• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Menjadi Perantara Dalam Menyerahkan Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1862 Pid.Sus 2015 PN.MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Menjadi Perantara Dalam Menyerahkan Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1862 Pid.Sus 2015 PN.MDN)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA

Sebelum membahas jauh sejarah pembentukan Undang-Undang Narkotika

dan perkembangannya, maka terlebih dahulu penulis akan meninjau sejarah

keberadaan narkotika itu sendiri.

Pada zaman prasejarah di negeri Mesopotamia, atau lebih dikenal Irak,

dikenal suatu barang yang namanya Gil, yang artinya bahan yang

menggembirakan. Gil ini lazimnya digunakan sebagai obat sakit perut,

kemampuan Gil sangat terkenal pada saat itu, dan Gil menyebar di dunia Barat

sampai Asia dan Amerika. Ada pula bahan lain yang menyerupai candu masak,

yang bernama Jadam. Jadam ini tergolong obat keras yang pada mulanya

berkembang di dunia Arab.36

Pada zaman masa penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius

dan candu sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama Demikianlah Gil, candu, serta jadam dengan segenap zat dan jenisnya

terus berkembang penggunaannya oleh masyarakat di dunia, dan yang

keberadaannya sekarang banyak sekali jenis zat-zat narkotika, baik yang

tergolong alami maupun sintetis (buatan). Jenis-jenis narkotika tersebut akan

diuraikan pada bagian berikutnya. Karena perkembangan peredaran narkotika

yang begitu cepat maka banyak kasus kejahatan narkotika yang muncul di

masyarakat, kasus kejahatan narkotika itu hampir kebanyakan menimpa remaja.

(2)

masyarakat golongan menengah. Oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah

Hindia-Belanda mengeluarkan V.M.O Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536, yaitu

peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S., yaitu peraturan tentang obat bius

yang berlaku di Belanda. Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad van Indien,

mengeluarkan Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536 tentang Verdovende Midellen

Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang Obat Bius.

Undang-Undang tersebut adalah untuk mempersatukan dalam satu undang-undang tentang

ketentuan mengenai candu dan obat-obatan bius lainnya.37

Sebelum Indonesia merdeka, penegakan hukum terhadap tindak pidana

narkotika oleh pemerintah Hindia Belanda ketika itu, bertujuan menyatukan

berbagai ketentuan mengenai perdagangan candu, telah ditetapkan Verdoovende

Middellen Ordonantie Stbl. 1927 Nomor 278 jo. 536 atau Ordonansi Obat Bius,

yang telah diberlakukan pada tanggal 1 Januari 19928 dan ditempatkan dalam

Tambahan Lembaran Negara, tanggal 22 Juli 1928 dan tanggal 3 Februari 1928.

Setelah Indonesia merdeka Ordonansi Obat Bius 1927 Nomor 278 dan 536, dan

ketentuan yang berkaitan dengan candu ini masih terus berlaku berdasarkan Pasal

II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala

badan negara dan peraturan yang masih ada masih langsung berlaku, selama

belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.38

37

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2003) cetakan pertama,hlm. 163

38 Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum

(3)

Awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering terjadi

di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar pun semakin banyak pula

ragamnya. Kenyataan inilah yang mendorong timbulnya kesadaran akan perlunya

segera dibentuk suatu undang-undang yang dapat menjangkau bentuk

penyalahgunaan narkotika. Setidak-tidaknya undang-undang yang baru itu dapat

menimbulkan rasa takut bagi anggota masyarakat untuk tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Narkotika.39

Soedjono Dirdjosisworo mengatakan beberapa hal yang menonjol

mengenai hal ini adalah kecenderungan kecanduan dan ketagihan narkotika yang

membutuhkan terapi dan perbedaannya dengan mereka yang mengadakan serta

mengedarkan secara gelap tidak diatur secara tegas. Kenyataan bahwa V.M.O

tidak memenuhi syarat lagi sebagai Undang-Undang Narkotika disamping tidak

cocok lagi dengan kenyataan admisnistrasi peradilan pidana dewasa ini.40

1. Tidak adanya keseragaman di dalam pengertian narkotika

Khusus dalam masalah penyalahgunaan narkotika ketentuan hukum belum

dapat menjangkaunya, sebab ketentuan-ketentuan tersebut bersumber kepada

ketentuan lama yang memiliki kelemahan-kelemahan, berupa :

2. Sanksi terlalu ringan dibanding dengan akibat penyalahgunaannya

3. Ketidaktegasan pembatasan pertanggungjawaban terhadap penjual,

pemilik, pengedar, pemakai, dan penyimpan narkotika.

4. Ketidak serasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika

39 Hari Sasangka, Op.cit., hlm. 165

(4)

5. Belum ada badan bertingkat nasional yang khusus mengenai masalah

penyalahgunaan narkotika

6. Belum adanya ketentuan khusus wajib lapor adanya penyalahgunaan

narkotika

7. Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang berjasa dalam

penyelidikan-penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.

Mengingat hal diatas, maka dipandang perlu dalam waktu yang relatif

singkat untuk mengadakan pembaruan dan penyempurnaan perundang-undangan

tentang narkotika, dan diharapkan peraturan efektif di dalam pengimplementasian

dan tepat sasaran di dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika.41

Undang-undang pidana yang baik adalah yang sejalan dengan tuntutan

perkembangan sosial bisa dipandang sebagai sarana untuk melakukan tindakan

prevensi umum. Demikian halnya dengan upaya menghadapi bahaya narkotika.

Secara yuridis, khususnya hukum pidana pemerintah didukung oleh kalangan ahli

dan praktisi menyadari pentingnya Undang-Undang Narkotika. Persepsi kalangan

mengenai relevan dan tanda hadirnya Undang-Undang Narkotika Nasional yang

baru merupakan dukungan besar atas diterbitkannya undang-undang tentang

narkotika. 42

Untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya penanggulangan

terhadap penyalahgunaan narkotika, maka sebagai dasar hukum dari

Undang-Undang adalah sebagai berikut.

(5)

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan

3. Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971

4. Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kepolisian.

5. Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kesehatan.

6. Undang-Undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi

7. Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa

8. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman

9. Undang-Undang No. 6 Tahun 1976 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kesejahteraan Nasional

10.Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi

Tunggal Narkotika 1961, beserta protokol yang mengubahnya.

11.Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap

Narkotika dan Psikotropika.

Dengan mengingat dasar-dasar ketentuan undang-undang diatas, maka

pemerintah memutuskan :

1. Mencabut V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie) 1972 No. 278

(6)

2. Memperbarui Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36 Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3086)

3. Menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1997

Tanggal 1 September 1997 tentang Narkotika. (Lembaran Negara

Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3698).43

A. Kebijakan Hukum Pidana tentang Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976

Perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era

globalisasi adalah merupakan salah satu penyebab diproduksinya berbagai macam

jenis narkotika, kecuali itu bahwa pada era pesatnya kemajuan komunikasi seperti

sekarang ini terasa semakin mudahnya pendistribusian atau peredaran narkotika

yang dapat menjangkau wilayah-wilayah terpelosok di seluruh Indonesia, padahal

sebelumnya masyarakat daerah itu tidak mengenal barang-barang haram seperti

narkotika dan jenisnya.

Undang-undang ini mengatur lebih luas cakupannya, lebih lengkap, lebih

berat ancaman pidananya. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah44

1. Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terperinci

:

2. Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut

3. Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan

rehabilitasinya

(7)

4. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni

penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas

pengangkutan serta penggunaan narkotika.

5. Acara pidananya bersifat khusus

6. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran

kejahatan narkotika

7. Mengatur kerjasama internasional dalam penanggulangan narkotika

8. Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP

9. Ancaman pidananya lebih berat

Dalam Bab IV Undang-Undang ini, diatur tentang perbuatan-perbuatan

yang dilarang, yang meliputi45

1. Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai

dalam persediaan. Memiliki, menyimpan, atau menguasai tanaman

papaver, tanaman koka atau tanaman ganja. Terdapat dalam Pasal 23

ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1); :

2. Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi,

mengonversi, meracik, atau menyediakan narkotika. Terdapat dalam

Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2);

3. Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan, untuk memiliki atau

untuk persediaan atau menguasai narkotika. Terdapat dalam Pasal 23

ayat (3) dan Pasal 36 ayat (3).

(8)

4. Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau

mentransit narkotika. Terdapat dalam Pasal 23 ayat (4) dan Pasal 36

ayat (4);

5. Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan

untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,

menerima menjadi perantara, dalam jual beli atau menukar narkotika.

Terdapat dalam Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 36 ayat (5);

6. Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain

atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. Terdapat

dalam Pasal 23 ayat (6) dan Pasal 36 ayat (6);

7. Dilarang secara tanpa hak menggunakan bagi dirinya sendiri. Terdapat

dalam Pasal 23 ayat (7) dan Pasal 36 ayat (7);

8. Kelalaian yang menegakibatkan dilanggarnya ketentuan dalam Pasal

23 ayat (1) diatas tanah atau tempat miliknya yang dikuasainya;

9. Dilarang membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan

tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1)

sampai dengan ayat (7) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976;

10.Dilarang penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali

untuk pengobatan. Terdapat dalam Pasal 24 dan Pasal 40;

11.Perbuatan Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit,

dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak

melaksanakan kewajiban menurut Pasal 18 dan Pasal 19

(9)

12.Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam

tanaman Papaver, Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban

membuat laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). Terdapat

dalam pasal 42;

13.Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan

kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975.

Terdapat dalam Pasal 43;

14.Perbuatan menghalangi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan

narkotika. Terdapat dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 47;

15.Perbuatan tidak melaporkan adanya narkotika yang tidak sah kepada

pihak yang berwajib. Terdapat dalam Pasal 48;

16.Semua tindak pidana dalam undang-undang ini dikualifikasikan

sebagai kejahatan kecuali Pasal 47 mengenai saksi yang membocorkan

identitas pelapor dianggap sebagai delik pelanggaran.

Hal-hal yang menjadi pertimbangan digantinya Vervonde Midellen

Ordonantieadalah sehubungan dengan perkembangan lalu lintas dan alat-alat

perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya

penyebaran/pemasukan narkotika ke Indonesia. Ditambah lagi dengan kemajuan

di bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai bila tetap

memakai undang-undang tersebut. Dalam Vervonde Midellen Ordonantie hanya

mengatur tentang perdagangan dan penggunaan narkotika. Narkotika tidak saja

diperlukan dalam dunia pengobatan, tetapi juga dalam penelitian untuk tujuan

(10)

untuk mengimpor narkotika dan mengekspor obat-obatan yang mengandung

narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka dan Ganja.

Keadaan yang seperti inilah yang akhirnya menimbulkan keharusan untuk

membuat undang-undang baru khusus tentang narkotika. Atas problema demikian,

lahirlah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 yang kemudian disempurnakan lagi

dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 pada tanggal 1

September 1997. Lembaran Negara RI No. 67, tambahan Lembaran Negara RI

No. 3698 Tahun 1997.46

46 Hari sasangka, Op.cit., hlm. 58

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur

mengenai sanksi yang diancamkan terhadap tindak pidana. Sanksi ini bertujuan

untuk memaksimalkan peranan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang

Narkotika mengenai penanggulangan tindak pidana narkotika.

Sanksi pidana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 10 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yaitu:

a. Pidana Pokok yaitu :

1. Pidana mati;

2. Pidana penjara;

3. Pidana kurungan;

4. Pidana denda;

5. Pidana tutupan.

b. Pencabutan hak-hak tertentu;

(11)

2. Perampasan putusan hakim.

Adapun kebijakan hukum pidana terkait sanksi dan pemidanaan dalam

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah sebagai berikut:

1. Jenis pidana yang digunakan adalah : pidana mati, penjara, kurungan,

denda, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan.

2. Pidana terberat yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda

setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

diancamkan terhadap tindak pidana membawa, mengirim,

mengangkut, mentransit narkotika, mengimpor, mengekspor,

menawarkan untuk dijual, meyalurkan, menjual, membeli,

menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau

menukar narkotika sebagaimana diatur dalam Paal 36 ayat (4) dan (5)

sedangkan pidana teringan yaitu berupa 1 (satu) tahun kurungan

diancamkan terhadap tindak pidana saksi yang membuka identitas

pelapor tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 47

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976.

3. Mayoritas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1976 tentang Narkotika merumuskan dua (2) jenis pidana pokok yaitu

pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif.

4. Pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi bagi penyalahgunaan narkotika

(pelaku yang melanggar pasal 36 ayat (7)) dan sanksi tindakan berupa

(12)

warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika.

Dengan demikian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang

Narkotika telah mengkombinasikan antara sanksi pidana dengan sanksi

tindakan.

5. Percobaan (poging) melakukan tindak pidana narkotika diancam

dengan sanksi yang sama dengan tindak pidana narkotika. Hal ini

merupakan kekhususan dari aturan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana yang mengurangi sanksi 1/3 terhadap percobaan

(poging).

6. Ancaman sanksi pidana diperberat sebesar 1/3 dengan batasan

maksimum 20 (dua puluh) tahun bagi pelaku yang membujuk anak

dibawah umur melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 36

ayat (1) sampai dengan ayat (7).

7. Ancaman sanksi pidana penjara diperberat 1/3 tanpa batasan

maksimum serta untuk pidana denda dikalikan 2 (dua) bagi pelaku

yang melakukan pengulangan (recidive) terhadap tindak pidana yang

diatur dalam pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7).

8. Pencabutan hak terhadap importir, pabrik farmasi, pedagang besar

farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan

lembaga pendidikan, nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi

sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) butir 1 sampai dengan 6

(13)

B. Kebijakan Hukum Pidana tentang Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

Dalam perkembangannya, kejahatan narkotika sudah semakin canggih,

sehingga ditemukan adanya kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor

9 Tahun 1976. Untuk itu, dilakukan revisi terhadap Undang-Undang tersebut

dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.

Kurang lebih sepuluh tahun Undang-Undang nomor 22 Tahun 1997 diberlakukan,

ditemukan adanya kenyataan bahwa organisasi sindikat peredaran gelap narkotika

sudah beroperasi dengan semakin canggih. Organisasi ini memiliki modal yang

besar, teknologi tinggi, manajemen yang sangat rahasia, mobilitas tinggi, tegas

dan kejam terhadap anggota atau orang yang mengancam eksistensi

organisasinya, serta bekerja dengan berbagai macam modus operandinya.

Kecanggihan ini membutuhkan aturan yang sangat fleksibel dan menutup

berbagai kelemahan aturan yang menjadi entry point dari sindikat yang canggih

ini.47

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diberlakukan

pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1997

Nomor 67 serta Tambahan Lembar Negara Nomor 3698. Latar belakang

diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam

penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan pengendalian dan

pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika. Kejahatan-kejahatan narkotika pada umumnya tidak

(14)

dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara

bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap,

rapi dan sangat rahasia.48

Disamping itu kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan

dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk

pengamanan-pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika. Perkembangan kualitas

kejahatan narkotika sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan

manusia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 mempunyai cakupan yang lebih

luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidana yang

diperberat.49

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini,

diatur beberapa ketentuan, tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian

dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut, serta Didalam peraturan pelaksana itu, yang dibuat pada pokoknya adalah

bagaimana cara para aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya, serta

bagaimana para subyek hukum harus bertindak apabila berhubungan dengan kasus

narkotika, dan bagaimana pula ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 itu

dapat diterapkan ke dalam hukum budaya yang sudah ada, agar undang-undang

tersebut jangan hanya berupa teori yang sempurna di atas kertas saja, namun yang

paling penting adalah aplikasinya di lapangan. Untuk dapat melaksanakan

persoalan itu, maka mengacu pada peraturan menteri sebagaimana petunjuk teknis

pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983.

(15)

ruang lingkup dan tujuan pengaturan narkotika dalam undang-undang. Narkotika

digolongkan menjadi narkotika golongan I, narkotika golongan II dan narkotika

golongan III.50

Proses pada periode awal penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

tentang bahaya narkotika banyak mendapat hambatan dari masyarakat, sebab

selain kelemahan yang datang dari masyarakat itu sendiri juga dikarenakan sanksi

yang diberikan oleh undang-undang tersebut sangat terasa pada saat itu. 51

Proses penerapan Undang-Undang No. 22 tahun 1997 relatif cukup baik.

Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa perkembangan zaman akan membuat

situasi seperti ini berubah atau bahkan sebaliknya. Karena adanya pengaruh Bagi para pihak yang tersangkut dengan masalah narkotika, dengan

segenap upayanya mencoba untuk menghindari hukuman atau sanksi yang

diancamkan atas dirinya, usaha ini sering mengakibatkan para penegak hukum

diseret ke arah perbuatan tercela, seperti menerima imbalan jasa agar kasus para

pihak yang terlibat tersebut tidak diproses, atau meminta pengurangan hukuman,

dan lain sebagainya.

Di era tahun 1980-an, banyak negara-negara di dunia mulai tumbuh

kesadaran betapa besarnya bahaya narkotika, dan yang menyebabkan

pemerintahan dari masing-masing negara itu membatasi ruang gerak peredaran

narkotika, apalagi Indonesia sebagai negara yang populasi penduduknya cukup

tinggi sangat menyadari tentang bahaya narkotika yang dapat mengancam

terhentinya perkembangan generasi muda.

50 H. Siswanto, Op.Cit., hlm. 13

(16)

pengedaran narkotika yang semakin berkembang baik dari internasional, maupun

banyaknya warga masyarakat yang memiliki masalah ekonomi, apalagi yang

tinggal di kota-kota besar, yang termasuk kategori pengangguran sering sekali

terikut zaman melakukan perbuatan-perbuatan yang jelas jelas memang dilarang

negara. Maka dapat disimpulkan, bahwa undang-undang narkotika dimasa yang

akan datang akan menghadapi semakin banyak permasalahan baik tantangan

maupun hambatan. Maka dengan itu, para aparat penegak hukum juga diharapkan

dapat dengan sungguh-sungguh melaksanakan undang-undang, khususnya pihak

kepolisan dan kejaksaan.

Dalam penerapan pada setiap tahap yang dimulai dari penyelidikan,

penyidikan sampai penuntutan diupayakan agar tersangka atau terdakwa dapat

dipersalahkan dengan tidak meninggalkan praduga tak bersalah. Masalahnya

karena penerapan Undang-Undang Narkotika belum dilaksanakan secara

konsisten, apabila ancaman/sanksi yang diberikan belum sesuai dengan apa yang

digariskan oleh Pasal-Pasal dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika.52

52Ibid. hlm. 60

Sedangkan penerapan sanksi pidana terhadap terdakwa dalam perkara

pidana pada sistem hukum Indonesia adalah merupakan wewenang dari

pengadilan, jadi apabila menginginkan antara sanksi yang diberikan dengan sanksi

yang ada dalam undang-undang narkotika adalah sama, maka dengan demikian

(17)

Menurut Undang-Undang Narkotika, hakim diberi kebebasan untuk

mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti keyakinannya, sesuai menurut

sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana. Sistem pembuktian

menurut Undang-Undang, hakim tidak boleh menghukum kecuali didukung oleh

alat bukti sekurang-kurangnya keyakinan hakim yang berlandaskan alat-alat

bukti.53

1. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.

Berhubung Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 menggariskan bahwa

perkara pidana narkotika merupakan pidana yang harus didahulukan, baik

pemeriksaan, penuntutan maupun peradilannya, maka pihak penyidik, penuntut

umum maupun pihak Pengadilan Negeri selalu memprioritaskan perkara ini, yang

lazim dikenal dengan asas lex specialis de rogaat lex generalis, yaitu ketentuan

khusus mengenyampingkan ketentuan umum.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 defenisi narkotika adalah

zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun

semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan (Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 22

Tahun 1997)

Tujun pengaturan narkotika itu sendiri menurut Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1997 adalah untuk :

(18)

2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika

3. Memberantas peredaran gelap narkotika (Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997)54

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 merupakan salah satu

undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar KUHP. Hubungan Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997 dengan KUHP memiliki uraian yang sama dengan Bab IV

huruf D.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 merupakan tindak pidana khusus,

dan kekhususannya meliputi hukum materiil dan formil. Kekhususan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, dalam hukum materiilnya antara lain55

1. Ada ancaman pidana penjara minimum dan pidana denda minimum

dalam beberapa pasalnya.

:

2. Putusan pidana denda apabila tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak

pidana narkotika, dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda.

3. Pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda bisa dijatuhkan

bersama-sama (kumulatif) dalam beberapa pasal.

4. Pelaku percobaan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam

pasal-pasal tersebut (Pasal 83).

5. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan

terorganisasi atau yang dilakukan oleh korporasi, lebih berat.

(19)

6. Ada pemberatan pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan

tertentu dan membujuk anak yang belum cukup umur untuk

melakukan tindak pidana narkotika tertentu (Pasal 87).

7. Bagi pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja

tidak melaporkan diri diancam pidana, demikian juga terhadap

keluarga pecandu narkotika juga diancam pidana (Pasal 88).

8. Bagi orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang

sengaja tidak melapor diancam pidana, sedangkan pecandu narkotika

yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau

walinya tidak dituntut pidana (Pasal 86).

9. Ada ketentuan khusus yang mengatur tentang Residive (Pasal 96).

Kekhususan dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997 terhadap

hukum formalnya, antara lain56

1. Perkara tindak pidana narkotika termasuk perkara yang didahulukan

penyelesaiannya (Pasal 64). :

2. Penyidik mempunyai wewenang tambahan dan prosedur yang

menyimpang dari KUHAP.

3. Pemerintah wajib memberikan jaminan dan keamanan perlindungan

kepada pelapor (Pasal 57 ayat (3)).

4. Di dalam persidangan pengadilan saksi dan orang lain yang

bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika, dilarang

menyebut nama dan alamat pelapor (Pasal 76 ayat (1)).

(20)

5. Ada prosedur khusus pemusnahan barang bukti narkotika (Pasal 60,

61, dan 62).

AR. Sujono dan Bony Daniel mencoba mengelompokkan kejahatan yang

menyangkut narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika yaitu57

1. Menyangkut produksi narkotika. Di dalamnya diatur bukan hanya

mengenai produksi narkotika, melainkan juga termasuk perbuatan

dalam lingkup mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit dan

menyediakan narkotika; :

2. Menyangkut pengangkutan dan transito narkotika. Di dalamnya diatur

perbuatan yang termasuk dalam kategori membawa, mengirim dan

mentransito narkotika. Ada pula tindak pidana khusus ditujukan

kepada nakhoda atau kapten penerbang karena tidak melakukan

tugasnya dengan baik;

3. Menyangkut jual-beli narkotika. Tidak hanya kategori jual-beli dalam

arti sempit, melainkan juga sudah termasuk dalam perbuatan

ekspor-impor, tukar-menukar, menyalurkan dan menyerahkan narkotika;

4. Menyangkut penguasaan narkotika;

5. Menyangkut penyalahgunaan narkotika;

6. Menyangkut kriminalisasi terhadap perbuatan yang tidak melaporkan

pecandu narkotika;

7. Menyangkut label dan publikasi narkotika;

(21)

8. Menyangkut proses hukum terhadap tindak pidana narkotika.

Kebijakan hukum pidana terkait sanksi, pemidanaan dan pemberatan

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak terlalu

jauh berbeda dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika.

Dari segi jenis jenis sanksi, sanksi pidana dan sanksi tindakan (maaregel).

Sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa pidana mati, penjara

seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, pidana

denda serta pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu kecuali untuk tindak

pidana yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebih Rp.

5.000.000.000,- (lima juta rupiah) dan perampasan hasil tindak pidana narkotika.

Sedangkan sanksi tindakan (maatgerel) berupa rehabilitasi yang meliputi

pengobatan dan perawatan serta pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah

Indonesia bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia

setelah menjalani sanksi pidana.

Sanksi pidana penjara dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang Narkotika umumnya diancamkan secara kumulatif bersama dengan pidana

denda. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan hukuman sehingga menimbulkan

efek jera yang lebih nyata dalam penerapannya. Pemaksimalan hukuman tersebut

dapat juga dilihat dengan adanya ancaman pidana minimal khusus (penjara

maupun denda) dalam ketentuan pidana undang-undang tersebut.

Pemaksimalan hukuman dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang Narkotika semakin terlihat dengan adanya pemberatan terhadap tindak

(22)

dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak yang belum

cukup umur dan apabila ada pengulangan (recidive) pemberatan ini dapat

dikatakan sangat membebani para pelanggar mengingat cukup beratnya sanksi

pidana yang diancamkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

bervariasi. Untuk pidana denda berkisar antara Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)

sampai Rp. 7.000.000.000,- (tujuh milyar rupiah) dan untuk pidana penjara

berkisar antara 3 (tiga) bulan sampai 20 (dua puluh) tahun.

Ada juga ketentuan lain mengenai kebijakan terkait sanksi pidana,

pemidanaan dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

adalah dengan dipidananya percobaan dan pemufakatan jahat dengan ancaman

yang sama dengan melakukan tindak pidana. Perumusan kebijakan terkait sanksi

yang sangat memberatkan bagi pelanggar dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun

1997 tentang Narkotika diharapkan dapat memaksimalkan peranan

Undang-Undang ini dalam menanggulangi tindak pidana narkotika.

Kemudian dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas

tindak pidana narkotika, akhirnya dicabut dan diganti dengan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tanggal 12 Oktober 2009,

Undang-Undang ini memberikan peningkatan upaya pemberantasan peredaran gelap

narkotika dan penyalahgunaannya.58

(23)

C. Kebijakan Hukum Pidana tentang Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dianggap sudah

tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang

untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika, akhirnya dicabut

dan diganti dengan Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

tanggal 12 Oktober 2009. Undang-Undang ini memberikan peningkatan upaya

pemberantasan peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaannya.59

Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan,

melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan

merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang

bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun

internasional. 60

Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini untuk

mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif

maupun kualitatif dengan generasi muda pada umumnya. Selain itu,

untukmelindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan

mencegah serta memberantas peredaran gelap narkotika, dalam undang-undang

ini diatur juga mengenai prekursor narkotika karena prekursor narkotika

59Ibid.

(24)

merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam

pembuatan narkotika.61

1. Asas Keadilan

Dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini,

diatur beberapa ketentuan, yang membahas tentang etimologi dan terminologi

sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika

tersebut. Ketentuan tentang Dasar, Asas dan Tujuan pengaturan narkotika yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Undang-undang ini, diselenggarakan berdasarkan :

2. Asas Pengayoman

3. Asas Kemanusiaan

4. Asas Ketertiban

5. Asas Perlindungan

6. Asas Keamanan

7. Asas Nilai – Nilai Ilmiah

8. Kepastian Hukum.62

Tujuan undang-undang narkotika ini, adalah :

1. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan

kesehatan, dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

2. Mencegah melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari

penyalahgunaan narkotika

3. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

(25)

4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi

penyalah- guna dan pecandu narkotika.63

Dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 terdapat perubahan dalam

hal penggolongan narkotika, yakni dalam bagian Lampiran terdapat 65 jenis

Narkotika Golongan I. Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini

dikarenakan digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I (diantaranya ekstasi)

dan Golongan II (diantaranya sabu) ke dalam kategori Narkotika Golongan I.

Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh para

pecandu narkoba adalah jenis sabu dan ekstasi. Pasal 153 huruf b Undang-Undang

nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa lampiran mengenai jenis Psikotropika

Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran

Undang-Undang nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah dipindahkan menjadi

Narkotika Golongan I. Penggabungan jenis psikotropika ke dalam

Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 ini dikarenakan makin maraknya penggunaan sabu

dan ekstasi di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga ancaman pidana terhadap

penggunaan sabu dan ekstasi pada jenis Narkotika Golongan I diperberat dalam

Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009. Terdapat pengaturan pemberantasan

sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua

puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan

pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran dan

jumlah narkotika.64

63Ibid.

(26)

Disamping itu, untuk lebih mengefektifkan pemberantasan peredaran

gelap dan penyalahgunaan narkotika, diatur mengenai kelembagaan, yang

merupakan penguatan terhadap lembaga yang sudah ada, yaitu Badan Narkotika

Nasional (BNN). BNN merupakan lembaga nonstruktural yang berkedudukan di

bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dalam Undang-Undang

ini BNN diperkuat dengan kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan

penyidikan.65

Sedangkan mengenai peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika,

merujuk pada pasal 1 angka 6 Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009, yaitu

“setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau

melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika”. Adapun ruang

lingkup kegiatan perdaran gelap narkotika menurut Pasal 35 Undang-Undang

nomor 35 Tahun 2009 meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan

penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan

perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih lanjut dalam Pasal 38

Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 dikatakan, bahwa setiap kegiatan

peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Sehingga, tanpa

adanya dokumen yang sah, peredaran narkotika dan prekursor narkotika tersebut

dianggap sebagai peredaran gelap. Dengan demikian, pada dasarnya yang

dimaksud dalam Undang-Undang Narkotika adalah peredaran narkotika yang

(27)

tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar Undang-Undang

nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).66

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menegaskan bahwa “Perkara

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika termasuk perkara yang

didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian

secepatnya”. Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan “penyelesaian

secepatnya” adalah mulai dari pemeriksaan, pengambilan keputusan, sampai

dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi.67

Disamping itu, Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur

mengenai pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan

serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial.68

1. Tidak jauh beda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997,

Narkotika telah digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan berdasarkan

kegunaan serta potensi ketergantungan. Dengan penggolongan ini,

berat dan ringan sanksi dari suatu tindak pidana ditentukan oleh

masing-masing golongan.

Adapun kebijakan kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun

2009 tentang Narkotika yaitu :

2. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara,

memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I

dalam bentuk tanaman, dan bukan tanaman, narkotika golongan II dan

golongan III. Terdapat dalam Pasal 111, 112, 117, 122;

66 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 67 Akhyar Ari Gayo, Op.cit., hlm. 91

(28)

3. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika

golongan II, narkotika golongan III. Terdapat dalam Pasal 113, 118,

123;

4. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli

menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan

II, dan narkotika golongan III. Terdapat dalam Pasal 114, 119, 124;

5. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim,

mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, narkotika

golongan II, narkotika golongan III. Terdapat dalam Pasal 115, 120,

125;

6. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan

I, Narkotika Golongan II, Narkotika Golongan III untuk digunakan

orang lain. Terdapat dalam Pasal 116, 121, 126;

7. Setiap penyalahguna Narkotika Golongan I untuk digunakan orang

lain, Narkotika Golongan II dan Narkotika Golongan III bagi diri

sendiri. Terdapat dalam Pasal 127;

8. Perbuatan orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur,

yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang dengan sengaja tidak

(29)

9. Memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan, memproduksi,

mengimpor, mengekspor atau menyalurkan, menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar, atau menyerahkan prekursor narkotika untuk pembuatan

narkotika membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito

prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. Terdapat dalam Pasal

129;

10.Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana yang

diatur dalam Pasal 111-129. Terdapat dalam Pasal 131;

11.Perbuatan melibatkan anak yang belum cukup umur untuk melakukan

tindak pidana Narkotika yang diatur dalam Pasal 111-126 dan Pasal

129. Terdapat dalam Pasal 133;

12.Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur, keluarga pecandu

Narkotika yang sudah cukup umur dengan sengaja tidak melaporkan

hal tersebut. Terdapat dalam Pasal 134;

13.Pengurus industri farmasi yang tidak melakukan kewajibannya

menurut Pasal 4. Terdapat dalam Pasal 135;

14.Pencucian uang yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Narkotika.

Terdapat dalam Pasal 137;

15.Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta

penuntutan dan pemeriksaan perkara Tindak Pidana Narkotika

dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika di muka sidang

(30)

16.Nakhoda atau Kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak

melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau

Pasal 28. Terdapat dalam Pasal 139;

17.Perbuatan pejabat penegak hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Terdapat dalam Pasal

140-142;

18.Perbuatan Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam

pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika di sidang pengadilan.

Terdapat dalam Pasal 143;

19.Perbuatan pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai

pengobatan, sarana penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah,

dan apotek yang mengedarkan atau menjual bebas Narkotika Golongan

II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Terdapat

dalam Pasal 147 huruf (a);

20.Perbuatan pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,

membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk

kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Terdapat dalam Pasal

147 huruf (b);

21.Perbuatan pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi

Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu

pengetahuan. Terdapat dalam Pasal 147 huruf (c);

22.Pimpinan pedagang besarfarmasi yang mengedarkan Narkotika

(31)

pengetahuan atau menjual bebas Narkotika Golongan II dan III bukan

untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk

kepentingan pengembangan imu pengetahuan. Terdapat dalam Pasal

147 huruf (d);

Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi pidana, pemidanaan, tindakan dan

pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

adalah:

1. Sanksi yang digunakan pada undang-undang ini berupa sanksi pidana

dan sanksi tindakan (maatregel).

2. Sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa pidana mati, penjara

seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana

kurungan, pidana denda.

3. Pidana tambahan yaitu berupa pencabutan hak tertentu terhadap

korporasi berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status

badan hukum

4. Sanksi tindakan (maateregel) berupa rehabilitasi medis dan sosial serta

pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga

negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia setelah

menjalani sanksi pidana.

5. Jumlah sanksi pidana juga berbeda-beda yaitu berkhisar antara Rp.

1.000.000,- (satu juta rupiah) sampai Rp. 1.000.000.000,- (sepuluh

(32)

6. Apabila kejahatan dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan

pemberatan sebanyak 3 (tiga) kali lipat dari pidana denda yang

diancamkan. Kemudian untuk pidana penjara berkisar antara 1 (satu)

tahun sampai 20 (dua puluh) tahun

7. Sanksi pidana dirumuskan dalam 4 (empat) bentuk yaitu69

a. Dalam bentuk tunggal, misalnya penjara saja atau denda saja;

:

b. Dalam bentuk alternatif, misalnya pilihan antara penjara saja

atau denda saja;

c. Dalam bentuk kumulatif yaitu pidana penjara dan denda;

d. Dalam bentuk kombinasi/campuran yaitu penjara dan/atau

denda.

8. Adanya ancaman pidana minimal khusus, misalnya penjara maupun

denda

9. Pemberatan terhadap tindak pidana yaitu :

a. Berdasarkan pada jumlah ataupun narkotika

b. Akibat apa yang kemudian ditimbulkan dari perbuatannya,

c. Dilakukan secara terorganisasi dan teratur,

d. Dilakukan dengan menggunakan anak yang belum cukup umur,

e. Apabila ada pengulangan melakukan tindak pidana (recidive)

dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.

(33)

f. Pemberatan tindak pidana ini dikecualikan terhadap pidana

mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama

20 (dua puluh) tahun;

10. Percobaan dan pemufakatan jahat dipidana sama dengan melakukan

tindak pidana.

11. Apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana

Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dapat

dijatuhi pidana penjara paling alam 2 (dua) tahun sebagai pengganti

pidana denda yang tidak dapat dibayar.

D. Ketentuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Menjadi Perantara Narkotika Secara Tanpa Hak dan Melawan Hukum

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga

mengatur mengenai peredaran narkotika yang isinya “Peredaran Narkotika

meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan

narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun

pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi”.

Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di

bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat

merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat

dan seksama.

Dari pengertian sebagaimana terdapat dalam Pasal 35 jo. Pasal 36

(34)

merupakan sebuah istilah hukum karena istilah ini telah disebut secara tegas

dalam pasal aquo bahwa peredaran narkotika adalah kegiatan penyaluran atau

penyerahan narkotika dalam rangka perdagangan maupun pemindahtanganan

narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi dengan syarat dan tata cara perizinan tertentu.70

- Kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika yang bukan dalam

rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah peredaran

narkotika yang ilegal;

Dengan demikian, maka diperoleh kesimpulan :

- Kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika yang dalam rangka

kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak sesuai

dengan syarat dan tata cara perizinan adalah peredaran narkotika yang

ilegal.

Perhatian terhadap penyalahgunaan narkotika patut menjadi prioritas, oleh

karena dampak negatif yang ditimbulkannya sangat luas dan kompleks, serta

mempengaruhi kemunduran pada berbagai aspek kehidupan bagi lingkungan

sosial, keluarga dan masyarakat sekitar. Kehidupannya akan menjadi

kontra-produktif, malas, sembrono, bersifat asosial, mengahalalkan segala cara dan

apabila merasa ketagihan tetapi tidak memiliki apa yang dibutuhkan maka akan

melakukan apa saja termasuk melakukan kejahatan demi memenuhi ketagihannya

atas narkotika.71

70 AR. Sujono, Bony Daniel, Op.cit, hlm. 97

71 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana

(35)

Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

terdapat 4 (empat) kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh

undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni :

a. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor

narkotika;

b. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memprouksi,

mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika dan

prekursor narkotika;

c. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan

untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara

dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan

prekursor narkotika;

d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa,

mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekursor

narkotika.

Dicantumkannya ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maka

barangsiapa yang terbukti telah melanggar suatu ketentuan pidana, secara formal

perbuatan dimaksud adalah melawan hukum karena perbuatan dimaksud telah

melanggar suatu larangan yang dicantumkan dalam undang-undang pidana.

(36)

perbuatan yang didakwakan perbuatan terdakwa secara formal telah memenuhi

rumusan delik dari KUHP.72

Ketika membicarakan mengenai melawan hukum bukan secara formal,

yaitu bertentangan dengan undang-undang dalam hal ini undang – undang pidana,

akan tetapi melawan hukum secara materiil, yaitu tentang melawan hukum

menurut sifatnya dari perbuatan yang telah dilakukan orang, berlandaskan kepada

asas-asas umum yang didasarkan kepada hukum, walaupun hal itu berakar pada

kaidah-kaidah yang tidak tertulis, maka sebagaimana telah dikemukakan

sebelumnya dengan adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP bagi dilarangnya sesuatu

perbuatan pertama-tama diisyaratkan bahwa perbuatan dimaksud secara formal

adalah melawan hukum maka tugas hakim pidana seharusnya tidak berhenti

sampai disini, melainkan perlu melanjutkan permasalahan lebih jauh, apakah

perbuatan yang secara formal melawan hukum. Untuk itu perlu turut

dipertimbangkan asas-asas umum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.73

a. Setiap orang

Unsur-unsur tindak pidana dalam ketentuan Pasal 114 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009, tentang Narkotika ini adalah :

b. Tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau

menyerahkan

c. Narkotika Golongan I

(37)

Ad.a. Setiap orang

Yang dimaksudkan dengan setiap orang, yaitu subjek tindak pidana

sebagai orang yang diajukan dipersidangan adalah benar sebagaimana

disebutkan identitasnya dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Setiap orang adalah siapa saja tanpa terkecuali dan oleh karena itu tentulah

sejajar dengan yang dimaksudkan dengan istilah barang siapa sebagaimana

beberapa rumusan tindak pidana dalam KUHP. Meskipun tidak dijelaskan

secara tegas dalam rumusan tindak pidana unsur barang siapa tetap harus

dibuktikan.74

Tanpa hak memiliki arti bahwa si pelaku tidak memiliki

kewenangan atas perbuatannya, tanpa izin dan atau persetujuan dari pihak

yang berwenang untuk itu.

Ad.b. Tanpa Hak atau Melawan Hukum

Rumusan menggunakan kata “atau’ di antara tanpa hak dan melawan

hukum, oleh karena itu tidak diperlukan kedua rumusan tanpa hak dan

melawan hukum terbukti unsur ini telah terpenuhi, artinya dapat terjadi

“tanpa hak” saja atau “melawan hukum’ saja atau bahkan dua-duanya

terbukti.

1. Tanpa Hak

75

74 AR. Sujono, Bony Daniel, Op.cit, hlm. 226

(38)

2. Melawan hukum

Yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah apabila

perbuatan itu bertentangan dengan hak subjektif seseorang, atau

bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut undang-undang.76

Doktrin membedakan melawan hukum atas 2 bentuk, yaitu77

Melawan hukum dalam arti materiil ini sendiri terbagi atas 2

fungsi, yaitu

:

a. Melawan hukum dalam arti formil

Suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat melawan hukum, apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang.

b. Melawan hukum dalam arti materiil

Menurut ajaran, melawan hukum dalam arti materiil, pada hakikatnya tidak didasarkan pada perundang-undangan. Suatu perbuatan bukan hanya harus ditinjau sesuai dengan ketentuan hukum yang tertulis melainkan juga harus ditinjau menurut azas-azas hukum umum dari hukum tidak tertulis.

78

76 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materielll Dalam Hukum

Pidana Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 2002) hlm. 33

77

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm. 44

78 Samidjo, Ringkasan Tanya Jawab Hukum Pidana, (Bandung: CV. ARMICO, 1985) hlm. 108

:

1. Fungsi yang negatif, yaitu suatu perbuatan yang dilarang oleh

peraturan undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum

tidak tertulis, sehingga lalu tidak lagi merupakan perbuatan pidana.

2. Fungsi yang positif, yaitu perbuatan yang walaupun tidak

dilarang oleh masyarakat, perbuatan itu dipandang keliru, tidak

mungkin berlaku dalam sistem hukum kita sekarang, mengingat

(39)

Penetapan bahwa dalam isi rumusan tindak pidana mengharuskan adanya

sifat melawan hukum atau dapat dicelanya perbuatan itu, tidak selalu dipenuhi dan

karenanya juga tidak selalu dicantumkan, tetapi sebagai anda tetap ada.

Keberadaannya tetap terlihat dari kelakuan, keadaan, dan akibat tertentu yang

dilarang atau diharuskan.

Pendapat tentang apakah melawan hukum harus dicantumkan atau tidak

dalam setiap rumusan delik, mempunyai hubungan dengan ajaran tentang sifat

melawan hukum yang terbagi atas dua yaitu ajaran formal dan materiil.

Secara singkatajaran sifat melawan hukum yang formal mengatakan

apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam

rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada

alasanpembenar, maka alsan-alasan tersebut juga harus disebutkan secara tegas

dalam undang-undang.

Ajaran yang materiil mengatakan bahwa di samping memenuhi

syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik,

perbuatan itu harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai prbuatan tercela.

Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar diluar

undang-undang. Dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak

tertulis.79

79

Komariah Emong Sapardjaja, Op.cit., hlm. 25

Perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan haruslah dilakukan

(40)

Ad.c. Menawarkan untuk Dijual, Menjual, Membeli, Menerima, Menjadi Perantara dalam Jual Beli, Menukar atau Menyerahkan.80

80H. Siswanto, Op.cit.,hlm. 255 1. Menawarkan untuk dijual

Kata menawarkan mempunyai makna mengunjukkan sesuatu dengan

maksud agar yang diunjukkan mengambil. Menawarkan disini tentulah

harus sudah ada barang yang ditawarkan, tidak menjadi syarat apakah

barang tersebut adalah miliknya atau tidak, tidak juga suatu keharusan

barang tersebut adalah miliknya atau tidak, tidak juga suatu keharusan

barang tersebut secara fisik ada dalam tangannya atau di tempat lain yang

penting yang menawarkan mempunyai kekuasaan untuk menawarkan, di

samping itu bahwa barang yang ditawarkan haruslah mempunyai nilai

dalam arti dapat dinilai dengan uang. Kemudian, dijual mmpunyai arti

diberikan sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh uang, maka

menawarkan untuk dijual dapat berarti memberi kesempatan kepada orang

lain melakukan penjualan barang agar mendapatkan uang. Orang lainlah

yang melakukan penjualan, sehingga posisi orang yang mendapat

kesempatan adalah mendapat kekuasaan menjual dan atas penjualan

tersebut dia mendapatkan keuntungan materi seusai kesepakatan antara

yang menawarkan/pemilik barang.

Menawarkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, untuk dijual juga

berarti mengunjukkan sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang

(41)

Menawarkan untuk dijual dapat dilakukandengan langsung kepada calon

pembeli baik secara lisan maupun menggunakan sarana telekomunikasi

atau lainnya, baik ditunjukkan barangnya atau tidak, yang penting proses

menawarkan ini haruslah ada maksud agar lawan bicara membeli apa yang

ditawarkan.

2. Menjual

Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia, mempunyai makna memberikan

sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh uang pembayaran atau

menerima uang. Hal ini berarti ada transaksi dan ada pertemuan antara

penjual dan pembeli. Kewajiban penjual adalah menyerahkan barang

sedangkan kewajiban pembeli menyerahkan uang pembayaran.

3. Membeli

Membeli mempunyai makna memperoleh sesuatu melalui penukaran

(pembayaran) dengan uang. Ini berarti bahwa harus ada maksud terhadap

barang tertentu yang akan diambill, dan haruslah ada pembayaran dengan

uang yang nilainya sebanding dengan harga barang yang diperoleh.

4. Menerima

Berarti mendapatkan sesuatu karena pemberian dan pihak lain. Akibat dari

menerima tersebut barang menjadi miliknya atau setidak-tidaknya berada

dalam kekuasaannya.

5. Menjadi perantara dalam jual beli

Merupakan sebagai penghubung antara penjual dan pembeli dan atas

(42)

menghubungkannya antara penjual dan pembeli kemudian orang tersebut

mendapat barang berupa narkotika sudah dapat digolongkan sebagai

perantara dalam jual beli, oleh karena itu jasa atau keuntungan disini dapat

berupa uang atau barang atau bahkan fasilitas. Jasa atau keuntungan

merupakan faktor yang penting, tanpa jasa maupun keuntungan yang

diperileh maka tidak dapat disebut sebagai perantara dalam jual beli. Jika

seseorang telah mempertemukan penjual dengan pembeli, tetapi tidak

mendapatkan jasa atau keuntungan, maka orang tersebut bukan bertindak

sebagai perantara dalam jual beli,akan tetapi sebagai penghubung dan

tindak pidana yang dikenakan setidak-tidaknya di juncto-kan dengan Pasal

132 tentang percobaan atau permufakatan jahat apakah dalam rangka

membeli atau menjual dan sebagainya. Perantara berbeda dengan

pengantar, karena pengantar melakukan tindakan atas perinthah,

sedangkan perantara bertindak sendiri dalam rangka mempertemukan

antara penjual dan pembeli dan perantara mempunyai pertanggungjawaban

yang berdiri sendiri.

6. Menukar

Maksudnya yaitu menyerahkan barang dan atas tindakannya tersebut

mendapat pengganti baik sejenis maupun tidak sejenis sesuai dengan

kesepakatan.

7. Menyerahkan

(43)

Untuk itu unsur tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan dapat dipisahkan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Tanpa hak menawarkan untuk dijual , menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan.

2. Melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan.81

Ad.c. Narkotika Golongan I

Sebagaimana telah dikemukakan di muka narkotika terdiri atas dua jenis,

yaitu narkotika dalam bentuk tanaman dan narkotika dalam bentuk bukan

tanaman dimana untuk jenis bukan tanaman dibagi 2 (dua) sintetis dan

semi sintetis. Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman telah

ditentukan secara limitatif dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan satu kesatuan dengan

undang-undang tersebut. Narkotika Golongan I khusus dalam bentuk

tanaman ini hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi

sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.Dalam bentuk tanaman yang

dimaksudkan adalah tidak harus lengkap sebagai tanaman yang berarti ada

(44)

daun, batang, ranting maupun akar, tetapi meskipun hanya berupa daun

atau batang saja sudah dapat digolongkan sebagai tanaman. 82

Di dalam

terdapat sejumlah sanksi pidana bagi orang yang menjadi perantara dalam

transaksi/jual beli narkotika. Sanksi-sanksi tersebut berbeda-beda bergantung pada

jenis golongan narkotika, beratnya, dan bentuknya (masih dalam bentuk tanaman

atau narkotika siap pakai). Berikut akan penulis uraikan satu-persatu sanksi pidana

bagi perantara transaksi/jual beli narkotika83

2. Perantara dalam Jual Beli Narkotika Golongan I dalam Bentuk Tanaman

yang beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang :

1. Perantaradalam transaksi Narkotika Golongan I.

Sanksi pidananya : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan

I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).” (Pasal

114 ayat (1) UU Narkotika)

82Ibid hlm. 238

(45)

pohon atau dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima)

gram.

Sanksi pidana : Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menjadi perantara dalam jualbeli,

menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika

Golongan I sebagaimana dimaksudpada ayat (1)

yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1

(satu) kilogram atau melebihi 5(lima) batang pohon

atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima)

gram, pelaku dipidanadengan pidana mati, pidana

penjara seumur hidup, atau pidana paling singkat 6

(enam)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan pidana denda maksimum sebagaimanadimaksud

pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). (Pasal 114

ayat (2)UU Narkotika)

Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia Neng Djubaedah menilai

penerapan hukuman mati terhadap gembong narkoba perlu dipercepat karena

Indonesia sudah darurat narkoba. Menurut beliau, semakin cepat eksekusi

dilakukan akan semakin cepat dirasa efek jeranya. Hukuman mati itu harus

ditegakkan supaya para pengedar kapok. Pemberian sanksi maksimal sangat

(46)

bandar, tapi juga kurirnya. Para kurir pasti gentar karena takut terhadap hukuman

tegas dari negara dalam memerangi narkoba. 84

84 Harian Rakyat Merdeka tanggal 15 Mei 2016, Kurir Gentar Jika Diancam Hukuman

Referensi

Dokumen terkait

H terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel kualitas layanan (X) terhadap loyalitas nasabah (Z). Tingkat signifikan α yang

Sebelum praktikan melaksanakan mengajar terbimbing, praktikan terlebih dahulu melakukan bimbingan dengan guru pamong dan guru kelas untuk berkonsultasi tentang materi

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya peningkatan jumlah nasabah dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Adanya kenaikan jumlah nasabah pada tiap tahunnya disebabkan

SimNasKBA-2011 , bahwa dengan segala keterbatasan tersebut Insha Allah dapat melaksanakan SimNasKBA ini dengan sukses, yang tentu saja semua itu atas bantuan Panitia SimNasKBA dari

Based on the result of the research finding to the Eleventh grade students of MAS Hidayatul Muslimin 2 Sungai Raya in Academic Year 2016/2017, the researcher makes

Beliau mengatakan, “Jika seseorang telah mengambil riba tersebut dan dia mengetahui bahwa riba tersebut haram, namun dia adalah orang yang lemah dalam hutang dan

Dengan demikian orang yang terbiasa puasa sunnah tidak dibolehkan berpuasa pada hari-hari Tasyrik.. Tetapi semoga Allah mencatatnya sebagai pahala atas keistiqamahan

Peneliti menetapkan objek dalam penelitian ini adalah Proses Bimbingan pada klien anak yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan