• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III RUANG LINGKUP MEKANISME

A. Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Kehutanan

Hutan memiliki peran yang unik dalam isu perubahan iklim. Peran utama hutan adalah untuk

menyerap GRK — terutama karbon — yang ada di atmosfer. Karenanya kegiatan kehutanan dalam isu

perubahan iklim ini termasuk dalam carbon sequestration activities, yaitu kegiatan-kegiatan yang

menyerap karbon yang ada di atmosfer. Oleh sebab itu hutan juga dikenal sebagai carbon sinks (rosot

karbon). Dengan perannya ini, hutan dapat membantu mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim

dalam menjaga stabilitas konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat aman yang tidak membahayakan

sistem iklim global.

Mengingat peran hutan tersebut, maka diusulkan agar sektor kehutanan dapat pula digunakan

dalam upaya penurunan emisi GRK secara global. Isu kehutanan, yang dalam Konvensi Perubahan

Iklim dan Protokol Kyoto dimasukkan dalam isu Land-Use, Land-Use Change and Forestry

(LULUCF), yaitu mengenai pemanfaatan lahan, perubahannya serta sektor kehutanan, sempat menjadi

isu kunci dalam beberapa COP, terutama dalam COP VI di Den Haag tahun 2000 dan COP VI-bis

(bagian kedua dari COP VI) di Bonn tahun 2001. Dokumen yang dihasilkan pada COP VI-bis, yang

dikenal sebagai Bonn Agreement, akhirnya memuat kesepakatan mengenai pemanfaatan sektor

kehutanan dalam CDM yang terbatas pada kegiatan reforestasi (reforestation) dan aforestasi

(aforestation).

Pada COP VII di Marrakesh, Maroko akhir tahun 2001, dicapai satu kesepakatan yang

dikenal sebagai Marrakech Accord. Dalam Marrakech Accord ini disepakati beberapa definisi yang

digunakan dalam kegiatan LULUCF, dalam hal ini yang berkaitan dengan domestic action. Hingga

COP VIII di New Delhi, definisi dalam Marrakech Accord ini belum disepakati untuk digunakan

dalam CDM Kehutanan.

Definisi yang dicantumkan dalam Marrakech Accord46 adalah sebagai berikut:

46

1. Hutan didefinisikan sebagai area dengan luas minimun 0,5-1,0 hektar, dengan lebih dari 10 –

30 persennya ditumbuhi tumbuhan dewasa, yang tinggi minimumnya mencapai 2 - 5 meter.

Wilayah hutan dapat merupakan hutan tertutup atau terbuka dengan berbagai jenis tumbuhan.

2. Aforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area

yang minimal selama 50 tahun bukan merupakan wilayah hutan menjadi hutan dengan

tindakan-tindakan seperti penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang

mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam.

3. Reforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya

yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya

merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan hutan. Dalam

periode komitmen pertama, aktivitas reforestasi dibatasi pada area tidak berhutan pada 31

Desember 1989.

Adapun mekanisme dan prinsip pengajuan proyek Mekanisme Pembangunan

Bersih sektor kehutanan melalui tahapan dan mekanisme yang telah diatur dalam

Protokol Kyoto yaitu:

Langkah 1: Proyek Alternative

1.

Menjelaskan semua alternatif kegiatan yang realistik dan kredible yang sesuai

dengan aturan hukum yang berlaku dan sudah menjadi kewajiban dan apabila

ternyata proyek yang diusulkan merupakan satu-satunya alternatif kegiatan maka

proyek tersebut Not Additional

2.

Keputusan baru dari Badan Eksekutif bahwa ‘… a local/regional/national policy

or standard cannot be considered as a clean development mechanism project

activity, but that project activities under a programme of activities can be

registered as a single clean development mechanism project activity provided …’

Adanya keputusan ini kegiatan yang sudah menjadi kebijakan dan ketentuan

untuk dilaksanakan dapat dijadikan proyek CDM asalkan ia termasuk ke dalam

program kegiatan yang direncanakan akan didukung oleh CDM dapat didaftarkan

sebagai proyek CDM

Langkah 2: Analisis Investasi

1.

Analisis untuk menunjukkan bahwa proyek secara ekonomi dan finansial tidak

menarik dari alternatif kegiatan yang ada

a.

Analisis biaya sederhana yaitu cukup dengan analisis yang menunjukkan

bahwa proyek hanya akan menguntungkan kalau ada penjualan kredit carbon

(CER)

b.

Analisis Perbandingan Investasi yaitu analisis yang menggunakan indikator

finansial seperti IRR, NPV, termasuk semua biaya produksi, keuntungan,

insentif/subsidi dan bandingkan dengan kegiatan alternative lainnya. Misal

kegiatan yang diusulkan memberikan IRR yang rendah sehingga tidak

menarik investor dibanding alternatif kegiatan yang ada dan baru akan

memberikan IRR yang menarik kalai hanya ada penjualan CER

c.

Analisis Benchmark: analisis investasi yang menggunakan indikator finansial

dan membandingkannya dengan nilai indikator finansial baku yang sudah

umum digunakan. Misalkan untuk proyek penurunan pembakaran gas buang

(Gas Flaring Reduction), IRR hanya 10% sementara secara umum nilai IRR

yang menarik bagi investor apabila IRR lebih dari 15%.

Langkah 3: Analisis Kendala

1.

Kalau proyek secara finansil menarik maka proyek masih bisa dikatakan

additional apabila ada kendala yang menyebabkan proyek tidak dapat

dilaksanakan

a.

Kendala Investasi: tidak tersedia fasilitas pinjaman bank untuk jenis kegiatan

yang diusulkan atau tidak ada akses terhadap pendanaan internasional karena

adanya risiko berkaitan dengan iklim investasi negara yang bersangkutan

b.

Kendala Teknologi: tidak tersedia tenaga yang ahli untuk menangani

teknologi tersebut atau sarana infrastuktur tidak mendukung untuk

pelaksanaan kegiatan

c.

Kendala karena kegiatan yang diusulkan merupakan kegiatan pertama yang

pernah dilakukan (merupakan teknologi baru)

2.

Setiap kendala yang disebutkan harus didukung dengan bukti yang cukup

misalnya

a.

Memberikan informasi tentang regulasi atau kaidah-kaidah yang berlaku tidak

mendukung;

b.

Hasil kajian atau survey

c.

Data statistik nasional

d.

Dokumen-dokumen pendukung misalnya data pasar yang relevan, dokumen

dalam bentuk hasil pertemuan rapat yang mengungkapkan adanya kendala

atau hasil penilaian tenaga ahli yang independen yang mengungkapkan bahwa

memang proyek yang diusulkan tidak akan bisa dilaksanakan apabila tidak

melalui CDM

3.

Apabila pengusul proyek tidak dapat menunjukkan bukti bahwa memang ada

kendala maka proyek dikatakan Not Additonal

Langkah 4: Common Practice Analysis

1.

Merupakan analisis untuk menilai apakah proyek sejenis sudah dikenal secara

umum dan sudah menyebar, kalau ternyata sudah menyebar dan umum ditemukan

maka pengusul proyek harus bisa menjelaskan persamaan dan perbedaan antara

proyek yang diusulkan dengan kegiatan yang sudah menyebar secara luas tersebut

2.

Apabila proyek pengembang ternyata tidak bisa menunjukkan dan menjelaskan

perbedaan tersebut maka proyek dikatakan Not Additional

Langkah 5: Dampak Registrasi

1.

Analisis untuk menunjukkan bahwa dengan diregistrasinya proyek sebagai proyek

CDM akan mengatasi hambatan finansial atau kendala yang ada sehingga proyek

dapat dilaksanakan. Hal yang perlu ditunjukkan ialah

a.

Keuntungan dan insentif yang diperoleh

b.

Besar penurunan emisi GRK

c.

Keuntungan finansial dari penjualan CER

d.

Pengembang baru tidak akan menghadapi kendala yang sama dan memiliki

kemampauan untuk melaksanakan kegiatan proyek CDM

e.

Proyek akan mengurangi risiko inflasi atau perubahan nilai tukar yang dapat

mempengaruhi pendapatan

2.

Kalau proyek CDM tidak membantu maka dikatakan proyek Not Additional

B.

Protokol Kyoto

Protokol Kyoto adalah sebuah instrumen hukum (legal instrumen) yang dirancang untuk mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak mengganggu sistem iklim bumi. Setelah diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997, Protokol Kyoto dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 16 Maret 1998. Sesuai dengan ketentuan Pasal 25, Protokol Kyoto secara efektif akan berlaku 90 hari setelah diratifikasi oleh paling sedikit 55 Pihak Konvensi, termasuk negara-negara maju dengan total emisi karbon dioksida paling sedikit 55 persen dari total emisi tahun 1990 dari kelompok negara-negara industri ini.

Efektifitas Protokol Kyoto yang mensyaratkan agar diratifikasi oleh paling sedikit 55 negara menunjukkan bahwa Protokol ini memerlukan partisipasi banyak negara, termasuk negara-negara berkembang. Sementara syarat minimum 55 persen emisi negara maju harus dilibatkan, menunjukkan pentingnya peranan negara maju sebagai pengemisi utama untuk bertindak langsung. Selama ini merekalah yang memberi kontribusi terbesar dalam peningkatan konsentrasi GRK hingga pada keadaannya sekarang. Negara-negara inilah yang emisi totalnya pada tahun 1990 adalah 13,7 Gt (gigaton=109 ton) yang memilki tanggung jawab dan perlu menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya melindungi iklim bumi.

Protokol Kyoto dapat segera berkekuatan hukum setelah diratifikasi oleh minimal 55 negara, dimana jumlah emisi negara-negara Annex I yang telah meratifikasi minimal mewakili 55% jumlah total emisi negara Annex I pada tahun 1990.

Pernyataan AS untuk tidak meratifikasi Protokol Kyoto (Maret 2001) membuat perjalanan Protokol Kyoto untuk dapat berkekuatan hukum menjadi semakin sulit. AS sendiri mewakili 36% jumlah total emisi negara Annex I tahun 1990. Hingga 26 November 2003, jumlah negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto adalah sebanyak 120 negara.47

Sementara jumlah total emisi negara Annex I yang telah meratifikasi sejauh ini baru sebesar 44,2%. Berarti masih kurang 10,8% lagi untuk membuat Protokol Kyoto dapat berkekuatan hukum. Saat ini seluruh dunia menanti kesediaan Rusia untuk segera meratifikasi Protokol Kyoto. Dengan jumlah emisi 17,4% dari total emisi Annex I, maka dapat dipastikan Protokol Kyoto dapat segera berkekuatan hukum.

Dan akhirnya Konvensi perubahan iklim tersebut dinyatakan telah berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994, setelah diratifikasi oleh 50 negara. Dan hingga tahun 2005, konvensi tersebut telah diratifikasi oleh lebih dari 141 negara. Artinya secara yuridis, Protokol Kyoto mempunyai hukum yang sah sejak tanggal 16 Februari 2005 dimana setelah Britania meratifikasinya pada 23 Mei 2002 dan Rusia pada 18 November 2004.

Indonesia sendiri telah meratifkasi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tanggal 1 Agustus 1994.

Konferensi Bali Desember 2007 menghasilkan Bali Action Plan yang mengusung berbagai elemen sebagai pokok pembahasan negosiasi sampai periode komitmen pertama Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012. Bali Action Plan juga menyepakati pembentukan proses negosiasi baru dalam bentuk Ad hoc Working Groups on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA) yang akan

47

dilaksanakan secara paralel dengan kelanjutan proses Ad hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG).

Sebagai salah satu implementasi Bali Action Plan, diadakanlah Bangkok Climate Change Talks pada 31 Maret hingga 4 April 2008. AWG-LCA bertemu untuk menyusun rencana kerja hingga tahun 2009, mengingat pada tahun tersebut AWG-LCA harus sudah memiliki usulan-usulan aktivitas yang perlu dilakukan oleh negara maju dan berkembang untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Secara substansi Konferensi Bali 2007 (COP UNFCCC 13) melahirkan Bali Road Map yang menetapkan “proses lengkap” untuk melaksanakan konvensi secara penuh, efektif dan berkelanjutan

melalui aksi kerja sama jangka panjang, pada saat sekarang hingga 2012 dan pasca 2012.

Bali Road Map berisikan 25 keputusan yang sangat penting. Beberapa diantaranya adalah tentang:

a. Ad-hoc Working Group on Long Term Cooperative Action Under The Convention (Bali Action Plan);

b. Ad-hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties Under The Kyoto Protocol (Review of Work Programme, Methods of Work and Schedule of Future Sessions) yang melibatkan hanya negara pihak dari Protokol Kyoto;

c. Transfer teknologi (technology transfer);

d. Dana adaptasi (adaptation fund);

e. Mekanisme finansial (financial mechanism);

f. Pengurangan emisi dari deforestrasi di negara-negara berkembang (Reducing Emissions From Deforestration in Developing Countries (REDD);

g. Operasionalisasi mekanisme pembangunan bersih (CDM); h. Peninjauan ulang Protokol Kyoto;

i. Komite Pengaduan (Compliance Committee)48

Sementara itu, AWG menyepakati bahwa mekanisme pasar berbasis proyek yang diatur di dalam Protokol Kyoto, seperti CDM, akan tetap dijalankan untuk membantu negara-negara Annex I memenuhi target penurunan emisi mereka. Namun mekanisme-mekanisme fleksibilitas ini berfungsi sebagai alternatif/ tambahan saja, sementara negara Annex I tetap harus menurunkan emisi di dalam negerinya sendiri juga. Proses negosiasi ini akan dilanjutkan pada bulan Juni 2008 di Bonn, Jerman.

Ratifikasi Protokol Kyoto akan mendorong suatu negara dan masyarakat dunia untuk mempersiapkan diri dalam menyiapkan kelembagaan yang terkait dengan implementasi Protokol Kyoto melalui proyek-proyek CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih, termasuk Indonesia. Penunjukan otoritas nasional (Designated National Authority, DNA) merupakan syarat utama agar negara berkembang dapat berpartisipasi. Lembaga inilah yang nantinya akan merancang kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan proyek (project development)dan pengembangan kapasitas (capacity building) agar para pihak yang tertarik melakukan investasi dapat merancang proyeknya bersama mitranya di mana proyek akan diimplementasikan. Otoritas nasional ini juga akan membantu pemerintah dalam meningkatkan kesadaran publik (public awareness) akan pentingnya membangun proyek-proyek baru yang ramah lingkungan.

Berikut Struktur Penunjukan Otoritas (Designated National Authority, DNA) dan Struktur Institusi Nasional untuk CDM49

48

Suplemen Status Lingkungan Hidup 2007, Pemanasan Global dan Perubahan Iklim- Konteks dan Implikasinya Bagi Indonesia,Kementerian Negara Lingkungan Hidup, hlm. 23-24

49

Country Report: Country Report: Towards CDM Implementation In Indonesia, Presented at The CTI Sixth Workshop for Asia, ICETT, 3 Nov 2003

Gambar 2: Struktur Penunjukan Otoritas

Gambar 3: Struktur Institusi Nasional untuk CDM

C.

Kebijakan Indonesia Terhadap Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM)

Dokumen terkait