DAMPAK KE
DESENTRALISASI F
DAN KEMISKINA
(Model Ekonom
DEPAR
FAKULTAS
INSTIT
KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA
I FISKAL TERHADAP PENGANGGURA
AN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI
JAWA TENGAH
ometrika Sistem Persamaan Simultan)
OLEH IDA NUR’AINI
H14070051
ARTEMEN ILMU EKONOMI
S EKONOMI DAN MANAJEMEN
ITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
IDA NUR’AINI, Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan) (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI)
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan solusi dari sistem pemerintahan yang sentralistik untuk mengoptimalkan pembangunan daerah. Otonomi daerah sebagai strategi paling efektif karena pembangunan daerah dilakukan oleh masyarakat lokal yang lebih tahu kebutuhan dan kondisi daerah sehingga menghasilkan kebijakan pembangunan yang efektif. Kebijakan fiskal memiliki peran penting dalam pembangunan daerah sejak dimulainya desentralisasi fiskal, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola penerimaan dan pengeluarannya yang diharapkan mampu menggerakkan perekonomian daerah.
Hampir seluruh provinsi di Indonesia mengalami kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) termasuk Provinsi Jawa Tengah sejak dimulainya otonomi daerah pada tahun 2001. Desentralisasi fiskal menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan seharusnya mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan secara signifikan. Pada kenyataannya, Provinsi Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ketiga di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur ternyata memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi di Pulau Jawa. Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin ketiga setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemiskinan di Jawa Tengah memang memiliki tren menurun, tetapi masih belum dapat mengubah posisi jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa. Pengangguran diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kemiskinan.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kinerja fiskal pemerintah daerah, perekonomian, pengangguran dan kemiskinan serta menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan analisis ekonometrika sistem persamaan simultan. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data panel 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007-2009.
70,42 persen pada tahun 2009. Bahkan terjadi kecenderungan semakin kecilnya peran PAD dari tahun 2007 sampai tahun 2009.
Kecilnya PAD ini mengakibatkan tidak signifikannya PAD terhadap pengeluaran pemerintah sektor pendidikan serta sektor pendidikan dan kesehatan. Pertanian menjadi sektor yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran, tetapi alokasi anggaran untuk sektor pertanian masih sangat kecil. PDRB sektor pertanian ternyata dipengaruhi oleh pengeluaran sektor pertanian sehingga dengan ditingkatkannya pengeluaran sektor pertanian diharapkan mampu meningkatkan PDRB pertanian.
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA
DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PENGANGGURAN
DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA
PROVINSI JAWA TENGAH
(Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)
Oleh IDA NUR’AINI
H14070051
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Ida Nur’aini
Nomor Registrasi Pokok : H14070051 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi :Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. NIP. 19620816 198701 2 001
Mengetahui
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP.19641022 198903 1 003
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN
Bogor, Mei 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ida Nur’aini lahir pada tanggal 20 Februari 1989 di Rembang, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Drs. Hari Riyadi MM, dan Dra Chotimah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 2 Rembang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Rembang dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2007.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah ”Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)”. Penulis tertarik dengan isu kebijakan fiskal setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penyusunan skripsi ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2. Dr. Muhammad Findi A., M.E. dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi,M.Si. selaku dosen penguji utama dan dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan kritikan yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
3. Orang tua penulis, Bapak Hari Riyadi dan Ibu Chotimah serta saudara-saudara penulis Rifky Wirya Amiharja dan Kharisma Nur Anisa. Berkat doa dan dukungan mereka yang sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Para staf BPS Pusat, BPS Jawa Tengah, Pemprov Jawa Tengah dan BPMD Jawa Tengah yang telah memberikan kemudahan dalam memperoleh data penelitian.
6. Sari Rina Fitriyah yang telah banyak membantu penulis dari pengumpulan data sampai penulis menyelesaikan skripsi.
7. Sahabat-sahabat penulis (Riri, Risya, Destia, Winda, Suhaila, Fery, Siska) yang telah memberikan semangat dan tenaganya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
8. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalankan studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
9. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 dan semua pihak yang telah membantu dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
10. Teman-teman di kosan Nabila Cempaka (Yeni, Mia, Alifa, Ika, Ica, Rini, Esti, Pipit, Fifi) atas dukungan semangat kepada penulis
Akhirnya setelah penyelesaian skripsi ini, penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan. Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempuraan.
Bogor, Mei 2011
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ...vii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ...10
1.3. Tujuan ...11
1.4. Manfaat Penelitian ...11
1.5. Ruang Lingkup ...12
II. TINJAUAN PUSTAKA ...13
2.1. Tinjauan Teori dan Konsep...13
2.1.1. Kebijakan Fiskal...13
2.1.2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal ...16
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi ...22
2.1.4. Pengangguran...24
2.1.5. Kemiskinan ...27
2.1.6. Kaitan Desentralisasi Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketenagakerjaan...31
2.2. Penelitian - Penelitian Terdahulu ...33
2.3. Kerangka Pemikiran ...36
2.4. Hipotesis ...39
III. METODE PENELITIAN...42
3.1. Jenis dan Sumber dan Metode Pengumpulan Data ...42
3.2. Metode Analisis Data ...44
3.2.1. Analisis Deskriptif ...44
3.2.2. Model Ekonometrika...44
3.2.2.1. Spesifikasi Model ...45
3.2.2.3. Identifikasi Model ...50
3.3. Defini Operasional Variabel ...52
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...53
4.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, Perekonomian, Pengangguran dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah ...53
4.1.1. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ...53
4.1.1.1. Penerimaan Pemerintah Daerah ...55
4.1.1.2. Pengeluaran Pemerintah Daerah ...62
4.1.2. Analisis Pertumbuhan Ekonomi ...65
4.1.3. Analisis Ketenagakerjaan ...67
4.1.4. Analisis Kemiskinan ...70
4.2. Hasil Estimasi Model Ekonometrika...73
4.2.1. Keragaan Penerimaan Daerah...73
4.2.1.1. Pajak Daerah ...73
4.2.1.2. Dana Alokasi Umum ...75
4.2.1.3. PAD dan Total Penerimaan Daerah (TPD)...77
4.2.2. Keragaan Pengeluaran Daerah...78
4.2.2.1. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian ...79
4.2.2.2. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan ...81
4.2.2.3. Pengeluaran Pemerintah Sektor Lainnya ...82
4.2.3. Keragaan Output ...83
4.2.3.1. PDRB Sektor Pertanian ...83
4.2.3.2. PDRB Sektor Lainnya ...85
4.2.4..Keragaan Pengangguran dan Kemiskinan...86
4.2.4.1. Pengangguran ...86
4.2.4.2. Kemiskinan ...92
4.2.5. Analisis Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan ...95
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...97
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1 Pertumbuhan PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan (Juta
Rupiah) ... 4
1.2 Perbandingan Jumlah Penduduk, Persentase Kemiskinan dan Penganguran Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, 2005-2009... 6
1.3 Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah (Juta Rupiah) ... 9
3.1. Pengujian Order ... 51
4.1 Rasio Penerimaan terhadap Pengeluaran Provinsi Jawa Tengah... 53
4.2 Realisasi Penerimaan Berdasarkan Komponen Penerimaan ... 56
4.3 Kontribusi PAD terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) ... 58
4.4 Kontribusi PAD dan Dana Bagi Hasil Terhadap Penerimaan Provinsi Jawa Tengah... 59
4.5 Rasio PAD dan Dana Bagi Hasil Terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) ... 60
4.6 Rasio DAU terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah... 61
4.7 Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Jenis Belanja ... 62
4.8 Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Fungsi ... 63
4.9 Belanja Fungsi Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah ... 64
4.10 Perkembangan PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Miliar Rupiah) ... 65
4.11 Distribusi Persentase PDRB Berdasarkan Lapangan Usaha Provinsi Jawa Tengah (%) ... 66
4.12 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah (%)... 67
Alokasi Umum ... 4.15. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengeluaran Sektor Pertanian,
Pendidikan dan Kesehatan serta Lainnya ... 79 4.16. Faktor-Faktor yang Memengaruhi PDRBP dan PDRBL ... 86 4.17 Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah ... 91 4.18 Perbandingan PDRB Pertanian dengan Tingkat Kemiskinan di
Kabupaten pada Tahun 2009 ... 93 4.19 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengangguran dan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Perbandingan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, 2005-2009... 6 1.2. Perkembangan Dana Perimbangan Jawa Tengah (Juta Rupiah),
2004-2009 ... 9 2.1. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output ... 15 2.2. Fungsi Produksi... 23 2.3. Hubungan Kebijakan Pengeluaran Pemerintah dengan
Permintaan Agregat ... 33 2.4. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Fiskal terhadap
Pengangguran dan Kemiskinan... 38 4.1. Persentase Penerimaan Daerah Menurut Jenis Komponen
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Estimasi Output Persamaan Pajak Daerah... . 103
2. Hasil Estimasi Output Dana Alokasi Umum ... 104
3. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian ... 105
4. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan ... . 106
5. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Lainnya ... 107
6. Hasil Estimasi Output Persamaan PDRB Sektor Pertanian... 108
7. Hasil Estimasi Output Persamaan PDRB Sektor Lainnya... 109
8. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengangguran ... ... 110
9. Hasil Estimasi Output Persamaan Kemiskinan... 111
10. Komposisi Penerimaan Pemerintah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009 ... 112
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Isu desentralisasi fiskal sedang mendapatkan perhatian pemerintah,
masyarakat maupun kalangan akademisi saat ini. Indonesia mulai era baru
penyelenggaraan pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001 yaitu perubahan sistem
pemerintahan dari terpusat (sentralisasi) menjadi desentralisasi. Pada sistem
pemerintahan terpusat, pemerintah pusat memiliki peran yang sangat besar dalam
seluruh pembangunan daerah. Program - program pembangunan daerah yang
dibuat pemerintah pusat harus diterima oleh pemerintah daerah walaupun tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah sehingga akan menyebabkan
ketidakefisienan kebijakan. Penyelenggaraan pemerintahan terpusat menyebabkan
kurang terlihatnya peran dari pemerintah daerah dalam melaksanakan
pembangunan daerah.
Sistem pemerintahan sentralistik dipandang sebagai konsekuensi dari
negara kesatuan sedangkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sangat
dijamin hak-hak otonom bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa.
Keanekaragaman budaya, perbedaan kondisi geografis dan kesenjangan tingkat
kesejahteraan antar daerah semakin menyulitkan pendekatan sistem pemerintahan
sentralistik di Indonesia. Krisis ekonomi tahun 1997 menjadi titik balik perubahan
sistem pemerintahan di Indonesia. Krisis ekonomi ini dianggap beberapa ahli
sebagai kegagalan pemerintah dalam membaca perubahan dan berbagai
pemerintah pusat banyak menggunakan waktunya untuk mengurus masalah
domestik yang seharusnya dapat diurus oleh pemerintah daerah. Akibatnya
pemerintah pusat tidak cukup waktu untuk memperhatikan
kecenderungan-kecenderungan global ini dan ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem
pemerintahan sentralistik (Rasyid, 2005).
Tujuan utama kebijakan desentralisasi 1999 berdasarkan penjelasan di atas
adalah memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk fokus pada kebijakan
makro yang bersifat strategis dan memberikan kesempatan kepada daerah untuk
meningkatkan kemandirian dan kreatifitas. Pemerintah daerah ditantang agar
mampu menemukan solusi-solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh
daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan solusi dari sistem
pemerintahan yang sentralistik untuk mengoptimalkan pembangunan daerah.
Otonomi daerah sebagai strategi paling efektif karena pembangunan daerah
dilakukan oleh masyarakat lokal yang lebih tahu kebutuhan dan kondisi daerah
sehingga menghasilkan kebijakan pembangunan yang efektif.
Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang sangat besar kepada
daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Hampir seluruh
kewenangan diberikan kepada pemerintah daerah kecuali enam bidang yaitu
politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, agama, moneter dan
fiskal nasional. Menurut Sidik (2003), otonomi daerah merupakan sebuah alat
untuk mencapai salah satu tujuan bernegara khususnya dalam rangka
memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses
daerah harus didukung dengan kebijakan desentralisasi fiskal agar efektivitas
penyelenggaraan pemerintah dapat tercapai.
Kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk memampukan keuangan
daerah dan memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengelola segala potensi
keuangan daerah secara optimal. Penyelenggaraan pembangunan daerah perlu
mendapat dukungan pendanaan seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana bagi
hasil, pinjaman maupun dana bantuan dari pemerintah pusat. Selama hampir
delapan tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia hampir seluruh
provinsi di Indonesia mengalami pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) positif. Pencapaian tingkat PDRB merupakan salah satu indikator
kemajuan perekonomian suatu daerah.
Pada tabel 1.1. memperlihatkan perkembangan PDRB di tiap provinsi
tahun 2004 sampai tahun 2008. Setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal angka
pertumbuhan PDRB memiliki kecenderungan meningkat. Pada data ini juga
terlihat bahwa Pulau Jawa memiliki angka PDRB paling tinggi diantara semua
pulau di Indonesia. Tumbuhnya perekonomian di Pulau Jawa yang lebih cepat
dibandingkan dengan daerah lain di luar Pulau Jawa disebabkan karena Pulau
Jawa masih menjadi pusat kegiatan ekonomi di Indonesia.
Salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi positif adalah
Jawa Tengah. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah selama lima tahun terakhir selalu mengalami peningkatan
dari 135 Triliun pada tahun 2004 menjadi 167, 7 Triliun pada tahun 2008, tetapi
Provinsi Jawa Tengah memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi belum
tentu mampu menyelesaikan masalah paling mendasar di daerah yaitu
pengangguran dan kemiskinan.
Tabel 1.1. PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan (Juta Rupiah)
Provinsi 2004 2005 2006 2007 2008
1. Nanggroe Aceh
Darussalam 40.374.282,31 36.287.915,29 36.853.868,66 35.983.090,79 34.085.478,71 2. Sumatera
Utara 83.328.948,58 87.897.791,21 93.347.404,39 99.792.273,27 106.172.360,10
3. Sumatera
Barat 27.578.136,56 29.159.480,53 30.949.945,10 32.912.968,59 35.007.921,57
4. Riau 75.216.719,28 79.287.586,75 83.370.867,24 86.213.259,46 91.085.381,81
5. Jambi 11.953.885,48 12.619.972,18 13.363.620,73 14.275.161,32 15.296.726,80
6. Sumatera
Selatan 47.344.396,00 49.633.536,00 52.214.848,00 55.262.114,00 58.080.027,00
7. Bengkulu 5.896.253,00 6.239.361,00 6.610.628,00 7.008.964,58 7.354.468,47
8. Lampung 28.262.288,65 29.397.248,40 30.861.360,40 32.694.889,35 34.414.653,24
9. Kepulauan Bangka Belitung
8.414.980,93 8.707.309,00 9.053.553,48 9.464.539,15 9.884.577,83
10. Kepulauan
Riau 28.509.063,10 30.381.500,21 32.441.003,07 34.713.813,64 37.021.427,75
Sumatera 356.878.953,88 369.611.700,57 389.067.099,06 408.321.074,15 428.403.023,28 11. DKI Jakarta 278.524.822,00 295.270.547,00 312.826.712,74 332.971.253,84 353.539.057,43
12. Jawa Barat 230.003.495,86 242.883.881,74 257.499.445,75 274.180.307,83 290.171.128,80 13. Jawa Tengah 135.789.872,31 143.051.213,88 150.682.654,75 159.110.253,77 167.790.369,85 14. DI. Yogyakarta 16.146.423,77 16.910.876,87 17.535.749,31 18.291.511,71 19.208.937,56
15. Jawa Timur 242.228.892,17 256.442.606,28 271.249.316,69 287.814.183,92 304.798.966,41
16. Banten 54.880.406,50 58.106.948,22 61.341.658,64 65.046.775,77 68.830.644,80
Jawa 957.573.912,62 1.012.666.073,99 1.071.135.537,88 1.137.414.286,83 1.204.339.104,86 17. Bali 19.963.243,81 21.072.444,79 22.184.679,28 23.497.047,07 24.900.571,98
Jawa & Bali 977.537.156,42 1.033.738.518,78 1.093.320.217,1 1.160.911.333,9 1.229.239.676,8 18. Kalimantan
Barat 22.483.015,34 23.538.350,41 24.768.374,85 26.260.647,97 27.682.852,51
19. Kalimantan
Tengah 13.253.081,16 14.034.632,14 14.853.726,14 15.754.508,67 16.725.514,29
20. Kalimantan
Selatan 22.171.332,06 23.292.544,50 24.452.264,79 25.922.287,52 27.538.451,50
21. Kalimantan
Timur 91.050.428,92 93.938.002,00 96.612.842,00 98.428.543,00 103.168.022,00
Kalimantan 148.957.857,48 154.803.529,06 160.687.207,78 166.365.987,16 175.114.840,29 22. Sulawesi Utara 12.149.501,26 12.744.549,77 13.473.113,84 14.344.302,42 15.428.425,31
23. Sulawesi
Tengah 10.925.464,69 11.752.235,68 12.671.548,92 13.683.882,46 14.746.021,73
24. Sulawesi
Selatan 34.345.080,50 36.421.787,37 38.867.679,22 41.332.426,29 44.549.824,55
25. Sulawesi
Tenggara 7.480.180,34 8.026.856,22 8.643.330,06 9.331.719,95 10.010.586,35
26. Gorontalo 1.891.763,26 2.027.722,84 2.175.815,19 2.339.217,51 2.520.673,36
27 Sulawesi Barat 2.922.477,60 3.120.765,24 3.321.147,32 3.567.816,14 3.872.522,88
. Sulawesi 69.714.467,66 74.093.917,12 79.152.634,55 84.599.364,77 91.128.054,18 28. Nusa
Tenggara Barat
14.928.174,68 15.183.788,94 15.603.774,90 16.369.220,46 16.799.829,81
29. Nusa Tenggara Timur
9.537.095,13 9.867.308,52 10.368.504,89 10.902.404,44 11.426.425,24
30. Maluku 3.101.995,92 3.259.244,35 3.440.114,10 3.633.475,12 3.787.103,94
31. Maluku Utara 2.128.208,25 2.236.803,64 2.359.483,02 2.501.175,13 2.650.760,09
32. Papua Barat 4.969.210,33 5.307.329,12 5.548.900,50 5.934.315,82 6.369.374,22 Papua 16.282.967,57 22.209.192,69 18.402.197,42 19.200.297,43 18.914.877,30
33. Nusa Tenggara,
Maluku & Papua 50.947.651,89 58.063.667,26 55.722.974,84 58.540.888,40 59.948.370,59
Jumlah 33
Provinsi 1.604.036.087,3 1.690.311.332,78 1.777.950.133,3 1.878.738.648,3 1.983.833.965,1
Kinerja perekonomian Provinsi Jawa Tengah yang diukur dari PDRB
secara makro menunjukkan hasil yang baik. Namun, di sisi lain masih ada hal
penting yang perlu diperhatikan dalam mengukur keberhasilan suatu
perekonomian yaitu pengangguran dan kemiskinan. Masalah pengangguran dan
kemiskinan penting untuk diteliti dalam kaitannya dengan kebijakan fiskal dan
desentralisasi fiskal. Jika peningkatan PDRB tidak dapat mengatasi pengangguran
dan kemiskinan maka pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan untuk
menciptakan PDRB yang menyentuh langsung kepada masyarakat. Perekonomian
bukan hanya semata-mata untuk meningkatkan PDRB, tetapi juga memberikan
dampak nyata bagi masyarakat yaitu keluar dari kemiskinan dan memiliki
penghasilan yang layak untuk dapat hidup sejahtera.
Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah mendasar yang harus
diatasi untuk mencegah dampak sosial yang lebih besar. Dampak sosial yang
ditimbulkan seperti tingkat kejahatan yang terus meningkat karena orang berusaha
mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rasa aman masyarakat pun akan
terganggu dan pada akhirnya akan menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah. Dampak terbesar yang ditimbulkan adalah krisis politik
sehingga berdampak pada kepercayaan dunia terhadap negara. Begitu besarnya
dampak yang akan ditimbulkan apabila masalah pengangguran dan kemiskinan
tidak dapat diatasi mengharuskan pemerintah untuk mencari solusi terhadap kedua
masalah ini.
Pada Tabel 1.2. dan Gambar 1.1., Provinsi Jawa Tengah yang memiliki
Provinsi Jawa Timur memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi di Pulau Jawa.
Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia
memiliki jumlah penduduk miskin ketiga setelah Provinsi Jawa Tengah dan
Provinsi Jawa Timur. Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah memang memiliki
tren menurun, tetapi masih belum dapat mengubah posisi jumlah penduduk
miskin terbanyak di Pulau Jawa.
Tabel 1.2. Perbandingan Jumlah Penduduk, Persentase Kemiskinan dan Penganguran Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009
Jawa Tengah 32.908.850 32.177.730 32.380.279 32.626.390 32.864.563
Jawa Barat 39.960.869 40.737.594 41.483.729 42.194.869 42.693.951
Jawa Timur 36.481.779 36.390.600 36.895.571 37.094.836 37.286.246
Sumber : BPS, 2005-2009.
Sumber : BPS, 2005-2009.
Gambar 1.1. Perbandingan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur Tahun 2005-2009
Kemiskinan akan berpengaruh pada indeks Pembangunan Manusia (IPM)
yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Menurut penelitian dari 0%
5% 10% 15% 20% 25%
2005 2006 2007 2008 2009
Jawa Tengah
Jawa Barat
Blank and Card (1993) pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat di masa kini
menjadi tidak sensitif dengan kemiskinan artinya tidak mampu memberikan
dampak yang signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Jika dibandingkan
dengan kondisi di tahun 1960an. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih belum
berkualitas karena belum mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi
kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari kesenjangan pertumbuhan sektoral yang
semakin besar antara sektor perdagangan, komunikasi dan jasa dengan sektor riil
(pertanian, manufaktur, pertambangan). Sektor non riil tumbuh sangat cepat dan
pertumbuhannya selalu lebih tinggi dari PDB sedangkan sektor riil yang mampu
menyerap banyak tenaga kerja malah tumbuh lambat (BPS, 2009).
Pengangguran merupakan pangkal persoalan terciptanya kemiskinan.
Ketika individu tidak memiliki pendapatan maka tidak akan mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari
desentralisasi fiskal seharusnya mampu menyerap banyak tenaga kerja. Semakin
besar kegiatan ekonomi maka tenaga kerja yang dibutuhkan juga akan semakin
besar. Pada tahun 2001 jumlah pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah
sebesar 3,70 persen, jumlahnya menurun pada awal penerapan desentralisasi
fiskal. Walaupun di tahun-tahun tertentu mengalami penurunan jumlah
pengangguran, kecenderungan mengarah pada peningkatan. Pada tahun 2009
jumlah pengangguran di Jawa Tengah mencapai 7,33 persen. Tren kenaikan ini
salah satunya diakibatkan karena pertumbuhan penduduk yang tinggi sementara
lapangan pekerjaan yang tersedia tidak mampu menyesuaikan dengan cepat
Pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan lebih mendekati keinginan
masyarakat dan mampu meningkatkan perekonomian daerah. Penyelenggaraan
desentralisasi fiskal diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri
dari Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan
Undang - Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan.
Desentralisasi fiskal yang diatur oleh Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah menegaskan bahwa penyerahan wewenang
pelaksanaan pemerintahan ini dilakukan dengan tujuan agar pemerintah dapat
melakukan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah
daerah dapat mengembangkan perekonomian daerah sesuai dengan potensi daerah
masing-masing. Penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah juga merubah
secara fundamental tentang pengelolaan keuangan negara.
Pemerintah pusat harus menyalurkan dana kepada pemerintah daerah
sebagai konsekuensi dari penyerahan wewenang tersebut. Transfer dana ke daerah
dari tahun ke tahun semakin meningkat yang secara otomatis meningkatkan peran
pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Transfer dana sebagai
bentuk koordinasi keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
dikenal dengan dana perimbangan yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah
yang bersumber dari APBN terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan dana bagi hasil. Pemerintah daerah diharapkan
mampu mengalokasikan anggaran yang sangat besar tersebut secara bijaksana
Tabel 1.3. Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah (Juta Rupiah)
2004 2005 2006 2007 2008 2009
DAU
9.541.771 9.951.345 14.959.952 16.334.593 17.805.526 18.183.827 DAK
208.983 295.970 895.974 1.273.938 1.647.883 1.966.734
DBHPBP
945.548 994.383 824.003 943.705 1.679.241 1.536.385
Sumber : BPS, 2004-2009.
Sumber : BPS, 2004-2009 (Diolah).
Gambar 1.2. Perkembangan Dana Perimbangan Jawa Tengah (Juta Rupiah), 2004-2009
Pada Tabel 1.3. dan Gambar 1.2. terlihat bahwa setiap tahun dana
perimbangan Provinsi Jawa Tengah selalu mengalami peningkatan sehingga
penerimaan daerah pun terus meningkat dan dapat digunakan untuk kegiatan yang
mampu menggerakkan perekonomian daerah terutama melalui kebijakan fiskal
yang sudah didesentralisasikan. Kebijakan fiskal daerah diarahkan sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing.
Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan akhir desentralisasi fiskal.
Dari data-data ekonomi dan sosial yang telah diuraikan di atas, peneliti ingin
meneliti hubungan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari desentralisasi
fiskal di Provinsi Jawa Tengah dengan berbagai variabel ekonomi dan sosial serta 0
5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000
2004 2005 2006 2007 2008 2009
DAU
DAK
bagaimana kebijakan fiskal diarahkan untuk memacu pertumbuhan sektor riil
yaitu sektor pertanian yang dapat menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi
kemiskinan.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, desentralisasi fiskal diharapkan akan mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
mengoptimalkan segala potensi-potensi ekonomi di daerah dan menggali potensi
keuangan daerah. Kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam
desentralisasi fiskal terkait dengan pengalokasian pengeluaran pemerintah
terhadap sektor-sektor unggulan daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga wajib
meningkatkan penerimaan daerah untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang
semakin meningkat tiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sejak
desentralisasi fiskal seharusnya mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat
daerah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat daerah . Pada akhirnya
desentralisasi fiskal akan mampu mengatasi segala permasalahan ekonomi dan
sosial masyarakat daerah. Berdasarkan penjelasan tersebut maka perumusan
masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kinerja keuangan pemerintah daerah, perekonomian,
pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada masa
desentralisasi fiskal?
2. Bagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan kemiskinan
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah, perekonomian,
pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada masa
desentralisasi fiskal?
2. Menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan
kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah?
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak
pihak, baik bagi peneliti, kalangan akademis, pemerintah dan masyarakat Jawa
Tengah khususnya.
1. Bagi peneliti, mengaplikasikan ilmu yang didapat selama kuliah serta mampu
memberikan kontribusi pemikiran bagi pengambil keputusan dalam
pemerintahan pada khususnya.
2. Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan terkait
kebijakan fiskal daerah guna mengatasi pengangguran dan kemiskinan di
Provinsi Jawa tengah.
3. Bagi kalangan akademisi, dapat melakukan penelitian lanjutan yang lebih
4. Bagi masyarakat dan pembaca pada umumnya, memperoleh informasi
tentang desentralisasi fiskal dan sebagai media untuk mengawasi kinerja
pemerintah.
1.5. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis peran kebijakan fiskal
terhadap kinerja perekonomian yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
serta dampaknya terhadap pengangguran dan kemiskinan di daerah. Ruang
lingkup wilayah penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah. Tahun analisis yang digunakan dimulai dari tahun 2007 sampai 2009.
Alasan pemilihan tahun analisis adalah untuk melihat kinerja perekonomian
setelah enam tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain itu berbagai kendala
dalam memperoleh data yang akan dipakai karena perubahan definisi dan format
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori dan Konsep
2.1.1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan
penerimaan untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Kebijakan ekonomi diharapkan
mengarah pada kondisi perekonomian yang lebih baik dengan jalan mengubah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemahaman lain dari kebijakan fiskal
adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan
dalam rangka menstabilkan perekonomian. Menurut John. F. Due (1968) dalam
buku Pengantar Kebijakan Fiskal (2010) disebutkan bahwa kebijakan fiskal sebenarnya ditujukan untuk tiga hal, antara lain ; menjamin pertumbuhan
perekonomian yang sebenar-benarnya menyamai laju pertumbuhan potensial,
dengan mempertahankan kesempatan kerja yang penuh, mencapai suatu tingkat
harga umum yang stabil dan wajar, dan meningkatkan laju pertumbuhan potensial
tanpa mengganggu pencapaian tujuan-tujuan lain dari masyarakat.
Dari penjelasan diatas maka secara umum tujuan dari kebijakan fiskal
menurut John F. Due (1968) adalah :
1. Meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi atau
memperbaiki keadaan ekonomi.
2. Memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran atau
mengusahakan kesempatan kerja dan menstabilkan harga-harga secara umum.
Kebijakan fiskal mengusahakan peningkatan kemampuan pemerintah dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara menyesuaikan
pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Pengeluaran negara jika ditinjau dari
berbagai segi adalah sebagai berikut :
1. Pengeluaran yang merupakan investasi, yaitu yang menambah kekuatan dan
ketahanan ekonomi pada masa yang akan datang.
2. Pengeluaran yang secara langsung dapat memberikan kegembiraan dan
kesejahteraan kepada masyarakat.
3. Pengeluaran yang merupakan pengehematan untuk pengeluaran yang akan
datang.
4. Pengeluaran untuk menyediakan kesempaan kerja yang lebih banyak dan
penyebaran tenaga kerja yang lebih luas.
Dalam teori ekonomi, pada saat perekonomian berada dalam
keseimbangan, diasumsikan bahwa pengeluaran aktual sama dengan pengeluaran
yang direncanakan. Kondisi keseimbangan dapat ditulis sebagai berikut :
Pengeluaran aktual = Pengeluaran yang direncanakan Y = AE
Kebijakan fiskal melalui peningkatan pengeluaran pemerintah (Δ G) menyebabkan bergesernya keseimbangan dari titik A ke titik B dan output akan
meningkat sebesar Δ Y (Gambar 2.1.). Dengan demikian kebijakan fiskal memiliki dampak terhadap output. Peningkatan output diharapkan akan
meningkatkan permintaan tenaga kerja karena tenaga kerja merupakan salah satu
Tenaga kerja yang diserap dari semakin banyaknya output ini diharapkan akan
mengurangi jumlah pengangguran.
AE Y = AE = C + I + G + Nx
B AE1= C1+ I1+ G1+ Nx1
Δ G AE0= C0+ I0+ G0+ Nx0 A
Y0 Δ Y Y1 Y
Sumber : Mankiw,2003
Gambar 2.1. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output
Kebijakan fiskal pada masa otonomi daerah memiliki perbedaan dengan
kebijakan otonomi sebelum otonomi daerah. Pada saat sebelum otonomi daerah
diberlakukan, kebijakan fiskal daerah sudah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Pemerintah daerah hanya tinggal melaksanakan semua kebijakan tersebut. Setelah
otonomi daerah, pemerintah pusat menyerahkan banyak kewenangan kepada
pemerintah daerah termasuk pengelolaan keuangan. Kebijakan fiskal nasional
tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Dana perimbangan disalurkan oleh
pemerintah pusat dalam jumlah yang besar untuk mendukung pelaksanaan
otonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dana
perimbangan dan dana yang diusahakan sendiri oleh pemerintah daerah melalui
kebijakan fiskal daerah.
Pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh terhadap perekonomian
pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal daerah antara lain sektor produksi,
sektor konsumsi masyarakat dan keseimbangan perekonomian. Pada sektor
produksi, pengeluaran pemerintah dapat menunjang tersedianya faktor-faktor
produksi seperti modal dan tenaga kerja. Misal pengeluaran pemerintah sektor
pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terdidik.
Sumber daya manusia yang terdidik itu memperbesar faktor produksi yang berupa
tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan oleh sektor produksi.
Pada sektor distribusi, pengeluaran negara akan berpengaruh baik itu
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi distribusi barang dan
jasa. Misal pengeluaran pemerintah untuk subsidi barang dan jasa akan
mempermudah masyarakat yang berdaya beli rendah menjadi mudah untuk
memperoleh barang dan jasa tertentu. Di sektor konsumsi, pengeluaran
pemerintah dapat mengubah atau memperbaiki pola dan tingkat konsumen
masyarakat terhadap barang dan jasa yang disediakan langsung oleh pemerintah
maupun mekanisme pasar. Misal penambahan penyediaan barang yang bersifat
kolektif maupun barang-barang lain yang harganya disubsidi oleh pemerintah.
2.1.2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Visi otonomi
daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi terutama dalam
bidang politik, ekonomi serta sosial dan budaya. Dalam bidang politik otonomi
Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif
terhadap kepentingan masyarakat luas. Di bidang ekonomi, otonomi daerah
membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan
ekonomi regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi
ekonomi di daerahnya. Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus
dikelola dengan baik demi menciptakan dan memelihara kehidupan sosial serta
nilai-nilai lokal.
Pemerintahan daerah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 sedangkan perimbangan keuangan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004. Berdasarkan dari kedua Undang-Undang otonomi daerah
di atas, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.
Pemerintah daerah yang dimaksud adalah pemerintahan daerah provinsi yang
terdiri dari pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi serta pemerintahan
daerah kabupaten/kota yang terdiri dari pemerintah daerah kabupaten/kota dan
DPRD kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri
atas urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaran urusan pemerintahan yang
bersifat wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal. Berdasarkan
kewenangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Bidang pemerintahan
yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pelayanan
kependudukan dan catatan sipil, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan,
koperasi dan tenaga kerja serta urusan wajib lainnya.
Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan. Hak dan kewajiban daerah yang timbul karena adanya otonomi
daerah diwujudkan dengan rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan
dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam
sistem pengelolaan daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan
seluas-luasnya untuk menggali potensi keuangan daerah masing-masing dalam
penyelenggaraan desentralisasi fiskal asal tidak melanggar peraturan yang ada.
Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan
banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Dalam
pelaksanaan desentralisasi fiskal harus memperhatikan prinsip money follow function artinya setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan
kewenangan tersebut. Perlimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke
dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Semakin besar biaya yang dikelola membuat
tanggung jawab pemerintah daerah semakin besar pula.
Komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang
penting pada pelaksanaan desentralisasi fiskal yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hubungan keuangan pusat dan daerah
merupakan suatu mekanisme distribusi sejumlah dana anggaran dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah yang merupakan konsekuensi dari pelimpahan
kewenangan ke daerah. Dana perimbangan terdiri atas sebagai berikut :
1. Dana bagi hasil, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PPh perorangan, dan penerimaan
dari sumber daya alam, yakni minyak bumi, gas alam, pertambangan umum,
kehutanan dan perikanan. Penetapan bagi hasil pajak dan bukan pajak
didasarkan pada persentase yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yang
diatur dalan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah.
2. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk mendanai kegiatan daerah.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang dialokasikan dari APBN
untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan menjadi
prioritas nasional.
Dalam pelaksanaan pemerintahan suatu negara pada dasarnya memiliki
Fungsi alokasi meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa
pelayanan terhadap masyarakat. Fungsi alokasi tercermin dari pengeluaran
pemerintah dimana sangat menentukan keberpihakan pemerintah daerah kepada
sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan yang mampu menjadi roda
perekonomian daerah. Fungsi distribusi terkait dengan pendapatan dan kekayaan
masyarakat serta pemerataan pembangunan. Ketiga, fungsi stabilisasi yang
meliputi stabilisasi pertahanan dan keamanan, stabilisasi ekonomi dan moneter
dan lain-lain. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, fungsi distribusi dan
stabilisasi biasanya lebih tepat bila dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan
fungsi alokasi lebih efektif dilakukan oleh pemerintah daerah.
Ada dua asumsi yang setidaknya harus ada dalam pelaksanaan
desentralisasi fiskal (Tiebot 1956), antara lain :
1. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi pemerintah daerah
dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Kebutuhan masyarakat
daerah dapat dengan cepat disediakan oleh pemerintah daerah.
2. Perpindahan penduduk akan membuat pemerintah daerah berkompetisi untuk
menyediakan pelayanan barang publik sesuai dengan keinginan masyarakat
agar masyarakat tidak meninggalkan daerah serta menarik penduduk lain
untuk datang ke suatu daerah. Perpindahan penduduk dari satu daerah ke
daerah lain menandakan preferensi masyarakat akan barang publik. Tiebout
menilai bahwa pemerintah daerah harus berkompetisi agar dapat
Otonomi daerah bukan tanpa konsekuensi negatif. Seiring berjalannya
pelaksanaan desentralisasi fiskal ada beberapa dampak negatif yang timbul antara
lain :
1. Integrasi Nasional
Otonomi daerah memiliki potensi besar mengancam integrasi nasional.
Kesenjangan sosial dan ekonomi antar daerah menyebabkan terjadinya
kecemburuan sosial antar daerah.
2. Primordialisme
Kecenderungan beberapa daerah untuk mengutamakan putra daerah dalam
proses rekrutmen untuk jabatan-jabatan pemerintahan. Apabila
promodialisme ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan mengganggu
berjalannya otonomi daerah secara sehat. Jabatan-jabatan yang membutuhkan
keahlian tertentu mungkin akan diisi oleh orang yang tidak mempunyai
kualifikasi dalam bidang tertentu karena orang yang memiliki kualifikasi
dikalahkan oleh pertimbangan primordialisme. Seharusnya otonomi daerah mampu didefinisikan secara tepat oleh pemimpin daerah sehingga tidak
merugikan rakyat.
3. Otonomi Bertingkat
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
memiliki kelemahan karena secara eksplisit dijelaskan bahwa tidak ada
hubungan hirarkis antara provinsi dengan kabupaten dan kota. Hal ini
mengakibatkan bupati dan walikota merasa tidak punya kepentingan dengan
tentu akan menghambat berjalannya pemerintahan secara sinergis di tingkat
nasional. Kelemahan ini disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Mankiw (2003), Ukuran pertumbuhan ekonomi yang biasa
digunakan adalah produk domestik bruto (PDB). Semakin tinggi PDB maka dapat
disimpulkan bahwa negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. PDB
mengukur output barang dan jasa serta pendapatan total suatu negara. PDB yang
besar tidak menjamin kebahagiaan seluruh penduduk suatu negara, tetapi menjadi
variabel makroekonomi yang mampu menggambarkan keadaan ekonomi suatu
negara.
Dalam perekonomian, PDB dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh
barang dan jasa yang dihasilkan dengan harga barang dan jasa tersebut. Harga
yang digunakan untuk mengukur PDB ada dua yaitu dihitung dengan harga
berlaku dan harga konstan. Nilai barang dan jasa yang diukur dengan harga
berlaku disebut dengan PDB nominal. Ukuran PDB nominal tidak mampu
mencerminkan sejauh mana perekonomian mampu memuaskan permintaan rumah
tangga, perusahaan dan pemerintah. Hal ini karena kenaikan PDB tidak hanya
diakibatkan karena terjadi peningkatan barang dan jasa yang dihasilkan. Akan
tetapi dapat terjadi karena ada kenaikan harga tiap tahunnya.
Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik akan menghitung barang
dan jasa yang dihasilkan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga. Nilai
PDB riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika
jumlah berubah tetapi harga tetap. Karena harga dipertahankan konstan, maka
PDB riil akan bervariasi dari tahun ke tahun hanya jika jumlah yang diproduksi
berbeda. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sangat
bergantung pada barang dan jasa yang diproduksi. Hal inilah yang menyebabkan
PDB riil memberikan ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik daripada
PDB nomial.
Output barang dan jasa suatu perekonomian (PDB) bergantung pada
jumlah input, yang disebut faktor-faktor produksi dan kemampuan untuk
mengubah input menjadi output. Faktor produksi adalah input yang digunakan
untuk menghasilkan barang dan jasa. Dua faktor produksi yang paling penting
adalah modal dan tenaga kerja. Modal adalah seperangkat sarana yang
dipergunakan oleh para pekerja. Tenaga kerja adalah orang yang bekerja pada
waktu tertentu. Sedangkan fungsi produksi mencerminkan teknologi yang
digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output.
Output, Y
F (K,L)
MPL
Tenaga Kerja, L
Sumber : Mankiw, 2003
Pada Gambar 2.2. memperlihatkan fungsi produksi untuk memperlihatkan produk
marginal tenaga kerja (marginal product of labor, MPL). Output tergantung pada pada input tenaga kerja dengan menganggap modal tetap. MPL adalah perubahan
output ketika input tenaga kerja ditambah 1 unit.
Model pertumbuhan Solow (Solow growth model) merupakan salah satu teori pertumbuhan ekonomi yang mampu menjelaskan bagaimana perekonomian
berproduksi dan menggunakan outputnya pada waktu tertentu. Model
pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal,
pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam
perekonomian dan pengaruhnya terhadap output barang dan jasa di suatu negara.
Penawaran dan permintaan terhadap barang memiliki peran penting dalam model
pertumbuhan Solow. Dengan melihat penawaran dan permintaan terhadap barang,
maka dapat ditentukan banyaknya output yang diproduksi pada waktu tertentu.
Penawaran barang dalam model Solow berdasarkan pada fungsi produksi
yang menyatakan bahwa output (Y) bergantung pada persediaan modal (K) dan
angkatan kerja (L) seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 2.1. sebagai berikut :
Y = F(K,L) (2.1.)
Pada model pertumbuhan Solow diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki
skala pengembalian konstan atau skala hasil konstan (constant return to scale).
2.1.4. Pengangguran
Pengangguran merupakan masalah yang akan selalu ada di negara
berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kependudukan menjadi persoalan
lapangan pekerjaan setiap tahunnya. Apabila pemerintah tidak mampu untuk
menyediakan lapangan pekerjaan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah
penduduk, maka akan menimbulkan masalah sosial lain seperti kemiskinan terus
meningkat karena penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya,
selanjutnya akan berdampak pada meningkatnya tingkat kejahatan dan masalah
sosial lainnya.
Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dan ketidakmampuan
pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan
kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap tenaga kerja yang senantiasa
bertambah tiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk
(BPS,2007). BPS membagi pengangguran berdasarkan penyebabnya, pada
dasarnya hampir sama dengan pengangguran dilihat dari perspektif ekonomi tetapi
definisi dari BPS lebih mudah dipahami. Berikut adalah beberapa jenis
pengangguran dikelompokkan berdasarkan penyebabnya :
1. Pengangguran struktural yaitu pengangguran yang terjadi karena adanya
perubahan dalam struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai
keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga menganggur.
Contoh petani menganggur karena daerahnya berubah menjadi daerah
industri.
2. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya
kegiatan perekonomian sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan
3. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya
pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.
4. Pengangguran friksional adalah pengangguran yang muncul akibat adanya
ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.
5. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi karena adanya
penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern yang menggantikan
tenaga kerja manusia.
Perdebatan para ahli ekonomi tentang faktor-faktor yang menyebabkan
pengangguran masih selalu ada karena perbedaan kondisi masyarakat di suatu
masing-masing negara.
Kekakuan upah merupakan hal sering terjadi di pasar tenaga kerja,
biasanya pada pasar tenaga kerja yang dipengaruhi oleh serikat kerja upah akan
lebih kaku lagi. Upah ditetapkan untuk periode waktu tertentu tanpa penyesuaian
sesuai dengan kesepakatan antara serikat pekerja dan perusahaan. Misalnya dalam
waktu tiga tahun upah telah ditetapkan dan tidak akan dilakukan penyesuaian
walaupun terjadi kelebihan penawaran maupun penawaran pada jenis pekerjaan
tertentu. Teori kekakuan upah dan pengangguran terpaksa menyatakan bahwa
penyesuaian upah yang amat lamban menimbulkan kelebihan maupun kekurangan
dalam masing-masing pasar tenaga kerja.
Ada beberapa konsep pengangguran menurut BPS, antara lain
pengangguran terbuka dan pengangguran setengah terbuka. Konsep yang
digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pengangguran terbuka.
angkatan kerja (15 tahun keatas) yang sedang mencari pekerjaan, yang
mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak
mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan
angkatan kerja), dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja
(sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada saat yang bersamaan
mereka tidak bekerja (jobless). Pengangguran dengan definisi di atas disebut dengan pengangguran terbuka.
Tingkat pengangguran terbuka dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
TPT = (UE/AK)*100% (2.2)
dimana :
UE = jumlah orang usia kerja yang tidak berkerja
AK = total angkatan kerja
Selain pengangguran terbuka, juga dikenal istilah pengangguran setengah terbuka
(Under Unemployment) yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.
2.1.5. Kemiskinan
Masalah kemiskinan merupakan masalah yang akan selalu ada di setiap
negara terutama negara berkembang seperti Indonesia. Indikator kemiskinan di
setiap negara berbeda-beda, kemiskinan yang ada di negara maju akan berbeda
definisi dengan kemiskinan di Indonesia sehingga penanganan kemiskinan di
setiap negara pun pasti berbeda. Dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok,
ketidakberdayaan. Kemiskinan juga terkait dengan keterbatasan hak-hak sosial,
ekonomi dan politik bahkan pada akhirnya kemiskinan akan menimbulkan
masalah sosial dan politik. Penanggulangan kemiskinan di Indonesia harus tepat
sasaran sehingga langkah awal yang dilakukan oleh pemerintah adalah
menerjemahkan definisi dan konsep kemiskinan.
Menurut BPS, kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari
sisi pengeluaran. BPS melihat kemiskinan dari pengeluaran suatu rumah tangga
untuk membelanjakan komoditi pokok makanan dan non makanan. Garis
kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu garis kemiskinan makanan dan garis
kemiskinan non makanan, penduduk miskin diartikan sebagai penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum
makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Komoditi
kebutuhan terdiri atas 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging,
telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak dll).
Garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan
diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk, dapat dihitung besarnya
kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen. Indikator kebutuhan
minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai
1. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori
dan protein.
2. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan
pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.
3. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa
rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang dan air.
4. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk
keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku).
5. Kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk
penyediaan obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk
obat-obatan.
Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak
mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembanglan
kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004) . Hak-hak dasar antara lain (a)
terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (c)
rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Jenis-jenis Kemiskinan adalah sebagai berikut :
1. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
2. Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan dasar minimum seperti pangan, perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kebutuhan dasar minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam
bentuk uang dan nilainya dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk
yang memiliki rata-rata pendapatan/pengeluaran per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.
Terminologi kemiskinan yang lain adalah kemiskinan struktural dan
kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Tatanan
tersebut tidak hanya menciptakan kemiskinan tetapi juga membuat kemiskinan
tetap langgeng di dalam masyarakat. Kemiskinan struktural tidak disebabkan oleh
sebab-sebab alami atau sebab-sebab pribadi melainkan oleh sebab tatanan sosial
yang tidak adil. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan
diri dan meningkatkan kualitas hidupnya karena tatanan sosial yang tidak adil ini
sehingga menjadi serba kekurangan dan miskin.
Kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu
daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap menjadi miskin. Padahal
seharusnya kemiskinan tersebut dapat dikurangi dengan mengabaikan
faktor-faktor adat yang menghalangi seseorang melakukan perubahan ke tingkat
kehidupan yang lebih baik lagi. Kemiskinan kultural biasanya dialami oleh
suku-suku pedalaman di Indonesia seperti yang terjadi dengan suku-suku Badui dan suku-suku
2.1.6. Kaitan Kebijakan Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketenagakerjaan
Desentralisasi fiskal diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan pada akhirnya mampu mengurangi jumlah orang miskin di
Indonesia. Ravallion dan Datt (1996) dalam BPS (2009) melakukan studi dengan
menggunakan kasus India mendapatkan hasil bahwa pertumbuhan output di
sektor-sektor primer (pertanian) jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan
dibandingkan sektor-sektor sekunder. Kakwani (2001) dalam BPS (2009) juga
menyimpulkan hasil penelitiannya di Filipina bahwa peningkatan 1 persen output
di sektor pertanian dapat mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis
kemiskinan sedikit di atas 1 persen. Sebaliknya peningkatan 1 persen output di
sektor industri dan jasa hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan sekitar
0,25–0,30 persen.
Berdasarkan penelitian di dua negara ASEAN yang merupakan negara
berkembang bahwa pertumbuhan ekonomi harus ditopang oleh sektor-sektor yang
mampu menyerap tenaga kerja secara efektif yaitu sektor primer. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi belum tentu mampu mengurangi kemiskinan secara efektif
karena berbagai alasan sebagai berikut (Rajasa, 2007) :
1. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh sektor-sektor yang memiliki elastisitas
lapangan kerja rendah sehingga tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan.
Keberpihakan pada sektor-sektor tertentu walaupun tidak mampu menyerap
tenaga kerja yang banyak akan menghambat berkembangnya sektor-sektor
yang seharusnya mampu membuka peluang kesempatan kerja yang lebih
2. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh industri milik negara yang memiliki
proteksi dari pemerintah. Pertumbuhan ekonomi seperti ini tidak menjamin
dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan.
3. Pertumbuhan ekonomi dengan ditopang oleh industri canggih justru akan
berpotensi memperparah kemiskinan dan pengangguran jika struktur tenaga
kerja yang ada didominasi oleh tenaga kerja berkemampuan rendah.
4. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh kekuatan ekonomi yang
terkonsentrasi.
Teori ekonomi tentang kaitan antara kebijakan fiskal dengan pertumbuhan
ekonomi dapat dilihat melalui Gambar 2.3. dimana kebijakan peningkatan
pengeluaran pemerintah akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan
peningkatan pengeluaran pemerintah (Δ G) menggeser AE ke atas sehingga keseimbangan bergeser dari titik A ke titik B dan meningkatkan output sebesar
Δ Y. Kurva yang menunjukkan pengeluaran pemerintah ini berhubungan dengan kurva permintaan dan penawaran agregat.
Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan agregat terhadap
sehingga meningkatkan output sebesar Δ Y. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan PDB atau PDRB. Apabila pada
periode awal (t=0) output (PDB) sebesar Y0,maka pertumbuhan ekonomi terjadi
apabila pada periode berikutnya menghasilkan output sebesar Y1. Peningkatan
output ini diharapkan akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang digunakan
sebagai salah satu faktor produksi yang memengaruhi output. Dengan diserapnya
Pengeluaran, AE AE = Y
AE1= C1+ I1+ G1+ Nx1
B Δ G
AE0= C0+ I0+ G0+ Nx0
A
Δ Y Output, Y
Y0 Y1
Harga,P
AD1 AD0
Output, Y
Y0 Y1
Sumber : Mankiw,2003
Gambar 2.3. Hubungan Kebijakan Pengeluaran Pemerintah dengan Permintaan Agregat
2.2. Penelitian Terdahulu
Yudhoyono (2004) melakukan penelitian tentang dampak penerapan
kebijakan fiskal (pengeluaran dan penerimaan) terhadap pengangguran dan
kemiskinan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model
sistem persamaan simultan yang terdiri dari 22 persamaan struktural dan 9
persamaan identitas. Model diduga dengan persamaan 2SLS kemudian hasil
kebijakan yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rejim pemerintahan
berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian. Pemerintahan orde baru
cenderung menurunkan PDB dan mengakibatkan kemiskinan meningkat. Hasil
simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk
pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran.
Fakhru (2007) melakukan penelitian tentang dampak otonomi daerah
terhadap pengurangan kemiskinan dengan studi kasus Provinsi Riau. Hasil dari
penelitian adalah tingkat kesejahteraan masyarakat Riau terus mengalami
peningkatan, kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta penurunan tingkat
kemiskinan. Kebijakan yang menyentuh langsung dengan rakyat miskin seperti
pembukaan lapangan pekerjaan, peningkatan upah, bantuan dan subsidi yang
diberikan kepada penduduk miskin langsung maupun tidak langsung berpengaruh
signifikan dalam mengurangi kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan.
Hasugian (2006) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi
fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di kabupaten dan kota
Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan tingkat
kemandirian daerah sesudah desentralisasi fiskal yang ditunjukkan dengan
menurunnya rasio PAD dan meningkatnya Dana Alokasi Umum (DAU). Laju
kemiskinan di kabupaten dan kota sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal
menunjukkan kenaikan dan penurunan jumlah atau cenderung berfluktuasi.
Sasana (2009) melakukan penelitian peran desentralisasi fiskal terhadap