• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH DALAM KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA

N/A
N/A
Azuan Helmi

Academic year: 2022

Membagikan "DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH DALAM KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Kebijakan Fiskal di Indonesia

Makalah Mata Kuliah

Hukum Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Dosen Pengajar :

Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh :

AZUAN HELMI, S.H. (20/465583/PHK/10933)

MAGISTER HUKUM BISNIS DAN KENEGARAAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA 2020

(2)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Konsep negara kesatuan tidak ada kedaulatan cabang, sehingga tidak konflik kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah, daerah selalu tunduk dan merupakan subordinat dari pemerintah pusat. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Hans Antlov yang dikutip oleh Suharizal bahwa prinsip negara kesatuan berlandaskan kepada kedaulatan negara secara keseluruhan, lebih lanjut mengemukakan :

“the unitary principle ground sovereignity in the nation as a whole. A Goverment represing a unitry nation has right to delegate powers downward to region and local institutions, through legislation, but the region have no right to any og these powers. A Unitery staste can higly cantralized (like france) or it can be decentralized, with a substatial degree of autonomy of for provinces or communes (like Britain and Nethreland) At any rate, it is a unitry satate. The power held by local and region organs have been received from above, and can be withdrawn throught new legislation without any need for consent from the communes or provinces concerned”.

Pendapat Hans Antlov tersebut mengandung pengertian bahwa dalam negara kesatuan baik yang sentralistik maupun desentralistik yang diberikan hak otonom ke daerah atau organ atau institusi merupakan pemberian pemerintah pusat, pemberian hak otonom itu dapat ditarik baik kewenangan maupun peraturan perundang-undangan tingkat daerah tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari daerah.1 Sedangkan istilah otonomi berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu autos (sendiri), dan nomos (peraturan) atau “undang-undang”. Oleh karena itu, otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Dalam terminologi ilmu pemerintahan dan hukum administrasi negara, kata otonomi ini sering dihubungkan dengan kata otonomi daerah. Menurut Fernandez yang dikutip oleh Dharma Setyawan Salam, bahwa otonomi daerah adalah pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna

1 Suharizal, Demokrasi Pemilukada Dalam Sisitem Ketatanegaraan RI, (Bandung: UNPAD Press, 2012), Hal. 54-55.

(3)

penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.2

Otonomi daerah merupakan suatu isu menarik untuk diamati perkembangannya khususnya di Indonesia, karena sejak para pendiri negara menyusun format negara, isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasikan dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Jika diamati perkembangan Undang-undang Pemerintahan Daerah maka dapat dilihat bahwa setiap Undang-undang mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri termasuk pengaturan tentang seberapa besar pembagian bobot kekuasaan antara pusat dan daerah. Sebelum era reformasi, pemerintah pusat mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan dominan terhadap pemerintah daerah. Perubahan demi perubahan yang terjadi disebabkan oleh kepentingan penguasa pada masa berlakunya UU tersebut. Alasan lain adalah perjalanan panjang pemerintahan sebelum proklamasi dan setelah proklamasi telah menjadi masukan yang sangat berarti untuk melahirkan suatu pemerintahan daerah yang tidak labil karena kepentingan politis, atau karena konflik antara eksekutif dengan legislatif, atau karena dominannya Pemerintah Pusat dari Pemerintah Daerah.3

Tahun 1997 menjadi titik balik dari sistem sentralisasi yang dijalankan pada masa orde baru berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Pada tahun ini juga lahir era reformasi di Indonesia dengan tuntutan demokratisasi yang membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi titik terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan diikuti oleh Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah merupakan koreksi total atas Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945.

Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi yang digulirkan pada tahun 1999, dengan ditetapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik sehingga berkesempatan untuk mempelajari, memahami, merespons berbagai kecendrungan global dan mengambil manfaat

2 Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Persepektif Lingkungan, Nilai dan Sumber daya, (Jakarta: Djembatan), Hal. 88-89.

3 J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rhineka Cipta, 2002, Jakarta, Hal 1.

(4)

darinya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Selain itu dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.4

Setelah adanya otonomi daerah dan desentralisasi bukan berarti pemerintahan kita menjadi bebas dari masalah. Masalah mengenai hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah senantiasa merupakan topik diskusi yang menarik untuk dibahas. Hal ini setidaknya menjadi tanda bahwa hubungan tersebut masih dalam taraf mencari bentuk kearah pola hubungan yang serasi dan harmonis atas dasar keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu aspek penting dari hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terefleksi dalam intergovernmental fiscal relations. Pelimpahan tugas kepada pemerintah daerah dalam otonomi harus disertai dengan pelimpahan keuangan (money follow functions). Pendelegasian pengeluaran (expenditure assignment) sebagai konsekuensi diberikannya kewenangan yang luas serta tanggungjawab pelayanan publik yang tentunya harus diikuti dengan adanya pendelegasian pendapatan (revenue assignment). Tanpa pelimpahan ini, otonomi menjadi tidak bermakna.5

Seperti yang telah disebutkan pada uraian sebelumnya bahwa pendelegasian pengeluaran menjadi salah satu konsekuensi dari desentralisasi menjadikan kemampuan self- supporting dalam bidang keuangan menjadi kriteria yang penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan menjalankan urusan rumah tangganya. Dengan kata lain, faktor keuangan menjadi salah satu tolak ukur dalam sebuah penilaian apakah suatu daerah melaksanakan otonominya yang berarti daerah membutuhkan dana untuk menjalankan pemerintahannya.

Keterkaitan yang erat antara kegiatan pemerintahan dengan sumber pembiayaan pada hakikatnya memberikan petunjuk bahwa pengaturan hubungan keuangan Pusat dan Daerah tidak terlepas dari masalah pembagian tugas antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Masalah hubungan keuangan antara Pusat dengan Daerah dapat dipecahkan dengan sebaik-baiknya hanya apabila masalah dalam pembagian tugas dan kewenangan antara Pusat dan Daerah juga

4 Deddy Ismatullah, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Pustaka Setia, 2010, Bandung, Hal. 48.

5 Ni'matul Huda, Pengawasan Pusat terhadap Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Daerah, FH.UII Press, 2007, Yogyakarta Hal 29.

(5)

dipecahkan dengan jelas. Pemerintah daerah sudah tentu harus memiliki kewenangan membelanjakan sumber-sumber daya keuangannya agar dapat menjalankan fungsi-fungsi yang menjadi tanggung jawabnya.

Keadaan keuangan daerah yang sangat menentukan arah pemerintahan suatu daerah.

Sehubungan dengan pentingnya kedudukan dari keuangan daerah ini maka pemerintah daerah tidak akan bisa menjalankan fungsinya secara efektif dan efesien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan. Keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.6 Tanpa adanya biaya yang cukup, maka bukan saja tidak mungkin bagi daerah untuk dapat menyelenggarakan tugas kewajiban serta kewenangan yang ada padanya dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tetapi juga ciri pokok dan mendasar dari suatu daerah otonom akan hilang.

Dalam hal ini yang menjadi salah satu persoalan pokok juga adalah pembagian baik sumber-sumber pendapatan maupun kewenangan pengurusan dan pengelolaannya di antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan ini menyangkut tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu antara tingkat pemerintah dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan itu. Tujuan utama dari hubungan ini adalah mencapai perimbangan antara berbagai pembagian yakni bagaimana agar potensi sumber daya masing-masing daerah yang sekalipun berbeda-beda, dapat diseimbangkan terutama alokasinya. Lebih jauh lagi, hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah juga menyangkut pembagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah. Hubungan ini harus serasi antara peranan yang dimainkan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah.

Penyelenggaraan otonomi daerah oleh daerah kabupaten/kota, tidak berarti semua daerah dapat secara cepat mendorong pembangunan daerah dan mengurangi kesenjangan antar daerah. Bagi daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, sumber daya manusia, infrastruktur yang baik, yang dapat memanfaatkan desentralisasi urusan pemerintahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Sementaran untuk daerah-daerah yang miskin sumber daya alam,

6 Josef Riwu Kaho, Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Rajawali Pers, 2010, Jakarta, Hal 138.

(6)

kualitas sumber daya manusia rendah, dan infrastruktur tidak baik, tidak dapat memanfaatkan peluang otonomi sebagai sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat.

B. METODOLOGI PENELITIAN

Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan tipe kajian hukumnya adalah komprehensif analitis terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian dan pembahasan dijabarkan secara lengkap, rinci, jelas dan sistematis sebagai karya ilmiah.

Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya dan norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta hukum tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catatan hukum, dan rancangan undang-undang).7

7 Abdulkadir Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 52.

(7)

BAB II PEMBAHASAN A. PEMBAHASAN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk menyejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik. Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sejak beberapa tahun yang lalu telah dilakukan Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara.8

Salah satu tujuan utama dari desentralisasi fiskal adalah untuk lebih memandirikan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota atau mengurangi kesenjangan fiskal baik kesenjangan fiskal vertikal dan horizontal. Desentralisasi fiskal juga diharapkan bisa meningkatkan pendapatan sumber-sumber penerimaan di daerah. DAU sebagai salah satu bagian dari dana transfer ke daerah dan bentuk dari desentralisasi fiskal bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal vertikal maupun horizontal yang terjadi karena adanya perbedaan kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal antara daerah satu dengan daerah lainnya. Kesenjangan fiskal ini sangat dipengaruhi oleh alokasi pendapatan sumber daya alam. Prosentase bagi hasil sumber alam memberikan penghasilan yang cukup signifikan bagi penerimaan pemerintah daerah yang kaya akan sumber daya alam.9

8 Keuangan Negara (Modul Latihan Kepemimpinan III), (Lembaga Administrasi Negara, 2001), Hal. 11.

9 Solihin & Lestari, Analisis Ketimpangan Fiskal di Indonesia Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah, Majalah Ekonomi No. 1 Edisi April, Surabaya, 2010, Hal 31.

(8)

Cheema dan Rondinelli menjelaskan bahwa desentralisasi dalam perspektif kebijakan dan administrasi merupakan bentuk transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit-unit administratif lokal, organisasi semi-otonom, dan organisasi parastatal, pemerintah lokal (daerah) atau lembaga non-pemerintah.10 Desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan salah satu turunan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD).

Dalam undang-undang tersebut telah diatur bahwa kebijakan desentralisasi fiskal meliputi alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, Dana Bagi Hasil (DBH) yang merupakan ekstraksi Sumber Daya Alam (SDA) yang berasal dari daerah yang bersangkutan dan diberikan otoritas pajak yang terbatas pada pemerintah daerah.11

Inisiasi desentralisasi fiskal didasarkan pada tujuan dari kebijakan fiskal yaitu efisiensi alokasi sumber daya, redistribusi pendapatan, dan pengelolaan ekonomi makro.11 Berdasarkan ketiga tujuan tersebut maka hal tersebut pernah digariskan juga oleh Musgrave sebagai fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.12 Terakhir, yang menjadi argumentasi diimplementasikannya kebijakan desentralisasi fiskal antara lain:

1. Untuk mengatasi kesenjangan fiskal (fiscal gap).

2. Argumentasi politik.

3. Untuk meningkatkan tingkat efektivitas belanja pemerintah.

Untuk meneliti desentralisasi fiskal sebagai bagian dari proses kebijakan publik maka bisa dilihat dari para elit yang membuat kebijakan tersebut. Menurut Ahli Kebijakan Publik, Grindle dan Thomas yang menjelaskan bahwa ada dua kondisi yang dapat dianalisis yaitu adanya politik makro dan politik mikro.13Politik makro artinya para elit kebijkan menitikberatkan pada masalah yang memengaruhi legitimasi rezim, sasaran-sasaran politik, dan ekonomi dalam jangka panjang, nasional. Sedangkan politik mikro biasanya dijumpai bukan krisis, terkait dengan tuntutan parokial dari kelompok tertentu, pemanfaatan sumber daya

10 Cheema, G.S dan Rondinelli, G.A. (Eds), 1983, Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publication, Beverly Hills.

11 Lihat, Grand Desain, Desentralisasi Fiskal Indonesia dalam www.depkeu.go.id

12 Richard A. Musgrave, 1959, Theory of Public Finance, McGraw-Hill Book Company, New York, USA.

13 Merilee S. Grindle & John W. Thomas, 1991, Public Choices and Policy Change: The Political- Economy of Reform in Developing Countries, John Hopkins University Press, Baltimor, USA, Hal 105.

(9)

kebijakan utnuk memelihara relasi dengan klien politik, pembagian sumber daya kebijakan untuk memperoleh kontrol politik, kepentingan-kepentingan elit dalam jangka pendek. Oleh karena itu, kebijakan desentralisasi fiskal dalam implementasinya dipengaruhi tingkat demokrasi lokal.14 Demokrasi lokal akan berfungsi secara baik dalam lingkungan masyarakat yang secara tingkat ekonomi dan sosial bersifat homogen. Namun devolusi kewenangan dalam sektor perpajakan akan menimbulkan dampak eksternalitas vertikal.15

Selain itu, banyak negara berkembang mengimplementasikan kebijakan desentralisasi fiskal dikarenakan untuk meloloskan diri dari jebakan-jebakan (traps) ketidakefisienan pemerintahan, ketidakstabilan makro ekonomi dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi yang telah menyebabkan negara-negara itu jatuh terperosok akhir-akhir ini.16Sedangkan, menurut Ebel, kebijakan desentralisasi fiskal diimplementasikan bertujuan untuk:17

1. Pembagian peran dan tanggung jawab antarjenjang pemerintahan.

2. Penguatan sistem pendapatan daerah atau perumusan sistem pelayanan publik di daerah.

3. Transfer antarjenjang pemerintahan.

4. Swastanisasi perusahaan milik pemerintah.

5. Penyediaan jaring pengaman sosial.

Terakhir, menurut Machfud Sidik, tujuan dari kebijakan desentralisasi fiskal harus dapat menjamin: (1). Kesinambungan kebijakan fiskal (fiscal sustainability) dalam konteks kebijakan ekonomi makro; (2). Mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance) dan ketimpangan antara pemerintahan pusat dan daerah (vertical imbalance) untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasiona maupun kegiatan pemerintah daerah;

(3). Memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional dan nasional; (4). Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah; (4). Memperbaiki keseimbangan fiskal antar daerah dan memastikan adanya pelayanan yang berkualitas di setiap daerah; (5).

Menciptakan kesejahteraan secara sosial bagi masyarakat.

14 Omar Azfar et all., 1999, Decentralization and Public Services: The Impact of institutional Arrangements, IRIS Paper, University Maryland, USA. Hal 28.

15 Eksternalitas Vertikal artinya kecenderungan bahwa berbagai tingkat pemerintahan yang berbeda akan saling bersaing untuk menggarap basis pajak yang sama. Lihat, Wahyudi Kumorotomo, Op cit, Hal 4.

16 Richard M. Bird dan Francois Vaillancourt, 1998, Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang: Tinjauan Umum, dalam Richard Bird dan Francois Vailancourt, (eds), Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal 1.

17 Robert Ebel, 2000, The Economic of Fiscal Decentralization, World Bank (Makalah).

(10)

Dalam pemikiran David Held dijelaskan bahwa hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam dimensi sistem kekuasaan negera ternyata masih bersifat ambigu.18 Negara dalam pemikiran Held diposisikan sebagai arena pergulatan sosial yang dimanifestasikan dalam bentuk organisasi, administrasi dan kebijakan-kebijakan yang didihasilkan. Sedangkan, menurut Burns, dkk bahwa ciri khas negara sering menampakkan perjuangan daerah untuk mendapatkan otonomi yang lebih sesuai merupakan kenyataan yang tidak terhindarkan.19 Walaupun proyek sentralisasi telah diimplementasikan sejak lama, tetapi pada dasarnya teritori sub-nasional (provinsi) tetap memelihatkan kekenyalan dalam mempertahankan ekspresi organisasi sosial- ekonomi dan budaya masing-masing, melawan upaya homogenisasi.20

Pola pembagian kekuasaan dan tangung jawab pun ketika konsep desentralisasi diimplementasikan maka tidak bisa bersifat statis. Pergeseran kekuasaan dan tanggung jawab bisa berubah bentuk karena ada perubahan orientasi kearah sentralisasi atau desentralisasi. Hal ini diperkuat dengan pelbagai hasil studi bahwa konflik bukan satu-satunya sarana yang bisa digunakan dlaam proses pergumulan kekuasaan tesebut tetapi bisa juga menggunakan moda bargaining dan negosiasi.21

Oleh karena itu, menurut Beier dan Ferrazzi menjelaskan bahwa otonomi daerah dan umumnya diikuti dengan kebijakan fiskal sebagai instrumen yang mendukung pemerintah daerah dalam pelayanan publik melalui transfer dana ke daerah.22 Selanjutnya, desentralisasi fiskal harus dimanfaatkan serius oleh pemerintah daerah untuk mengimplementasikan pembangunan, mendukung pertumbuhan ekonomi baik di tingkat lokal (daerah) maupun nasional. Hal yang harus diketahui bahwa desentralisasi fiskal dalam era otonomi daerah di Indonesia yaitu desentralisasi fiskal dalam sisi pengeluaran (expenditure) dibiayai terutama dana transfer daerah.

Dengan demikian, desentralisasi fiskal sebagai esensi dari otonomi pengelolaaan fiskal harus diorientasikan pada kebebasan untuk membelanjakan dana sesuai dengan prioritas dan kebutuan masing-masing pemerintah daerah.

18 David Held, 1989, Political Theory and The Modern State: Essays on State, Power, and Democracy, Stanford University Press, California, USA, Hal 76.

19 D. Burns, R. Humbleton dan P. Hoggell, 1994, The Politics of Decentralization: Revitalising Local Democracy, McMillan, Basingstoke, Hal 56.

20 Ibid, Hal 60.

21 S.B. Bacharach dan E.J. Lawler, 1980, Power dan Politics in Organization: The Social Psycology of Conflict, Coalitions and Bargaining, Jossey-Bass, San Francisco, CA.

22 Beier dan Ferrazzi, 1998, Fiscal Decentralization in Indonesia: A Comment on Smoked Lewis, World Development Report, 26 (12), Hal 2201-2211.

(11)

Kemudian, menurut Widodo menjelaskan bahwa ciri penting dalam organ yang didesentralisasikan adalah dimilikinya sumber-sumber keuangan sendiri untuk membiayai pelaksanaan tugasnya.23 Sedangkan, menurut Bahl bahwa untuk melaksanakan tugas desentralisasi fiskal, prinsip money follows functions merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan diimplementasikan.24 Otonomi daerah tanpa desentralisasi fiskal akan kurang mendukung tercapainya efektifitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.25 Akhirnya, menurut Mardiasmo untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan tersebut maka bisa diwujudkan melalui konsep perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.26

23 Joko Widodo, 2001, Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendikia, Surabaya.

24 Roy W. Bahl, 1999, Implementation Rules for Fiscal Decentralization, International Program Working Paper 99-1, Andrew Young School of Polcy Studies, Georgia State University, Atlanta, USA.

25 Juli Panglima Saragih, 2003, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.,

26 Mardiasmo, 2000, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.

(12)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Untuk meneliti desentralisasi fiskal sebagai bagian dari proses kebijakan publik maka bisa dilihat dari para elit yang membuat kebijakan tersebut. Menurut Ahli Kebijakan Publik, Grindle dan Thomas yang menjelaskan bahwa ada dua kondisi yang dapat dianalisis yaitu adanya politik makro dan politik mikro. Politik makro artinya para elit kebijkan menitikberatkan pada masalah yang memengaruhi legitimasi rezim, sasaran-sasaran politik, dan ekonomi dalam jangka panjang, nasional. Sedangkan politik mikro biasanya dijumpai bukan krisis, terkait dengan tuntutan parokial dari kelompok tertentu, pemanfaatan sumber daya kebijakan utnuk memelihara relasi dengan klien politik, pembagian sumber daya kebijakan untuk memperoleh kontrol politik, kepentingan-kepentingan elit dalam jangka pendek. Oleh karena itu, kebijakan desentralisasi fiskal dalam implementasinya dipengaruhi tingkat demokrasi lokal.Demokrasi lokal akan berfungsi secara baik dalam lingkungan masyarakat yang secara tingkat ekonomi dan sosial bersifat homogen. Namun devolusi kewenangan dalam sektor perpajakan akan menimbulkan dampak eksternalitas vertikal. Oleh karena itu, menjelaskan bahwa otonomi daerah dan umumnya diikuti dengan kebijakan fiskal sebagai instrumen yang mendukung pemerintah daerah dalam pelayanan publik melalui transfer dana ke daerah. Selanjutnya, desentralisasi fiskal harus dimanfaatkan serius oleh pemerintah daerah untuk mengimplementasikan pembangunan, mendukung pertumbuhan ekonomi baik di tingkat lokal (daerah) maupun nasional. Hal yang harus diketahui bahwa desentralisasi fiskal dalam era otonomi daerah di Indonesia yaitu desentralisasi fiskal dalam sisi pengeluaran (expenditure) dibiayai terutama dana transfer daerah.

Dengan demikian, desentralisasi fiskal sebagai esensi dari otonomi pengelolaaan fiskal harus diorientasikan pada kebebasan untuk membelanjakan dana sesuai dengan prioritas dan kebutuan masing-masing pemerintah daerah.

B. Saran

Upaya untuk mencukupi kebutuhan akan daerah sangatlah sulit dalam situasi seperti ini, oleh sebab itu Daerah dituntut mampu mengembangkan Pendapatan Asli Daerah dengan peningkatan sumber daya manusianya agar dapat mencukupi kebutuhan daerah dengan mandiri.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Beier dan Ferrazzi, Fiscal Decentralization in Indonesia: A Comment on Smoked Lewis, World Development Report, 26 (12) 1998.

Cheema, G.S dan Rondinelli, G.A. (Eds), Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publication, Beverly Hills 1983.

Deddy Ismatullah, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Pustaka Setia, Bandung 2010.

David Held, Political Theory and The Modern State: Essays on State, Power, and Democracy, Stanford University Press, California, USA 1989.

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Persepektif Lingkungan, Nilai dan Sumber daya, (Jakarta: Djembatan).

D. Burns, R. Humbleton dan P. Hoggell, The Politics of Decentralization: Revitalising Local Democracy, McMillan, Basingstoke 1994.

Josef Riwu Kaho, Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Rajawali Pers, 2010.

Joko Widodo, Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendikia, Surabaya 2001.

Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta 2003.

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rhineka Cipta, Jakarta 2002.

Merilee S. Grindle & John W. Thomas, Public Choices and Policy Change: The Political- Economy of Reform in Developing Countries, John Hopkins University Press, Baltimor, USA 1991.

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta 2000.

Ni'matul Huda, Pengawasan Pusat terhadap Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Daerah, FH.UII Press, Yogyakarta 2007.

(14)

Omar Azfar et all, Decentralization and Public Services: The Impact of institutional Arrangements, IRIS Paper, University Maryland, USA 1999.

Richard A. Musgrave, Theory of Public Finance, McGraw-Hill Book Company, New York, USA 1959.

Roy W. Bahl, Implementation Rules for Fiscal Decentralization, International Program Working Paper 99-1, Andrew Young School of Polcy Studies, Georgia State University, Atlanta, USA 1999.

Robert Ebel, The Economic of Fiscal Decentralization, World Bank 2000.

Richard M. Bird dan Francois Vaillancourt, Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang:

Tinjauan Umum, dalam Richard Bird dan Francois Vailancourt, (eds), Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang, Gramedia Pustaka Utama 1998.

Solihin & Lestari, Analisis Ketimpangan Fiskal di Indonesia Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah, Majalah Ekonomi No. 1 Edisi April, Surabaya, 2010.

Suharizal, Demokrasi Pemilukada Dalam Sisitem Ketatanegaraan RI, Bandung: UNPAD Press, 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dilihat dari adanya jabatan pengulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan

The country of origin is declared free from Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) prior to shipment. For the duck meat come from farm declared free from duck viral hepatitis

Berdasarkan hasil deskripsi data penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka pembahasan data penelitian akan diuraikan dalam dua aspek, yaitu (1) pembahasan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap ibu rumah tangga di Surabaya terhadap film kartun Spongebob Squarepants setelah membaca berita online

a. Terbiasanya masyarakat tersebut mempunyai hubungan/kontak kebudayaan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut, yang mempunyai kebudayaan

Pada akhirnya penulis sampaikan permintan maaf yang setulus-tulusnya dan kepada Allah SWT penulis memohon ampun, bila terdapat kata-kata yang kurang berkenan baik

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh variasi kadar perekat phenol formaldehida, serta mengetahui kadar perekat terbaik terhadap kualitas papan partikel dari

Menimbang, bahwa tanpa mengulang menguraikan unsur-unsur tersebut diatas, Pengadilan Tinggi sependapat dengan pendapat Hakim Anggota I yang pada pokoknya menyatakan bahwa