FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.3. Kebijakan Perdagangan
3.1.3.1. Kebijakan Hambatan Tarif (Tariff barrier)
Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditas, ada dua macam tarif yaitu tarif ekspor (export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif impor adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk untuk
21 dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Sedangkan tarif ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditas yang di ekspor (Salvatore, 1997).
Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut (Hady, 2004):
1) Pembebanan bea masuk atau tarif rendah antara nol sampai lima persen dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok dan vital, alat-alat militer/pertahanan/keamanan, dan lainnya.
2) Tarif sedang antara nol sampai dua puluh persen dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain yang belum cukup diproduksi dalam negeri.
3) Tarif tinggi di atas dua puluh persen dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.
Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan diskriminatif yang digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk sejenis asal impor, meningkatkan penerimaan negara, mengendalikan konsumsi barang tertentu, dan lain-lain. Penggunaan tarif bea masuk yang ditujukan untuk melindungi produk dalam negeri sangat besar pengaruhnya terhadap globalisasi ekonomi (Rastikarany, 2008).
3.1.3.2. Kebijakan Hambatan Nontarif (Non Tariff Barrier)
Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah hambatan nontarif yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan yang dilakukan oleh negara/organisasi internasional yang menerima komoditas dari negara lain. Kebijakan non tariff barrier terdiri atas beberapa bagian yaitu: 1) Pembatasan spesifik, terdiri dari larangan impor secara mutlak; pembatasan
impor atau quota system; peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu; peraturan kesehatan atau karantina, peraturan pertahanan dan keamanan negara; peraturan kebudayaan, perizinan impor/import licenses; embargo; dan hambatan pemasaran seperti VER (Voluntary Export Restraint), OMA (Orderly Marketing Agreement).
22 2) Peraturan Bea Cukai (Custom Administration Rules), terdiri dari tata laksana
impor tertentu; penetapan harga bea; penetapan forres rate (kurs valas) dan pengawasan devisa; consultan formalities; packaging/labelling regulation; documentation hended; quality and testing standard; pungutan administrasi (fees); dan tariff classification.
3) Partisipasi pemerintah, terdiri dari kebijakan pengadaan pemerintah; subsidi dan insentif ekspor; countervailing duties; domestic assistance programs; dan trade-diverting.
4) Import charges, terdiri dari import deposits; supplementary duties; dan variable levies.
Menurut Koo dan Kennedy (2005), beberapa negara menggunakan bermacam kebijakan perdagangan (tarif dan nontarif) untuk melindungi industri yang tidak efisien. Hal ini berlaku pada pertanian. Rata-rata tarif untuk produk pertanian (tiga puluh persen) lebih besar daripada untuk produk industri (enam persen). Tarif adalah pajak yang dibebankan pemerintah untuk suatu komoditas sebagai batas garis nasional. Tarif digunakan untuk melindungi ekonomi domestik dari kompetisi luar negeri.
Hambatan nontarif bisa mengandung rintangan dengan angka yang besar selain tarif, seperti kebijakan, peraturan, dan prosedur yang mempengaruhi perdagangan. Hambatan nontarif yang paling banyak digunakan untuk mengontrol impor pertanian yaitu (Koo dan Kennedy, 2005): (1) pembatasan kuantitatif dan pembatasan sepesifik sejenis (misalnya kuota, voluntary export restraints, dan kartel internasional); (2) beban nontarif dan kebijakan yang berhubungan mempengaruhi impor (misalnya kebijakan antidumping dan kebijakan countervailing); (3) kebijakan umum pemerintah yang membatasi (misalnya kebijakan kompetisi dan penetapan perdagangan); (4) prosedur umum dan kegiatan administrasi (misalnya prosedur evaluasi dan prosedur perizinan); dan (5) hambatan teknis (peraturan dan standar kualitas kesehatan dan sanitasi, keamanan, peraturan dan standar industrial, dan peraturan pengemasan dan pelabelan.
23 3.1.4. Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan merupakan suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn, 1999) diacu dalam (Rastikarany, 2008). Dunn (1999) mengatakan bahwa analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan perspektif.
Analisis kebijakan dapat menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif ini di rancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sedang berlangsung). Metode ini digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sedang berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-akibat dari suatu gejala. Teknik pengolahan data kualitatif yang umum digunakan dalam metode deskriptif adalah analisis isi (content analysis).
Deskripsi yang diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson (1952) sampai Lindzey dan Aronson (1968) tentang content analysis, selalu menampilkan tiga syarat, yaitu: objektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi (Bungin, 2003). Analisis ini dalam Julianingsih (2003) adalah suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi karakter-karakter khusus suatu pesan secara objektif dan sistematis.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Sebagai salah satu negara pemasok utama udang ke Uni Eropa, Indonesia memiliki prospek yang baik untuk terus dikembangkan. Adanya peningkatan permintaan dan penawaran komoditas udang di pasar internasional menjadikan persaingan semakin banyak menghadapi tantangan yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor Indonesia, khususnya Uni Eropa. Setiap kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa sangat mempengaruhi perdagangan internasional.
24 Kebijakan tersebut berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS), Technical Barrier toTtrade (TBT), dan tarif.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa bertujuan untuk melindungi konsumen negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa terhadap setiap komoditas ekspor Indonesia. Kebijakan perdagangan yang diterapkan di Uni Eropa akan dikaji dalam analisis deskriptif dengan membandingkan juga respon kebijakan yang telah dilakukan Indonesia untuk memenuhi kebijakan perdagangan ini. Gambaran penelitian ini secara menyeluruh dapat dilihat pada Gambar 1.
25 Perairan Indonesia yang Luas Potensi Perikanan Indonesia Kelimpahan Tenaga Kerja
= Ruang Lingkup Kajian Peneltian
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia
Jumlah Produksi Perikanan Indonesia
Penawaran Udang untuk Konsumsi Domestik Komoditas & Produk
Non Udang
Komoditas & Produk Udang
Penawaran Udang untuk konsumsi Luar Negeri
Uni Eropa Pasar Ekspor
Lainnya Total Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa Kebijakan Perdagangan  Sanitary and Phytosanitary (SPS)  Technical barrier to trade (TBT),  Tariff
Analisis Kualitatif Deskriptif
Respon Kebijakan Perdagangan Indonesia
dan Penerapannya di Indonesia
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian yang dilakukan meliputi perancangan penelitian, perumusan masalah, pengumpulan data dari berbagai instansi terkait, pengolahan data, analisis data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan menggunakan data nasional dan internasional. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam waktu tiga bulan, yaitu dari bulan Maret hingga Mei 2012.
4.2. Desain Penelitian
Desain penelitian dalam penelitian ini, yaitu metode deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. Dalam penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk memaparkan kebijakan perdagangan di Uni Eropa, kebijakan perdagangan Indonesia, dan menganalisis kasus-kasus penolakan yang pernah terjadi, pengaruh kebijakan terhadap ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa, maupun penjelasan atau narasi singkat atas tabulasi dan tampilan grafik.
4.3. Data dan Instrumentasi
Berdasarkan sumbernya, data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data/informasi yang diperoleh dari hasil diskusi dan wawancara dengan stakeholders seperti pejabat dinas kelautan dan perikanan mengenai produksi dan ekspor udang Indonesia serta permasalahan ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa. Selain itu data primer melalui wawancara/diskusi di pakai untuk mengkonfirmasi kesesuaian kasus notification oleh European-RASFF dari Directorates General of Health and Consumers (DG Sanco) terhadap produk perikanan asal Indonesia. Data sekunder yang merupakan data teks berupa keterangan mengenai prosedur ekspor, kondisi pasar Uni Eropa, peraturan perdagangan Uni Eropa, dan data-data lain yang relevan dengan penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh melalui informasi dan laporan tertulis dari lembaga atau instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik
27 (BPS), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Food and Agriculture Organization (FAO), World Trade Organization (WTO), European Commission (EC), dan Directorates General of Health and Consumers (DG Sanco). Selain itu, data juga diperoleh dari literatur berupa skripsi, buku teks, dan website yang yang terkait dengan penelitian. Rincian data yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perincian Sumber Data Penelitian
No Data Yang Diperlukan Sumber Data
1 Total Ekspor dan Impor Uni Eropa KKP,
2 Total Ekspor dan Impor Perikanan Uni Eropa DKP, Kemendag 3 Total Ekspor dan Impor Udang dari ke Uni Eropa Direktorat P2HP 4 Total Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa DKP, Depdag/BPEN 5 Kebijakan Perdagangan Uni Eropa yang terkait
dengan perikanan
Direktorat P2HP, European
Commission. 6 Kebijakan Indonesia yang terkait dengan ekspor
Perikanan Indonesia
KKP, BKIPM
7 Prosedur umum ekspor perikanan DKP
8 Kasus Penolakan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa
Direktorat P2HP, DG Sanco
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan sebagai langkah awal untuk mengelompokkan data yang akan di bahas. Data berupa kebijakan baik yang diterapkan Uni Eropa maupun pemerintah Indonesia terkait produk perikanan khususnya udang diobservasi lalu dikumpulkan berdasarkan jenisnya, tahun pelaksanaannya, dan ketentuan dalam kebijakan tersebut. Selain itu, mengenai kasus notification oleh European-RASFF, data diobservasi melalui website dikumpulkan dan dikonfirmasi kepada stakeholder di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan dikelompokan berdasarkan jenis produk perikanan (khususnya ikan dan udang), tahun ekspor, dan alasan notification. Kelompok berdasarkan ikan dan udang dilakukan untuk membandingkan jumlah notification antara ikan dan udang oleh European-RASFF. Kelompok berdasarkan tahun dikelompokan untuk melihat perkembangan notification yang dialami produk ikan dan udang Indonesia, mengetahui perbedaan terjadinya kasus penolakan yang mengalami penaikan, penurunan, atau fluktuatif setiap tahunnya. Kelompok berdasarkan alasan penolakan produk dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan jumlah alasan paling banyak.
28 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
4.5.1. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan pengelompokan data dari data-data yang telah dikumpulkan. Data-data yang berupa gambaran umum kondisi perdagangan udang dan produk perikanan lainnya diolah dari berbagai sumber yang di dapat untuk disederhanakan dalam bentuk grafik ataupun tabel. Kemudian data-data tersebut dimasukkan sebagai bahan untuk dikelompokkan sesuai kebutuhan penelitian sebelum dianalisis. Selanjutnya data kebijakan terkait produk udang dan perikanan lainnya yang ditetapkan Uni Eropa dikelompokkan untuk disederhanakan sebagai bahan menghubungkan terhadap fakta ekspor udang dan perikanan lainnya yang terjadi. Pengolahan selanjutanya, untuk mengkonfirmasi pengaruh kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa terhadap produk ikan dan udang Indonesia, maka data mengenai kasus notification oleh European-RASFF diolah menjadi lebih sederhana untuk mengelompokkan kasus yang terjadi berdasarkan tahunnya serta alasan notification yang diterima. Data yang sudah dikumpulkan dari website tersebut kemudian dimasukkan sebagai input computer lalu di olah menjadi lebih sederhana dalam bentuk gambar dan grafik dengan bantuan program Microsoft Excel untuk dianalisis dengan metode kualitatif deskriptif.
4.5.2. Analisis Data Kualitatif
Analisis data kualitatif yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Deskriptif artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu. Metode deskriptif bertujuan untuk:
1) Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada,
2) Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku,
3) Membuat perbandingan atau evaluasi,
4) Menentukan apa yang dilakukan pihak lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
29 Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, diarahkan untuk memahami (understand) suatu fenomena sosial (Bungin, 2003). Fenomena sosial yang akan dipahami dalam penelitian ini adalah kondisi ekspor udang Indonesia terhadap kebijakan yang diterapkan Uni Eropa. Pendekatan ini digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau keadaan yang terjadi dalam perdagangan udang Indonesia, dalam hal ini fokus pada kebijakan.
Analisis kualitatif deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk menghubungkan fakta perkembangan ekspor udang Indonesia dengan adanya kebijakan yang diterapkan Uni Eropa. Selain itu, analisis ini juga mengkonfirmasi kebijakan yang dikeluarkan Uni Eropa terhadap kaitannya atas alasan fakta notification yang dikeluarkan European-RASFF terhadap produk ikan dan udang Indonesia, sehingga dari analisis ini dapat dipahami apa yang terjadi pada penerapan kebijakan perdagangan yang ditetapkan Uni Eropa terhadap produk perikanan Indonesia, khususnya udang. Analisis yang dilakukan juga untuk mengetahui bagaimana penanganan yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.
V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA
5.1. Perdagangan Internasional Hasil Perikanan
Selama lebih dari beberapa dekade ini, sektor perikanan dunia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan. Berdasarkan data International Trade Centre (ITC) dan Kementerian Perdagangan tahun 2010, perdagangan internasional dalam komoditas perikanan mencapai US$ 103 miliar, mengalami kenaikan 13,2 persen dari tahun 2009 (US$ 91 miliar). Meskipun pada tahun 2009 nilai total ekspor mengalami penurunan dari tahun 2008 (US$ 96 miliar), namun angka yang dicapai tersebut masih terhitung tinggi. Sejak tahun 2000, perdagangan internasional di sektor perikanan dunia telah menunjukkan peningkatan secara signifikan (Aisya, et al. 2006). Secara terperinci, data ekspor komoditas perikanan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Ekspor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010
No Negara Nilai (juta US$) Share (%)
2007 2008 2009 2010 2010 1 China 9,508.86 10,364.12 10,500.16 13,539.77 13.03 2 Norway 6,089.74 6,722.43 6,923.22 8,660.35 8.33 3 Thailand 5,614.68 6,487.52 6,208.88 7,012.62 6.75 4 USA 4,387.76 4,364.02 4,075.66 4,544.43 4.37 5 Vietnam 3,764.00 4,510.57 4,253.37 4,368.40 4.20 6 Canada 3,657.84 3,672.86 3,211.09 3,804.87 3.66 7 Netherlands 2,713.90 2,865.08 2,627.14 3,439.00 3.31 8 Spain 3,285.14 3,490.64 3,131.11 3,293.28 3.17 9 Indonesia 2,258.92 2,699.68 2,466.20 2,863.83 2.76 10 Chile 3,166.16 3,409.71 3,010.62 2,846.10 2.74 11 Lainnya 43,678.83 47,780.89 45,209.56 49,575.63 47.69 Total 88,125.83 96,367.51 91,616.99 103,948.26 100.00
Sumber: ITC Comtrade (2011), Kemendag (2011), BPS (2011), (diolah)
Berdasarkan Tabel 8, ekspor perikanan dunia dikuasai oleh China sebesar US$ 13,5 miliar pada tahun 2010 dengan kontribusi sebesar 13,03 persen dari ekspor perikanan dunia. Asia Tenggara berkontribusi sebesar 13,71 persen dari ekspor perikanan dunia melalui Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Melalui sepuluh negara eksportir terbesar perikanan dunia tersebut, dapat dilihat bahwa perdagangan internasional hasil perikanan terus meningkat setiap tahunnya. Jika dilihat dari data FAO 2004, perdagangan internasional dalam ekspor komditas
31 perikanan telah mencapai mencapai US$ 58,2 miliar pada tahun 2002, mengalami kenaikan relatif lima persen pada tahun 2000 dan 45 persen sejak tahun 1992.
Peningkatan ekspor perikanan dunia tidak terlepas dari impor perikanan dunia yang tercatat juga terus meningkat setiap tahunnya. Data impor perikanan dunia dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai Impor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010
No Negara Nilai (Juta US$) Share (%)
2007 2008 2009 2010 2010 1 USA 12,852.19 13,207.72 12,127.38 13,588.34 13.85 2 Japan 12,099.44 13,305.58 12,114.15 13,463.85 13.72 3 Spain 6,953.18 7,038.11 5,795.99 6,294.02 6.41 4 France 5,091.72 5,507.90 5,257.19 5,590.74 5.70 5 Italy 5,213.11 5,511.88 5,040.30 5,271.60 5.37 6 China 3,505.68 3,716.65 3,660.07 4,449.14 4.53 7 Germany 3,849.13 4,100.53 4,365.10 4,437.00 4.52 8 UK 3,707.57 3,782.90 3,096.68 3,137.74 3.20 9 Hongkong 2,472.44 2,685.91 2,734.49 3,118.58 3.18 10 Sweden 2,333.70 2,569.66 2,451.18 3,086.56 3.15 11 Lainnya 31,203.03 35,445.66 32,540.99 35,678.39 36.36 Total 89,281.19 96,872.50 89,183.52 98,115.95 100.00
Sumber: ITC Comtrade (2011), Kemendag (2011), (diolah)
Tabel 9 menunjukkan bahwa sepuluh negara importir perikanan dunia terdiri dari USA, Jepang, Spanyol, Prancis, Italia, Cina, Jerman, Inggris, Hongkong, dan Swedia. Negara lainnya yang termasuk dalam importir perikanan dunia umumnya dikuasai oleh negara-negara Uni Eropa. Lebih dari 70 persen nilai impor dunia telah terkonsentrasi pada tiga wilayah utama, yaitu: Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Importir terbesar dari Tabel 9 terlihat dikuasai oleh Amerika Serikat, namun jumlah ini tidak begitu jauh jika dibandingkan dengan Jepang yang juga berkontribusi di atas tiga belas persen terhadap impor perikanan dunia. Pada tahun 2002, melalui data FAO yang diacu dalam data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2009, Jepang pernah menjadi importir perikanan terbesar, yaitu dengan menguasai 22 persen dari nilai impor perikanan dunia. Uni Eropa tercatat tidak jauh berbeda dengan saat ini, dimana impor perikanannya dikuasai oleh Spanyol, Prancis, Italia, Jerman, dan Inggris.
32 5.2. Perkembangan Ekspor Produk Perikanan Indonesia
Berdasarkan data statistik ekspor hasil perikanan, selama sepuluh tahun terakhir (2001-2011) volume ekspor produk hasil perikanan Indonesia mengalami kenaikan volume yang cukup baik, namun mengalami penurunan pada tahun tertentu dimana salah satu penyebabnya karena terjadinya krisis keuangan di negara importir utama produk perikanan. Grafik perkembangan volume ekspor produk perikanan Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Perkembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Tahun 2001-2011 Sumber: BPS (2012), KKP (2012), (diolah)
Berdasarkan Gambar 2, total ekspor hasil perikanan Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat baik dari tahun 2001-2011. Meskipun pada tahun 2003-2009 mengalami fluktuasi yang stagnan, namun setelah tahun 2009 volume ekspor hasil perikanan Indonesia kembali meningkat mencapai 1,10 juta ton pada tahun 2010 dan 1,15 juta ton pada tahun 2011 dengan nilai sebesar US$ 2,8 miliar dan US$ 3,5 miliar. Dari total nilai hasil ekspor produk hasil perikanan Indonesia tahun 2011, 66 persen ekspor produk perikanan Indonesia masuk ke pasar tradisional yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Jumlah ini mengalami penurunan dibanding tahun 2010 yang mencapai 70 persen, namun mengalami peningkatan di pasar prospektif (Asia Tenggara dan Asia Timur) dan pasar potensial (Timur Tengah, Afrika, dan eks Eropa Timur) sebesar 34 persen pada tahun 2011. 487,116 565,739 857,783 907,970 857,922 926,478 854,328 911,674 881,413 1,103,576 1,159,349 - 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Vo lum e (T o n)
33 Komoditas hasil produk perikanan Indonesia yang diekspor meliputi udang, tuna, ikan ekonomis penting lainnya (kerapu, kakap, tenggiri, tilapia, dll), cephalopoda (squid, ocopus, cuttlefish), daging kepiting rajungan, kepiting, rumput laut, teripang, dan lobster. Komoditas perikanan tersebut diolah menjadi produk perikanan (produk akhir) yang dapat dikelompokkan menurut proses penanganan dan atau pengolahannya sebagai berikut:
1) Produk hidup,
2) Produk segar (fresh product) melalui proses pendinginan,
3) Produk beku (frozen product) baik mentah (raw) atau masak (cooked) melalui proses pembekuan,
4) Produk kaleng (canned product) melalui proses pemanasan dengan suhu tinggi (sterilisasi) dan pasteurisasi,
5) Produk kering (dried product) melalui proses pengeringan alami, atau mekanis,
6) Produk asin kering (dried salted product) melalui proses penggaraman dan pengeringan alami, atau mekanis,
7) Produk asap (smoked product) melalui proses pengasapan, 8) Produk fermentasi (fermented product) melalui fermentasi, 9) Produk masak (cooked product) melalui pemasakan/pengukusan,
10) Surimi (based product) melalui proses leaching atau pengepresan (minced). Secara lebih detail, jumlah share ekspor produk hasil perikanan Indonesia berdasarkan kelompok komoditas tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 3.
34 Gambar 3. Share Ekspor Perikanan Indonesia Tahun 2010 Per Kelompok
Komoditas.
Sumber: BPS (2011), (diolah)
Pada Gambar 3, diketahui bahwa share ekspor perikanan Indonesia berdasarkan kelompok komoditas didominasi oleh kelompok crustaceae (udang dan kepiting) yaitu sebesar 34,19 persen. Sisanya dipenuhi oleh kelompok ikan olahan (kalengan) 19,82 persen, ikan beku 11,87 persen, fillet dan daging ikan 9,32 persen, ikan segar atau dingin 8,50 persen, dan di bawah lima persen terdiri dari rumput laut, molusca, ikan kering, mutiara, ikan hidup, ikan hias, dan lainnya.
5.3. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia
5.3.1. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Internasional
Indonesia merupakan salah satu negara eksportir terbesar di dunia untuk komoditas udang. Berdasarkan total ekspor perikanan Indonesia tahun 2011, komoditas udang memberikan kontribusi hasil ekspor sebesar 37,19 persen dari total nilai ekspor perikanan Indonesia yang mencapai US$ 3,5 miliar (KKP, 2012). Perkembangan ekspor udang Indonesia menurut negara tujuan utama dapat dilihat pada Gambar 4.
35 Gambar 4. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Menurut Pasar Utama Tahun 2005-
2011
Sumber: BPS (2012), KKP (2012), (diolah)
Gambar 4 menunjukkan perbedaan kontribusi ekspor udang Indonesia di ketiga pasar utama tersebut, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa tahun 2005-2011. Periode tersebut menunjukkan bahwa volume ekspor udang Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2008 yaitu sebesar 170,5 ribu ton dan terendah pada tahun 2010 yaitu sebesar 145 ribu ton. Jika dilihat menurut negara tujuan ekspornya, Amerika Serikat memberikan perkembangan yang baik sebagai importir udang Indonesia. Meskipun dalam periode tahun 2008-2010 mengalami penurunan yang cukup besar, namun pada tahun 2011 ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat kembali meningkat menjadi 70 ribu ton dengan nilai US$ 615 juta. Kondisi ini berbeda dengan periode 1993-2002, dimana Amerika Serikat sebagai tujuan utama ekspor dengan pangsa rata-rata 11,46 persen, berada jauh dibawah Jepang dengan rata-rata 57,34 persen (Aisya, et al. 2006). Peningkatan yang terjadi dalam periode ini didukung kuat oleh peningkatan konsumsi udang Amerika Serikat, dimana sejak periode tahun 1997-2005, kebutuhan Amerika Serikat untuk konsumsi rumah tangga tercatat sebesar 355.000 ton dan data statistik menunjukkan konsumsi udang Amerika Serikat selama kurun waktu tahun 1997-2000 rata-rata meningkat tujuh persen lebih tinggi dari konsumsi
0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Vo lum e (T o n) Tahun Jepang Amerika Serikat Uni Eropa
36 tahun 1996 dan melewati rekor tertinggi sebelumnya sebesar dua persen (Infofish, 2003).
Perkembangan nilai ekspor udang Indonesia sama halnya seperti perkembangan volumenya yang berfluktuatif, namun nilai ekspor komoditas ini tidak selalu sejalan dengan perkembangan volumenya. Volume udang seperti yang disebutkan sebelumnya tertinggi pada tahun 2008, akan tetapi nilai ekspor tertingginya justru terjadi pada tahun 2011 yaitu senilai US$ 1,3 miliar, sedangkan pada tahun 2008 hanya US$ 1,1 miliar. Sementara itu, nilai ekspor terendah terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar US$ 948,1 juta. Fenomena ini menunjukkan bahwa nilai ekspor udang Indonesia secara implisit lebih respon terhadap perubahan harga udang dunia (Aisya, et al. 2006).
5.3.2. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa
Uni Eropa (UE) dengan 27 negara anggota saat ini menjadi pasar terbesar di dunia untuk komoditas perikanan. Penduduk yang diperkirakan mencapai hampir setengah miliar akan membutuhkan pasokan bahan pangan yang luar biasa. Diperkirakan konsumsi komoditas perikanan selama enam tahun terakhir mengalami pertumbuhan sebesar 18 persen (Purnomo, 2007a). Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang banyak masuk ke Uni Eropa adalah udang. Perkembangan volume ekspor udang selama 12 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa Tahun 2000- 2011. Sumber: KKP (2012), (diolah) 17,734 20,056 16,140 23,689 26,317 27,775 31,016 28,845 27,834 23,689 13,383 16,659 0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Vo lum e (T o n) Tahun
37 Produk udang yang diekspor ke Uni Eropa terdiri dari bentuk segar (fresh atau chilled), bentuk beku (frozen), dan bentuk olahan (preserved) baik dalam kemasan kedap udara (in airtight containers) maupun kemasan tidak kedap udara (in not airtight containers). Volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa didominasi oleh udang beku dan segar.
Uni Eropa setiap tahunnya mengimpor udang tidak kurang dari 300 ribu ton dan merupakan pasar udang terbesar bersama Jepang dan Amerika Serikat,