TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAN
PEREKONOMIAN DAERAH DI PROVINSI
BENGKULU : SUATU PENDEKATAN
EKONOMETRIKA
UMI PUDJI ASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam disertasi saya yang berjudul :
DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAN PEREKONOMIAN DAERAH DI PROVINSI BENGKULU : SUATU PENDEKATAN EKONOMETRIKA
merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan ketua
dan anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya.
Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis
di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Maret 2007
UMI PUDJI ASTUTI. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan dan Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu : Suatu Pendekatan Ekonometrika (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, KUNTJORO dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Pembangunan yang sentralistis selama 25 tahun yang lalu ternyata belum menghasilkan pembangunan yang merata antar daerah sehingga mendorong dilaksanakannya Otonomi Daerah yang didasarkan pada Undang-Undang nomor 22 dan 25 tahun 1999. Dan disempurnakan dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran daerah, kemampuan fiskal dan distribusi pendapatan antar Kabupaten dan Kota, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal dan perekonomian daerah, dan (3) mengevaluasi serta meramalkan dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah.
Penelitian ini menggunakan pool data (data time series tahun 1993 – 2003 dan cross section 3 Kabupaten dan 1 Kota) dengan analisis deskriptif, Indeks Williamson, ekonometrika, simulasi historis dan peramalan dengan berbagai skenario kebijakan. Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu dibangun dalam bentuk persamaan simultan terdiri dari 26 persamaan struktural, 17 persamaan identitas, diestimasi dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) setelah kebijakan desentralisasi fiskal sebagian besar penerimaan daerah bersumber dari DAU sedangkan dari PAD masih sangat kecil, kemampuan fiskal daerah rendah dan ketergantungan pada pusat masih tinggi, distribusi pendapatan antar Kabupaten dan Kota semakin tidak merata; (2) aktifitas ekonomi akan mendorong peningkatan investasi, hal sebaliknya akan terjadi bila suku bunga, pajak dan retribusi daerah meningkat; (3) setelah desentralisasi fiskal kebijakan realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan sektor Pertanian berdampak paling besar terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah di semua Kabupaten, sedangkan di Kota Bengkulu adalah kebijakan peningkatan DAU dan peningkatan pengeluaran Infrastruktur; dan (4) realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan sektor Pertanian dan Infrastruktur sampai tahun 2010 akan berdampak besar dalam meningkatkan kinerja fiskal, dan perekonomian daerah.
Untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah dapat dilakukan dengan peningkatan pajak, retribusi dan peningkatan pengeluaran pembangunan. Sedangkan untuk meningkatkan kinerja perekonomian daerah di semua Kabupaten dan Kota sebaiknya dilakukan efisiensi penggunaan pengeluaran rutin untuk meningkatkan pengeluaran pembangunan khususnya untuk Infrastruktur dan sektor Pertanian.
UMI PUDJI ASTUTI. Impact of Fiscal Decentralization Policy on Regional Economic and Fiscal Performances in Bengkulu Province: An Econometric
Approach (BONAR M. SINAGA as Chairman, KUNTJORO and HERMANTO
SIDEBAR as Members of Advisory Committee)
The centralized development process during the last period of 25 years, in fact did not lead to equally distributed development results among regions. It has became great consideration to implement regional autonomy in Indonesia based on Law No. 22 and 25 of 1999 after that complemented by Law No.32 of 2004 concerning Regional Government, and Law No.33 of 2004 concerning balanced budget between the central and regional government.
The objectives of this research are : (1) to assess sources of regional incomes, expenditure allocation, fiscal capacity, and income distribution among Districts and Cities in the region, (2) to analyze factors influencing regional economic and fiscal performance, and (3) to evaluate and to forecast impacts of fiscal decentralization policy on regional economic and fiscal performances.
This study is using pool data (time series data of 1993-2003 and cross section data of three Districts and one City). The descriptive analysis, Williamson Index, econometric model, and historical simulation using various policy scenarios and forecast were used to analyze the data. The Bengkulu Province Regional Economic model was developed into a simultaneous equations consisting of 26 structural equations, 17 identity equations, and estimated by using Two Stage Least Squares (2SLS) method.
The result shows that : (1) after implementation of the fiscal decentralization policy, the main sources of regional revenue is derived from the General Allocation Fund (DAU) whereas the Regional Own Income (PAD) were very less, the fiscal capacity were low, dependency on the central government were high, and improper income distribution among Districts and Cities; (2) the economic activities (PDRBS) will increase investment, however, if the interest rate, tax, and retribution increase on the contrary, investment will decrease; (3) after fiscal decentralization, the regional economic and fiscal performances in all Districts is most affected by reallocation of routine expenditure to agricultural sector expenditure, whereas in City an expansion of the DAU and infrastructure expenditure; and (4) the reallocation of routine expenditure into development expenditure on agriculture and infrastructure until 2010 will have much greater impact on regional economic and fiscal performances.
To increase the fiscal capacity, regional tax and retribution, and development expenditure expansion should be implementing. Whereas to increase the regional economic performances are efficiency of routine expenditure in order to increase the development expenditure especially aimed for infrastructure and agriculture sectors.
KINERJA KEUANGAN DAN PEREKONOMIAN DAERAH
DI PROVINSI BENGKULU : SUATU PENDEKATAN EKONOMETRIKA
UMI PUDJI ASTUTI
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kinerja Keuangan dan Perekonomian Daerah
di Provinsi Bengkulu : Suatu Pendekatan Ekonometrika
Nama Mahasiswa : Umi Pudji Astuti
Nomor Pokok : A.546010111
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodipuro, MS
Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulutNya datang pengetahuan dan
kepandaian (Ams.1:7a ; Ams.2:6)
Terpujilah Tuhan karena Ia telah mendengar permohohanku, Tuhan adalah
kekuatannku dan perisaiku, aku tertolong sehingga
bersuka cita hatiku dan dengan nyanyian aku
hendak bersyukur (Maz.28:7-8)
Pujilah Tuhan yang dapat dan mau melakukan jauh melebihi doamu dan yang kaurindukan. Ingat teguh : Ia berkuasa penuh!
KasihNya trus kau temukan
Pujilah Tuhan! Hai jiwaku, mari bernyanyi! Semua makhluk bernafas, iringilah kami! Puji terus nama yang Maha Kudus!
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga
yang telah memberikan karunia besar dan perkenanNya, sehingga disertasi ini
dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa karunia besar ini tersalur melalui
bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi
kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang
dengan kasih dan kesabaran beliau, telah banyak memberikan arahan
akademik dalam proses belajar, dan secara khusus bimbingan dalam
penyusunan disertasi.
2. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang dengan
kasih dan kesabaran beliau selama mengajar dan membimbing penyusunan
disertasi.
3. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan akademik selama perkuliahan dan tambahan
wawasan yang lebih luas dalam penyusunan disertasi.
4. Dr. Ir. Harianto, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup yang
telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini.
5. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc dan Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, MS
selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan
Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, dan seluruh dosen, serta teman-teman pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
7. Kepala Balai Pengkajian Tekhnologi Pertanian Bengkulu yang memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Sekolah
Pascasarjana-IPB.
8. Kepala Badan LITBANG dan pimpinan Proyek PAATP yang telah
memberikan kesempatan dan biaya pendidikan kepada penulis.
9. Rekan-rekan sejawat di BPTP Bengkulu, teman-teman PS Ekonomi
Pertanian-IPB khususnya bu Reni, bu Atin, bu Grace, bu Poer, bu Wiwik, bu Atih, pak
Adolf, pak Yundi, serta Pdt.Dwi Djanarto, STh, yang dengan penuh kasih
memberikan dukungan, semangat, kerja sama dan bantuan dalam penyusunan
disertasi ini.
10.Secara khusus kepada kedua orang tuaku besarta keluarga besar R. Soewijadi
dan Soerjo Hadi yang senantiasa memberikan dukungan doa dan dukungan
materi selama penulis mengikuti pendidikan.
11.Dengan penuh cinta kasih kepada suamiku Sumaryono Hadi, ketiga putri dan
putraku Dias Sihivana Inggita Agriputri, Dianti Sihkathara Inggita Agriputri,
dan Dimas Sihnugroho Agri Widianto yang telah dengan penuh kesabaran dan
cintanya merelakan kehilangan waktu bersama keluarga dan senantiasa berdoa
dan memberikan dukungan selama penulis melaksanakan proses belajar di
membantu dalam penyelesaian disertasi ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis senantiasa
mengharapkan saran dan kritik yang berguna dalam menambah wawasan tulisan
ini dan karya ilmiah secara umum. Walaupun demikian, penulis berharap agar
penelitian ini merupakan awal dari pengetahuan di bidang keuangan daerah
khususnya di Provinsi Bengkulu dan akan selalu dikembangkan oleh peneliti lain
maupun penulis sendiri. Akhirnya, kiranya penelitian ini dapat berguna bagi
semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Maret 2007
Penulis dilahirkan di Yogjakarta, pada tanggal 31 Mei 1961 dari ayah
R.Soewijadi Poespo Hadiwinoto (alm) dan ibu Sri Sudwesti. Penulis merupakan
anak keenam dari delapan bersaudara, menyelesaikan pendidikan SD, SMP,
SMA, S1, dan S2 di kota kelahiran Yogjakarta. Pendidikan Sarjana diselesaikan
tahun 1986 di Jurusan Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Pembangunan Nasional (UPN) Yogjakarta, pada tahun 1998 penulis mendapat
kesempatan tugas belajar di Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian
Universitas Gajah Mada dan selesai tahun 2000. Pada tahun 2001 kembali
mendapat kesempatan tugas belajar S3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
Penulis bekerja sebagai Penyuluh Pertanian di Balai Informasi Pertanian
Bengkulu sejak tahun 1987 sampai tahun 1994, dan mulai tahun 1994 sampai
sekarang pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu, Badan
Halaman
I.
II.
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN ...
1.1. Latar Belakang ...
1.2. Perumusan Masalah ...
1.3. Tujuan Penelitian ...
1.4. Kegunaan Penelitian ...
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...
1.6. Keterbatasan Penelitian ...
TINJAUAN PUSTAKA ...
2.1.Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ...
2.2.Desentralisasi Fiskal ...
2.2.1. Pengertian Desentralisasi Fiskal ...
2.2.2. Manfaat Desentralisasi Fiskal ...
2.2.3. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ...
2.2.4. Permasalahan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal ...
2.3.Pembangunan ...
2.4.Tinjauan Studi Terdahulu ...
2.4.1. Aspek Tujuan dan Metodologi Penelitian ...
2.4.2. Aspek Hasil-hasil Penelitian ...
2.4.3. Penelitian Desentralisasi Fiskal di Negara Lain ...
2.4.4. Penelitian yang Berkaitan dengan Aspek
Metodologi dan Tujuan Penelitian ...
xv
xx
xxi
1
1
5
7
8
8
9
11
11
14
14
17
19
25
26
29
29
35
42
iii
IV.
3.1.Kerangka Teori ...
1.1.1. Produk Domestik Regional Bruto ...
1.1.2. Fungsi Penawaran Agregat ...
1.1.3. Investasi ...
3.2.Kinerja Fiskal Daerah ...
3.2.1. Penerimaan Fiskal Daerah ...
3.2.2. Pengeluaran Fiskal Daerah ...
3.3.Kinerja Perekonomian Daerah ...
3.3.1. Pertumbuhan Ekonomi ...
3.3.2. Penyerapan Tenaga Kerja ...
3.3.3. Pendapatan per Kapita ...
3.3.4. Inflasi ...
3.4.Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Perekonomian Daerah..
3.5.Kerangka Konseptual ...
METODE PENELITIAN ...
4.1.Lokasi dan Waktu ...
4.2.Jenis dan Sumber Data ...
4.3.Metode Analisis Data ...
4.3.1. Indeks Williamson ...
4.3.2. Tahapan Membangun Model ...
4.3.3. Kerangka Model Perekonomian Daerah ...
4.4.Spesifikasi Model Ekonometrika ...
4.4.1. Blok Fiskal Daerah ...
4.4.2. Blok Produksi dan Tenaga Kerja Daerah ...
4.4.3. Blok Investasi ...
4.4.4. Blok Kinerja Perekonomian Daerah ...
4.5.Identifikasi dan Metoda Estimasi Model ...
4.6.Validasi Model ...
4.7.Simulasi Kebijakan ...
47
47
49
51
52
52
56
57
58
62
64
65
66
69
73
73
73
75
75
76
79
84
84
88
90
91
91
94
iv
VI.
FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH ...
5.1.Potensi Provinsi Bengkulu ...
5.2.Kinerja Fiskal Daerah ...
5.2.1. Kinerja Penerimaan Daerah ...
5.2.2. Kinerja Pengeluaran Daerah ...
5.2.3. Tingkat Kemampuan Fiskal Daerah ...
5.3.Kinerja Perekonomian Daerah ...
5.3.1. Produksi Sektoral ...
5.3.2. Penyerapan Tenaga Kerja ...
5.3.3. Distribusi Pendapatan ...
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN
DAERAH ...
6.1.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Fiskal Daerah …
6.1.1. Penerimaan Pajak Daerah ...
6.1.2. Retribusi Daerah ...
6.1.3. Dana Alokasi Umum ...
6.1.4. Bagi Hasil Pajak ...
6.1.5. Bagi Hasil Bukan Pajak ...
6.1.6. Pengeluaran Rutin ...
6.1.7. Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian ...
6.1.8. Pengeluaran Pembangunan Sektor Industri ...
6.1.9. Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertambangan ….
6.1.10.Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur ...
6.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perekonomian Daerah …...
6.2.1. Produksi Subsektor Tanaman pangan ...
6.2.2. Produksi Subsektor Perkebunan ...
6.2.3. Produksi Subsektor Peternakan ...
6.2.4. Produksi Subsektor Perikanan ...
6.2.5. Produksi Sektor Pertambangan ...
103
103
106
106
109
117
121
121
124
127
129
129
129
131
133
135
136
137
138
140
151
142
143
144
145
146
147
v
VII.
VIII.
6.2.7. Produksi Sektor Pariwisata ...
6.2.8. Produksi Sektor Jasa ...
6.2.9. Tenaga Kerja Sektor Pertanian ...
6.2.10.Tenaga Kerja Sektor Pertambangan ...
6.2.11.Tenaga Kerja Sektor Perindustrian ...
6.2.12.Kredit Investasi ...
6.2.13.Investasi di Sektor Industri ...
EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA FISKAL DAN
PEREKONOMIAN DAERAH TAHUN 1998 – 2003 ...
7.1. Kebijakan Peningkatan Penerimaan DAU ...
7.2. Kebijakan Peningkatan Penerimaan Pajak, Retribusi dan Peningkatan PengeluaranPembangunan ...
7.3. Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan
Infrastruktur ...
7.4. Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian ………..
7.5. Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian ...
7.6. Rekapitulasi Evaluasi Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian
Daerah Tahun 1998 – 2003 ...
RAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA FISKAL DAN
PEREKONOMIAN DAERAH TAHUN 2007 – 2010 ………..
8.1. Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif
Skenario Kebijakan ...
8.1.1. Kabupaten Bengkulu Selatan ...
8.1.2. Kabupaten Rejang Lebong ...
8.1.3. Kabupaten Bengkulu Utara ...
8.1.4. Kota Bengkulu ...
8.2. Ramalan Variabel Endogen dengan Alternatif
Skenario Kebijakan ...
8.2.1. Kebijakan Peningkatan DAU ...
151
152
154
155
155
157
158
160
160
164
167
170
173
175
180
180
180
184
187
190
192
vi
IX.
8.2.2. Kebijakan Peningkatan Penerimaan Pajak, Retribusi dan Peningkatan Pengeluaran
Pembangunan ...
8.2.3. Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur ……….
8.2.4. Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian ...
8.2.5. Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian ...
8.2.6. Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur ...
8.2.7. Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian dan Infrastruktur .………...
8.3. Rekapitulasi Ramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Tahun 2007 – 2010 ………..………...
SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .…………....
9.1. Ringkasan Hasil ...
9.2. Simpulan ...
9.3. Implikasi Kebijakan ...
9.4. Saran Penelitian Lanjutan ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ...
195
198
200
202
205
207
210
214
214
218
220
221
223
Nomor Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Pembagian Blok Persamaan Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu ...………...
Rata-rata Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten
dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998– 2003 ...………....
Rata-rata Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten
dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun1998–2003 ...……...
Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah
Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998 –2003 ...
Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu
Tahun 1998–2003 ...
Rata-rata Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998–2003 ...
Rata-rata Kapasitas dan Kesenjangan Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun1998–2003 ...
Rasio Kapasitas Fiskal dan Kebutuhan Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998–2003 ...
Rata-rata Pengeluaran Daerah, Kapasitas dan Kesenjangan Fiskal Derah terhadap Rata-rata PDRB Kabupaten dan Kota di
Provinsi Bengkulu Tahun 1998–2003 .…...
Rata-rata PDRB Sektoral Kabupaten dan Kota di Provinsi
Bengkulu Tahun 1998 – 2003 ...
Rata-rata PDRB Sektor Pertanian Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998 – 2003 ………..……...
Rata-rata Tenaga Kerja Sektoral Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998 – 2003 ...………...
Nilai Indeks Williamson Provinsi Bengkulu Tahun 1993 – 2003 .... 82
108
110
112
114
116
118
120
121
123
125
126
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dana Alokasi Umum Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...………
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil Pajak Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ………...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil bukan Pajak Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Rutin Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pembangunan Sektor Industri di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertambangan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ……….……
Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Subsektor Tanaman pangan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ///...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Subsektor Perkebunan Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 .….
Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Subsektor Peternakan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Subsektor Perikanan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Sektor Pertambangan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Sektor Perindustrian di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
130
132
134
135
136
137
138
140
141
142
144
146
147
148
149
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Sektor Jasa di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ....………...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor
Pertambangan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor
Perindustrian di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kredit Investasi
di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Industri
di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...
Dampak Peningkatan DAU 10% (S1) terhadap Kinerja
Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Dampak Peningkatan DAU 10% (S1) terhadap Kinerja
Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ..
Dampak Peningkatan Pajak, Retribusi, dan Pengeluaran
Pembangunan (S2) terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu …...
Dampak Peningkatan Pajak, Retribusi, dan Pengeluaran Pembangunan (S2) terhadap Kinerja Perekonomian Daerah
Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ………..
Dampak Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur (S3) terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Dampak Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur (S3) terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ……...
Dampak Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian (S4) terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu …...
152
153
154
155
156
157
159
161
163
164
166
167
169
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
(S4) terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ………...
Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan Sektor Pertanian (S5) terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu …...
Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan Sektor Pertanian (S5) terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Rekapitulasi Evaluasi Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota Tahun 1998-2000 …...
Hasil Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif Kebijakan Kabupaten Bengkulu Selatan Tahun 2007 – 2010 ...…………...
Hasil Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif Kebijakan Kabupaten Rejang Lebong Tahun 2007 – 2010 ...………
Hasil Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif Kebijakan Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2007 – 2010 ...
Hasil Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif Kebijakan Kota Bengkulu Tahun 2007 – 2010 ...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan DAU terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di
Provinsi Bengkulu ...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan DAU terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di
Provinsi Bengkulu ...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pajak,Retribusi, dan Pengeluaran Pembangunan terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pajak, Retribusi, dan Pengeluaran Pembangunan terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu …...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
172
173
174
176
181
185
188
191
193
195
196
197
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian terhadap Kinerja Fiskal
Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Pertanian terhadap Kinerja Perekonomian
Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan Sektor Pertanian terhadap Kinerja Fiskal
Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan Sektor Pertanian terhadap Kinerja
Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu .
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur terhadap Kinerja
Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan sektor Pertanian terhadap Kinerja Fiskal
Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan sektor Pertanian terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...
Rekapitulasi Ramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota Tahun 2007-2010 …...
199
200
201
203
204
206
207
208
209
Nomor Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Alur Pikir dalam Perumusan Masalah ...
Kurva Penawaran Agregat ...
Hubungan Permintaan Tenaga Kerja dan Pengangguran
Pada Pasar Tenaga Kerja ...…………...……..
Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Perekonomian ...
Kerangka Konseptual Dampak Desentralisasi Fiskal
terhadap Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu ...
Tahapan Membangun Model Perekonomian Daerah
Provinsi Bengkulu ...…….………...
Keterkaitan antar Blok dalam Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu ...
6
50
63
68
70
78
Nomor Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Program Komputer Estimasi Parameter Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metode 2SLS ...
Hasil Estimasi Parameter Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metode 2SLS ...………...
Program Komputer Validasi Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu sebelum Desentralisasi Fiskal Tahun 1998-2000 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ...
Hasil Validasi Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu sebelum dan setelah Desentralisasi Fiskal Tahun 1998-2003 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ...
Program Komputer Simulasi Skenario Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Kabupaten Bengkulu Selatan sebelum Desentralisasi Fiskal Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ...
Hasil Simulai Skenario Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Kabupaten Bengkulu Selatan Sebelum Desentralisasi Fiskal Tahun 1998-2000 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ...
Program Komputer Ramalan Variabel Eksogen Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Tahun 2007-2010 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur FORECAST Metode STEPAR ...
Hasil Ramalan Variabel Eksogen Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Tahun 2007-2010 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur FORECAST Metode STEPAR …...
Program Komputer Ramalan Variabel Endogen Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Tahun 2007-2010 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ...
231
235
245
248
256
259
261
265
11.
12.
Provinsi Bengkulu Tahun 2007-2010 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton …...
Rekapitulasi Evaluasi Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu sebelum dan setelah Desentralisasi Fiskal
Tahun 1998 – 2003 ...
Rekapitulasi Ramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 2007 – 2010 ...
282
295
1.1. Latar Belakang
Hampir 25 tahun pelaksanaan pembangunan yang sentralisasi ternyata belum
dapat menghasilkan pemerataan pembangunan baik di tingkat pusat maupun di
tingkat Provinsi sehingga mendorong dilaksanakannya otonomi daerah. Demikian
halnya dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sudah berjalan lama,
namun dalam pelaksanaannya belum sesuai harapan, sehingga desentralisasi fiskal
yang dilaksanakan tahun 2001 sebagai konsekuensi diterapkannya otonomi daerah
merupakan penyempurnaan yang sudah pernah berjalan.
Secara administratif, Provinsi Bengkulu berada memanjang dari perbatasan
Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung. Luas wilayah
lebih kurang 1 978 870 hektar dengan jumlah penduduk sampai tahun 2003
sebanyak 1 632 212 jiwa. Seiring berjalannya otonomi daerah di Provinsi
Bengkulu tahun 2003 pertumbuhan ekonomi mencapai 1.99 dan terjadi di semua
sektor ekonomi, secara khusus sektor yang memberikan pertumbuhan di atas 5 %
terjadi pada sektor Perdagangan, hotel dan restoran sebesar 6.04%, sektor Industri
pengolahan sebesar 6.03%, sektor Pertanian sebesar 5.77%, sektor Listrik – gas –
air minum sebesar 5.57%. Sedangkan sektor lainnya seperti sektor Pertambangan,
sektor Bangunan, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Jasa-jasa lainnya
tumbuh berkisar 2-4 % (BPS, 2005).
Pada tahun 2003 kesejahteraan penduduk Provinsi Bengkulu yang
diindikasikan dengan nilai PDRB per kapita mengalami peningkatan sebesar
13.97% (riil). Peningkatan ini terjadi karena pemerintah Provinsi Bengkulu
dilihat dari PDRB (pendapatan) perkapita sebesar Rp 2.29 juta/tahun, tingkat
kesejahteraan penduduk Provinsi Bengkulu masih jauh berada di bawah rata-rata
tingkat kesejahteraan nasional sebesar Rp3.35juta/kapita/tahun. Jumlah penduduk
miskin sebanyak 355 200 atau 21.76% dari jumlah penduduk, dan jumlah
pengangguran sebanyak 53 836 orang atau 7.18% dari jumlah tenaga kerja yang
tersedia.
Kondisi di atas menjadi perhatian besar pemerintah daerah untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah
yang dituangkan dalam rencana strategis pemerintah daerah tahun 2001-2005.
Dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi pemerintah Provinsi Bengkulu
pada tahun 2003 didukung dengan keuangan daerah yaitu penerimaan daerah
berasal dari subsidi pemerintah pusat melalui komponen DAU 80.8%, sementara
itu kontribusi PAD baru sebesar 2.72%. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam
hal pembiayaan daerah, Provinsi Bengkulu masih sangat tergantung dari
pemerintah pusat. Potensi daerah untuk peningkatan PAD khususnya dari
komponen pajak dan retribusi yang dilakukan saat ini adalah mengintensifkan
sumber-sumber penerimaan pajak yang ada diantaranya : (1) pelaksanaan
pemutihan pajak kendaraan bermotor dengan tujuan agar jumlah wajib pajak
meningkat, (2) pajak PLN, Telepon, PDAM, (3) penertiban reklame / iklan, (4)
pendataan ulang ijin usaha, (5) pengelolaan lokasi parkir.
Hal yang menarik bahwa setelah desentralisasi fiskal, peningkatan DAU
sebesar 53.37% berdampak pada meningkatnya pengeluaran rutin secara nominal
sampai 60%, dan untuk pengeluaran pembangunan secara nominal hanya
meningkat sebesar 28% saja. Peningkatan pengeluaran rutin digunakan untuk
pembiayaan pemerintah daerah seperti gaji pegawai sebagai akibat otonomi
pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan termasuk pembiayaan untuk
legeslatif dan eksekutif. Yang menjadi perhatian selanjutnya adalah apakah
pemerintah daerah akan berkonsentrasi pada pembenahan administrasi yang akan
menyedot anggaran belanja rutin, ataukah akan mendukung pembiayaan
pembangunan yang dalam jangka panjang akan berpengaruh pada perekonomian
daerah dan kesenjangan pendapatan di daerah.
Tahun 2003 terlihat bahwa prosentase pengeluaran rutin dan pembangunan
masing-masing sebesar 354 809.02 juta rupiah atau 78.32% dari total pengeluaran
daerah, dan pengeluaran pembangunan sebesar 98 244.68 juta rupiah atau
21.68%. Dari 21.68% dana pembangunan digunakan untuk membiayai 21 sektor
antara lain 41.92% untuk pembangunan Infrastruktur, 10.87% untuk Pendidikan,
olah raga dan pembinaan wanita, 5.73% untuk pembangunan Pertanian, 4.92%
untuk Kesehatan dan Kesejahteraan sosial, 0.77% untuk pembangunan Industri,
dan Pariwisata sebesar 0.96%.
Pelaksanaan otonomi daerah membuka cakrawala baru bagi pemerintah
daerah untuk lebih leluasa mengembangkan daerahnya untuk mempercepat
pencapaian pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah telah mengubah sistem
pengambilan keputusan pembangunan daerah dari konsep top down menjadi
bottom up. Babak baru manajemen pemerintahan dan keuangan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi kembali ditegaskan dalam Undang-Undang
nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 33 tahun
2004 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Pemerintahan daerah. Pada
intinya undang-undang nomor 32 tahun 2004 menegaskan kembali pelaksanaan
otonomi dengan menitikberatkan daerah (Kabupaten dan Kota) untuk
pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing
daerah, serta peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, kekhususan,
potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global
(Citraumbara, 2004).
Kebijakan desentralisasi fiskal telah memberi keleluasaan daerah untuk
menentukan prioritas pembiayaan pembangunan dan peluang peningkatan jumlah
dana pembangunan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Dalam hal peningkatan
penerimaan, pemerintah daerah mempunyai keleluasaan untuk membelanjakan
dana alokasi yang diterima dan kewenangan untuk meningkatkan pendapatan asli
daerahnya. Dengan demikian kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan mampu
membuka peluang pemerintah daerah untuk meningkatkan efektifitas pencapaian
kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan, selanjutnya diharapkan
akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Namun demikian,
perbedaan potensi sumberdaya daerah dan potensi penerimaan fiskal yang
dibagihasilkan diperkirakan berdampak negatif terhadap pemerataan pendapataan
antar daerah (Bagchi, 1995 ).
Implementasi perimbangan keuangan pusat-daerah (desentralisasi fiskal)
yang menyertai pelaksanaan otonomi daerah menempatkan pemerintah daerah
Kabupaten dan Kota pada posisi yang sulit karena pemerintah daerah dihadapkan
pada keterbatasan keuangan, sumberdaya manusia (SDM), dan lingkungan usaha
yang semakin dinamis sebagai akibat gelombang globalisasi ekonomi. Salah satu
kunci utama penentu keberhasilan Pemda terhadap desentralisasi fiskal
merupakan bagian penting dalam implementasi otonomi daerah. Dua hal penting
tersebut adalah : (1) apakah Pemda memusatkan perhatiannya untuk memperbesar
keuangannya, dan (2) pemerintah mementingkan peningkatan efektivitas
pengeluarannya (expenditure policy) untuk pembangunan yang lebih baik bagi
daerahnya.
Apabila kita melihat kondisi keuangan daerah (istilah keuangan daerah
selanjutnya menggunakan fiskal daerah) yang diindikasikan oleh penerimaan
daerah dan pengeluaran daerah, perkembangan perekonomian yang diindikasikan
oleh PDRB dan PDRB per kapita, serta tujuan pemerintah daerah Provinsi
Bengkulu maka sungguh ironis bahwa upaya untuk mempercepat pencapaian
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerah hanya didukung oleh
penerimaan PAD yang relatif kecil serta kurang didukung pembiayaan pada
sektor-sektor yang menghasilkan produksi barang dan jasa. Kondisi daerah
dengan pembiayaan yang tergantung dari pemerintah pusat dan belum berjalannya
konsep money follows function dalam rangka otonomi daerah merupakan topik
yang menarik dan diperlukan untuk diteliti lebih lanjut.
1.2. Perumusan Masalah
Alur Perumusan masalah pada Gambar 1 menggambarkan bahwa
pemberian kewenangan kepada daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan serta
keuangan daerah sesuai amanat otonomi daerah, diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan daerah khususnya PAD sehingga penerimaan dari pusat khususnya
DAU semakin kecil. Di sisi pengeluaran daerah diharapkan ada keseimbangan
antara pengeluaran rutin dan pembangunan sehingga aktifitas ekonomi semakin
meningkat, pendapatan masyarakat (PDRB per kapita ) semakin besar, serta
terjadi pemerataan pendapatan di daerah. Namun demikian dari kondisi daerah
serta potensi daerah yang tersedia, muncul beberapa isu yang menarik diteliti
Permasalahan
Bagaimana tingkat kemampuan fiskal daerah khususnya peningkatan PAD dan upaya pemerataan pendapatan, bagaimana kinerja fiskal dan perekonomian daerah setelah desentralisasi, bagaimana dampak pengelolaan pengeluaran daerah setelah desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian daerah, serta kebijakan apa yang berperan meningkatkan kinerja fiskal, perekonomian daerah, dan distribusi pendapatan.
Pemecahan Masalah
Perlu mengkaji sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran daerah, kemampuan fiskal daerah dan distribuís pendapatan antar daerah. Perlu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal dan perekonomian daerah.
Perlu mengevaluasi dan meramalkan dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah
Sasaran
Peningkatan kemampuan fiskal (kapasitas fiskal) daerah, alokasi pengeluaran daerah sesuai prioritas pembangunan, peningkatan pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, mengurangi jumlah pengangguran, dan distribusi pendapatan lebih baik
Fenomena
Kondisi Provinsi Bengkulu UU no.32 dan 33 tahun 2004
Kinerja Perekonomian Daerah :
• Pertumbuhan ekonomi 1.99, PDRB per kapita jauh di bawah rata-rata PDRBK nasional
• Distribusi pendapatan semakin tidak merata
• Jumlah pengangguran cukup besar (7% dari tenaga kerja yang tersedia), jumlah penduduk miskin 22%
Kinerja Fiskal Daerah :
• Kemampuan fiskal daerah (Rasio kapasitas dan kebutuhan fiskal) rendah, ketergantungan dengan pemerintah pusat sangat tinggi
• Kesenjangan fiskal semakin besar/semakin buruk
• Pengeluaran rutin menjadi prioritas daerah (78% dari total pengeluaran daerah)sementara pembangunan daerah tertunda (22%)
• Mempercepat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
• Peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan Pemerintahan dengan memperhatikan potensi daerah, domokrasi, pemerataan, dan keadilan, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat
• PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai potensi sumberdaya daerah
• DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah melalui penerapan formula dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah dengan demikian DAU berfungsi sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal
• Dana perimbangan (DAU,DAK,Dana bagi hasil) bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah dan antar-pemerintah daerah
• Kewenangan menggunakan anggaran untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi fiskal
1. Bagaimanakah kapasitas fiskal daerah khususnya PAD dan pemerataan
pendapatan setelah desentralisasi fiskal ?
2. Bagaimanakah kinerja fiskal dan perekonomian daerah di Kabupaten dan Kota
setelah desentralisasi fiskal?
3. Bagaimana dampak pengelolaan pengeluaran daerah setelah desentralisasi
fiskal terhadap kinerja perekonomian daerah ?
4. Kebijakan apa yang berperan meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian
daerah serta distribusi pendapatan di Kabupaten dan Kota?
1.3.Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk manganalisis dampak
kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah
Kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu. Secara khusus, penelitian ini bertujuan
untuk :
1. Mengakaji sumber-sumber penerimaan, alokasi pengeluaran, dan kapasitas
fiskal daerah, serta distribusi pendapatan di Kabupaten dan Kota sebelum dan
setelah desentralisasi fiskal.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal dan
perekonomian daerah.
3. Mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal
dan perekonomian daerah sebelum desentralisasi fiskal tahun 1998 - 2000 dan
setelah desentralisasi fiskal tahun 2001 - 2003 .
4. Meramalkan dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal
1.4. Kegunaan Penelitian
Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
rekomendasi alternatif kebijakan pemerintah daerah dalam mendorong kinerja
fiskal dan perekonomian di daerah, serta menjadi bahan informasi dasar dalam
penyusunan rencana strategi pembangunan dan penyempurnaan kebijakan
desentralisasi fiskal khususnya serta kebijakan ekonomi daerah pada umumnya.
Bagi peneliti lain dan masyarakat, hasil penelitian ini juga diharapkan
menjadi dasar penelitian lanjutan, serta menjadi bahan kajian mengenai kondisi
pertanian dan perekonomian daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terfokus pada implementasi kebijakan desentralisasi fiskal
sebagai konsekuensi otonomi daerah, selanjutnya akan dianalisis dampak
pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan perekonomian
(termasuk sektor pertanian) di daerah Kabupaten dan Kota. Indikator kinerja
keuangan daerah (penerimaan dan pengeluaran daerah) selanjutnya dalam tulisan
ini digunakan istilah kinerja fiskal daerah. Sedangkan indikator perekonomian
daerah meliputi PDRB dari sisi produksi beberapa sektor yaitu sektor Pertanian,
sektor Industri, sektor Pertambangan, sektor Pariwisata, sektor Jasa, dan sektor
lainnya. Indikator perekonomian lainnya adalah tenaga kerja yang terdiri dari
tenaga kerja sektor Pertanian, Industri, Pertambangan, dan tenaga kerja lainnya.
Investasi di daerah hanya terbatas pada investasi Industri sedangkan
investasi di bidang pertanian, konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, dan
jasa.
1.6. Keterbatasan Penelitian
Kebijakan desentralisasi fiskal menyangkut aspek yang sangat luas baik
aspek ekonomi, sosial, politik, maupun administratif termasuk transparansi,
korupsi, dan sebagainya. Namun pada penelitian ini aspek penelitian
desentralisasi fiskal hanya dibatasi pada aspek ekonomi dengan pertimbangan
bahwa ketersediaan informasi pada aspek lainnya masih terbatas. Dampak dari
kebijakan desentralisasi fiskal juga menyangkut semua sektor perekonomian baik
sektor Pertanian, Industri, Jasa, dan sektor lainnya serta Investasi.
Cakupan sektoral juga dititik beratkan pada sektor pertanian dengan
alasan bahwa : (1) basis ekonomi daerah Kabupaten dan Kota sebagian besar
masih bertumpu pada sektor pertanian, (2) sektor pertanian memberikan
sumbangan cukup besar dalam PDRB Provinsi Bengkulu yaitu sebesar 42.02%
dari 9 sektor terhadap PDRB tahun 2003, (3) sektor pertanian merupakan
penyerap tenaga kerja cukup besar di daerah yaitu sebesar 69.2%, dan (4) sektor
pertanian sampai tahun 2003 masih mendominasi struktur perekonomian di
Provinsi Bengkulu.
Data tenaga kerja sektor Pertanian masing-masing subsektor tidak tersaji
selengkap pada data produksi maupun pengeluaran pembangunan, sehingga pada
model yang berkaitan dengan tenaga kerja subsektor Pertanian digunakan data
tenaga kerja sektor pertanian.
Deret waktu yang diambil sebagai bahan penelitian dimulai tahun 1993
mengingat keterbatasan data yang tersedia karena tahun-tahun sebelumnya banyak
Palembang. Sebagai contoh kantor wilayah perbendaharaan negara (KPKN) di
Bengkulu baru berdiri sendiri tahun 2000.
Mengingat data dana dekonsentrasi sebelum tahun 2000 tidak dapat
dihimpun, maka keuangan daerah hanya terbatas pada anggaran APBD sehingga
pada penelitian ini belum mampu melihat pengaruh dana dekonsentrasi terhadap
perekonomian di Propinsi Bengkulu.
Akhir penelitian hanya sampai tahun 2003 karena sejak tahun 2004
komponen APBD telah berubah sehingga perlu waktu tersendiri untuk
menyesuaikan dengan komponen-komponen pengeluaran pada tahun sebelumnya.
Terbatasnya data permodalan yang dimiliki, sehingga pada penelitian ini
dilakukan pendekatan-pendekatan. Sebagai contoh kredit investasi digunakan
untuk pendekatan modal yang digunakan dalam model produksi.
Model yang dibangun merupakan model ekonomi tertutup karena
ketiadaan data ekspor impor di tingkat Kabupaten dan Kota. Selain itu model
perekonomian yang dibangun hanya dari sisi Produksi/Agregat Supply saja
sedangkan dari sisi Permintaan Agregat/Agregat Demand tidak dapat disajikan
karena data yang berkaitan dengan investasi, ekspor dan impor sangat terbatas.
Investasi pada penelitian ini hanya mampu menggambarkan investasi
sektor Industri dan kredit investasi yang merupakan proksi dari investasi swasta,
sehingga prilaku investasi daerah tidak dapat disajikan secara lengkap.
Penelitian ini terbatas pada studi Kabupaten dan Kota di Provinsi
Bengkulu sehingga tidak dapat melihat dampak perekonomian daerah terhadap
perekonomian nasional, model perekonomian yang dibangun merupakan model
perekonomian Provinsi Bengkulu yang diharapkan dapat menggambarkan prilaku
2.1. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Selama hampir 32 tahun negara Indonesia dipimpin dengan struktur
pemerintah pusat dan daerah melalui sistem sentralisasi baik kewenangan maupun
sentralisasi fiskal. Konsep Otonomi Daerah sebenarnya merupakan konsep lama
yang pelaksanaannya terus mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
Undang-Undang yang ditetapkan. Sebelum ditetapkan Undang-Undang nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi beberapa kali perubahan
konsep otonomi. Diawali dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1945
menetapkan tiga jenis daerah otonom yaitu Karesidenan, Kabupaten, dan Kota.
Otonomi pada rezim ini berupa kewenangan pangkal dan sangat terbatas, dan tidak
ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang penyerahan urusan
(desentralisasi) kepada daerah otonom.
Undang-Undang nomor 22 tahun 1948, terfokus pada pengaturan tentang
susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Pada rezim ini terdapat dua jenis
daerah otonom yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, disamping
itu juga terdapat tiga tingkatan daerah otonom yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota
besar, dan Desa/Kota kecil. Dalam undang-undang ini pemerintah mulai
memperhatikan penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah dengan
menerbitkan 33 peraturan pemerintah.
Undang-Undang nomor 1 tahun 1957 merupakan pengaturan tunggal
pengaturan pada aspek otonomi yang seluas-luasnya. Dalam undang-undang ini
ditetapkan tiga tingkatan daerah otonom yaitu Daerah Tingkat I termasuk
Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III. Kewenangan
pemerintahan diatur dengan sekitar 10 peraturan pemerintah.
Undang-Undang nomor 18 tahun 1965 menganut sistem otonomi yang
seluas-luasnya seperti undang-undang sebelumnya. Namun dalam pelaksanaan
peraturan pemerintah tidak terdapat aturan tentang penyerahan sebagian urusan
pemerintahan (desentralisasi) kepada daerah. Dalam undang-undang ini terdapat
tiga daerah otonom yaitu Provinsi sebagai Daerah Tingkat I, Kabupaten
/Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II, dan Kecamatan/Kotapraja sebagai Daerah
Tingkat III.
Undang-Undang nomor 6 tahun 1969 yang mengatur tentang pokok-pokok
Pemerinrahan Daerah. Sejak terbitnya undang-undang ini maka undang-undang
sebelumnya dianggap tidak berlaku lagi. Pemerintah menugaskan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) untuk meninjau kembali
undang-undang ini, namun baru terwujud 9 tahun kemudian yaitu terbitnya
Undang-Undang nomor 5 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat ke daerah. Dalam
undang-undang ini secara prinsip tidak lagi menerapkan “otonomi yang riil dan
seluas-luasnya” tetapi menerapkan “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”, dengan
alasan bahwa otonomi yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan
ketidakutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam undang-undang ini juga
terdapat aturan tentang pentingnya azas dekonsentrasi yang dilaksanakan
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 mengatur tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tuntutan Reformasi tahun 1998 mendorong
MPR untuk menetapkan Ketetapan MPR nomor XV/MPR/1998 tentang
penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan
Sumberdaya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. Ketetapan ini juga menegaskan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah
akan diatur kembali dalam undang-undang. Tujuan perubahan kewenangan pada
undang-undang ini adalah untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan,
keadilan, demokrasi, penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan
potensi serta keragaman antar daerah.
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Pemerintahan daerah. Pada undang-undang ini akan mengatur tentang
pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan,
penyelenggaraan pemerintahan, dan lain-lain yang berhubungan dengan
pemerintahan daerah. Dengan ditetapkannya undang-undang yang baru ini maka
setiap daerah di wilayah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota diberi kewenangan
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pemerintahannya
sehingga memberikan peluang pada daerah untuk leluasa mengatur dan
melaksanakan kewenangannya sesuai dengan prakarsa dan potensi daerah
masing-masing.
Berdasarkan undang-undang ini maka pemerintah daerah sebagai daerah
dan sekaligus dijadikan pedoman dalam memajukan daerahnya dan
mensejahterakan masyarakatnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa daerah
dipersiapkan untuk dapat mandiri dari sisi pemerintahan (yaitu menjadi efektif dan
efisien dalam pelayanan kepadaa masyarakatnya) dan mandiri dari sisi
perekonomiannya yaitu mampu mengatur dan mengalokasikan keuangan daerah
sesuai dengan prioritas daerahnya.
Salah satu aspek penting dari pelaksanaan otonomi daerah adalah
desentralisasi fiskal yaitu pemerintah daerah Kabupaten/Kota mempunyai
kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahannya termasuk di bidang
keuangan yaitu penerimaan dan pengeluaran daerah. Dari sisi penerimaan, daerah
diberi keleluasaan dalam menggali berbagai potensi daerah untuk meningkatkan
pendapatan daerahnya, sedangkan di sisi pengeluaran diberikan keleluasaan untuk
mengatur alokasi anggaran pembelanjaan untuk menjalankan pemerintahan dan
pembangunan daerahnya.
2.2. Desentralisasi Fiskal
2.2.1. Pengertian Desentralisasi Fiskal
Secara umum desentralisasi diartikan sebagai suatu penyerahan (difusi)
pendelegasian kekuasaan dan wewenang, dan pendelegasian tanggung jawab dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membuat keputusan.
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab
fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat ke pemerintah bawahan. Setiap tipe
desentralisasi-politik, administratif, fiskal, dan pasar memiliki perbedaan
mencakup tiga bentuk utama, yaitu delegasi, dekonsentrasi, dan devolusi (Ebel,
1999 ; Rondinelli, 1997).
Delegasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan
pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau pemerintah daerah. Delegasi
berhubungan dengan suatu situasi di mana daerah bertindak sebagai perwakilan
pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah.
Dekosentrasi merupakan suatu desentralisasi administratif dari suatu kementerian
pemerintah. Devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan
saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu
dikerjakan di daerah, termasuk kebebasan daerah untuk memungut pajak dan
retribusi atas pelayanan yang diberikan. Devolusi merupakan bentuk desentralisasi
yang paling ekstensif (Bird, 2000).
Desentralisasi fiskal diartikan sebagai suatu penyerahan, pendelegasian
kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab di bidang keuangan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal berfungsi untuk : (1)
mengurangi peran dan tanggung jawab pemerintah pada semua tingkat, (2)
memperhitungkan bantuan dan transfer antar pemerintahan, (3) memperkuat sistem
penerimaan daerah/lokal, (4) memprivatisasi BUMD, dan (5) menyediakan suatu
jaring pengaman bagi fungsi redistribusi. Tujuan utama desentralisasi fiskal adalah
untuk mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap subsidi dari
pemerintah pusat sebagai sumber utama dana pembangunan.
Desentralisasi fiskal dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
melalui peningkatan investasi, dapat pula mendorong pertumbuhan melalui
efisiensi alokasi sumberdaya pada level daerah. Maksudnya jika investasi
sektor-sektor yang memiliki produktivitas tinggi, maka desentralisasi fiskal dapat
mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Lin and Liu, 2000).
Davey (1988), mengungkapkan bahwa syarat desentralisasi fiskal sebagai
kerangka hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah : Pertama, sistem
fiskal harus memberikan suatu distribusi kekuasaan di antara berbagai tingkat
pemerintahan mengenai pemungutan dan pengeluaran sumberdaya pemerintahan
(public resources). Walaupun antar pemerintahan tidak bisa disamaratakan tentang
banyaknya kewenangan yang diberikan, namun sistem keuangan seharusnya
menjamin bahwa penyerahan kewenangan (devolution of descretion) atas
sumberdaya keuangan konsisten dengan pelimpahan tanggung jawab pada
umumnya.
Kedua, sistem tersebut seharusnya menyajikan suatu bagian yang memadai
dari sumberdaya-sumberdaya masyarakat secara keseluruhan, bagi fungsi-fungsi
pemerintahan (pelayanan rutin dan pembangunan) yang diselenggarakan oleh
pemerintah regional. Ketiga, sistem tersebut seharusnya sejauh mungkin
mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara merata di antara daerah-daerah.
Keempat, pajak dan retribusi yang dikenakan oleh pemerintah daerah harus sejalan
dengan distribusi beban pengeluaran pemerintah pada masyarakat sebagai
keseluruhan. Jadi, tampak bahwa tanggung jawab pembiayaan (keuangan)
merupakan komponen pokok dari desentralisasi. Pemerintah daerah dapat
menyelenggarakan fungsi-fungsi desentralisasi secara efektif, jika mempunyai
penerimaan keuangan yang cukup, baik yang berasal dari sumber lokal maupun
dari transfer pemerintah pusat sebagaimana kekuasaan untuk membuat keputusan
Adapun wujud desentralisasi fiskal berupa : (1) pembagian peran dan
tanggung jawab antar pemerintah, (2) transfer pembiayaan dari pemerintah pusat ke
daerah, (3) penguatan sistem penerimaan dan sistem pelayanan publik pemerintah
lokal, (4) privatisasi badan usaha milik negara yang kadang-kadang merupakan
tanggung jawab lokal, (5) penyediaan jaring pengaman (sefety net), dan (6)
ekspansi penerimaan lokal melalui pajak (Ebel, 1999 ; Rondinelli, 1997).
2.2.2. Manfaat Desentalisasi Fiskal
Pentingnya desentralisasi fiskal menjadi wacana dua kelompok yang
berbeda argumentasi. Pertama, desentralisasi fiskal itu penting karena dapat
meningkatkan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas, dan
peningkatan mobilisasi dana. Kelompok kedua : tak satupun dari manfaat tersebut
akan berhasil dicapai oleh negara yang preferensi penduduknya hampir tidak
mungkin diakomodir dalam anggaran pemerintah dan kapasitas kelembagaan
pemerintah daerah mendekati nihil. Dari perspektif ini desentralisasi nampaknya
cenderung meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah, dan
mungkin menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta ketidakstabilan
makroekonomi (Prud’ Homme, 1994 ).
Beberapa dampak langsung terhadap pemerintah daerah seperti yang ditulis
Sinaga, et al (2004) adalah :
1. Bagi hasil dari pemerintah pusat makin besar seperti : Bagi Hasil Sumber Daya
Alam (BHSDA), Bagi Hasil Pajak (BHTX), DAU, dan DAK
3. Kebebasan menggunakan anggaran dasar dalam arti tanpa menunggu petunjuk
pusat
4. Kewenangan menerbitkan perda dalam kepentingan pembangunan daerah
5. Kewenangan melakukan pinjaman
Kapasitas pemerintah lokal untuk pembangunan ekonomi daerahnya sangat
ditentukan oleh seberapa besar peranan pemerintah lokal, pengusaha lokal dan
sektor-sektor swasta mensikapi desentralisasi. Dampak desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten / Kota se Jawa dan Bali dilakukan oleh
Adi (2005), hasil temuannya antara lain menunjukkan bahwa pelaksanaan
desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, dan
daerah lebih peka terhadap kebutuhan dan kekuatan ekonomi lokal. Temuan ini
sejalan dengan Lin and Liu (2000) yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal
mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari
beberapa daerah, ternyata tidak semua daerah siap melakukan desentralisasi fiskal,
data awal menunjukkan bahwa 46% daerah pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
perkapitanya berada di bawah rata-rata. Faktor ini yang diindikasikan sebagai
alasan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi yang positif antar daerah.
Dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja makroekonomi
antara lain adalah : Pengeluaran pemerintah merupakan instrumen fiskal yang
diyakini memberikan multiplier effect bagi perekonomian sehingga mampu
menutupi sifat penarikan dari pajak sebagai komponen penerimaan. Oleh karena
itu, pengeluaran pemerintah memiliki peran cukup penting untuk menstimulir
permintaan agregat dan output. Dengan tehnik regresi, Yudhoyono (2004)
Hasil lain menunjukkan bahwa pengeluaran pembangunan yang dialokasikan untuk
sektor pertanian memiliki pengaruh terhadap output (GDP) pertanian yang relatif
tinggi. Disimpulkan bahwa kenaikan pengeluaran pembangunan meningkatkan
GDP pertanian, hal ini mengindikasikan bahwa tambahan dari pemerintah berupa
dana pembangunan bagi sektor pertanian berperan positif untuk menstimulir
pertumbuhan output pertanian. Namun untuk sektor industri terjadi hal sebaliknya
yaitu pengeluaran pemerintah di sektor industri harus dikurangi. Pada indikator
lain, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan secara umum
diharapkan dapat mengurangi laju pengangguran dan jumlah penduduk miskin
(Yudhoyono, 2004).
2.2.3. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Desentralisasi fiskal di Indonesia sudah berjalan lama, namun dalam
pelaksanaannya belum sesuai harapan, sehingga desentralisasi fiskal yang
dilaksanakan tahun 2001 sebagai konsekuensi diterapkannya otonomi daerah
merupakan penyempurnaan yang sudah pernah berjalan. Undang-Undang nomor 5
tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah berisi pedoman resmi tentang distribusi
tanggung jawab di antara berbagai jenjang pemerintahan. Undang-undang ini telah
meletakkan sistem hubungan pusat dan daerah dalam tiga prinsip. Pertama,
desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintah dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala
instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas
oleh Kepala daerah yang memiliki fungsi ganda sebagai pemerintahan tunggal di
daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah (SETNEG, 1999).
Undang-Undang nomor 5 tahun 1974, juga mengatur sumber-sumber
penerimaan keuangan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang
meliputi pendapatan asli daerah (PAD), bantuan pemerintah pusat, dan bagi hasil
pajak. Aspek keuangan ini merupakan salah satu indikator untuk melihat
implementasi desentralisasi. Berdasarkan kondisi keuangan daerah,
memperlihatkan perkembangan desentralisasi sangat lamban dan masih berada
dalam kerangka sentralisasi. Hal ini dapat dilihat dari realitas hubungan fiskal
pemerintah pusat dan daerah. Proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah
sangat rendah dibandingkan dengan besarnya bantuan yang ditransfer dari
pemerintah pusat.
Rendahnya PAD di satu sisi, dan dominannya transfer dari pemerintah
pusat menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah masih sangat tinggi
sehingga kurang leluasa mengatur diri sendiri. Hal ini memberi kesan bahwa
pelaksanaan dekonsentrasi masih jauh lebih kuat daripada desentralisasi. Fenomena
campur tangan pusat dan ketergantungan daerah yang tinggi melahirkan banyak
kritik. Sebagai respon terhadap berbagai kritik, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1992 untuk mengatur lebih jelas mengenai
proses desentralisasi. Peraturan pemerintah ini bertujuan untuk mentransfer
beberapa tanggung jawab pemerintah pusat dan Provinsi kepada pemerintah daerah
Kabupaten / Kota. Penegasan kembali komitmen desentralisasi juga tertuang dalam
Implementasi Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 dimulai tahun 2005,
di mana pada APBN mulai dicantumkan dana perimbangan daerah yang meliputi
dana bagi hasil (DBH) atas penerimaan pajak dan sumber daya alam (SDA), dana
alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). DAU merupakan transfer
dari pemerintah pusat kepada daerah yang bersifat block grant yang kewenangan
pengaturan penggunaannya sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tujuan pemberian
otonomi daerah. Besarnya DAU sesuai pasal 27 undang-undang nomor 33 tahun
2004 ditetapkan minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri dalam konsep
neto. Konsep neto yang dimaksud yaitu penerimaan dalam negeri bruto dikurangi
penerimaan yang telah dibagihasilkan. Sedangkan DAK sesuai dengan pasal 38
Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan
yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dengan menggunakan rumus DAU, serta
pembiayaan proyek yang merupakan komitmen atau prioritas nasional (Wijaya,
2002 ; Citraumbara, 2004).
Transfer intrapemerintahan digunakan untuk memenuhi berbagai tujuan dan
kerangka skema transfer, tergantung pada tujuan pemberian transfer itu sendiri.
Dalam literatur keuangan negara, transfer federal direkomendasikan untuk
menutupi kesenjangan fiskal, pemerataan, eksternalitas, dan penggalangan
penyediaan barang berkualitas (Davey, 1988).
Salah satu alasan penting untuk melakukan transfer adalah untuk
memberdayakan pemerintah bawahan dalam melaksanakan fungsi-fungsi mereka
secara memuaskan, yaitu jika penerimaan mereka tidak mencukupi. Hal ini dapat