BAB II
PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA
Sebelum membahas jauh sejarah pembentukan Undang-Undang Narkotika
dan perkembangannya, maka terlebih dahulu penulis akan meninjau sejarah
keberadaan narkotika itu sendiri.
Pada zaman prasejarah di negeri Mesopotamia, atau lebih dikenal Irak,
dikenal suatu barang yang namanya Gil, yang artinya bahan yang
menggembirakan. Gil ini lazimnya digunakan sebagai obat sakit perut,
kemampuan Gil sangat terkenal pada saat itu, dan Gil menyebar di dunia Barat
sampai Asia dan Amerika. Ada pula bahan lain yang menyerupai candu masak,
yang bernama Jadam. Jadam ini tergolong obat keras yang pada mulanya
berkembang di dunia Arab.36
Pada zaman masa penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius
dan candu sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama Demikianlah Gil, candu, serta jadam dengan segenap zat dan jenisnya
terus berkembang penggunaannya oleh masyarakat di dunia, dan yang
keberadaannya sekarang banyak sekali jenis zat-zat narkotika, baik yang
tergolong alami maupun sintetis (buatan). Jenis-jenis narkotika tersebut akan
diuraikan pada bagian berikutnya. Karena perkembangan peredaran narkotika
yang begitu cepat maka banyak kasus kejahatan narkotika yang muncul di
masyarakat, kasus kejahatan narkotika itu hampir kebanyakan menimpa remaja.
masyarakat golongan menengah. Oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah
Hindia-Belanda mengeluarkan V.M.O Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536, yaitu
peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S., yaitu peraturan tentang obat bius
yang berlaku di Belanda. Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad van Indien,
mengeluarkan Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536 tentang Verdovende Midellen
Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang Obat Bius.
Undang-Undang tersebut adalah untuk mempersatukan dalam satu undang-undang tentang
ketentuan mengenai candu dan obat-obatan bius lainnya.37
Sebelum Indonesia merdeka, penegakan hukum terhadap tindak pidana
narkotika oleh pemerintah Hindia Belanda ketika itu, bertujuan menyatukan
berbagai ketentuan mengenai perdagangan candu, telah ditetapkan Verdoovende
Middellen Ordonantie Stbl. 1927 Nomor 278 jo. 536 atau Ordonansi Obat Bius,
yang telah diberlakukan pada tanggal 1 Januari 19928 dan ditempatkan dalam
Tambahan Lembaran Negara, tanggal 22 Juli 1928 dan tanggal 3 Februari 1928.
Setelah Indonesia merdeka Ordonansi Obat Bius 1927 Nomor 278 dan 536, dan
ketentuan yang berkaitan dengan candu ini masih terus berlaku berdasarkan Pasal
II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala
badan negara dan peraturan yang masih ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.38
37
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2003) cetakan pertama,hlm. 163
38 Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum
Awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering terjadi
di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar pun semakin banyak pula
ragamnya. Kenyataan inilah yang mendorong timbulnya kesadaran akan perlunya
segera dibentuk suatu undang-undang yang dapat menjangkau bentuk
penyalahgunaan narkotika. Setidak-tidaknya undang-undang yang baru itu dapat
menimbulkan rasa takut bagi anggota masyarakat untuk tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Narkotika.39
Soedjono Dirdjosisworo mengatakan beberapa hal yang menonjol
mengenai hal ini adalah kecenderungan kecanduan dan ketagihan narkotika yang
membutuhkan terapi dan perbedaannya dengan mereka yang mengadakan serta
mengedarkan secara gelap tidak diatur secara tegas. Kenyataan bahwa V.M.O
tidak memenuhi syarat lagi sebagai Undang-Undang Narkotika disamping tidak
cocok lagi dengan kenyataan admisnistrasi peradilan pidana dewasa ini.40
1. Tidak adanya keseragaman di dalam pengertian narkotika
Khusus dalam masalah penyalahgunaan narkotika ketentuan hukum belum
dapat menjangkaunya, sebab ketentuan-ketentuan tersebut bersumber kepada
ketentuan lama yang memiliki kelemahan-kelemahan, berupa :
2. Sanksi terlalu ringan dibanding dengan akibat penyalahgunaannya
3. Ketidaktegasan pembatasan pertanggungjawaban terhadap penjual,
pemilik, pengedar, pemakai, dan penyimpan narkotika.
4. Ketidak serasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika
39 Hari Sasangka, Op.cit., hlm. 165
5. Belum ada badan bertingkat nasional yang khusus mengenai masalah
penyalahgunaan narkotika
6. Belum adanya ketentuan khusus wajib lapor adanya penyalahgunaan
narkotika
7. Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang berjasa dalam
penyelidikan-penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.
Mengingat hal diatas, maka dipandang perlu dalam waktu yang relatif
singkat untuk mengadakan pembaruan dan penyempurnaan perundang-undangan
tentang narkotika, dan diharapkan peraturan efektif di dalam pengimplementasian
dan tepat sasaran di dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika.41
Undang-undang pidana yang baik adalah yang sejalan dengan tuntutan
perkembangan sosial bisa dipandang sebagai sarana untuk melakukan tindakan
prevensi umum. Demikian halnya dengan upaya menghadapi bahaya narkotika.
Secara yuridis, khususnya hukum pidana pemerintah didukung oleh kalangan ahli
dan praktisi menyadari pentingnya Undang-Undang Narkotika. Persepsi kalangan
mengenai relevan dan tanda hadirnya Undang-Undang Narkotika Nasional yang
baru merupakan dukungan besar atas diterbitkannya undang-undang tentang
narkotika. 42
Untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya penanggulangan
terhadap penyalahgunaan narkotika, maka sebagai dasar hukum dari
Undang-Undang adalah sebagai berikut.
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan
3. Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971
4. Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kepolisian.
5. Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesehatan.
6. Undang-Undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi
7. Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
8. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman
9. Undang-Undang No. 6 Tahun 1976 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Nasional
10.Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi
Tunggal Narkotika 1961, beserta protokol yang mengubahnya.
11.Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika.
Dengan mengingat dasar-dasar ketentuan undang-undang diatas, maka
pemerintah memutuskan :
1. Mencabut V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie) 1972 No. 278
2. Memperbarui Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3086)
3. Menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1997
Tanggal 1 September 1997 tentang Narkotika. (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3698).43
A. Kebijakan Hukum Pidana tentang Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976
Perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era
globalisasi adalah merupakan salah satu penyebab diproduksinya berbagai macam
jenis narkotika, kecuali itu bahwa pada era pesatnya kemajuan komunikasi seperti
sekarang ini terasa semakin mudahnya pendistribusian atau peredaran narkotika
yang dapat menjangkau wilayah-wilayah terpelosok di seluruh Indonesia, padahal
sebelumnya masyarakat daerah itu tidak mengenal barang-barang haram seperti
narkotika dan jenisnya.
Undang-undang ini mengatur lebih luas cakupannya, lebih lengkap, lebih
berat ancaman pidananya. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah44
1. Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terperinci
:
2. Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut
3. Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan
rehabilitasinya
4. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni
penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas
pengangkutan serta penggunaan narkotika.
5. Acara pidananya bersifat khusus
6. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran
kejahatan narkotika
7. Mengatur kerjasama internasional dalam penanggulangan narkotika
8. Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP
9. Ancaman pidananya lebih berat
Dalam Bab IV Undang-Undang ini, diatur tentang perbuatan-perbuatan
yang dilarang, yang meliputi45
1. Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai
dalam persediaan. Memiliki, menyimpan, atau menguasai tanaman
papaver, tanaman koka atau tanaman ganja. Terdapat dalam Pasal 23
ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1); :
2. Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi,
mengonversi, meracik, atau menyediakan narkotika. Terdapat dalam
Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2);
3. Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan, untuk memiliki atau
untuk persediaan atau menguasai narkotika. Terdapat dalam Pasal 23
ayat (3) dan Pasal 36 ayat (3).
4. Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau
mentransit narkotika. Terdapat dalam Pasal 23 ayat (4) dan Pasal 36
ayat (4);
5. Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan
untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,
menerima menjadi perantara, dalam jual beli atau menukar narkotika.
Terdapat dalam Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 36 ayat (5);
6. Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain
atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. Terdapat
dalam Pasal 23 ayat (6) dan Pasal 36 ayat (6);
7. Dilarang secara tanpa hak menggunakan bagi dirinya sendiri. Terdapat
dalam Pasal 23 ayat (7) dan Pasal 36 ayat (7);
8. Kelalaian yang menegakibatkan dilanggarnya ketentuan dalam Pasal
23 ayat (1) diatas tanah atau tempat miliknya yang dikuasainya;
9. Dilarang membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan
tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1)
sampai dengan ayat (7) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976;
10.Dilarang penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali
untuk pengobatan. Terdapat dalam Pasal 24 dan Pasal 40;
11.Perbuatan Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit,
dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak
melaksanakan kewajiban menurut Pasal 18 dan Pasal 19
12.Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam
tanaman Papaver, Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban
membuat laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). Terdapat
dalam pasal 42;
13.Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan
kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975.
Terdapat dalam Pasal 43;
14.Perbuatan menghalangi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan
narkotika. Terdapat dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 47;
15.Perbuatan tidak melaporkan adanya narkotika yang tidak sah kepada
pihak yang berwajib. Terdapat dalam Pasal 48;
16.Semua tindak pidana dalam undang-undang ini dikualifikasikan
sebagai kejahatan kecuali Pasal 47 mengenai saksi yang membocorkan
identitas pelapor dianggap sebagai delik pelanggaran.
Hal-hal yang menjadi pertimbangan digantinya Vervonde Midellen
Ordonantieadalah sehubungan dengan perkembangan lalu lintas dan alat-alat
perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya
penyebaran/pemasukan narkotika ke Indonesia. Ditambah lagi dengan kemajuan
di bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai bila tetap
memakai undang-undang tersebut. Dalam Vervonde Midellen Ordonantie hanya
mengatur tentang perdagangan dan penggunaan narkotika. Narkotika tidak saja
diperlukan dalam dunia pengobatan, tetapi juga dalam penelitian untuk tujuan
untuk mengimpor narkotika dan mengekspor obat-obatan yang mengandung
narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka dan Ganja.
Keadaan yang seperti inilah yang akhirnya menimbulkan keharusan untuk
membuat undang-undang baru khusus tentang narkotika. Atas problema demikian,
lahirlah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 yang kemudian disempurnakan lagi
dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 pada tanggal 1
September 1997. Lembaran Negara RI No. 67, tambahan Lembaran Negara RI
No. 3698 Tahun 1997.46
46 Hari sasangka, Op.cit., hlm. 58
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur
mengenai sanksi yang diancamkan terhadap tindak pidana. Sanksi ini bertujuan
untuk memaksimalkan peranan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang
Narkotika mengenai penanggulangan tindak pidana narkotika.
Sanksi pidana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yaitu:
a. Pidana Pokok yaitu :
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan.
b. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan putusan hakim.
Adapun kebijakan hukum pidana terkait sanksi dan pemidanaan dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah sebagai berikut:
1. Jenis pidana yang digunakan adalah : pidana mati, penjara, kurungan,
denda, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan.
2. Pidana terberat yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
diancamkan terhadap tindak pidana membawa, mengirim,
mengangkut, mentransit narkotika, mengimpor, mengekspor,
menawarkan untuk dijual, meyalurkan, menjual, membeli,
menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau
menukar narkotika sebagaimana diatur dalam Paal 36 ayat (4) dan (5)
sedangkan pidana teringan yaitu berupa 1 (satu) tahun kurungan
diancamkan terhadap tindak pidana saksi yang membuka identitas
pelapor tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 47
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976.
3. Mayoritas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1976 tentang Narkotika merumuskan dua (2) jenis pidana pokok yaitu
pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif.
4. Pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi bagi penyalahgunaan narkotika
(pelaku yang melanggar pasal 36 ayat (7)) dan sanksi tindakan berupa
warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika.
Dengan demikian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika telah mengkombinasikan antara sanksi pidana dengan sanksi
tindakan.
5. Percobaan (poging) melakukan tindak pidana narkotika diancam
dengan sanksi yang sama dengan tindak pidana narkotika. Hal ini
merupakan kekhususan dari aturan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang mengurangi sanksi 1/3 terhadap percobaan
(poging).
6. Ancaman sanksi pidana diperberat sebesar 1/3 dengan batasan
maksimum 20 (dua puluh) tahun bagi pelaku yang membujuk anak
dibawah umur melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 36
ayat (1) sampai dengan ayat (7).
7. Ancaman sanksi pidana penjara diperberat 1/3 tanpa batasan
maksimum serta untuk pidana denda dikalikan 2 (dua) bagi pelaku
yang melakukan pengulangan (recidive) terhadap tindak pidana yang
diatur dalam pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7).
8. Pencabutan hak terhadap importir, pabrik farmasi, pedagang besar
farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan
lembaga pendidikan, nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) butir 1 sampai dengan 6
B. Kebijakan Hukum Pidana tentang Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
Dalam perkembangannya, kejahatan narkotika sudah semakin canggih,
sehingga ditemukan adanya kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1976. Untuk itu, dilakukan revisi terhadap Undang-Undang tersebut
dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.
Kurang lebih sepuluh tahun Undang-Undang nomor 22 Tahun 1997 diberlakukan,
ditemukan adanya kenyataan bahwa organisasi sindikat peredaran gelap narkotika
sudah beroperasi dengan semakin canggih. Organisasi ini memiliki modal yang
besar, teknologi tinggi, manajemen yang sangat rahasia, mobilitas tinggi, tegas
dan kejam terhadap anggota atau orang yang mengancam eksistensi
organisasinya, serta bekerja dengan berbagai macam modus operandinya.
Kecanggihan ini membutuhkan aturan yang sangat fleksibel dan menutup
berbagai kelemahan aturan yang menjadi entry point dari sindikat yang canggih
ini.47
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diberlakukan
pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1997
Nomor 67 serta Tambahan Lembar Negara Nomor 3698. Latar belakang
diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam
penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan pengendalian dan
pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika. Kejahatan-kejahatan narkotika pada umumnya tidak
dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara
bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap,
rapi dan sangat rahasia.48
Disamping itu kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan
dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk
pengamanan-pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika. Perkembangan kualitas
kejahatan narkotika sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan
manusia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 mempunyai cakupan yang lebih
luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidana yang
diperberat.49
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini,
diatur beberapa ketentuan, tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian
dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut, serta Didalam peraturan pelaksana itu, yang dibuat pada pokoknya adalah
bagaimana cara para aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya, serta
bagaimana para subyek hukum harus bertindak apabila berhubungan dengan kasus
narkotika, dan bagaimana pula ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 itu
dapat diterapkan ke dalam hukum budaya yang sudah ada, agar undang-undang
tersebut jangan hanya berupa teori yang sempurna di atas kertas saja, namun yang
paling penting adalah aplikasinya di lapangan. Untuk dapat melaksanakan
persoalan itu, maka mengacu pada peraturan menteri sebagaimana petunjuk teknis
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983.
ruang lingkup dan tujuan pengaturan narkotika dalam undang-undang. Narkotika
digolongkan menjadi narkotika golongan I, narkotika golongan II dan narkotika
golongan III.50
Proses pada periode awal penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997
tentang bahaya narkotika banyak mendapat hambatan dari masyarakat, sebab
selain kelemahan yang datang dari masyarakat itu sendiri juga dikarenakan sanksi
yang diberikan oleh undang-undang tersebut sangat terasa pada saat itu. 51
Proses penerapan Undang-Undang No. 22 tahun 1997 relatif cukup baik.
Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa perkembangan zaman akan membuat
situasi seperti ini berubah atau bahkan sebaliknya. Karena adanya pengaruh Bagi para pihak yang tersangkut dengan masalah narkotika, dengan
segenap upayanya mencoba untuk menghindari hukuman atau sanksi yang
diancamkan atas dirinya, usaha ini sering mengakibatkan para penegak hukum
diseret ke arah perbuatan tercela, seperti menerima imbalan jasa agar kasus para
pihak yang terlibat tersebut tidak diproses, atau meminta pengurangan hukuman,
dan lain sebagainya.
Di era tahun 1980-an, banyak negara-negara di dunia mulai tumbuh
kesadaran betapa besarnya bahaya narkotika, dan yang menyebabkan
pemerintahan dari masing-masing negara itu membatasi ruang gerak peredaran
narkotika, apalagi Indonesia sebagai negara yang populasi penduduknya cukup
tinggi sangat menyadari tentang bahaya narkotika yang dapat mengancam
terhentinya perkembangan generasi muda.
50 H. Siswanto, Op.Cit., hlm. 13
pengedaran narkotika yang semakin berkembang baik dari internasional, maupun
banyaknya warga masyarakat yang memiliki masalah ekonomi, apalagi yang
tinggal di kota-kota besar, yang termasuk kategori pengangguran sering sekali
terikut zaman melakukan perbuatan-perbuatan yang jelas jelas memang dilarang
negara. Maka dapat disimpulkan, bahwa undang-undang narkotika dimasa yang
akan datang akan menghadapi semakin banyak permasalahan baik tantangan
maupun hambatan. Maka dengan itu, para aparat penegak hukum juga diharapkan
dapat dengan sungguh-sungguh melaksanakan undang-undang, khususnya pihak
kepolisan dan kejaksaan.
Dalam penerapan pada setiap tahap yang dimulai dari penyelidikan,
penyidikan sampai penuntutan diupayakan agar tersangka atau terdakwa dapat
dipersalahkan dengan tidak meninggalkan praduga tak bersalah. Masalahnya
karena penerapan Undang-Undang Narkotika belum dilaksanakan secara
konsisten, apabila ancaman/sanksi yang diberikan belum sesuai dengan apa yang
digariskan oleh Pasal-Pasal dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika.52
52Ibid. hlm. 60
Sedangkan penerapan sanksi pidana terhadap terdakwa dalam perkara
pidana pada sistem hukum Indonesia adalah merupakan wewenang dari
pengadilan, jadi apabila menginginkan antara sanksi yang diberikan dengan sanksi
yang ada dalam undang-undang narkotika adalah sama, maka dengan demikian
Menurut Undang-Undang Narkotika, hakim diberi kebebasan untuk
mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti keyakinannya, sesuai menurut
sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana. Sistem pembuktian
menurut Undang-Undang, hakim tidak boleh menghukum kecuali didukung oleh
alat bukti sekurang-kurangnya keyakinan hakim yang berlandaskan alat-alat
bukti.53
1. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Berhubung Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 menggariskan bahwa
perkara pidana narkotika merupakan pidana yang harus didahulukan, baik
pemeriksaan, penuntutan maupun peradilannya, maka pihak penyidik, penuntut
umum maupun pihak Pengadilan Negeri selalu memprioritaskan perkara ini, yang
lazim dikenal dengan asas lex specialis de rogaat lex generalis, yaitu ketentuan
khusus mengenyampingkan ketentuan umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 defenisi narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan (Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1997)
Tujun pengaturan narkotika itu sendiri menurut Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1997 adalah untuk :
2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika
3. Memberantas peredaran gelap narkotika (Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997)54
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 merupakan salah satu
undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar KUHP. Hubungan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 dengan KUHP memiliki uraian yang sama dengan Bab IV
huruf D.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 merupakan tindak pidana khusus,
dan kekhususannya meliputi hukum materiil dan formil. Kekhususan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, dalam hukum materiilnya antara lain55
1. Ada ancaman pidana penjara minimum dan pidana denda minimum
dalam beberapa pasalnya.
:
2. Putusan pidana denda apabila tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak
pidana narkotika, dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda.
3. Pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda bisa dijatuhkan
bersama-sama (kumulatif) dalam beberapa pasal.
4. Pelaku percobaan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
pasal-pasal tersebut (Pasal 83).
5. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan
terorganisasi atau yang dilakukan oleh korporasi, lebih berat.
6. Ada pemberatan pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan
tertentu dan membujuk anak yang belum cukup umur untuk
melakukan tindak pidana narkotika tertentu (Pasal 87).
7. Bagi pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja
tidak melaporkan diri diancam pidana, demikian juga terhadap
keluarga pecandu narkotika juga diancam pidana (Pasal 88).
8. Bagi orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang
sengaja tidak melapor diancam pidana, sedangkan pecandu narkotika
yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau
walinya tidak dituntut pidana (Pasal 86).
9. Ada ketentuan khusus yang mengatur tentang Residive (Pasal 96).
Kekhususan dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997 terhadap
hukum formalnya, antara lain56
1. Perkara tindak pidana narkotika termasuk perkara yang didahulukan
penyelesaiannya (Pasal 64). :
2. Penyidik mempunyai wewenang tambahan dan prosedur yang
menyimpang dari KUHAP.
3. Pemerintah wajib memberikan jaminan dan keamanan perlindungan
kepada pelapor (Pasal 57 ayat (3)).
4. Di dalam persidangan pengadilan saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika, dilarang
menyebut nama dan alamat pelapor (Pasal 76 ayat (1)).
5. Ada prosedur khusus pemusnahan barang bukti narkotika (Pasal 60,
61, dan 62).
AR. Sujono dan Bony Daniel mencoba mengelompokkan kejahatan yang
menyangkut narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika yaitu57
1. Menyangkut produksi narkotika. Di dalamnya diatur bukan hanya
mengenai produksi narkotika, melainkan juga termasuk perbuatan
dalam lingkup mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit dan
menyediakan narkotika; :
2. Menyangkut pengangkutan dan transito narkotika. Di dalamnya diatur
perbuatan yang termasuk dalam kategori membawa, mengirim dan
mentransito narkotika. Ada pula tindak pidana khusus ditujukan
kepada nakhoda atau kapten penerbang karena tidak melakukan
tugasnya dengan baik;
3. Menyangkut jual-beli narkotika. Tidak hanya kategori jual-beli dalam
arti sempit, melainkan juga sudah termasuk dalam perbuatan
ekspor-impor, tukar-menukar, menyalurkan dan menyerahkan narkotika;
4. Menyangkut penguasaan narkotika;
5. Menyangkut penyalahgunaan narkotika;
6. Menyangkut kriminalisasi terhadap perbuatan yang tidak melaporkan
pecandu narkotika;
7. Menyangkut label dan publikasi narkotika;
8. Menyangkut proses hukum terhadap tindak pidana narkotika.
Kebijakan hukum pidana terkait sanksi, pemidanaan dan pemberatan
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak terlalu
jauh berbeda dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika.
Dari segi jenis jenis sanksi, sanksi pidana dan sanksi tindakan (maaregel).
Sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa pidana mati, penjara
seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, pidana
denda serta pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu kecuali untuk tindak
pidana yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebih Rp.
5.000.000.000,- (lima juta rupiah) dan perampasan hasil tindak pidana narkotika.
Sedangkan sanksi tindakan (maatgerel) berupa rehabilitasi yang meliputi
pengobatan dan perawatan serta pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah
Indonesia bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia
setelah menjalani sanksi pidana.
Sanksi pidana penjara dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika umumnya diancamkan secara kumulatif bersama dengan pidana
denda. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan hukuman sehingga menimbulkan
efek jera yang lebih nyata dalam penerapannya. Pemaksimalan hukuman tersebut
dapat juga dilihat dengan adanya ancaman pidana minimal khusus (penjara
maupun denda) dalam ketentuan pidana undang-undang tersebut.
Pemaksimalan hukuman dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika semakin terlihat dengan adanya pemberatan terhadap tindak
dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak yang belum
cukup umur dan apabila ada pengulangan (recidive) pemberatan ini dapat
dikatakan sangat membebani para pelanggar mengingat cukup beratnya sanksi
pidana yang diancamkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
bervariasi. Untuk pidana denda berkisar antara Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)
sampai Rp. 7.000.000.000,- (tujuh milyar rupiah) dan untuk pidana penjara
berkisar antara 3 (tiga) bulan sampai 20 (dua puluh) tahun.
Ada juga ketentuan lain mengenai kebijakan terkait sanksi pidana,
pemidanaan dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
adalah dengan dipidananya percobaan dan pemufakatan jahat dengan ancaman
yang sama dengan melakukan tindak pidana. Perumusan kebijakan terkait sanksi
yang sangat memberatkan bagi pelanggar dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun
1997 tentang Narkotika diharapkan dapat memaksimalkan peranan
Undang-Undang ini dalam menanggulangi tindak pidana narkotika.
Kemudian dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas
tindak pidana narkotika, akhirnya dicabut dan diganti dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tanggal 12 Oktober 2009,
Undang-Undang ini memberikan peningkatan upaya pemberantasan peredaran gelap
narkotika dan penyalahgunaannya.58
C. Kebijakan Hukum Pidana tentang Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dianggap sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang
untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika, akhirnya dicabut
dan diganti dengan Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
tanggal 12 Oktober 2009. Undang-Undang ini memberikan peningkatan upaya
pemberantasan peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaannya.59
Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan,
melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan
merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang
bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun
internasional. 60
Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini untuk
mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif
maupun kualitatif dengan generasi muda pada umumnya. Selain itu,
untukmelindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan
mencegah serta memberantas peredaran gelap narkotika, dalam undang-undang
ini diatur juga mengenai prekursor narkotika karena prekursor narkotika
59Ibid.
merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam
pembuatan narkotika.61
1. Asas Keadilan
Dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini,
diatur beberapa ketentuan, yang membahas tentang etimologi dan terminologi
sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika
tersebut. Ketentuan tentang Dasar, Asas dan Tujuan pengaturan narkotika yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Undang-undang ini, diselenggarakan berdasarkan :
2. Asas Pengayoman
3. Asas Kemanusiaan
4. Asas Ketertiban
5. Asas Perlindungan
6. Asas Keamanan
7. Asas Nilai – Nilai Ilmiah
8. Kepastian Hukum.62
Tujuan undang-undang narkotika ini, adalah :
1. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan, dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
2. Mencegah melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan narkotika
3. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalah- guna dan pecandu narkotika.63
Dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 terdapat perubahan dalam
hal penggolongan narkotika, yakni dalam bagian Lampiran terdapat 65 jenis
Narkotika Golongan I. Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini
dikarenakan digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I (diantaranya ekstasi)
dan Golongan II (diantaranya sabu) ke dalam kategori Narkotika Golongan I.
Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh para
pecandu narkoba adalah jenis sabu dan ekstasi. Pasal 153 huruf b Undang-Undang
nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa lampiran mengenai jenis Psikotropika
Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Undang-Undang nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah dipindahkan menjadi
Narkotika Golongan I. Penggabungan jenis psikotropika ke dalam
Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 ini dikarenakan makin maraknya penggunaan sabu
dan ekstasi di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga ancaman pidana terhadap
penggunaan sabu dan ekstasi pada jenis Narkotika Golongan I diperberat dalam
Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009. Terdapat pengaturan pemberantasan
sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan
pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran dan
jumlah narkotika.64
63Ibid.
Disamping itu, untuk lebih mengefektifkan pemberantasan peredaran
gelap dan penyalahgunaan narkotika, diatur mengenai kelembagaan, yang
merupakan penguatan terhadap lembaga yang sudah ada, yaitu Badan Narkotika
Nasional (BNN). BNN merupakan lembaga nonstruktural yang berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dalam Undang-Undang
ini BNN diperkuat dengan kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan.65
Sedangkan mengenai peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika,
merujuk pada pasal 1 angka 6 Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009, yaitu
“setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau
melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika”. Adapun ruang
lingkup kegiatan perdaran gelap narkotika menurut Pasal 35 Undang-Undang
nomor 35 Tahun 2009 meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan
perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih lanjut dalam Pasal 38
Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 dikatakan, bahwa setiap kegiatan
peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Sehingga, tanpa
adanya dokumen yang sah, peredaran narkotika dan prekursor narkotika tersebut
dianggap sebagai peredaran gelap. Dengan demikian, pada dasarnya yang
dimaksud dalam Undang-Undang Narkotika adalah peredaran narkotika yang
tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar Undang-Undang
nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).66
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menegaskan bahwa “Perkara
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika termasuk perkara yang
didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian
secepatnya”. Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan “penyelesaian
secepatnya” adalah mulai dari pemeriksaan, pengambilan keputusan, sampai
dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi.67
Disamping itu, Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur
mengenai pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan
serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial.68
1. Tidak jauh beda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997,
Narkotika telah digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan berdasarkan
kegunaan serta potensi ketergantungan. Dengan penggolongan ini,
berat dan ringan sanksi dari suatu tindak pidana ditentukan oleh
masing-masing golongan.
Adapun kebijakan kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika yaitu :
2. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I
dalam bentuk tanaman, dan bukan tanaman, narkotika golongan II dan
golongan III. Terdapat dalam Pasal 111, 112, 117, 122;
66 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 67 Akhyar Ari Gayo, Op.cit., hlm. 91
3. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika
golongan II, narkotika golongan III. Terdapat dalam Pasal 113, 118,
123;
4. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli
menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan
II, dan narkotika golongan III. Terdapat dalam Pasal 114, 119, 124;
5. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, narkotika
golongan II, narkotika golongan III. Terdapat dalam Pasal 115, 120,
125;
6. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan
I, Narkotika Golongan II, Narkotika Golongan III untuk digunakan
orang lain. Terdapat dalam Pasal 116, 121, 126;
7. Setiap penyalahguna Narkotika Golongan I untuk digunakan orang
lain, Narkotika Golongan II dan Narkotika Golongan III bagi diri
sendiri. Terdapat dalam Pasal 127;
8. Perbuatan orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur,
yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang dengan sengaja tidak
9. Memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan, memproduksi,
mengimpor, mengekspor atau menyalurkan, menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan prekursor narkotika untuk pembuatan
narkotika membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito
prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. Terdapat dalam Pasal
129;
10.Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 111-129. Terdapat dalam Pasal 131;
11.Perbuatan melibatkan anak yang belum cukup umur untuk melakukan
tindak pidana Narkotika yang diatur dalam Pasal 111-126 dan Pasal
129. Terdapat dalam Pasal 133;
12.Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur, keluarga pecandu
Narkotika yang sudah cukup umur dengan sengaja tidak melaporkan
hal tersebut. Terdapat dalam Pasal 134;
13.Pengurus industri farmasi yang tidak melakukan kewajibannya
menurut Pasal 4. Terdapat dalam Pasal 135;
14.Pencucian uang yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Narkotika.
Terdapat dalam Pasal 137;
15.Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta
penuntutan dan pemeriksaan perkara Tindak Pidana Narkotika
dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika di muka sidang
16.Nakhoda atau Kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau
Pasal 28. Terdapat dalam Pasal 139;
17.Perbuatan pejabat penegak hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Terdapat dalam Pasal
140-142;
18.Perbuatan Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam
pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika di sidang pengadilan.
Terdapat dalam Pasal 143;
19.Perbuatan pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah,
dan apotek yang mengedarkan atau menjual bebas Narkotika Golongan
II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Terdapat
dalam Pasal 147 huruf (a);
20.Perbuatan pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,
membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Terdapat dalam Pasal
147 huruf (b);
21.Perbuatan pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi
Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan. Terdapat dalam Pasal 147 huruf (c);
22.Pimpinan pedagang besarfarmasi yang mengedarkan Narkotika
pengetahuan atau menjual bebas Narkotika Golongan II dan III bukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk
kepentingan pengembangan imu pengetahuan. Terdapat dalam Pasal
147 huruf (d);
Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi pidana, pemidanaan, tindakan dan
pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
adalah:
1. Sanksi yang digunakan pada undang-undang ini berupa sanksi pidana
dan sanksi tindakan (maatregel).
2. Sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa pidana mati, penjara
seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana
kurungan, pidana denda.
3. Pidana tambahan yaitu berupa pencabutan hak tertentu terhadap
korporasi berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status
badan hukum
4. Sanksi tindakan (maateregel) berupa rehabilitasi medis dan sosial serta
pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga
negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia setelah
menjalani sanksi pidana.
5. Jumlah sanksi pidana juga berbeda-beda yaitu berkhisar antara Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah) sampai Rp. 1.000.000.000,- (sepuluh
6. Apabila kejahatan dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan
pemberatan sebanyak 3 (tiga) kali lipat dari pidana denda yang
diancamkan. Kemudian untuk pidana penjara berkisar antara 1 (satu)
tahun sampai 20 (dua puluh) tahun
7. Sanksi pidana dirumuskan dalam 4 (empat) bentuk yaitu69
a. Dalam bentuk tunggal, misalnya penjara saja atau denda saja;
:
b. Dalam bentuk alternatif, misalnya pilihan antara penjara saja
atau denda saja;
c. Dalam bentuk kumulatif yaitu pidana penjara dan denda;
d. Dalam bentuk kombinasi/campuran yaitu penjara dan/atau
denda.
8. Adanya ancaman pidana minimal khusus, misalnya penjara maupun
denda
9. Pemberatan terhadap tindak pidana yaitu :
a. Berdasarkan pada jumlah ataupun narkotika
b. Akibat apa yang kemudian ditimbulkan dari perbuatannya,
c. Dilakukan secara terorganisasi dan teratur,
d. Dilakukan dengan menggunakan anak yang belum cukup umur,
e. Apabila ada pengulangan melakukan tindak pidana (recidive)
dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
f. Pemberatan tindak pidana ini dikecualikan terhadap pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama
20 (dua puluh) tahun;
10. Percobaan dan pemufakatan jahat dipidana sama dengan melakukan
tindak pidana.
11. Apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana
Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dapat
dijatuhi pidana penjara paling alam 2 (dua) tahun sebagai pengganti
pidana denda yang tidak dapat dibayar.
D. Ketentuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Menjadi Perantara Narkotika Secara Tanpa Hak dan Melawan Hukum
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga
mengatur mengenai peredaran narkotika yang isinya “Peredaran Narkotika
meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan
narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di
bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan seksama.
Dari pengertian sebagaimana terdapat dalam Pasal 35 jo. Pasal 36
merupakan sebuah istilah hukum karena istilah ini telah disebut secara tegas
dalam pasal aquo bahwa peredaran narkotika adalah kegiatan penyaluran atau
penyerahan narkotika dalam rangka perdagangan maupun pemindahtanganan
narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan syarat dan tata cara perizinan tertentu.70
- Kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika yang bukan dalam
rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah peredaran
narkotika yang ilegal;
Dengan demikian, maka diperoleh kesimpulan :
- Kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika yang dalam rangka
kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak sesuai
dengan syarat dan tata cara perizinan adalah peredaran narkotika yang
ilegal.
Perhatian terhadap penyalahgunaan narkotika patut menjadi prioritas, oleh
karena dampak negatif yang ditimbulkannya sangat luas dan kompleks, serta
mempengaruhi kemunduran pada berbagai aspek kehidupan bagi lingkungan
sosial, keluarga dan masyarakat sekitar. Kehidupannya akan menjadi
kontra-produktif, malas, sembrono, bersifat asosial, mengahalalkan segala cara dan
apabila merasa ketagihan tetapi tidak memiliki apa yang dibutuhkan maka akan
melakukan apa saja termasuk melakukan kejahatan demi memenuhi ketagihannya
atas narkotika.71
70 AR. Sujono, Bony Daniel, Op.cit, hlm. 97
71 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
terdapat 4 (empat) kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh
undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni :
a. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor
narkotika;
b. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memprouksi,
mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika dan
prekursor narkotika;
c. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan
prekursor narkotika;
d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekursor
narkotika.
Dicantumkannya ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maka
barangsiapa yang terbukti telah melanggar suatu ketentuan pidana, secara formal
perbuatan dimaksud adalah melawan hukum karena perbuatan dimaksud telah
melanggar suatu larangan yang dicantumkan dalam undang-undang pidana.
perbuatan yang didakwakan perbuatan terdakwa secara formal telah memenuhi
rumusan delik dari KUHP.72
Ketika membicarakan mengenai melawan hukum bukan secara formal,
yaitu bertentangan dengan undang-undang dalam hal ini undang – undang pidana,
akan tetapi melawan hukum secara materiil, yaitu tentang melawan hukum
menurut sifatnya dari perbuatan yang telah dilakukan orang, berlandaskan kepada
asas-asas umum yang didasarkan kepada hukum, walaupun hal itu berakar pada
kaidah-kaidah yang tidak tertulis, maka sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya dengan adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP bagi dilarangnya sesuatu
perbuatan pertama-tama diisyaratkan bahwa perbuatan dimaksud secara formal
adalah melawan hukum maka tugas hakim pidana seharusnya tidak berhenti
sampai disini, melainkan perlu melanjutkan permasalahan lebih jauh, apakah
perbuatan yang secara formal melawan hukum. Untuk itu perlu turut
dipertimbangkan asas-asas umum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.73
a. Setiap orang
Unsur-unsur tindak pidana dalam ketentuan Pasal 114 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009, tentang Narkotika ini adalah :
b. Tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau
menyerahkan
c. Narkotika Golongan I
Ad.a. Setiap orang
Yang dimaksudkan dengan setiap orang, yaitu subjek tindak pidana
sebagai orang yang diajukan dipersidangan adalah benar sebagaimana
disebutkan identitasnya dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Setiap orang adalah siapa saja tanpa terkecuali dan oleh karena itu tentulah
sejajar dengan yang dimaksudkan dengan istilah barang siapa sebagaimana
beberapa rumusan tindak pidana dalam KUHP. Meskipun tidak dijelaskan
secara tegas dalam rumusan tindak pidana unsur barang siapa tetap harus
dibuktikan.74
Tanpa hak memiliki arti bahwa si pelaku tidak memiliki
kewenangan atas perbuatannya, tanpa izin dan atau persetujuan dari pihak
yang berwenang untuk itu.
Ad.b. Tanpa Hak atau Melawan Hukum
Rumusan menggunakan kata “atau’ di antara tanpa hak dan melawan
hukum, oleh karena itu tidak diperlukan kedua rumusan tanpa hak dan
melawan hukum terbukti unsur ini telah terpenuhi, artinya dapat terjadi
“tanpa hak” saja atau “melawan hukum’ saja atau bahkan dua-duanya
terbukti.
1. Tanpa Hak
75
74 AR. Sujono, Bony Daniel, Op.cit, hlm. 226
2. Melawan hukum
Yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah apabila
perbuatan itu bertentangan dengan hak subjektif seseorang, atau
bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut undang-undang.76
Doktrin membedakan melawan hukum atas 2 bentuk, yaitu77
Melawan hukum dalam arti materiil ini sendiri terbagi atas 2
fungsi, yaitu
:
a. Melawan hukum dalam arti formil
Suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat melawan hukum, apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang.
b. Melawan hukum dalam arti materiil
Menurut ajaran, melawan hukum dalam arti materiil, pada hakikatnya tidak didasarkan pada perundang-undangan. Suatu perbuatan bukan hanya harus ditinjau sesuai dengan ketentuan hukum yang tertulis melainkan juga harus ditinjau menurut azas-azas hukum umum dari hukum tidak tertulis.
78
76 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materielll Dalam Hukum
Pidana Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 2002) hlm. 33
77
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm. 44
78 Samidjo, Ringkasan Tanya Jawab Hukum Pidana, (Bandung: CV. ARMICO, 1985) hlm. 108
:
1. Fungsi yang negatif, yaitu suatu perbuatan yang dilarang oleh
peraturan undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum
tidak tertulis, sehingga lalu tidak lagi merupakan perbuatan pidana.
2. Fungsi yang positif, yaitu perbuatan yang walaupun tidak
dilarang oleh masyarakat, perbuatan itu dipandang keliru, tidak
mungkin berlaku dalam sistem hukum kita sekarang, mengingat
Penetapan bahwa dalam isi rumusan tindak pidana mengharuskan adanya
sifat melawan hukum atau dapat dicelanya perbuatan itu, tidak selalu dipenuhi dan
karenanya juga tidak selalu dicantumkan, tetapi sebagai anda tetap ada.
Keberadaannya tetap terlihat dari kelakuan, keadaan, dan akibat tertentu yang
dilarang atau diharuskan.
Pendapat tentang apakah melawan hukum harus dicantumkan atau tidak
dalam setiap rumusan delik, mempunyai hubungan dengan ajaran tentang sifat
melawan hukum yang terbagi atas dua yaitu ajaran formal dan materiil.
Secara singkatajaran sifat melawan hukum yang formal mengatakan
apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam
rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada
alasanpembenar, maka alsan-alasan tersebut juga harus disebutkan secara tegas
dalam undang-undang.
Ajaran yang materiil mengatakan bahwa di samping memenuhi
syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik,
perbuatan itu harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai prbuatan tercela.
Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar diluar
undang-undang. Dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak
tertulis.79
79
Komariah Emong Sapardjaja, Op.cit., hlm. 25
Perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan haruslah dilakukan
Ad.c. Menawarkan untuk Dijual, Menjual, Membeli, Menerima, Menjadi Perantara dalam Jual Beli, Menukar atau Menyerahkan.80
80H. Siswanto, Op.cit.,hlm. 255 1. Menawarkan untuk dijual
Kata menawarkan mempunyai makna mengunjukkan sesuatu dengan
maksud agar yang diunjukkan mengambil. Menawarkan disini tentulah
harus sudah ada barang yang ditawarkan, tidak menjadi syarat apakah
barang tersebut adalah miliknya atau tidak, tidak juga suatu keharusan
barang tersebut adalah miliknya atau tidak, tidak juga suatu keharusan
barang tersebut secara fisik ada dalam tangannya atau di tempat lain yang
penting yang menawarkan mempunyai kekuasaan untuk menawarkan, di
samping itu bahwa barang yang ditawarkan haruslah mempunyai nilai
dalam arti dapat dinilai dengan uang. Kemudian, dijual mmpunyai arti
diberikan sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh uang, maka
menawarkan untuk dijual dapat berarti memberi kesempatan kepada orang
lain melakukan penjualan barang agar mendapatkan uang. Orang lainlah
yang melakukan penjualan, sehingga posisi orang yang mendapat
kesempatan adalah mendapat kekuasaan menjual dan atas penjualan
tersebut dia mendapatkan keuntungan materi seusai kesepakatan antara
yang menawarkan/pemilik barang.
Menawarkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, untuk dijual juga
berarti mengunjukkan sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang
Menawarkan untuk dijual dapat dilakukandengan langsung kepada calon
pembeli baik secara lisan maupun menggunakan sarana telekomunikasi
atau lainnya, baik ditunjukkan barangnya atau tidak, yang penting proses
menawarkan ini haruslah ada maksud agar lawan bicara membeli apa yang
ditawarkan.
2. Menjual
Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia, mempunyai makna memberikan
sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh uang pembayaran atau
menerima uang. Hal ini berarti ada transaksi dan ada pertemuan antara
penjual dan pembeli. Kewajiban penjual adalah menyerahkan barang
sedangkan kewajiban pembeli menyerahkan uang pembayaran.
3. Membeli
Membeli mempunyai makna memperoleh sesuatu melalui penukaran
(pembayaran) dengan uang. Ini berarti bahwa harus ada maksud terhadap
barang tertentu yang akan diambill, dan haruslah ada pembayaran dengan
uang yang nilainya sebanding dengan harga barang yang diperoleh.
4. Menerima
Berarti mendapatkan sesuatu karena pemberian dan pihak lain. Akibat dari
menerima tersebut barang menjadi miliknya atau setidak-tidaknya berada
dalam kekuasaannya.
5. Menjadi perantara dalam jual beli
Merupakan sebagai penghubung antara penjual dan pembeli dan atas
menghubungkannya antara penjual dan pembeli kemudian orang tersebut
mendapat barang berupa narkotika sudah dapat digolongkan sebagai
perantara dalam jual beli, oleh karena itu jasa atau keuntungan disini dapat
berupa uang atau barang atau bahkan fasilitas. Jasa atau keuntungan
merupakan faktor yang penting, tanpa jasa maupun keuntungan yang
diperileh maka tidak dapat disebut sebagai perantara dalam jual beli. Jika
seseorang telah mempertemukan penjual dengan pembeli, tetapi tidak
mendapatkan jasa atau keuntungan, maka orang tersebut bukan bertindak
sebagai perantara dalam jual beli,akan tetapi sebagai penghubung dan
tindak pidana yang dikenakan setidak-tidaknya di juncto-kan dengan Pasal
132 tentang percobaan atau permufakatan jahat apakah dalam rangka
membeli atau menjual dan sebagainya. Perantara berbeda dengan
pengantar, karena pengantar melakukan tindakan atas perinthah,
sedangkan perantara bertindak sendiri dalam rangka mempertemukan
antara penjual dan pembeli dan perantara mempunyai pertanggungjawaban
yang berdiri sendiri.
6. Menukar
Maksudnya yaitu menyerahkan barang dan atas tindakannya tersebut
mendapat pengganti baik sejenis maupun tidak sejenis sesuai dengan
kesepakatan.
7. Menyerahkan
Untuk itu unsur tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan dapat dipisahkan menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Tanpa hak menawarkan untuk dijual , menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan.
2. Melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan.81
Ad.c. Narkotika Golongan I
Sebagaimana telah dikemukakan di muka narkotika terdiri atas dua jenis,
yaitu narkotika dalam bentuk tanaman dan narkotika dalam bentuk bukan
tanaman dimana untuk jenis bukan tanaman dibagi 2 (dua) sintetis dan
semi sintetis. Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman telah
ditentukan secara limitatif dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan satu kesatuan dengan
undang-undang tersebut. Narkotika Golongan I khusus dalam bentuk
tanaman ini hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.Dalam bentuk tanaman yang
dimaksudkan adalah tidak harus lengkap sebagai tanaman yang berarti ada
daun, batang, ranting maupun akar, tetapi meskipun hanya berupa daun
atau batang saja sudah dapat digolongkan sebagai tanaman. 82
Di dalam
terdapat sejumlah sanksi pidana bagi orang yang menjadi perantara dalam
transaksi/jual beli narkotika. Sanksi-sanksi tersebut berbeda-beda bergantung pada
jenis golongan narkotika, beratnya, dan bentuknya (masih dalam bentuk tanaman
atau narkotika siap pakai). Berikut akan penulis uraikan satu-persatu sanksi pidana
bagi perantara transaksi/jual beli narkotika83
2. Perantara dalam Jual Beli Narkotika Golongan I dalam Bentuk Tanaman
yang beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang :
1. Perantaradalam transaksi Narkotika Golongan I.
Sanksi pidananya : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan
I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).” (Pasal
114 ayat (1) UU Narkotika)
82Ibid hlm. 238
pohon atau dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima)
gram.
Sanksi pidana : Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menjadi perantara dalam jualbeli,
menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksudpada ayat (1)
yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1
(satu) kilogram atau melebihi 5(lima) batang pohon
atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima)
gram, pelaku dipidanadengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana paling singkat 6
(enam)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimanadimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). (Pasal 114
ayat (2)UU Narkotika)
Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia Neng Djubaedah menilai
penerapan hukuman mati terhadap gembong narkoba perlu dipercepat karena
Indonesia sudah darurat narkoba. Menurut beliau, semakin cepat eksekusi
dilakukan akan semakin cepat dirasa efek jeranya. Hukuman mati itu harus
ditegakkan supaya para pengedar kapok. Pemberian sanksi maksimal sangat
bandar, tapi juga kurirnya. Para kurir pasti gentar karena takut terhadap hukuman
tegas dari negara dalam memerangi narkoba. 84
84 Harian Rakyat Merdeka tanggal 15 Mei 2016, Kurir Gentar Jika Diancam Hukuman