• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III RUANG LINGKUP MEKANISME

C. Kebijakan Indonesia Terhadap Mekanisme

Pada tanggal 23 Juni 2004, DPR telah menandatangani Undang-Udang ratifikasi Protokol Kyoto yang berarti Indonesia berhak untuk ikut berpartisipasi dalam proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). Dalam rangka persiapan, Pemerintah Indonesia melalui Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup sudah melakukan Kajian Strategi Nasional (National

Strategy Study) untuk pelaksanaan CDM, baik sektor energi maupun sektor kehutanan yang didalam Protokol Kyoto disebut dengan LULUCF (Land Use, Land UseChange and Forestry). Disamping itu, kajian tentang Badan Otoritas Nasional (Designated National Autohority), badan yang akan mengatur pelaksanaan proyek-proyek CDM di Indonesia juga sudah diselesaikan.

Hasil kajian NSS (National Strategy Study) CDM kehutanan menunjukkan bahwa potensi sektor kehutanan dalam menyerap pasar karbon global cukup besar. Karena harga karbon dari proyek kehutanan lebih murah dibanding sektor energi, diperkirakan sektor kehutanan akan menyerap lebih banyak pasar karbon global dibanding sektor energi. Dari pasar karbon global yang besarnya sekitar 566 juta ton CO2 per tahun, Indonesia secara potensial akan mampu menyerap sebesar 36 juta ton CO2 per tahun, yaitu sebesar 28 juta ton CO2 per tahun oleh sector kehutanan dan 8 juta ton CO2 per tahun oleh sektor energi. Namun potensi ini tidak akan bisa dicapai apabila kendala utama baik yang bersifat teknis maupun non-teknis tidak dapat diatasi. Hasil NSS menunjukkan bahwa luas lahan

yang tersedia dan memenuhi syarat definisi lahan Kyoto ialah sekitar 20 juta hektar, terdiri dari 7 ha. dalam bentuk lahan kritis (di dalam dan di luar kawasan), 3 juta ha. lahan alang-alang dan 10 juta ha. lahan terlantar (fallow land). Secara rinci ketersediaan lahan untuk pelaksanaan proyek karbon kehutanan di Indonesia disajikan pada tabel berikut:

Tabel 15 : Potensi Lahan Yang Layak Untuk CDM

No Land use cover 1990 Area

(Ha) 2000 Area (Ha)1

1. Hutan skunder atau terdegradasi50 12.230.000 30.785.000

2. Perkebunan42 2.052.447 16.543.663

50

Sebagian kecil dari lahan yang masuk dalam ketegori diperkirakan memenuhi kriteria lahan Kyoto

3. Lahan kritis (outside forest areas)51 6.787.000 23.725.552 4. Sawah/pertanian 42 8.112.883 8.106.356 5. Lahan terlantar/kosong 43 9.823.175 10.260.492 6. Lahan alang-alang43 3.219.648 2.424.469

7. Bekas perladangan berpindah/kebun/

Tegalan42 12.718.787 12.768.711

Total Kyoto lands 54.944.740 88.070.580

Sumber : MoE, 2002

Jenis proyek kehutanan yang diperkirakan dapat dijadikan Afforestasi dan Reforestasi atau disingkat dengan AR-CDM diantaranya reforestasi, HTI, agroforestri, hutan kemasyarakatan (Social Forestry), MPTS dan penghijauan.

Potensi penyimpanan karbon berkisar antara 53 sampai 306 ton C/ha. hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 16 : Potensi Penyimpanan Karbon

Jenis

Potensi penyimpanan (t

C/ha)

Keuntungan lain

Reforestasi 204 – 256 Improve water and soil quality, prevent

erosion

HTI (species tumbuh cepat) 53 Increase soil productivity

Agroforestry 119 Soil slope protection areas using bamboo

in hilly

Community forest 63 – 256 Increase optimal use of land for protection

MPTS (Multi system)

proposes tree 54 – 306

Buffer zone of the protection areas and production areas

Penghijauan 121 Soil protection and soil conservation

Sumber : MoE, 2002

51

Sebagian besar dari lahan diperkirakan memenuhi syarat Kyoto Land. Syarat Kyoto ialah lahan yang akan digunakan untuk proyek CDM kondisinya sudah bukan hutan sejak tanggal 31 Desember 1989. Defini hutan dalam Kyoto Protokol ialah lahan yang penutupan tujuknya minimal antara 10-30%, tinggi pohon secara potential bisa mencapai 2-5 meter dan luasnya minimal antara 0.05 – 1ha. Penentuan nilai diantara selang yang akan digunakan dalam mendefinisikan hutan diserahkan kepada masingmasing Negara.

Penentuan batas proyek (Project Boundary)CDM ialah batas geografis dari kawasan proyek yang berada dalam control pelaksana proyek. Lokasi proyek boleh tidak berada dalam satu satuan lahan. Net anthropogenic GHG removal by sinks disingkat dengan ‘NAGR’ (GRK netto yang diambil dari atmosfer oleh rosot sebagai akibat dari proyek atau aktivitas manusia). NAGR dihitung dengan cara berikut: GRK netto actual yang diserap oleh rosot (actual net GHG removals by sinks disingkat dengan ‘ANGR’) dikurangi dengan perubahan stok karbon dalam batas proyek pada kondisi baseline

(baseline net GHG removals by sinks disingkat dengan ‘BNGR’) dikurangi dengan leakage (disingkat dengan ‘Lg’). Jadi NAGR = (ANGR-BNGR-L). ANGR ialah perubahan stok karbon dalam ‘pool’ dalam batas proyek yang dapat diverifikasi dikurangi dengan jumlah peningkatan emisi GRK yang terjadi akibat dari proyek. BNGR ialah jumlah perubahan stok karbon dalam ‘pool’ dalam batas proyek yang akan terjadi apabila proyek tidak ada. Lg ialah peningkatan emisi GRK diluar batas proyek yang dapat diukur dan merupakan akibat dari adanya proyek. Sedangkan pool ada lima bentuk yaitu biomass di atas permukaan, biomass bawah permukaan, bahan organik tanah, sarasah dan kayu mati. Apabila ada justifikasi yang kuat maka pool yang dianggap tidak nyata kontribusinya terhadap perubahan cadangan karbon dapat dikeluarkan dari perhitungan. Secara sederhana perhitungan di atas

Gambar 4 : Ilustrasi perhitungan keuntungan karbon dari proyek CDM Kehutanan

Keputusan pada COP9 Annex para 22, pelaksana proyek boleh memilih metodologi berikut sesuai dengan kondisi setempat dengan memberikan justifikasinya yaitu: (i) Perubahan stok karbon dalam pool di dalam batas proyek diperkirakan akan mengikuti kondisi histories atau kondisi pada saat sebelum proyek dimulai, (ii) Perubahan stok karbon dalam pool diproyeksikan dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan kendala investasi, (iii) Perubahan stok karbon dalam pool diproyeksikan menurut kondisi penggunaan lahan yang paling mungkin pada saat proyek dimulai.

Kredit karbon yang dihasilkan oleh proyek kehutanan sifatnya tidak permanent karena suatu saat dapat saja karbon yang sudah disimpan dilepaskan kembali. Untuk mengatasi hal ini, COP9 menyetujui dua bentuk kredit karbon yaitu tCER (temporary CER) dan lCER (long-term CER). tCER hanya berlaku sampai akhir satu periode komitmen yang mengikuti periode komitmen saat CER dikeluarkan.

Baseline net GHG removal by sinks (BNGR):

a. Kondisi stok carbon di pool saat ini; b. Perkiraan perubahan stok di pool ke depan

apabila tidak ada proyek

Actual net GHG removal by sinks (ANRG): a. Emisi GRK oleh proyek;

b. Penurunan emisi atau penyerapan GRK oleh

proyek Leakage (Lg);

c. Peningkatan emisi di luar batas proyek Net anthropogenic GHG removal (NAGR) by sinks = ANGR-BNGR-Lg

Gambar 5 : Ilustrasi pemberian kredit karbon

Dengan definisi ini maka lama umur tCER tidak akan lebih dari 10 tahun dengan asumsi lama setiap periode komitmen ialah 5 tahun.

Periode komitment periode ialah dari tahun 2008-2012. Sedangkan masa berlakunya lCER ialah selama periode kredit. Apabila masa berlakunya habis maka CER tersebut harus diganti dengan CER yang baru. Untuk lCER ini apabila setelah CER dikeluarkan terjadi penurunan nilai NAGR maka jumlah penurunan yang terjadi harus diganti dengan lCER yang baru. Lama masa kredit juga ada dua pilihan yaitu 30 tahun atau 3x20 tahun, dimana setiap 20 tahun harus dievaluasi ulang asumsi yang digunakan dalam penentuan baseline. Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar diatas.

Untuk Proyek Karbon Kehutanan Skala Kecil, COP9 sudah menyetujuinya dengan maksimum penyerapan karbon sebesar 8000 t CO2 atau 2180 t C per tahun. Proyek skala kecil ini boleh menggunakan aturan keproyekan yang disederhanakan yang masih akan dibicarakan dalam COP10 mendatang. Proyek skala kecil juga boleh digabungkan dengan mengikuti syarat yang juga akan ditetapkan pada COP10. Proyek skala kecil hanya boleh diperuntukkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (low income community) yang definisinya diserahkan kepada masing-masing Negara.

Dengan mempertimbangkan isu-isu di atas, maka hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh Indonesia untuk dapat meningkatkan kemampuan Indonesia dalam menyerap pasar karbon kehutanan dan persiapan untuk COP10 diantaranya ialah:

1. Perbaikan database stok karbon pada berbagai jenis vegetasi penutup lahan dan peta lahan kritis yang memenuhi definisi Kyoto. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah untuk pelaksanaan proyek CDM kehutanan dan perkiraan potensi stok karbon yang akan dihasilkan oleh proyek.

2. Pemilihan nilai batas untuk definisi hutan dari nilai selang yang sudah ditetapkan oleh Protokol Kyoto. Untuk penetapan ini diperlukan kajian terlebih dahulu implikasi dari pemilihan nilai batas tersebut terhadap ketersediaan lahan CDM dan jenis kegiatan proyek kehutanan yang diperbolehkan.

3. Pelaksanaan kegiatan pelatihan bagi pihak pemangku kepentingan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional untuk berbagai aspek yang terkait dengan implementasi CDM seperti mekanisme kelembagaan yang harus dilakukan dalam pengusulan proyek CDM (perizinan dan lain-lain), penyusunan dokumen desain proyek (Project Design Document), kemampuan untuk mengidentifikasi sumber emisi GRK dan bentuk kegiatan yang diperkirakan dapat menyebabkan perubahan besar emisi dari setiap sumber yang sudah diidentifikasi tersebut, dan teknik pengukuran dan monitoring karbon yang disederhanakan tetapi tetap memenuhi standar bamku yang sudah ada.

4. Penyusunan paper posisi Indonesia dalam COP10 berkaitan dengan beberapa isu penting khususnya yang berkaitan dengan proyek CDM skala kecil karena potensi Indonesia dalam menyerap proyek skala kecil sangat besar karena sangat luasnya lahan-lahan yang milik masyarakat ekonomi lemah yang kurang produktif dan layak untuk dijadikan proyek CDM. Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian Indonesia berkaitan dengan proyek CDM kehutanan skala kecil ialah:

(i) Kategori proyek CDM kehutanan skala kecil;

(ii) Penyederhanaan dalam penentuan baseline, leakage dan batas proyek;

(iii) Persyaratan dan aturan dalam pengabungan proyek-proyek skala kecil dalam satu PDD; dan

(iv) Usulan atau bentuk program yang dapat memfasilitasi pelaksanaan proyek CDM skala kecil.

Dokumen terkait