• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika, akhirnya dicabut dan diganti dengan Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tanggal 12 Oktober 2009. Undang-Undang ini memberikan peningkatan upaya

pemberantasan peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaannya.59

Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun

internasional. 60

Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan generasi muda pada umumnya. Selain itu, untukmelindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap narkotika, dalam undang-undang ini diatur juga mengenai prekursor narkotika karena prekursor narkotika

59Ibid.

60 “Permasalahan Narkotika di Indonesia”,http://peterrchandradinata.blogspot.com/2009/, diakses pada tanggal 29 Mei 2016.

merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam

pembuatan narkotika.61

1. Asas Keadilan

Dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini, diatur beberapa ketentuan, yang membahas tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut. Ketentuan tentang Dasar, Asas dan Tujuan pengaturan narkotika yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang ini, diselenggarakan berdasarkan :

2. Asas Pengayoman

3. Asas Kemanusiaan

4. Asas Ketertiban

5. Asas Perlindungan

6. Asas Keamanan

7. Asas Nilai – Nilai Ilmiah

8. Kepastian Hukum.62

Tujuan undang-undang narkotika ini, adalah :

1. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan

kesehatan, dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

2. Mencegah melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari

penyalahgunaan narkotika

3. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

61 AR. Sujono, Boy Daniel, Op.Cit., hlm. 60 62 H. Siswanto, Op.Cit, hlm. 21

4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi

penyalah- guna dan pecandu narkotika.63

Dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 terdapat perubahan dalam hal penggolongan narkotika, yakni dalam bagian Lampiran terdapat 65 jenis Narkotika Golongan I. Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I (diantaranya ekstasi) dan Golongan II (diantaranya sabu) ke dalam kategori Narkotika Golongan I. Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh para pecandu narkoba adalah jenis sabu dan ekstasi. Pasal 153 huruf b Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I. Penggabungan jenis psikotropika ke dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 ini dikarenakan makin maraknya penggunaan sabu dan ekstasi di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga ancaman pidana terhadap penggunaan sabu dan ekstasi pada jenis Narkotika Golongan I diperberat dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009. Terdapat pengaturan pemberantasan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran dan

jumlah narkotika.64

63Ibid.

Disamping itu, untuk lebih mengefektifkan pemberantasan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, diatur mengenai kelembagaan, yang merupakan penguatan terhadap lembaga yang sudah ada, yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN merupakan lembaga nonstruktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dalam Undang-Undang ini BNN diperkuat dengan kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan

penyidikan.65

Sedangkan mengenai peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, merujuk pada pasal 1 angka 6 Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009, yaitu “setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika”. Adapun ruang lingkup kegiatan perdaran gelap narkotika menurut Pasal 35 Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih lanjut dalam Pasal 38 Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 dikatakan, bahwa setiap kegiatan peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Sehingga, tanpa adanya dokumen yang sah, peredaran narkotika dan prekursor narkotika tersebut dianggap sebagai peredaran gelap. Dengan demikian, pada dasarnya yang dimaksud dalam Undang-Undang Narkotika adalah peredaran narkotika yang

tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar Undang-Undang

nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).66

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menegaskan bahwa “Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya”. Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan “penyelesaian secepatnya” adalah mulai dari pemeriksaan, pengambilan keputusan, sampai

dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi.67

Disamping itu, Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur mengenai pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan

serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial.68

1. Tidak jauh beda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997,

Narkotika telah digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan berdasarkan kegunaan serta potensi ketergantungan. Dengan penggolongan ini, berat dan ringan sanksi dari suatu tindak pidana ditentukan oleh masing-masing golongan.

Adapun kebijakan kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yaitu :

2. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara,

memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan bukan tanaman, narkotika golongan II dan golongan III. Terdapat dalam Pasal 111, 112, 117, 122;

66 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 67 Akhyar Ari Gayo, Op.cit., hlm. 91

3. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III. Terdapat dalam Pasal 113, 118, 123;

4. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III. Terdapat dalam Pasal 114, 119, 124;

5. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim,

mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III. Terdapat dalam Pasal 115, 120, 125;

6. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain. Terdapat dalam Pasal 116, 121, 126;

7. Setiap penyalahguna Narkotika Golongan I untuk digunakan orang

lain, Narkotika Golongan II dan Narkotika Golongan III bagi diri sendiri. Terdapat dalam Pasal 127;

8. Perbuatan orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur,

yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang dengan sengaja tidak melapor. Terdapat dalam Pasal 128;

9. Memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan, memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. Terdapat dalam Pasal 129;

10.Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana yang

diatur dalam Pasal 111-129. Terdapat dalam Pasal 131;

11.Perbuatan melibatkan anak yang belum cukup umur untuk melakukan

tindak pidana Narkotika yang diatur dalam Pasal 111-126 dan Pasal 129. Terdapat dalam Pasal 133;

12.Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur, keluarga pecandu

Narkotika yang sudah cukup umur dengan sengaja tidak melaporkan hal tersebut. Terdapat dalam Pasal 134;

13.Pengurus industri farmasi yang tidak melakukan kewajibannya

menurut Pasal 4. Terdapat dalam Pasal 135;

14.Pencucian uang yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Narkotika.

Terdapat dalam Pasal 137;

15.Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta

penuntutan dan pemeriksaan perkara Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan. Terdapat dalam Pasal 138;

16.Nakhoda atau Kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28. Terdapat dalam Pasal 139;

17.Perbuatan pejabat penegak hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Terdapat dalam Pasal 140-142;

18.Perbuatan Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam

pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika di sidang pengadilan. Terdapat dalam Pasal 143;

19.Perbuatan pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai

pengobatan, sarana penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan atau menjual bebas Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Terdapat dalam Pasal 147 huruf (a);

20.Perbuatan pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,

membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Terdapat dalam Pasal 147 huruf (b);

21.Perbuatan pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi

Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Terdapat dalam Pasal 147 huruf (c);

22.Pimpinan pedagang besarfarmasi yang mengedarkan Narkotika

pengetahuan atau menjual bebas Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan imu pengetahuan. Terdapat dalam Pasal 147 huruf (d);

Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi pidana, pemidanaan, tindakan dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah:

1. Sanksi yang digunakan pada undang-undang ini berupa sanksi pidana

dan sanksi tindakan (maatregel).

2. Sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa pidana mati, penjara

seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, pidana denda.

3. Pidana tambahan yaitu berupa pencabutan hak tertentu terhadap

korporasi berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum

4. Sanksi tindakan (maateregel) berupa rehabilitasi medis dan sosial serta

pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia setelah menjalani sanksi pidana.

5. Jumlah sanksi pidana juga berbeda-beda yaitu berkhisar antara Rp.

1.000.000,- (satu juta rupiah) sampai Rp. 1.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).

6. Apabila kejahatan dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan pemberatan sebanyak 3 (tiga) kali lipat dari pidana denda yang diancamkan. Kemudian untuk pidana penjara berkisar antara 1 (satu) tahun sampai 20 (dua puluh) tahun

7. Sanksi pidana dirumuskan dalam 4 (empat) bentuk yaitu69

a. Dalam bentuk tunggal, misalnya penjara saja atau denda saja;

:

b. Dalam bentuk alternatif, misalnya pilihan antara penjara saja

atau denda saja;

c. Dalam bentuk kumulatif yaitu pidana penjara dan denda;

d. Dalam bentuk kombinasi/campuran yaitu penjara dan/atau

denda.

8. Adanya ancaman pidana minimal khusus, misalnya penjara maupun

denda

9. Pemberatan terhadap tindak pidana yaitu :

a. Berdasarkan pada jumlah ataupun narkotika

b. Akibat apa yang kemudian ditimbulkan dari perbuatannya,

c. Dilakukan secara terorganisasi dan teratur,

d. Dilakukan dengan menggunakan anak yang belum cukup umur,

e. Apabila ada pengulangan melakukan tindak pidana (recidive)

dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.

f. Pemberatan tindak pidana ini dikecualikan terhadap pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun;

10. Percobaan dan pemufakatan jahat dipidana sama dengan melakukan

tindak pidana.

11. Apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana

Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dapat dijatuhi pidana penjara paling alam 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.

D. Ketentuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Menjadi Perantara

Dokumen terkait