tren kenaikan ini

salah satunya diakibatkan karena pertumbuhan penduduk yang tinggi sementara

lapangan pekerjaan yang tersedia tidak mampu menyesuaikan dengan cepat

(24)

Pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan lebih mendekati keinginan

masyarakat dan mampu meningkatkan perekonomian daerah. Penyelenggaraan

desentralisasi fiskal diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri

dari Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan

Undang - Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan.

Desentralisasi fiskal yang diatur oleh Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang pemerintahan daerah menegaskan bahwa penyerahan wewenang

pelaksanaan pemerintahan ini dilakukan dengan tujuan agar pemerintah dapat

melakukan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah

daerah dapat mengembangkan perekonomian daerah sesuai dengan potensi daerah

masing-masing. Penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah juga merubah

secara fundamental tentang pengelolaan keuangan negara.

Pemerintah pusat harus menyalurkan dana kepada pemerintah daerah

sebagai konsekuensi dari penyerahan wewenang tersebut. Transfer dana ke daerah

dari tahun ke tahun semakin meningkat yang secara otomatis meningkatkan peran

pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Transfer dana sebagai

bentuk koordinasi keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah

dikenal dengan dana perimbangan yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN). Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah

yang bersumber dari APBN terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana

Alokasi Khusus (DAK) dan dana bagi hasil. Pemerintah daerah diharapkan

mampu mengalokasikan anggaran yang sangat besar tersebut secara bijaksana

(25)

Tabel 1.3. Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah (Juta Rupiah)

2004 2005 2006 2007 2008 2009

DAU

9.541.771 9.951.345 14.959.952 16.334.593 17.805.526 18.183.827 DAK

208.983 295.970 895.974 1.273.938 1.647.883 1.966.734

DBHPBP

945.548 994.383 824.003 943.705 1.679.241 1.536.385

Sumber : BPS, 2004-2009.

Sumber : BPS, 2004-2009 (Diolah).

Gambar 1.2. Perkembangan Dana Perimbangan Jawa Tengah (Juta Rupiah), 2004-2009

Pada Tabel 1.3. dan Gambar 1.2. terlihat bahwa setiap tahun dana

perimbangan Provinsi Jawa Tengah selalu mengalami peningkatan sehingga

penerimaan daerah pun terus meningkat dan dapat digunakan untuk kegiatan yang

mampu menggerakkan perekonomian daerah terutama melalui kebijakan fiskal

yang sudah didesentralisasikan. Kebijakan fiskal daerah diarahkan sesuai dengan

kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing.

Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan akhir desentralisasi fiskal.

Dari data-data ekonomi dan sosial yang telah diuraikan di atas, peneliti ingin

meneliti hubungan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari desentralisasi

fiskal di Provinsi Jawa Tengah dengan berbagai variabel ekonomi dan sosial serta 0

5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000

2004 2005 2006 2007 2008 2009

DAU

DAK

(26)

bagaimana kebijakan fiskal diarahkan untuk memacu pertumbuhan sektor riil

yaitu sektor pertanian yang dapat menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi

kemiskinan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah, desentralisasi fiskal diharapkan akan mendorong

pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

mengoptimalkan segala potensi-potensi ekonomi di daerah dan menggali potensi

keuangan daerah. Kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam

desentralisasi fiskal terkait dengan pengalokasian pengeluaran pemerintah

terhadap sektor-sektor unggulan daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga wajib

meningkatkan penerimaan daerah untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang

semakin meningkat tiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sejak

desentralisasi fiskal seharusnya mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat

daerah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat daerah . Pada akhirnya

desentralisasi fiskal akan mampu mengatasi segala permasalahan ekonomi dan

sosial masyarakat daerah. Berdasarkan penjelasan tersebut maka perumusan

masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kinerja keuangan pemerintah daerah, perekonomian,

pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada masa

desentralisasi fiskal?

2. Bagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan kemiskinan

(27)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yang

telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah, perekonomian,

pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada masa

desentralisasi fiskal?

2. Menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan

kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah?

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak

pihak, baik bagi peneliti, kalangan akademis, pemerintah dan masyarakat Jawa

Tengah khususnya.

1. Bagi peneliti, mengaplikasikan ilmu yang didapat selama kuliah serta mampu

memberikan kontribusi pemikiran bagi pengambil keputusan dalam

pemerintahan pada khususnya.

2. Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan terkait

kebijakan fiskal daerah guna mengatasi pengangguran dan kemiskinan di

Provinsi Jawa tengah.

3. Bagi kalangan akademisi, dapat melakukan penelitian lanjutan yang lebih

(28)

4. Bagi masyarakat dan pembaca pada umumnya, memperoleh informasi

tentang desentralisasi fiskal dan sebagai media untuk mengawasi kinerja

pemerintah.

1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis peran kebijakan fiskal

terhadap kinerja perekonomian yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

serta dampaknya terhadap pengangguran dan kemiskinan di daerah. Ruang

lingkup wilayah penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa

Tengah. Tahun analisis yang digunakan dimulai dari tahun 2007 sampai 2009.

Alasan pemilihan tahun analisis adalah untuk melihat kinerja perekonomian

setelah enam tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain itu berbagai kendala

dalam memperoleh data yang akan dipakai karena perubahan definisi dan format

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori dan Konsep

2.1.1. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan

penerimaan untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Kebijakan ekonomi diharapkan

mengarah pada kondisi perekonomian yang lebih baik dengan jalan mengubah

penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemahaman lain dari kebijakan fiskal

adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan

dalam rangka menstabilkan perekonomian. Menurut John. F. Due (1968) dalam

buku Pengantar Kebijakan Fiskal (2010) disebutkan bahwa kebijakan fiskal sebenarnya ditujukan untuk tiga hal, antara lain ; menjamin pertumbuhan

perekonomian yang sebenar-benarnya menyamai laju pertumbuhan potensial,

dengan mempertahankan kesempatan kerja yang penuh, mencapai suatu tingkat

harga umum yang stabil dan wajar, dan meningkatkan laju pertumbuhan potensial

tanpa mengganggu pencapaian tujuan-tujuan lain dari masyarakat.

Dari penjelasan diatas maka secara umum tujuan dari kebijakan fiskal

menurut John F. Due (1968) adalah :

1. Meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi atau

memperbaiki keadaan ekonomi.

2. Memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran atau

mengusahakan kesempatan kerja dan menstabilkan harga-harga secara umum.

(30)

Kebijakan fiskal mengusahakan peningkatan kemampuan pemerintah dalam

rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara menyesuaikan

pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Pengeluaran negara jika ditinjau dari

berbagai segi adalah sebagai berikut :

1. Pengeluaran yang merupakan investasi, yaitu yang menambah kekuatan dan

ketahanan ekonomi pada masa yang akan datang.

2. Pengeluaran yang secara langsung dapat memberikan kegembiraan dan

kesejahteraan kepada masyarakat.

3. Pengeluaran yang merupakan pengehematan untuk pengeluaran yang akan

datang.

4. Pengeluaran untuk menyediakan kesempaan kerja yang lebih banyak dan

penyebaran tenaga kerja yang lebih luas.

Dalam teori ekonomi, pada saat perekonomian berada dalam

keseimbangan, diasumsikan bahwa pengeluaran aktual sama dengan pengeluaran

yang direncanakan. Kondisi keseimbangan dapat ditulis sebagai berikut :

Pengeluaran aktual = Pengeluaran yang direncanakan Y = AE

Kebijakan fiskal melalui peningkatan pengeluaran pemerintah (Δ G) menyebabkan bergesernya keseimbangan dari titik A ke titik B dan output akan

meningkat sebesar Δ Y (Gambar 2.1.). Dengan demikian kebijakan fiskal memiliki dampak terhadap output. Peningkatan output diharapkan akan

meningkatkan permintaan tenaga kerja karena tenaga kerja merupakan salah satu

(31)

Tenaga kerja yang diserap dari semakin banyaknya output ini diharapkan akan

mengurangi jumlah pengangguran.

AE Y = AE = C + I + G + Nx

B AE1= C1+ I1+ G1+ Nx1

Δ G AE0= C0+ I0+ G0+ Nx0 A

Y0 Δ Y Y1 Y

Sumber : Mankiw,2003

Gambar 2.1. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output

Kebijakan fiskal pada masa otonomi daerah memiliki perbedaan dengan

kebijakan otonomi sebelum otonomi daerah. Pada saat sebelum otonomi daerah

diberlakukan, kebijakan fiskal daerah sudah ditentukan oleh pemerintah pusat.

Pemerintah daerah hanya tinggal melaksanakan semua kebijakan tersebut. Setelah

otonomi daerah, pemerintah pusat menyerahkan banyak kewenangan kepada

pemerintah daerah termasuk pengelolaan keuangan. Kebijakan fiskal nasional

tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Dana perimbangan disalurkan oleh

pemerintah pusat dalam jumlah yang besar untuk mendukung pelaksanaan

otonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dana

perimbangan dan dana yang diusahakan sendiri oleh pemerintah daerah melalui

kebijakan fiskal daerah.

Pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh terhadap perekonomian

(32)

pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal daerah antara lain sektor produksi,

sektor konsumsi masyarakat dan keseimbangan perekonomian. Pada sektor

produksi, pengeluaran pemerintah dapat menunjang tersedianya faktor-faktor

produksi seperti modal dan tenaga kerja. Misal pengeluaran pemerintah sektor

pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terdidik.

Sumber daya manusia yang terdidik itu memperbesar faktor produksi yang berupa

tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan oleh sektor produksi.

Pada sektor distribusi, pengeluaran negara akan berpengaruh baik itu

secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi distribusi barang dan

jasa. Misal pengeluaran pemerintah untuk subsidi barang dan jasa akan

mempermudah masyarakat yang berdaya beli rendah menjadi mudah untuk

memperoleh barang dan jasa tertentu. Di sektor konsumsi, pengeluaran

pemerintah dapat mengubah atau memperbaiki pola dan tingkat konsumen

masyarakat terhadap barang dan jasa yang disediakan langsung oleh pemerintah

maupun mekanisme pasar. Misal penambahan penyediaan barang yang bersifat

kolektif maupun barang-barang lain yang harganya disubsidi oleh pemerintah.

2.1.2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Visi otonomi

daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi terutama dalam

bidang politik, ekonomi serta sosial dan budaya. Dalam bidang politik otonomi

(33)

Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif

terhadap kepentingan masyarakat luas. Di bidang ekonomi, otonomi daerah

membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan

ekonomi regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi

ekonomi di daerahnya. Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus

dikelola dengan baik demi menciptakan dan memelihara kehidupan sosial serta

nilai-nilai lokal.

Pemerintahan daerah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 sedangkan perimbangan keuangan diatur dalam Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2004. Berdasarkan dari kedua Undang-Undang otonomi daerah

di atas, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.

Pemerintah daerah yang dimaksud adalah pemerintahan daerah provinsi yang

terdiri dari pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi serta pemerintahan

daerah kabupaten/kota yang terdiri dari pemerintah daerah kabupaten/kota dan

DPRD kabupaten/kota.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri

atas urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaran urusan pemerintahan yang

bersifat wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal. Berdasarkan

(34)

kewenangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Bidang pemerintahan

yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi

pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pelayanan

kependudukan dan catatan sipil, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan,

koperasi dan tenaga kerja serta urusan wajib lainnya.

Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan

yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang

bersangkutan. Hak dan kewajiban daerah yang timbul karena adanya otonomi

daerah diwujudkan dengan rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan

dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam

sistem pengelolaan daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan

seluas-luasnya untuk menggali potensi keuangan daerah masing-masing dalam

penyelenggaraan desentralisasi fiskal asal tidak melanggar peraturan yang ada.

Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat

pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk

mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan

banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Dalam

pelaksanaan desentralisasi fiskal harus memperhatikan prinsip money follow function artinya setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan

kewenangan tersebut. Perlimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke

(35)

dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Semakin besar biaya yang dikelola membuat

tanggung jawab pemerintah daerah semakin besar pula.

Komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang

penting pada pelaksanaan desentralisasi fiskal yang bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hubungan keuangan pusat dan daerah

merupakan suatu mekanisme distribusi sejumlah dana anggaran dari pemerintah

pusat ke pemerintah daerah yang merupakan konsekuensi dari pelimpahan

kewenangan ke daerah. Dana perimbangan terdiri atas sebagai berikut :

1. Dana bagi hasil, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PPh perorangan, dan penerimaan

dari sumber daya alam, yakni minyak bumi, gas alam, pertambangan umum,

kehutanan dan perikanan. Penetapan bagi hasil pajak dan bukan pajak

didasarkan pada persentase yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yang

diatur dalan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang pemerintahan

daerah.

2. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah

untuk mendanai kegiatan daerah.

3. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang dialokasikan dari APBN

untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan menjadi

prioritas nasional.

Dalam pelaksanaan pemerintahan suatu negara pada dasarnya memiliki

(36)

Fungsi alokasi meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa

pelayanan terhadap masyarakat. Fungsi alokasi tercermin dari pengeluaran

pemerintah dimana sangat menentukan keberpihakan pemerintah daerah kepada

sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan yang mampu menjadi roda

perekonomian daerah. Fungsi distribusi terkait dengan pendapatan dan kekayaan

masyarakat serta pemerataan pembangunan. Ketiga, fungsi stabilisasi yang

meliputi stabilisasi pertahanan dan keamanan, stabilisasi ekonomi dan moneter

dan lain-lain. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, fungsi distribusi dan

stabilisasi biasanya lebih tepat bila dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan

fungsi alokasi lebih efektif dilakukan oleh pemerintah daerah.

Ada dua asumsi yang setidaknya harus ada dalam pelaksanaan

desentralisasi fiskal (Tiebot 1956), antara lain :

1. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi pemerintah daerah

dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Kebutuhan masyarakat

daerah dapat dengan cepat disediakan oleh pemerintah daerah.

2. Perpindahan penduduk akan membuat pemerintah daerah berkompetisi untuk

menyediakan pelayanan barang publik sesuai dengan keinginan masyarakat

agar masyarakat tidak meninggalkan daerah serta menarik penduduk lain

untuk datang ke suatu daerah. Perpindahan penduduk dari satu daerah ke

daerah lain menandakan preferensi masyarakat akan barang publik. Tiebout

menilai bahwa pemerintah daerah harus berkompetisi agar dapat

(37)

Otonomi daerah bukan tanpa konsekuensi negatif. Seiring berjalannya

pelaksanaan desentralisasi fiskal ada beberapa dampak negatif yang timbul antara

lain :

1. Integrasi Nasional

Otonomi daerah memiliki potensi besar mengancam integrasi nasional.

Kesenjangan sosial dan ekonomi antar daerah menyebabkan terjadinya

kecemburuan sosial antar daerah.

2. Primordialisme

Kecenderungan beberapa daerah untuk mengutamakan putra daerah dalam

proses rekrutmen untuk jabatan-jabatan pemerintahan. Apabila

promodialisme ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan mengganggu

berjalannya otonomi daerah secara sehat. Jabatan-jabatan yang membutuhkan

keahlian tertentu mungkin akan diisi oleh orang yang tidak mempunyai

kualifikasi dalam bidang tertentu karena orang yang memiliki kualifikasi

dikalahkan oleh pertimbangan primordialisme. Seharusnya otonomi daerah mampu didefinisikan secara tepat oleh pemimpin daerah sehingga tidak

merugikan rakyat.

3. Otonomi Bertingkat

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah

memiliki kelemahan karena secara eksplisit dijelaskan bahwa tidak ada

hubungan hirarkis antara provinsi dengan kabupaten dan kota. Hal ini

mengakibatkan bupati dan walikota merasa tidak punya kepentingan dengan

(38)

tentu akan menghambat berjalannya pemerintahan secara sinergis di tingkat

nasional. Kelemahan ini disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Mankiw (2003), Ukuran pertumbuhan ekonomi yang biasa

digunakan adalah produk domestik bruto (PDB). Semakin tinggi PDB maka dapat

disimpulkan bahwa negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. PDB

mengukur output barang dan jasa serta pendapatan total suatu negara. PDB yang

besar tidak menjamin kebahagiaan seluruh penduduk suatu negara, tetapi menjadi

variabel makroekonomi yang mampu menggambarkan keadaan ekonomi suatu

negara.

Dalam perekonomian, PDB dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh

barang dan jasa yang dihasilkan dengan harga barang dan jasa tersebut. Harga

yang digunakan untuk mengukur PDB ada dua yaitu dihitung dengan harga

berlaku dan harga konstan. Nilai barang dan jasa yang diukur dengan harga

berlaku disebut dengan PDB nominal. Ukuran PDB nominal tidak mampu

mencerminkan sejauh mana perekonomian mampu memuaskan permintaan rumah

tangga, perusahaan dan pemerintah. Hal ini karena kenaikan PDB tidak hanya

diakibatkan karena terjadi peningkatan barang dan jasa yang dihasilkan. Akan

tetapi dapat terjadi karena ada kenaikan harga tiap tahunnya.

Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik akan menghitung barang

dan jasa yang dihasilkan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga. Nilai

(39)

PDB riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika

jumlah berubah tetapi harga tetap. Karena harga dipertahankan konstan, maka

PDB riil akan bervariasi dari tahun ke tahun hanya jika jumlah yang diproduksi

berbeda. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sangat

bergantung pada barang dan jasa yang diproduksi. Hal inilah yang menyebabkan

PDB riil memberikan ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik daripada

PDB nomial.

Output barang dan jasa suatu perekonomian (PDB) bergantung pada

jumlah input, yang disebut faktor-faktor produksi dan kemampuan untuk

mengubah input menjadi output. Faktor produksi adalah input yang digunakan

untuk menghasilkan barang dan jasa. Dua faktor produksi yang paling penting

adalah modal dan tenaga kerja. Modal adalah seperangkat sarana yang

dipergunakan oleh para pekerja. Tenaga kerja adalah orang yang bekerja pada

waktu tertentu. Sedangkan fungsi produksi mencerminkan teknologi yang

digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output.

Output, Y

F (K,L)

MPL

Tenaga Kerja, L

Sumber : Mankiw, 2003

(40)

Pada Gambar 2.2. memperlihatkan fungsi produksi untuk memperlihatkan produk

marginal tenaga kerja (marginal product of labor, MPL). Output tergantung pada pada input tenaga kerja dengan menganggap modal tetap. MPL adalah perubahan

output ketika input tenaga kerja ditambah 1 unit.

Model pertumbuhan Solow (Solow growth model) merupakan salah satu teori pertumbuhan ekonomi yang mampu menjelaskan bagaimana perekonomian

berproduksi dan menggunakan outputnya pada waktu tertentu. Model

pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal,

pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam

perekonomian dan pengaruhnya terhadap output barang dan jasa di suatu negara.

Penawaran dan permintaan terhadap barang memiliki peran penting dalam model

pertumbuhan Solow. Dengan melihat penawaran dan permintaan terhadap barang,

maka dapat ditentukan banyaknya output yang diproduksi pada waktu tertentu.

Penawaran barang dalam model Solow berdasarkan pada fungsi produksi

yang menyatakan bahwa output (Y) bergantung pada persediaan modal (K) dan

angkatan kerja (L) seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 2.1. sebagai berikut :

Y = F(K,L) (2.1.)

Pada model pertumbuhan Solow diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki

skala pengembalian konstan atau skala hasil konstan (constant return to scale).

2.1.4. Pengangguran

Pengangguran merupakan masalah yang akan selalu ada di negara

berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kependudukan menjadi persoalan

(41)

lapangan pekerjaan setiap tahunnya. Apabila pemerintah tidak mampu untuk

menyediakan lapangan pekerjaan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah

penduduk, maka akan menimbulkan masalah sosial lain seperti kemiskinan terus

meningkat karena penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya,

selanjutnya akan berdampak pada meningkatnya tingkat kejahatan dan masalah

sosial lainnya.

Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dan ketidakmampuan

pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan

kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap tenaga kerja yang senantiasa

bertambah tiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk

(BPS,2007). BPS membagi pengangguran berdasarkan penyebabnya, pada

dasarnya hampir sama dengan pengangguran dilihat dari perspektif ekonomi tetapi

definisi dari BPS lebih mudah dipahami. Berikut adalah beberapa jenis

pengangguran dikelompokkan berdasarkan penyebabnya :

1. Pengangguran struktural yaitu pengangguran yang terjadi karena adanya

perubahan dalam struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai

keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga menganggur.

Contoh petani menganggur karena daerahnya berubah menjadi daerah

industri.

2. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya

kegiatan perekonomian sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan

(42)

3. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya

pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.

4. Pengangguran friksional adalah pengangguran yang muncul akibat adanya

ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.

5. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi karena adanya

penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern yang menggantikan

tenaga kerja manusia.

Perdebatan para ahli ekonomi tentang faktor-faktor yang menyebabkan

pengangguran masih selalu ada karena perbedaan kondisi masyarakat di suatu

masing-masing negara.

Kekakuan upah merupakan hal sering terjadi di pasar tenaga kerja,

biasanya pada pasar tenaga kerja yang dipengaruhi oleh serikat kerja upah akan

lebih kaku lagi. Upah ditetapkan untuk periode waktu tertentu tanpa penyesuaian

sesuai dengan kesepakatan antara serikat pekerja dan perusahaan. Misalnya dalam

waktu tiga tahun upah telah ditetapkan dan tidak akan dilakukan penyesuaian

walaupun terjadi kelebihan penawaran maupun penawaran pada jenis pekerjaan

tertentu. Teori kekakuan upah dan pengangguran terpaksa menyatakan bahwa

penyesuaian upah yang amat lamban menimbulkan kelebihan maupun kekurangan

dalam masing-masing pasar tenaga kerja.

Ada beberapa konsep pengangguran menurut BPS, antara lain

pengangguran terbuka dan pengangguran setengah terbuka. Konsep yang

digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pengangguran terbuka.

(43)

angkatan kerja (15 tahun keatas) yang sedang mencari pekerjaan, yang

mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak

mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan

angkatan kerja), dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja

(sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada saat yang bersamaan

mereka tidak bekerja (jobless). Pengangguran dengan definisi di atas disebut dengan pengangguran terbuka.

Tingkat pengangguran terbuka dapat dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

TPT = (UE/AK)*100% (2.2)

dimana :

UE = jumlah orang usia kerja yang tidak berkerja

AK = total angkatan kerja

Selain pengangguran terbuka, juga dikenal istilah pengangguran setengah terbuka

(Under Unemployment) yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.

2.1.5. Kemiskinan

Masalah kemiskinan merupakan masalah yang akan selalu ada di setiap

negara terutama negara berkembang seperti Indonesia. Indikator kemiskinan di

setiap negara berbeda-beda, kemiskinan yang ada di negara maju akan berbeda

definisi dengan kemiskinan di Indonesia sehingga penanganan kemiskinan di

setiap negara pun pasti berbeda. Dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok,

(44)

ketidakberdayaan. Kemiskinan juga terkait dengan keterbatasan hak-hak sosial,

ekonomi dan politik bahkan pada akhirnya kemiskinan akan menimbulkan

masalah sosial dan politik. Penanggulangan kemiskinan di Indonesia harus tepat

sasaran sehingga langkah awal yang dilakukan oleh pemerintah adalah

menerjemahkan definisi dan konsep kemiskinan.

Menurut BPS, kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi

untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari

sisi pengeluaran. BPS melihat kemiskinan dari pengeluaran suatu rumah tangga

untuk membelanjakan komoditi pokok makanan dan non makanan. Garis

kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu garis kemiskinan makanan dan garis

kemiskinan non makanan, penduduk miskin diartikan sebagai penduduk yang

memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum

makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Komoditi

kebutuhan terdiri atas 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging,

telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak dll).

Garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,

sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan

diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.

Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk, dapat dihitung besarnya

kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen. Indikator kebutuhan

minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai

(45)

1. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori

dan protein.

2. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan

pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.

3. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa

rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang dan air.

4. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk

keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku).

5. Kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk

penyediaan obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk

obat-obatan.

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak

mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembanglan

kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004) . Hak-hak dasar antara lain (a)

terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan, pekerjaan,

perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (c)

rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk

berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Jenis-jenis Kemiskinan adalah sebagai berikut :

1. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan

pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat

(46)

2. Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk

mencukupi kebutuhan dasar minimum seperti pangan, perumahan, sandang,

pendidikan, dan kesehatan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.

Kebutuhan dasar minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam

bentuk uang dan nilainya dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk

yang memiliki rata-rata pendapatan/pengeluaran per kapita per bulan di

bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.

Terminologi kemiskinan yang lain adalah kemiskinan struktural dan

kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan

oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Tatanan

tersebut tidak hanya menciptakan kemiskinan tetapi juga membuat kemiskinan

tetap langgeng di dalam masyarakat. Kemiskinan struktural tidak disebabkan oleh

sebab-sebab alami atau sebab-sebab pribadi melainkan oleh sebab tatanan sosial

yang tidak adil. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan

diri dan meningkatkan kualitas hidupnya karena tatanan sosial yang tidak adil ini

sehingga menjadi serba kekurangan dan miskin.

Kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu

daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap menjadi miskin. Padahal

seharusnya kemiskinan tersebut dapat dikurangi dengan mengabaikan

faktor-faktor adat yang menghalangi seseorang melakukan perubahan ke tingkat

kehidupan yang lebih baik lagi. Kemiskinan kultural biasanya dialami oleh

suku-suku pedalaman di Indonesia seperti yang terjadi dengan suku-suku Badui dan suku-suku

(47)

2.1.6. Kaitan Kebijakan Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketenagakerjaan

Desentralisasi fiskal diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi

yang tinggi dan pada akhirnya mampu mengurangi jumlah orang miskin di

Indonesia. Ravallion dan Datt (1996) dalam BPS (2009) melakukan studi dengan

menggunakan kasus India mendapatkan hasil bahwa pertumbuhan output di

sektor-sektor primer (pertanian) jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan

dibandingkan sektor-sektor sekunder. Kakwani (2001) dalam BPS (2009) juga

menyimpulkan hasil penelitiannya di Filipina bahwa peningkatan 1 persen output

di sektor pertanian dapat mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis

kemiskinan sedikit di atas 1 persen. Sebaliknya peningkatan 1 persen output di

sektor industri dan jasa hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan sekitar

0,25–0,30 persen.

Berdasarkan penelitian di dua negara ASEAN yang merupakan negara

berkembang bahwa pertumbuhan ekonomi harus ditopang oleh sektor-sektor yang

mampu menyerap tenaga kerja secara efektif yaitu sektor primer. Pertumbuhan

ekonomi yang tinggi belum tentu mampu mengurangi kemiskinan secara efektif

karena berbagai alasan sebagai berikut (Rajasa, 2007) :

1. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh sektor-sektor yang memiliki elastisitas

lapangan kerja rendah sehingga tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan.

Keberpihakan pada sektor-sektor tertentu walaupun tidak mampu menyerap

tenaga kerja yang banyak akan menghambat berkembangnya sektor-sektor

yang seharusnya mampu membuka peluang kesempatan kerja yang lebih

(48)

2. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh industri milik negara yang memiliki

proteksi dari pemerintah. Pertumbuhan ekonomi seperti ini tidak menjamin

dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan.

3. Pertumbuhan ekonomi dengan ditopang oleh industri canggih justru akan

berpotensi memperparah kemiskinan dan pengangguran jika struktur tenaga

kerja yang ada didominasi oleh tenaga kerja berkemampuan rendah.

4. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh kekuatan ekonomi yang

terkonsentrasi.

Teori ekonomi tentang kaitan antara kebijakan fiskal dengan pertumbuhan

ekonomi dapat dilihat melalui Gambar 2.3. dimana kebijakan peningkatan

pengeluaran pemerintah akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan

peningkatan pengeluaran pemerintah (Δ G) menggeser AE ke atas sehingga keseimbangan bergeser dari titik A ke titik B dan meningkatkan output sebesar

Δ Y. Kurva yang menunjukkan pengeluaran pemerintah ini berhubungan dengan kurva permintaan dan penawaran agregat.

Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan agregat terhadap

sehingga meningkatkan output sebesar Δ Y. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan PDB atau PDRB. Apabila pada

periode awal (t=0) output (PDB) sebesar Y0,maka pertumbuhan ekonomi terjadi

apabila pada periode berikutnya menghasilkan output sebesar Y1. Peningkatan

output ini diharapkan akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang digunakan

sebagai salah satu faktor produksi yang memengaruhi output. Dengan diserapnya

(49)

Pengeluaran, AE AE = Y

AE1= C1+ I1+ G1+ Nx1

B Δ G

AE0= C0+ I0+ G0+ Nx0

A

Δ Y Output, Y

Y0 Y1

Harga,P

AD1 AD0

Output, Y

Y0 Y1

Sumber : Mankiw,2003

Gambar 2.3. Hubungan Kebijakan Pengeluaran Pemerintah dengan Permintaan Agregat

2.2. Penelitian Terdahulu

Yudhoyono (2004) melakukan penelitian tentang dampak penerapan

kebijakan fiskal (pengeluaran dan penerimaan) terhadap pengangguran dan

kemiskinan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model

sistem persamaan simultan yang terdiri dari 22 persamaan struktural dan 9

persamaan identitas. Model diduga dengan persamaan 2SLS kemudian hasil

(50)

kebijakan yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rejim pemerintahan

berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian. Pemerintahan orde baru

cenderung menurunkan PDB dan mengakibatkan kemiskinan meningkat. Hasil

simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk

pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan

penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran.

Fakhru (2007) melakukan penelitian tentang dampak otonomi daerah

terhadap pengurangan kemiskinan dengan studi kasus Provinsi Riau. Hasil dari

penelitian adalah tingkat kesejahteraan masyarakat Riau terus mengalami

peningkatan, kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta penurunan tingkat

kemiskinan. Kebijakan yang menyentuh langsung dengan rakyat miskin seperti

pembukaan lapangan pekerjaan, peningkatan upah, bantuan dan subsidi yang

diberikan kepada penduduk miskin langsung maupun tidak langsung berpengaruh

signifikan dalam mengurangi kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan.

Hasugian (2006) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi

fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di kabupaten dan kota

Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan tingkat

kemandirian daerah sesudah desentralisasi fiskal yang ditunjukkan dengan

menurunnya rasio PAD dan meningkatnya Dana Alokasi Umum (DAU). Laju

kemiskinan di kabupaten dan kota sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal

menunjukkan kenaikan dan penurunan jumlah atau cenderung berfluktuasi.

Sasana (2009) melakukan penelitian peran desentralisasi fiskal terhadap

Gambar

Tabel 1.1. PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan (Juta Rupiah)
Gambar  1.1.  Perbandingan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, danJawa Timur Tahun 2005-2009
Tabel 1.3. Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah (Juta Rupiah)
Gambar 2.1. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan kelekatan sebagai ikatan emosional antara anak dengan orang terdekatnya dalam bentuk interaksi, komunikasi yang

Penandatanganan perjanjian kerjasamaantara Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan dengan satuan pendidikan yang terakreditasi, atau lembaga sertifikasi lainnya yang sah

6XEMHN GHQJDQ WLQJNDW NHPDPSXDQ DZDO PDWHPDWLND NDWHJRUL VHGDQJ %HUGDVDUNDQ GDWD GDQ FXSOLNDQ ZDZDQFDUD SDGD VXEMHN 6 GDQ VXEMHN 6 \DQJ PHUXSDNDQ VLVZD \DQJ EHUDGD SDGD

Green sand adalah metode yang paling banyak digunakan dalam proses pengecoran sand casting baik dari coran yang berukuran kecil sampai yang menengah yang diproduksi

The country of origin is declared free from Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) prior to shipment. For the duck meat come from farm declared free from duck viral hepatitis

Internasional Terakreditasi Tidak Nilai Akhir Komponen Yang dinilai. Teral<reditasi

Laporan skripsi dengan judul “ Sistem Penunjang Keputusan Pemilihan Otobus Pada Biro Perjalanan Harmony Tour ” telah dilaksanakan dengan tujuan untuk menghasilkan

1) Bahan pengawet berarti setiap bahan yang dapat menghambat, memperlambat, menutupi menahan proses fermentasi, pembusukan, pengasaman atau dekomposisi lainnya di dalam atau